Friday, April 24, 2009

Investasi asing di Batam bisa anjlok 75%

Penerapan free trade zone (FTZ) di Batam diketahui belum memberi angin segar bagi perkembangan investasi asing, paling tidak hingga triwulan I/2009, karena ternyata realisasi investasi anjlok hampir 75% dibandingkan dengan rata-rata investasi pada periode sama 2007 dan 2008.

Data dari Biro Humas Badan Otorita Batam/Badan Pengusahaan FTZ Batam menyebutkan realisasi penanaman modal asing hanya US$22,9 juta.

Padahal, pada triwulan I/2007 nilai investasi asing yang masuk ke Batam sebesar US$74,7 juta dan pada 2008 mencapai US$105,7 juta. Jika dirata-rata nilai invetasi asing per triwulan pertama 2007 dan 2008 mencapai US$90,2.

"Negara-negara yang masuk dalam 3 bulan terakhir juga belum sebanyak jumlah negara asal investor yang masuk ke Batam pada 2008. Pada tahun lalu proyek-proyek penanaman modal asing (PMA )berasal dari 15 negara, sedangkan pada triwulan I/ 2009 ini hanya 11 negara," ujar Rustam H. Hutapea, Kepala Biro Humas Otorita Batam/Badan Pengusahaan FTZ Batam, kemarin.

Adapun negara asal PMA yang telah berinvestasi di Batam, yaitu Singapura, Malaysia, British Virgin Island, Hong Kong, China, Belanda, Inggris, Korea Selatan, Australia, Jepang, India, Taiwan, Kanada, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, dan Prancis.

Jika sepanjang tahun ini tidak terjadi lonjakan yang signifikan, investasi asing yang masuk ke Batam berpeluang anjlok hingga 75% pascapenerapan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.

Rustam menambahkan jumlah aplikasi penanaman modal asing (PMA) pada Januari-Maret 2009 juga turun, hanya 18 aplikasi atau 8% di bawah rata-rata jumlah aplikasi PMA yang masuk ke Batam pada periode sama 2007 dan 2008.

Dia menjelaskan investasi yang masuk ke Batam pada 2007 sebanyak 79 aplikasi PMA dan 4 proyek perluasan dengan total nilai investasi sebesar US$298,8 juta.

Pada 2008 jumlah aplikasi PMA sebanyak 77 dan 24 proyek perluasan senilai US$422,9 juta atau naik hampir 30%.

Industri galangan kapal, imbuhnya, sebagai industri unggulan di Batam juga belum menarik banyak investasi asing. Per triwulan I/ 2009 aplikasi PMA hanya satu proyek, padahal aplikasi investasi galangan kapal sepanjang 2008 mencapai 12 proyek.

"Tapi pada triwulan pertama tahun ini aplikasi PMA dari negara Luksemburg sudah disetujui sehingga ada penambahan negara yang berinvestasi di Batam," imbuh Rustam.

Merepotkan

Daniel Burhanuddin, Ketua Gabungan Pengusaha Ekspedisi dan Forwarder Indonesia (Gafeksi) Batam, menegaskan pemberlakuan status FTZ di Batam belum memberikan daya tarik bagi investor.

"Banyak aturan yang tidak konsisten di lapangan sehingga pengusaha dibuat bingung dan kerepotan. Jika ini terus berlanjut, pemodal baru akan beralih ke kawasan lain yang lebih menjanjikan selain Batam," tuturnya.

Kendati demikian, menurut Rustam, catatan ekspor pada 2008 sedikit bisa menghibur meskipun ada tren penurunan nilai investasi asing pada 2009. Kinerja ekspor Batam pada 2008 naik 4,96% atau sebesar US$6,36 juta dibandingkan dengan nilai ekspor pada 2007 sebesar US$6,06 juta.

Negara tujuan ekspor utama Batam adalah Singapura dengan kontribusi 63%, disusul oleh Jepang (5,8%), AS (5,6%), Malaysia (4,3%), dan China (3,4%).

Wednesday, April 22, 2009

Kelanjutan Batu Ampar ada ditangan Mustofa..

Lama tak terdengar lagi kabar kelanjutan pembangunan Terminal Peti Kemas Batu Ampar oleh investor Perancis CMA-CGM, ternyata prosesnya tinggal sedikit lagi. Hampir semua persyaratan yang diajukan investor sudah disetujui pemerintah, mulai dari masa pengelolaan selama 70 tahun, dan syarat lainnya.

Kini tinggal satu syarat lagi yang belum bisa dipenuhi, yaitu soal kepemilikan operator pengelola terminal. Pihak Perancis menginginkan agar mereka diberikan share lebih besar yaitu 51-49. Tapi itu masih jadi perdebatan.

Sebab, dalam daftar negative investasi, masalah kepemilikan belum dikeluarkan sehingga investor asing masih belum bisa mendapatkan porsi lebih besar. Konon, masalah share ini tergantung kepada Badan Pengusahaan FTZ Batam (BP Batam) untuk mengeluarkan keputusan.

"Masalah ini sudah diserahkan ke tangan BP Batam sebagai user dari pelabuhan itu. Tinggal bagaimana Kepala BP yang akan memutuskan," ujar Bambang Susantono, Deputi Menteri Perekonomian Bidang INfrastruktur dan Pengembangan Wilayah.

Dia menegaskan soal kepemilikan ini bisa jadi bisa mendapatkan pengecualian mengingat ini merupakan investasi di wilayah FTZ. Bisa saja, asing mendapatkan porsi lebih besar dengan pertimbangan yang lebih strategis.

Dalam sambutannya, ketika membuka diskusi terbatas bidang kepelabuhan yang digelar oleh Kementerian Perekonomian pada akhir Maret lalu, Mustofa Widjaja, Kepala BP Batam, justru mensinyalir adanya keragu-raguan dari investor Perancis itu untuk melanjutkan investasinya di Batu Ampar.

"Masalah Pelabuhan Khusus di Batam menjadi pertanyaan dari investor Batu Ampar, apakah keberadaannya akan mengganggu operasional Batu Ampar setelah dikelola oleh investor baru," papar Mustofa.

Tapi sinyalemen Musfota itu dibantah oleh Bambang Susantono. Menurut dia, tidak ada relevansinya antara keberadaan pelabuhan khusus dengan rencana pengembangan Terminal Batu Ampar.

Pelabuhan Khusus (Pelsus) beroperasi untuk kepentingan sendiri (perusahaan pengelolanya), sedangkan Batu Ampar diproyeksikan untuk melayani aktivitas transshipment yang mana artinya, barang yang akan dialihkapalkan tidak mesti barang-barang yang berasal dari dalam Batam sendiri, melainkan juga barang dari luar negeri.

"Jadi tidak perlu ada yang ditakutkan, karena pelsus dan Batu Ampar memiliki kepentingan sendiri-sendiri," papar Bambang.

Sejauh ini, komitmen CMA-CGM untuk melanjutkan investasi di Batu Ampar masih on-track dan masih berminat. Belum ada satu pun pernyataan dari pihak Perancis yang meragukan komitmen tersebut apalagi ada kekhawatiran karena kondisi dari dalam Batam sendiri.

"Justru yang harus dikejar adalah kapan Mustofa akan mengeluarkan keputusan soal share kepemilikan ini. Karena itu semua ditangan BP Batam (OB)," tandas Bambang.

Wah, kalo memang begitu, aku harus segera menanyakan soal ini ke Lantai 8 nih..
Soalnya kalo nanya ke lantai yang lain, takut ga bisa njawab..

Tunggu ya..

Frekuensi Labuh Kapal di Batu Ampar turun pasca FTZ

Frekuensi kapal barang yang berlabuh dan bersandar di Pelabuhan Batu Ampar mengalami penurunan akibat pembatasan importasi barang oleh Badan Pengusahaan (BP) FTZ Batam sejak 1 April 2009 lalu.

"Ada penurunan kapal yang masuk walau tidak sampai 10%," ungkap Surjadi, Kasi Pelayanan Terpadu Kantor Pelabuhan (Kanpel) Otorita Batam, Selasa (21/4).

Arus keluar masuk kapal barang di Pelabuhan Batu Ampar per harinya berjumlah sekitar 20 kapal, tetapi katanya, telah terjadi penurunan frekuensi sejak aturan importasi barang mulai diberlakukan pada 1 April 2009 lalu.

Salah satu aturan importasi barang oleh BP Batam, yaitu mewajibkan proses importasi berdasarkan master list untuk kebutuhan 1 tahun sehingga menurut Surjadi aturan itu secara tidak langsung telah mengurangi intensitas kapal barang.

Dimana dengan penerapan master list tersebut perusahaan-perusahaan importir memasukkan barang hanya untuk kebutuhan 1 tahun dan menghindari pemasukan dengan jumlah yang lebih besar karena harus kembali memperbaarui master list-nya.

Selain penurunan frekuensi kapal, Surjadi juga mengungkapkan bahwa sejak pembatasan importasi diberlakukan tidak ada lagi penumpukan kontainer di Pelabuhan Batu Ampar.

Hal itu menurutnya karena hampir semua barang-barang yang masuk adalah bahan baku industri yang langsung digunakan untuk proses produksi.

Biaya operasional

Di samping memicu penurunan frekuensi kapal, penerapan FTZ di Batam juga belum meringankan biaya operasional perusahaan pelayaran dan angkutan laut.

Menurut Surjadi, pungutan jasa kepelabuhanan yang dikelola oleh Kanpel belum mengalami perubahan dan besarannya masih mengacu pada SK Ketua Otorita Batam Tahun 2004.

Untuk kapal-kapal berbendera asing, biaya jasa labuh adalah sebesar US$0,082 x bobot kapal x lama labuh (dihitung per 10 hari) dan biaya jasa sandar/tambat sebesar US$0,088 x bobot kapal x lama tambat (dihitung per 24 jam).

Adapun jasa labuh untuk kapal berbendera Indonesia dikenakan tarif US$8 dan tarif jasa tambat sebesar US$39 dengan pola penghitungan yang sama dengan kapal berbendera asing.

Biaya jasa kepelabuhanan yang dikelola kanpel Otorita batam juga mencakup jasa bongkar muat untuk general cargo sebesar Rp800/ton dan jasa bongkar muat kontainer sebesar Rp13.650-Rp40.950 per ton.

Selain itu masih ada jasa-jasa kepelabuhanan yang lain seperti jasa penumpukan dan jasa pengadaan air di mana seluruh pungutan jasa tersebut diterapkan di pelabuhan-pelabuhan milik pemerintah dan milik industri (pribadi).

Pelabuhan Batu Ampar sendiri merupakan satu dari dua pelabuhan yang resmi ditunjuk sebagai pelabuhan FTZ selain Pelabuhan Kabil. Pelabuhan Batu Ampar mampu memberikan kontribusi pendapatan dari sektor jasa kepelabuhanan sebesar Rp70 miliar per tahun.

Tuesday, April 21, 2009

BP Batam cabut izin sementara, barang berisiko tertahan di pelabuhan

Badan Pengusahaan (BP) Free Trade Zone (FTZ) Batam mulai hari ini mencabut izin usaha sementara yang berlaku sejak 1 April di kawasan tersebut.

Dengan pencabutan izin sementara itu, berarti hanya izin usaha tetap yang bisa digunakan untuk mengeluarkan barang impor dari pelabuhan FTZ Batam. Apabila izin tetap itu tidak dimiliki, barang terpaksa tertahan di pelabuhan sampai izin tersebut keluar.

"Sesuai keputusan BP FTZ Batam, mulai 21 April 2009 [hari ini] seluruh aturan izin usaha berlaku efektif, jadi kami tidak akan mengeluarkan izin sementara pengeluaran barang," ujar Kepala Biro Humas Otorita Batam/ BP FTZ Batam Rustam H. Hutapea, di Batam, kemarin.

Dia menegaskan BP Batam tidak akan lagi memberikan toleransi dan akan menahan pengeluaran barang impor di pelabuhan resmi FTZ apabila masih ada importir yang belum me-ngantongi surat izin usaha dari BP FTZ Batam.

Toleransi itu, sambungnya, diakhiri karena jumlah perusahaan pengimpor yang mengantongi izin usaha sudah berjumlah lebih dari 500 perusahaan, atau sudah lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan yang belum mengantonginya.

"Jadi mulai sekarang pihak importir harus mempersiapkan terlebih dahulu izin usaha ke BP sebelum memasukkan barang ke kawasan FTZ Batam. Jika tidak, barang akan ditahan di pelabuhan sampai perusahaan yang bersangkutan mendapat izin usahanya," tegas Rustam.

Ketentuan yang mengatur perizinan impor barang ke kawasan FTZ harus menggunakan surat izin usaha yang dikeluarkan BP FTZ ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.02/2009 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas.

Namun, di awal pemberlakuan FTZ pada 1 April lalu, aturan impor itu belum diterapkan efektif oleh BP Batam. Alasannya, banyak perusahaan yang belum mengantongi izin usaha dari BP FTZ Batam akibat kesulitan memenuhi persyaratan dokumen khususnya master list.

BP FTZ Batam kemudian memberikan dua kemudahan pada importir, yaitu menggunakan packing list sebagai dokumen pengecekan barang pengganti master list dan lembar tanda terima pengurusan izin usaha sebagai izin sementara pengeluaran barang dari pelabuhan.

Penggunaan lembar tanda terima pengurusan izin dan packing list masing-masing sebagai izin usaha sementara dan dokumen master list itulah yang kini tidak lagi diberlakukan. "Sekarang dua dokumen sementara itu tidak berlaku lagi," kata Rustam.

Importasi lancar

Di tempat terpisah, Ketua BP Batam Mustofa Widjaya membantah telah terjadi penumpukan bahan baku produksi industri galangan kapal dan offshore di Singapura dan Malaysia akibat ketatnya pemasukan barang ke kawasan FTZ Batam.

"Saya belum dengar. Setahu saya yang menyangkut bahan baku tidak ada masalah" ujar Mustofa kemarin.

Ketua Kadin Kepulauan Riau John Kennedy Aritonang sebelumnya mengungkapkan telah terjadi penumpukan bahan baku industri, khususnya di sektor galangan kapal dan offshore di Singapura dan Penang, Malaysia, akibat sulitnya memasukkan bahan baku tersebut ke Batam.

Bahkan kata John, penumpukan yang terjadi sudah mencapai 70% dari total kebutuhan industri sektor-sektor tersebut di Batam. Kondisi itu diperkirakan akan kian mengancam kelangsungan industri di kawasan FTZ Batam.

Namun, menurut Mustofa, hingga kini pihaknya belum menerima informasi adanya bahan baku impor yang terhambat masuk ke Batam atau perusahaan galangan kapal dan offshore yang menumpuk bahan bakunya di Singapura atau Malaysia.

Hampir seluruh perusahaan galangan kapal dan offshore yang beroperasi di Batam, katanya, telah mengantongi surat izin usaha dari BP sehingga tidak akan mengalami kesulitan dalam melakukan importasi dan mengeluarkan barang dari pelabuhan.

"Perusahaan-perusahaan galangan dan offshore juga sudah memasukkan bahan bakunya sesuai dengan kebutuhan. Jadi saya kira tidak ada yang tertumpuk di pelabuhan, apalagi di Singapura," ujar Mustofa.

Dia yakin pemberlakuan izin importasi sementara yang sempat dikeluarkan BP Batam selama 3 pekan lalu telah mampu mengantisipasi dengan baik potensi hambatan arus importasi dan pengeluaran barang-barang dari pelabuhan.

Monday, April 20, 2009

Industri di Batam mulai terancam, bahan baku tertumpuk di Singapura

Ketatnya syarat pemasukan barang impor ke Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam telah mengancam kelangsungan industri di kawasan tersebut.

Atas dasar efisiensi dan penghematan biaya, para importir kini tidak lagi menumpuk bahan bakunya impornya di pelabuhan resmi yang ditunjuk di Batam, tetapi menumpuknya di Pelabuhan Singapura atau Penang, Malaysia.

"Telah terjadi penimbunan bahan baku industri kita di Singapura dan Malaysia. Bahkan sudah mencapai 70% dari total kebutuhan industri Batam. Ini artinya, kelangsungan industri di Batam terancam," ungkap Ketua Kadin Kepri John Kennedy Aritonang, akhir pekan lalu.

Menurut dia, para importir yang sebagian besar adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pendukung migas dan galangan kapal yang beroperasi di Batam saat ini telah membuat gudang (warehouse) di Singapura.

Penumpukan itu dilakukan perusahaan guna menekan pembengkakan biaya operasional akibatnya sulitnya memasukkan barang ke Batam sejak pemberlakuan master list atau daftar barang yang akan dimpor selama setahun sebagai salah satu syarat utama pengeluaran barang.

Dengan situasi itu, menurut nya, tujuan penerapan kawasan FTZ di Batam, Bintan dan Karimun sudah tidak sesuai lagi dengan konsep kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas. "Ini karena adanya aturan keharusan pembuatan master list tersebut," katanya.

Kepala Badan Pengusahaan FTZ Batam Mustofa Widjaya sebelumnya menyatakan akan menyiasati birokrasi pengeluaran barang impor dari pelabuhan, yaitu dengan menunda pemberlakuan surat izin usaha yang diotorisasinya. (Bisnis, 6 April)

Daftar negatif

Lebih jauh, John menjelaskan, master list merupakan pembatasan yang secara sengaja diciptakan dari awal melalui peraturan Menteri Keuangan, sehingga aparat Bea dan Cukai tetap berperan di daerah pabean lainnya.

Kadin Kepri, katanya, sejak awal sudah menduga para pengusaha akan kesulitan dengan aturan pembuatan master list sejak FTZ mulai berlaku efektif pada 1 April 2009 dan dugaan itu menjadi kenyataan dengan banyaknya kesulitan industri kini.

Setelah melakukan pembahasan internal, Kadin Kepri, kata John, akan mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk menghentikan keharusan pembuatan master list dan menggunakan negative list (daftar barang impor terlarang) untuk pengawasan importasi.

"Negative list ini diterapkan di kawasan FTZ lainnya di dunia. Dengan begitu seluruh barang-barang diluar yang tercantum dalam negative list boleh masuk. Jadi pembatasannya bisa lebih jelas."

Tuesday, April 7, 2009

FTZ Batam..kawasan yang aneh!!! (bag. 2)

Dalam tulisan sebelumnya, kita sudah lihat potensi gesekan antara instansi vertikal di dalam pulau bebas ini. Nah, bagaimana dengan para pengusahanya? Dalam obrolan ringan dengan seorang teman yang bekerja di sebuah perusahaan pemasok alat manufaktur di daerah Muka Kuning, tergambar jelas bagaimana modus operandi yang mereka jalankan selama ini.

Tanpa perlu mengantongi izin importir, ternyata perusahaan temanku itu sudah bisa mendapatkan barang-barang impor dari Singapura dan Malaysia. Caranya, bekerjasama dengan perusahaan forwarder atau ekspedisi yang bolak balik membawa barang dari dan ke Singapura.

Aksi importir bodong ini jelas tidak sehat, dan tidak sehat lagi karena dibantu oleh jasa forwarder yang jadi makelar import barang dari luar negeri. Perusahaan temanku itu tentu tidak sendiri, ada puluhan bahkan ratusan perusahaan sejenis yang hanya bermodal SIUP dari Disperindag tapi bisa mendapatkan pasokan barang impor dari Singapura atau Malaysia tanpa perlu mengurus izin import atau angka pengenal impor yang diwajibkan.

Wajar saja, Dirjen BC Anwar Suprijadi gerah melihat kondisi ini dan mengeluarkan aturan wajib bagi para perusahaan yang ngakunya importir untuk segera mendaftarkan perusahaannya ke BC untuk mendapatkan Nomor Induk Kepabeanan (NIK) atau registrasi.
Alhasil, dari pendataan, ratusan perusahaan yang selama ini melakukan impor barang ternyata bodong alias tidak diketahui keberadaannya.

Upaya registrasi BC itu patut diapresiasi, sebab ada banyak perusahaan abal-abal yang menuntut fasilitas, seolah-olah merekalah yang paling dirugikan dari penerapan PP 63 dan FTZ ini. Sehingga ramai-ramai mereka menuntut agar PP 63 dicabut dan diganti dengan aturan yang lebih bebas.

Kini dengan aturan baru PP No 2 Tahun 2009 ini, seluruh perusahaan yang ingin melakukan kegiatna importasi wajib mendaftarkan diri. Apakah dia perusahaan asing yang sudah puluhan tahun atau perusahaan hantu blau yang baru muncul, sama saja, semua diperlakukan sama. Tidak ada lagi fasilitas khusus bagi PMA, semua sama.

PMA yang selama ini selalu melaporkan angka produksi, volume, dan jenis barang yang diimpor, termasuk barang reject kepada Bea Cukai, kini, hal serupa harus dilakukannya lagi di BP Batam.
Perusahaan perdagangan yang selama ini bermitra dengan penyelundup atau perusahaan forwarder untuk memasukkan barang, kini terpaksa harus mengurus sendiri izin impor nya lengkap dengan jenis dan jumlah barang yang mau dimasukkan. Berani melawan aturan, siap-siap kena denda jutaan rupiah.

Harus aku akui, selama ini mungkin kita beranggapan pengusaha adalah pihak yang palign dirugikan dalam aturan yagn aneh nan ajaib ini, dan menyalahkan BP Batam sebagai pihak yang tidak becus dalam mengurus FTZ ini. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Beberapa perusahaan juga ada yang nakal, seperti ilustrasi yang aku gambarkan di atas tadi.

Para perusahaan nakal yang selalu memanipulasi jumlah barang yang dimasukkan melalui jalur resmi dan bebas pungutan ini, tentu ingin menjaga kenyamanan yang selama ini dia terima. Sedikit saja ada gangguan, dia pun bereaksi menyalahkan aparat yang juga masih meraba-raba, ibarat orang buta berjalan dalam gelap. (Bayangin udah buta, dalam gelap pula).

Untung, BP Batam mulai jeli, aparat bisa membaca, mana saja perusahaan nakal itu. Tapi itu tadi, permasalahan yang dihadapai BP Batam bukan cuma dalam pengurusan izin dari importir semata, lebih dari itu, potensi masalah seperti gesekan dengan Pemkot Batam, BC Batam, dan instansi lain juga masih mengintai.
BP Batam tidak mau disalahkan bila ternyata implementasi Weird and Zonker FTZ ini tidak berjalan mulus sebagaimana diharapkan.
Lebih baik saling menyalahkan, biar sekalian publik makin pening...!!!

FTZ Batam..kawasan yang aneh!!!

Kemarin sore aku sempat chating dengan seorang temen yang lagi bete, dari obrolan itu banyak informasi penting yang muncul terutama menyangkut soal implementasi FTZ oleh Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).

Hal pertama yang aku tangkap adalah keberadaan BP Batam sebagai titik sentral dalam implementasi ini. Karena instansi itulah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pemberian izin, dan mengawal pembangunan di pulau bebas ini.
Tapi, kendati sebagai instansi vital, BP Batam tidak mendapatkan kewenangan sebagaimana yang dijanjikan dalam UU FTZ dan PP No. 2 Tahun 2009. Ternyata ada instansi lain yang masih belum rela melepas sebagaian kewenangannya kepada BP Batam.

Siapa insatnsi itu, ialah Pemkot Batam. Anda bisa bayangkan, bila 172 kewenangan diserahkan ke BP Batam, maka Pemkot Batam hanya tinggal kolor doang. Cuma berhak mengurus KTP, Akte KElahiran, dan Surat Kematian, serta aktivitas sosial belaka.
Anda bayangkan, dengan 2.000 lebih PNS di bawah Pemkot Batam, mau dikemanain bila sudah tidak ada kerjaan lagi.

So, akhirnya, tarik menarik kewenangan mulai terlihat. Saat ini, BP Batam baru mengeluarkan izin usaha impor untuk industri plastik, besi-baja, dan cakram optik. Sisanya, masih dikompromikan dengan Pemkot Batam.

Itu dari sisi perizinan, bagaimana dengan sektor lain. Hal kedua yang aku tangkap dari obrolan kemarin adalah permainan instansi horizontal dalam pengawasan pelabuhan tidak resmi.
Pemkot Batam adalah pihak yang paling pertama maju menolak penutupan pelabuhan tikus dan tidak resmi di luar tiga pelabuhan FTZ Batam (Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil). MEreka beralasan, Kawasan Batam dengan 300-an pulau masih membutuhkan pelabuhan rakyat ini sebagai akses mengatasi keterisolasian dari daerah lain.

Bah, alasan apa pula itu? Mengatasnamakan rakyat, padahal, pelabuhan rakyat dan pelabuhan tikus itu selama ini menjadi akses penyelundupan barang bekas dari Singapura. Barang bekas yang menurut Pemkot Batam menguasai nadi perekonomian masyarakat kelas bawah.

Sebuah pembenaran yang salah kaprah di wilayah FTZ. Bagaimana mungkin sebuah kawasan yang sudah menjadi FTZ tapi membolehkan akses pelabuhan yang tidak resmi yang sudah diketahui bersama sebagai akses penyelundupan dan praktik perdagangan ilegal.

Dan BP Batam, tidak bisa berbuat banyak. Mereka saat ini masih sibuk mengurusi izin import bagi perusahaan asing yang jumlahnya 800-an. Mereka berupaya agar kejadian 1 April tidak terulang, sebisa mungkin barang bisa dikeluarkan dan tidak terjadi hambatan di pelabuhan.

Trus bagaimana donk tugas mengawasi pelabuhan tikus yang "dilindungi" Pemkot Batam itu? ah, nanti dulu lah..masih banyak kerjaan nih..demikian kira2 jawaban BP Batam. Bisa jadi mereka juga enggan bersinggungan secara langsung dengan Pemkot Batam atau instansi lain yang bermain dalam praktek ilegal.
Kalo sudah begitu, apakah FTZ seperti ini yang diharapkan dan ditunggu-tunggu selama ini? Bagi para smuggler, ya inilah yang kita harapkan..Batam harus kembali bebas seperti dulu lagi, tanpa pengawasan, tanpa pajak, bebas merdeka, bagi praktek liar dan ilegal..

Pelabuhan Rakyat Boleh Beroperasi

Kendati hanya ditetapkan tiga pelabuhan resmi di Free Trade Zone (FTZ) Batam, Pemkot Batam memberikan pengecualian sejumlah pelabuhan rakyat (pelra) dan pelabuhan tikus.

"Kami sedang melakukan verifikasi pelabuhan rakyat dan pelabuhan tikus yang layak digunakan. Yang jelas, dalam pelaksanaan FTZ sejumlah pelabuhan rakyat ada yang masih kami operasikan," ungkap Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, kemarin.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cuka Anwar Suprijadi menegaskan akan menutup puluhan pelabuhan yang tidak ditunjuk sebagai pelabuhan resmi FTZ Batam secara bertahap guna mempermudah pengawasan arus barang dan memperkecil ruang gerak penyelundupan.

Sejumlah pelabuhan yang termasuk kategori tak resmi itu adalah pelabuhan rakyat, pelabuhan khusus, dan pelabuhan tikus.

Kebijakan Pemkot Batam memberikan pengecualian sejumlah pelra itu terkesan bertolak belakang dengan kemauan pemerintah pusat. Namun, pemkot punya argumentasi yang cukup kuat, yaitu memperlancar arus barang kebutuhan ke pulau-pulau lain di luar pulau yang ditetapkan sebagai FTZ.

Pada PP No. 46/2007 tentang Pelaksanaan FTZ Batam, pulau-pulau yang ditetapkan sebagai kawasan FTZ adalah Batam, Tonton, Setokok, Nipah, Pulau Rempang, Galang, dan Galang Baru.

Berdasarkan data pemkot, Kota Batam masih memiliki sekitar 393 pulau selain tujuh pulau yang ditetapkan sebagai kawasan FTZ. Sebagian besar berpenduduk dengan total ribuan jiwa.

Namun, Wali Kota Batam berjanji selektif untuk mengizinkan sejumlah pelra dan pelabuhan tikus beroperasi. Pemkot tidak akan memberi izin sekitar 41 pelabuhan rakyat yang saat ini beroperasi di Batam, karena banyak di antaranya tidak memiliki kelayakan fisik sebagai pelabuhan antarpulau.

Selain itu, sambungnya, dengan banyaknya pelra akan membuka peluang terjadinya aksi penyelundupan barang antar pulau, terlebih banyak di antara pelra itu tidak mendapat pengawasan yang memadai dari Bea Cukai dan pihak keamanan.

Buka isolasi

Wali kota menjelaskan pemkot berkepentingan tidak mengisolasi sejumlah pulau di wilayah Batam, terutama kelancaran arus komoditas kebutuhan masyarakat antarpulau.

"Dengan pengoperasian pelabuhan rakyat arus distribusi barang-barang kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang kehidupan lainnya tetap berjalan lancar, khususnya dari Pulau Batam ke pulau-pulau sekitar," ujar Ahmad.

Dalam hal ini, sambungnya, Pemkot Batam berkepentingan agar masyarakat yang berada di pulau-pulau lain ikut menikmati fasilitas dan peningkatan ekonomi yang sama dengan masyarakat yang tinggal di pulau yang ditetapkan sebagai kawasan FTZ.

Bahkan, jika dianggap perlu dan layak, pemkot juga akan melegalisasi pelabuhan tikus menjadi pelabuhan rakyat.

"Tapi pada tahun ini sebagian besar akan kami tutup karena tidak bermanfaat dan sangat mengganggu pelaksanaan FTZ di Batam," tegas Ahmad.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Diah Maulida meminta pembenahan pada tiga pelabuhan resmi FTZ Batam.

Dia mencontohkan Pelabuhan Batu Ampar yang belum jelas perbedaan antara titik ekspor dan titik impor, serta titik antar pulau, sehingga arus masuk dan keluar barang berpotensi terganggu dan menyebabkan keruwetan di lapangan.

Thursday, April 2, 2009

bukan BC, bukan BP, trus siapa donk??

Berikut ini percakapan via telpon antara saya dengan seorang pengusaha yang terjadi kamis sore kemarin.

"Sore pak, ini saya. Mau tanya-tanya dikit boleh ya pak?" sapaku memulai wawancara.
"Wah, kebetulan nih, ada banyak informasi yang harus anda muat," sambarnya cepat.
"jadi siapa yg bertanggungjawab atas kekakacauan tanggal 1 April lalu pak?" tanyaku.
"ya, BP Batam lah, mestinya mereka lebih siap sejak awal," ujar pengusaha itu.
"lho, bukannya barang ditahan oleh Bea Cukai pak?" lanjutku lagi.
"iya, tapi khan BC mengacu pada PP, jadi BC tidak salah," timpalnya.
"lalu, siapa donk yang salah?"
"ya, BP Batam, khan sudah saya bilang tadi. Ini bukti ketidaksiapan mereka menyambut FTZ pada 1 April lalu."
"Tapi pak, kok koran-koran lokal memberitakan suasana pelabuhan aman-aman saja tuh sejak pagi hingga malam. Tidak ada penumpukan apalagi pengusaha yang uring-uringan. Jangan-jangan, cuma bapak aja yang bermasalah?" ujarku.
"Ah, ga jelas itu. Anda lihat sendiri khan, saya ini saksi korban lho. Kontainer saya tertahan sejak tadi malam sampai siang ini. Bukan itu saja, perusahaan di Muka Kuning juga kelabakan dengan sistem yang baru ini. Itu namanya apa kalo bukan kekacauan?" sambungnya dgn nada tinggi.
"Iya sih pak, tapi harap maklum lah pak, namanya juga masih baru, pasti ada yg kurang di sana sini," kataku coba meredakan suasana.
"Bos, ini bukan soal maklum atau tidak, tapi profesionalitas sebagai pengelola kawasan bebas. Mestinya mereka siapkan diri untuk menyambut situasi seperti ini. Jangan menyalahkan juklak yang lamban diterbitkan. Sudah sejak januari sampai Maret, masak ga selesai juga perangkat organisasinya?"
"Bener juga ya pak, tapi khan, BP Batam mengaku sudah menyosialisasikan peraturan baru ini sejak Februari lalu. Artinya, mestinya kalo pengusaha lebih aware, kekacauan ini tidak perlu terjadi,"
"Ah siapa bilang, waktu itu mereka juga masih menunggu seperti apa aturan teknisnya. Jangan mengada-ada lah!"
"Tapi kalo menurut saya sih pak, BP Batam tidak juga bisa disalahkan, paling tidak, kita kasi kesempatan mereka untuk mengevaluasi dan membenahi diri," ujarku sok bijak.
"Lalu kalo bukan salah BP Batam, salah siapa donk..masak hantu yg disalahin," kata dia.
"hahahahahahaha..oke pak, terima kasih..,"

Bukan salah BP Batam???

Hari pertama penerapan status FTZ di Batam masih terdapat banyak kekurangan, terutama kesiapan aparat Bea Cukai dan BP Batam. Ratusan pengusaha baik yang mendatangi kantor Bea Cukai maupun yang menelpon terlihat panik. Barang-barang di pelabuhan tidak bisa keluar.

Akibatnya, barang-barang tertahan di pelabuhan, kapal boleh bongkar muat tapi tidak boleh dibawa keluar. Pengusaha uring-uringan, mereka menyalahkan aparat Badan Pengusahaan KAwasan FTZ Batam dan Bea Cukai Batam yang tidak siap melaksanakan peraturan baru di wilayah FTZ Batam ini.

Apa benar demikian? Kalau dilihat sekilas, implementasi hari pertama tanggal 1 April kemarin, jelas sekali tampak ketidaksiapan aparat. Perubahan peraturan dan keengganan melakukan sosialisasi kepada pengusaha menjadi faktor utama terjadinya kekacauan di pelabuhan kemarin sore.

Apakah memang semua kesalahan itu ditimpakan kepada BP Batam? Memang sih, BP Batam adalah institusi yang berwenang dalam menerbitkan izin usaha importir, dan mengatur jumlah serta jenis barang yang boleh dimasukkan ke dalam kawasan bebas Batam.

Tapi patut diingat, dengan waktu yang relatif singkat, BP Batam harus menyiapkan semua perangkat organisasi dan SOP untuk melayani proses penerbitan izin importir ini. Mengapa lambat? Ya, mari kita tanyakan ke Menteri Keuangan mengapa lamban menerbitkan KMK sebagai petunjuk pelaksanaan.
Trus, DEpkeu akan menyalahkan Istana Negara yang lamban mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2009, dan seterusnya..dan seterusnya..

Kalo demikian, itu namanya saling buang badan toh..
Yang jelas, kejadian 1 April itu harus dijadikan bahan evaluasi. Memang, BP Batam belum terbiasa mengelola kawasan bebas. Selama ini, mereka hanya mengelola kawasan berikat sebagaimana dulu diatur dalam KMK No. 825 tahun 1980. Jelas, peraturan dalam KMK 825 jauh lebih simple.

Karena masih baru, mestinya pengusaha dan publik bisa lebih arif menilai kemampuan sebuah institusi, dalam hal ini BP Batam. Mari kita berikan waktu bagi mereka membenahi diri. Kesalahan bukan untuk dihujat atau dimaki tapi diperbaiki bersama-sama.
BP Batam juga demikian, kalo merasa ada yang tidak dimengerti dalam tataran praktis dan pelaksanaan di lapangan, mbok ya nanya sama yang ngerti. Di Batam ini banyak kok orang pinter yang bisa dijadikan tempat bertanya, gratis pula.


Semoga, hari ini semua kesalahan bisa diperbaiki..barang-barang yang masih tertahan bisa dikeluarkan..so everybody happy lah..!!!

Hari Pertama FTZ Batam, BC dan BP Batam keteteran

Hari pertama implementasi status kawasan perdagangan bebas di Batam yang dimulai pada 1 April kemarin berjalan kacau balau. Sebanyak 10 unit kapal pengangkut kontainer dari Singapura tertahan tidak bisa bongkar muat barang.

Daniel Burhanuddin, Direktur PT Esqarada Indonesia, satu perusahaan forwarder di Batam, mengatakan kapal-kapal itu tertahan karena terlambat membayar fee pendapatan negara bukan pajak (PNBP) melalui bank.


“Setelah lewat jam 5 sore, kami tidak bisa lagi membayar PNBP, tadinya Bea Cukai beralasan sistem registrasi tidak beres, tapi setelah beres, ketika kami mau bayar, ternyata sudah terlambat,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.


PNBP merupakan fee yang disetorkan oleh pemilik barang senilai Rp30.000 per dokumen. Biasanya, sebelum ketentuan FTZ yang baru ini berlaku, pengusaha dibolehkan membayar secara berkala. Namun peraturan baru justru mewajibkan mereka membayar setiap hari sebelum jam 17.


Dia mengungkapkan saat ini terjadi penumpukan barang di pelabuhan karena barang yang sudah dibongkar dari kapal tidak bisa dikeluarkan dari pelabuhan. Kondisi ini terjadi sejak pagi kemarin.


“Hari pertaman implementasi FTZ di Batam malah kacau balau. Peraturan baru bukannya memudahkan tapi justru semakin merepotkan para importir,” papar Daniel.


Keluhan yang masuk ternyata tidak saja dari pengusaha forwarder, para pengelola kawasan industri di Muka Kuning dan Kabil juga merasakan betapa kacaunya sistem yang baru diterapkan mulai 1 April kemarin.


Daniel menilai kekacauan itu mengindikasikan belum siapnya Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam) sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam kelancaran arus keluar masuk barang.


Dia mengaku heran dengan sistem yang berlaku saat ini karena sama sekali tanpa sosialisasi kepada para pengusaha dan dipaksa untuk diterapkan. Akibatnya, pengusaha yang terlambat melakukan re-registrasi dan membayar PNPB terpaksa batal melakukan bongkar muat barang.

PT Esqarada mengklaim 30 unit kontainernya tidak bisa keluar dari pelabuhan pada malam ini dan harus menunggu hingga besok pagi.


Lebih parah


Bila dibandingkan dengan kondisi saat masih berstatus bonded zone atau kawasan berikat, Daniel mengakui kondisi saat menjadi free trade zone lebih kacau. Selain kurang sosialisasi, sistem yang dijalankan BP Batam juga belum berjalan optimal.


“Bila keadaan seperti ini terus terjadi, maka status FTZ tidak akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya ke Batam. Oleh sebab itu, instansi terkait harus segera memperbaiki kondisi ini,” tuturnya.


Sementara itu, Kurniawan, Humas KPU BC Batam, mengakui sejak kemarin pagi memang ada telpon dari banyak importir menanyakan barang tidak bisa keluar, jumlahnya sampai ratusan baik yang menelpon dan mendatangi kantor BC.


“Persoalannya adalah izin importasi dari BP Batam banyak yang belum keluar. Izin yang sudah dikeluarkan baru 118 izin dari 800-an importir yang sudah mengajukan izin registrasi ke BP Batam. BC sendiri akan memberikan izin keluar berdasarkan izin dari BP Batam,” tuturnya.


Pantauan di pelabuhan Batu Ampar, kontainer yang menumpuk di dermaga tercatat sekitar 42 kontainer dan belum dapat izin keluar dari pelabuhan. Menurut seorang sumber di pelabuhan, kondisi itu sering terjadi. Tidak ada penambahan tapi memang kondisi tidak jadi lancar.

Wednesday, April 1, 2009

April Mop..Hari Pertama Implementasi FTZ Batam kacau balau

Tadi sore seorang teman yang bekerja di sebuah perusahaan importir alat manufaktur mengeluh. Pasalnya, perusahaan tempatnya bekerja masih nyantai aja, padahal peraturan baru ekspor impor sudah dikeluarkan. Dia khawatir, dengan peraturan baru ini, pasokan barang dari Malaysia dan Singapura akan terkendala karena perusahaan tidak punya izin khusus alias tidak terdaftar sebagai importir.

Lho, kalo begitu, selama ini bagaimana dia mengimportasi barang dari Malaysia? Nah ini dia yang menarik. Ternyata, perusahaan ini berkolaborasi dengan perusahaan forwarding untuk memasukkan barang-barang dari luar negeri khususnya Singapura dan Malaysia. Ini mudah saja dilakukan karena selama ini perusahaan forwarding bisa berperan sebagai importir dan nyambi mbawa barang dari luar.

Sejak presiden mengesahkan PP No. 2 Tahun 2009 tentang Ketentuan Keluar masuk barang di wilayah FTZ dan dilanjutkan dengan petunjuk teknis berupa tiga buah peraturan Menteri Keuangan No. 46, 47, 48 tahun 2009 dan Permendag No. 12/2009 tentang Pelimpahan Kwenangan Penerbitan Perizinan di bidang Perdagangan Luar Negeri Kepada Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam, Bintan, dan Karimun, maka seluruh importir harus dan wajib mendatakan diri kepada BP Kawasan di daerah bersangkutan. Untuk Batam, harus mendaftar di BP Batam, begitu juga di Karimun dan Bintan.

Kasus di Batam ini sangat menarik. Di tengah euforia para importir dengan dicabutkan PP 63 Tahun 2003 tentang pengenaan pajak terhadap empat komoditi di Batam, alih-alih memudahkan, justru peraturan pengganti PP 63 itu justru memberikan aturan yang ketat kepada para importir.

Kini, para pengusaha perdagangan barang dan jasa yang terbiasa memasukkan barang melalui jalur ilegal terpaksa harus memperjelas status dan keberadaan perusahaannya. Selain meregistrasi dan mendaftarkan perusahaan, importir juga harus mendaftarkan jenis barang yang akan diimpor, kemana mau dipasarkan, dan berapa kuantitas barang yang diimpor.

Lebih ketat khan? Dan sudah barang tentu lebih rapi dari segi administrasi dan tentu saja lebih jelas mana importir abal-abal dan mana importir beneran.

Kembali ke persoalan temenku tadi. Jelas perusahaannya bukan importir dan harus menasbihkan diri dulu sebagai importir sebelum diperbolehkan memasukkan barang ke Batam. Dan forwarding yang biasa diajak kolaborasi juga harus memperoleh Nomor Importir Khusus (NIK) supaya proses importasi barang dari Malaysia bisa berlangsung aman tanpa dicegat Bea Cukai.

Mestinya, dengan sistem baru di Kawasan Perdagangan Bebas ini, kondisi bisa lebih baik dan lebih gampang. Tapi kenyataannya, suasana terkesan kacau balau dan dipaksakan. BP Batam hampir pasti belum siap, Bea Cukai juga sama. Akhirnya, terjadi penumpukkan barang di Pelabuhan Batu Ampar.

Kontainer yang masuk sejak tadi pagi tanggal 1 Apri ini (hari pertama berlakunya FTZ di Batam), masih menumpuk di dermaga penumpukkan karena pemilik barang tidak diperbolehkan memindahkan barang ke luar dari lokasi pelabuhan. Karena, dokumen dari importir masih bermasalah.
Alhasil, puluhan importir memadati Kantor Pelayanan Umum Bea Cukai Batam untuk mengurus re-registrasi dan verifikasi data importir supaya barang bisa segera keluar dari pelabuhan.

Kawasan khusus boleh terbitkan izin

Kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam, Bintan, dan Karimun diberi kewenangan mengeluarkan izin ekspor dan impor sejumlah komoditas tertentu mulai hari ini guna mempercepat pembangunan free trade zone (FTZ) itu.

Peraturan Menteri Perdagangan No.12/2009 tentang Pelimpahan Kewenangan Penerbitan Perizinan di Bidang Perdagangan Luar Negeri kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun itu, antara lain menetapkan izin ekspor kopi dan produk pertanian ditangani langsung oleh otoritas FTZ.

Kawasan bebas itu juga memiliki wewenang untuk memberikan perizinan impor terhadap sejumlah komoditas, antara lain besi dan baja, barang modal bukan baru, cakram optik, tekstil dan produk tekstil (TPT), minuman beralkohol, serta alat dan mesin pertanian.

FTZ Batam, Bintan, dan Karimun merupakan suatu kawasan yang berada di dalam wilayah hukum Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean, sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dan Cukai.

Selanjutnya Badan Pengusahaan Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun berwenang menetapkan eksportir terdaftar kopi, surat persetujuan kopi, dan penetapan eksportir terdaftar produk industri kehutanan.

Badan itu juga dapat menunjuk importir terdaftar (IT), importir produsen (IP), dan persetujuan impor barang modal bukan baru.

Yamanah A.C., Direktur Ekspor Komoditas Pertanian dan Kehutanan Depdag, menjelaskan kopi telah menjadi komoditas yang bebas untuk diperdagangankan. Tiga kawasan tersebut bukan sebagai penghasil kopi, sehingga untuk mengeskpor kopi perlu mengambil bahan baku dari luar Batam, Bintan, dan Karimun.

"Pengolahan kopi di kawasan BBK akan memberikan nilai tambah. Demikian juga dengan produk industri kayu," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.

Dia tidak mau memberikan penjelasan lebih lanjut terkait dengan dampak negatif dari pelimpahan pemberian izin kepada kawasan bebas itu.

Dia menambahkan peraturan itu belum pernah diterapkan sehingga masih harus melihat terlebih dahulu dampak implementasi di lapangan. Artinya, belum ada tes di lapangan. Permendag tersebut mengatur pencabutan wewenang izin jika ada penyalahgunaan wewenang itu oleh pengelola kawasan bebas itu.

Kewenangan izin itu dapat ditarik kembali oleh Menteri Perdagangan, sebagian atau seluruhnya, jika Badan Pengusahaan Kawasan mengusulkannya, dan dinilai tidak mampu melaksanakan kewenangan yang telah dilimpahkan.

Selain itu, izin ditarik lagi jika Dewan Kawasan mengusulkan kewenangan untuk ditarik kembali sebagian atau seluruhnya dan Badan Pengusahaan Kawasan tidak dapat melaksanakan kewenangan karena perubahan kebijakan Menteri.

Tata usaha


Arifin Lambaga, Presiden Direktur PT Mutuagung Lestari, perusahaan sertifikasi ekspor produk pertanian dan kehutanan, mengatakan izin ekspor produk industri kayu yang diberikan kepada ketiga kawasan bebas itu harus dibarengi dengan tata usaha perkayuan. Dengan demikian, sambungnya, dapat mengawasi pergerakan kayu dari berbagai daerah yang masuk ke kawasan perdagangan bebas itu.

"Selama ada pengawasan yang bagus, justru akan meningkatkan ekspor. Apalagi, jika dipusatkan dalam satu kawasan industri, dapat lebih efisien, seperti halnya industri di China," ujarnya.

Dia menjelaskan selama ini ekspor produk kehutanan didominasi oleh produk polywood dan woodworking seperti pintu, jendela lantai, dan meja.