Tuesday, July 1, 2008

PP 63 tidak akan dicabut

Pemerintah pusat tidak akan mencabut pemberlakuan PP No. 63 Tahun 2003 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan-Barang Mewah, dan Bea Masuk di Batam karena secara substansial tidak mengganggu implementasi Kawasan Perdagangan Bebas di pulau itu.

"Kalau ada aturan lain yang bertentangan dengan semangat FTZ tentunya akan dikoreksi. PP 63 adalah salah satu yang akan dikoreksi atau direvisi," ungkap Kepala Badan koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi usai acara Forum Dialog HIPMI Kepri di Batam, pekan lalu.

Menurut dia, pemerintah saat ini belum memutuskan untuk mencabut PP 63 yang mengatur pengenaan pajak pertambahan nilai dan barang mewah di Batam karena secara substansial, peraturan tersebut tidak seluruhnya bertentangan dengan UU FTZ.

Namun demikian, kata dia, pemerintah dipastikan akan melakukan koreksi atau revisi terhadap peraturan tersebut. Karena terdapat beberapa ketentuan dalam PP 63 yang tidak sesuai dengan UU FTZ meskipun ia tidak menjelaskan lebih lanjut.

"Pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang FTZ untuk menjadi aturan yang baku dalam mengelola daerah perdagangan bebas. Dengan demikian, jika ada peraturan pelaksana atau aturan lain yang bertentangan dengan undang-undang tersebut maka pemerintah akan mengkoreksinya," papar Lutfi.

Meski mengungkapkan pemerintah hanya akan merevisi PP 63, Lutfi juga mengatakan bahwa pemberlakuan PPnBm sebenarnya tidak lagi efektif dilaksanakan setelah keluarnya UU FTZ.

Mengingat dalam UU tersebut sudah diatur bahwa seluruh barang yang masuk tidak dikenakan cukai, bea masuk, pajak pertambahan nilai dan barang mewah, sepanjang bukan barang terlarang.

Jadi polemiK

Penegasan yang disampaikan Kepala BKPM itu bisa dikatakan menjawab surat dari Ketua Dewan Kawasan FTZ Batam Ismeth Abdullah yang mengusulkan agar PP 63 dicabut pemberlakuannya di Batam.

PP No. 63/2003 mengatur tentang pengenaan PPN, PPn-BM, dan bea masuk atas empat komoditi yakni mobil, rokok, minuman beralkohol, dan elektronik di kawasan berikat Batam.

Hingga kini belum ada keluhan dari para pelaku industri manufaktur dalam kawasan berikat terkait pemberlakuan PP tersebut karena beberapa pihak menilai PP tersebut tidak bersentuhan langsung dengan industri.

Setelah Presiden mengeluarkan PP 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Batam, terjadi polemik antara Dewan Kawasan dengan Kantor Pelayanan Bea Cukai Batam.

Disatu sisi, Ketua Dewan Kawasan FTZ BBK Ismeth Abdullah meminta kepada pemerintah pusat agar PP 63 segera dicabut karena dinilai bertentangan dengan UU FTZ. Setelah ia membentuk DK, Ismeth optimis secepatnya pemerintah pusat akan mencabut PP tersebut dan menggantinya dengan PP yang tidak bertentangan dengan UU FTZ.

Sementara itu Ampuan Situmeang, pakar hukum Batam, menilai mestinya, DK sebagai regulator bisa memanfaatkan momentum ini dengan sebaik mungkin, Diantaranya dengan membuat kajian komprehensif terhadap PP 63 bila memang ingin dicabut pemberlakuannya.

“Maksud kajian ini adalah agar ketika ada usulan dicabut, sudah jelas alasannya. Jika PP 63 bertentangan dengan aturan lain, bertentangan dengan apa? Mengapa bertentangan, harus disebutkan alasannya. Jangan hanya teriak, PP ini tidak bisa dilaksanakan tapi tidak ada kajian yang mengevaluasi PP tersebut,” tuturnya.

Sedangkan disisi lain Kepala Kantor Pelayanan Bea Cukai Batam Nofrial ingin agar PP tersebut masih tetap diberlakukan mengingat belum adanya struktur birokrasi yang jelas dalam implementasi FTZ.

Selain struktur birokrasi, dia menilai jika PP 63 dicabut maka akan menimbulkan kerawananan dalam pengawasan ekspor-impor yang dilakukan oleh Bea Cukai.

Namun demikian, pihak Bea Cukai juga siap untuk tidak lagi memakai PP 63 sebagai acuan jika pemerintah menerbitkan PP yang baru atau keluarnya surat keputusan dari Menteri Keuangan.

No comments:

Post a Comment