Tuesday, January 22, 2008

FTZ Batam, It's The Real Phobia..(2)

Dear blogger,

Lanjutan dari diskusi sehari 'Dampak dan Mitigasi Penerapan FTZ BBK' yang digelar kemarin semakin menarik setelah Johanes Kennedy, Ketua Kadin Kepri tampil sebagai pembicara dalam session kedua.

Selain menyorot soal perbandingan kinerja ekspor dan penyerapan pasar kerja antara Batam dengan Kota Jababeka-Bekasi, dia juga melihat pentingnya perhatian para pengelola FTZ nantinya dalam penyediaan SDM tingkat madya.
"Apakah kita punya kesanggupan menyedia tenaga madya ini, di saat posisi Indonesia masih dalam level penyedia pembantu rumah tangga (maid) dan tukang las (welder) di Singapura dan Malaysia," ujarnya.

Menurut dia, untuk mencetak para tenaga madya, tidak ada jalan lain selain memperkuat Politeknik yang ada. Coba lihat Singapura, pada tahun 2008 ini, negara itu baru saja meresmikan universitasnya yang ke empat setelah 40 tahun merdeka.
Artinya, selama ini mereka memang memfokuskan diri dalam penciptaan SDM tingkat madya melalui pembangunan sekolah Politeknik yang mampu menjadi tulang punggung industrialisasi negara pulau tersebut.

Coba bandingkan dengan Batam, satu-satunya Politeknik yang kita miliki malah dilebur menjadi Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah). Bagaimana cara berpikir pejabat di daerah ini, yang ada diotak mereka hanya publisitas dan pamor tanpa memperhatikan substansi dari pendirian politeknik tersebut.

Tanggapan paling keras disampaikan oleh Ampuan Situmeang, Wakil Ketua Kadin Kepri bidang Hukum dan Etika Bisnis. Dia mengakui diskusi mengenai FTZ ini hanya menyisakan pemikiran hukum yang njelimet dan pesimistis.

"Apakah aturan hukum yang sudah disahkan ini bisa segera diimplementasikan atau apakah ini melanggar hukum atau tidak?" tanya dia.

Dia menilai republik ini sudah salah kaprah dalam sistem ketatanegaraannya. Bagaimana bisa sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) bisa melahirkan Peraturan Pemerintah (PP). "Walaupun Perppu No. 1/2007 sudah menjadi UU tapi itu khan lahir belakangan."

Pertanyaannya kini, mengapa aturan hukum yang sudah disahkan dan diberlakukan belum bisa menjadi landasan yang kuat dalam kelanjutan FTZ di Batam-Bintan-Karimun?
Contoh, soal Dewan Kawasan (DK) yang masih terbengkalai di Jakarta. Bagaimana FTZ bisa berjalan bila DK belum terbentuk dan Badan Pengusahaan Kawasan juga belum dibentuk.

Soal peralihan aset Otorita Batam menjadi Badan Pengusahaan Kawasan. Tidak ada aturan yang jelas baik dalam UU maupun PP No. 46/2007 yang mengatur soal peralihan aset ini. Padahal, aset OB adalah aset negara yang tercatat dalam perbendaharaan negara, tentunya perlu mekanisme yang njelimet bila akan dialihkan menjadi aset daerah.

Soal potensi konflik kewenangan antara BPK-FTZ dengan pemerintah kota/kabupaten di mana kawasan bebas itu berada. Sudahkah ini dipikirkan oleh pemerintah? Jawabannya belum.

"Yang paling ironis adalah mandeg-nya pembahasan soal FTZ ini karena adanya tarik menarik kepentingan politik di Jakarta. Bagaimana pulau ini mau maju bila pengambil kebijakan saja masih ribut," tuturnya.

Kesimpulan dari diskusi sehari itu selain soal ketakutan dan kekhawatiran akan kegagalan FTZ BBK, adalah kurangnya perhatian pemerintah pusat terhadap kelanjutan nasib BBK itu sendiri. Syamsul Bahrum, Asisten Ekonomi Pemkot Batam, menegaskan jangan tanya sebesar apa perhatian pusat terhadap FTZ Batam.

"Mereka hanya memikirkan Batam bila memang ada jadwal rapat yang membahas masalah ini, selepas itu mereka akan kembali disibukkan oleh persoalan lain yang masih menumpuk. Jadi, marilah kita sebagai penghuni Batam yang memikirkan nasib kita, jangan lagi kita berharap pada pusat," tandasnya.

Suasana PT Polestar


Dear blogger,

Tadi pagi, sekitar jam 10.30 gw bersama seorang teman iseng-iseng berkunjung ke PT Polestar Plastic Batam, PMA yang dikabarkan berhenti beroperasi dari Kawasan Industri Batamindo-Pulau Batam.

Tampak kerumunan karyawan di depan pintu masuk gedung menunggu namanya dipanggil oleh seorang karyawan lain yang memegang setumpukan kertas putih [mungkin berisi nama-nama karyawan yang akan menerima pesangon].

Dugaan ini diperkuat oleh pengakuan seorang sekuriti PT Polestar bernama Alferi. Dia mengatakan saat ini pengurus serikat pekerja masih sibuk memberikan daftar nama kepada karyawan yang berhak menerima pesangon.

Saking sibuknya, SPSI PT Polestar pun enggan menjumpai kami untuk wawancara. Kami hanya dibolehkan mengambil foto dari luar saja.

Monday, January 21, 2008

FTZ Batam, it's the real phobia (1)


dear blogger,

Ternyata benar, gak salah bila blog ini bernama Batam FTZ Phobia, karena memang ketakutan dan kekhawatiran saja yang tersisa sejak pemerintah pusat mengesahkan pulau Batam-Bintan-Karimun sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas alias free trade zone (FTZ).

Kesimpulan ini yang bisa dipetik dalam Diskusi Sehari 'Dampak dan Mitigasi Penerapan FTZ BBK' di Bandung Resto, tadi pagi hingga siang. Pembicara yang hadir antara lain: Syamsul Bahrum, Asisten Ekonomi Pemkot Batam, Rusliden Hutagaol, Kabiro Humas dan Pemasaran OB, dan Daeng Salamuddin, Direktur Institute for Global Justice-Jakarta.

Dalam sesi pertama diskusi, Syamsul dengan gamblang memaparkan berbagai tugas dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah pusat pasca pemberlakuan UU No. 44 Tahun 2007 tentang FTZ dan PP No. 46-47-48 Tahun 2007 tentang FTZ BBK.
Diantaranya soal regulasi yang belum tuntas, baik mengenai pembagian kewenangan antara Badan Pengusahaan Kawasan FTZ dengan Pemkot Batam, posisi pemkot sebagai representasi Otonomi Daerah dalam kawasan bebas, status lahan di Pulau Rempang-Galang, dan sebagainya.

"Dengan sistem eselonisasi saat ini, jelas posisi Badan Otorita Batam lebih tinggi satu tingkat dibandingkan pemkab/kota di Kepri, nah, apakah nanti setelah OB beralih menjadi BPK FTZ akan berada dibawah Pemkot Batam atau sejajar atau lebih tinggi? Ini harus diklarifikasi oleh pemerintah," ujar Syamsul yang juga menjabat Founding Centre Study for Public Policy (CSPP).

Selain soal regulasi, dia juga menyorot soal kewenangan antar institusi, zonasi kawasan bebas, insentif ekonomi yang belum tertuang jelas dalam UU dan PP, implikasi dari FTZ, dan ketersediaan sarana infrastruktur yang memadai seperti pelabuhan, bandara, air minum, listrik, dan sebagainya.

Dia pesimis dengan berbagai kondisi ini sehingga muncul kekhawatiran, bila nantinya FTZ Batam gagal menjadi motor pertumbuhan dan lokomotif ekonomi nasional maka bisa saja pemerintah mencabut status itu karena hanya ditetapkan dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP).

Hal yang sama juga dilontarkan oleh Rusliden Hutagaol. Menurut dia, bila status FTZ ini tidak kunjung diimplementasikan maka bukan tidak mungkin semua PMA yang ada di Pulau Batam akan hengkang dan pemodal akan berpikir dua kali untuk masuk ke Batam.

Johanes Kennedy, Ketua Kadin Provinsi Kepri yang menjadi pembicara pada sessi kedua, menegaskan dibandingkan Kawasan Jababeka di Bekasi, sebenarnya Batam masih jauh tertinggal.

"Dilihat dari kinerja ekspor dan angkatan kerja yang terserap, sebenarnya Batam belum ada apa-apanya dibandingkan Jababeka. Jadi, kita harus buktikan dulu bahwa status FTZ Batam ini benar-benar bisa memberikan manfaat bagi negara," ujarnya. (bersambung)

FTZ Batam-Bintan ditinggal PMA

Sebanyak tiga perusahaan modal asing berhenti beroperasi di kawasan perdagangan bebas (FTZ) Batam-Bintan pada Januari tahun ini.

Dua PMA masing-masing PT Polestar Plastic Batam dan PT Panasonic Battery Batam sebelumnya beroperasi di Kawasan Industri Batamindo dan satu PMA PT Escatec Mechatronic Indonesia beroperasi di Kawasan Industri Lobam, Pulau Bintan.

Informasi yang dihimpun menyebutkan PT Polestar asal Singapura mengakhiri operasinya di Batam atas alasan internal dan kondisi ekonomi global sehingga manajemen menilai perusahaan sudah tidak kompetitif lagi.

“Kenaikan harga bahan baku plastic menyebabkan perusahaan tidak sanggup lagi menanggung tingginya biaya produksi, sementara harga jual kepada para klien tidak berubah,” ujar seorang sumber kemarin.

Tanda-tanda bakal tutupnya perusahaan itu sudah terlihat pada 19 Desember lalu, manajemen memutuskan untuk menghentikan produksi. Keputusan yang mendadak ini membuat 400-an karyawan terkejut dan menggelar aksi menuntut pembayaran hak pesangon.
Setelah melalui perundingan, akhirnya pada awal Januari 2008 manajemen bersedia membayarkan gaji dan pesangon karyawan yang nilainya berkisar antara Rp7-11 miliar.

Sementara itu PT Panasonic Battery Batam asal Jepang juga menghentikan operasinya di Batam juga karena alasan internal dan ketidakmampuan perusahaan bersaing di pasar global.
Keterangan resmi perusahaan yang disampaikan kepada Otorita Batam terungkap pada intinya Panasonic telah menghentikan kegiatan produksi sejak tanggal 09 Januari 2008 dengan alasan telah terjadi penurunan pesanan yang sangat drastis dari konsumen.

“Karena produk mereka yaitu nickel battery, semakin sulit untuk bersaing dengan jenis lithium, dan produk battery nikel tidak mampu menurunkan harga jual dikarenakan bahan bakunya yang semakin mahal,” ujar Rusliden Hutagaol, Kabiro Humas dan Pemasaran OB dalam keterangan resminya.

Pihak manajemen Panasonic Battery Batam didampingi Pengelola Kawasan Industri Batamindo telah menyampaikan surat resmi dan melaporkan perkembangan perusahaan tersebut kepada Ketua Otorita Batam pada hari Selasa, 15 Januari 2008.

Keputusan penghentian kegiatan produksi ini dilakukan lewat keputusan para pemegang saham, dan pihak Panasonic memiliki komitmen kuat untuk melakukan penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban perusahaan dan karyawan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

Pada awal beroperasinya, perusahaan ini mempekerjakan hampir 1.000 orang karyawan namun hingga tutupnya perusahaan tersebut jumlah karyawan yang tersisa sebanyak 237 orang dengan karyawan tetap sebanyak 35 orang.

"Selama dua tahun terakhir, Panasonic telah menawarkan program pengunduran diri bagi karyawannya. Sebagian mesin juga ada yang dibawa ke China,” ujar Rani, seorang mantan karyawan Panasonic.

Dari KI Lobam, Pulau Bintan dilaporkan satu PMA asal Swiss PT Escatec Mechatronic Indonesia memastikan berhenti beroperasi pada Januari 2008 ini karena alasan tidak ada pesanan dari luar negeri.

Perusahaan dengan karyawan 437 orang ini melengkapi jumlah PMA yang hengkang dari KI Lobam menjadi lima PMA terhitung sejak 2007 lalu dan mengakibatkan tambahan pengangguran di Pulau Bintan sebanyak 4.000 orang.

Thursday, January 17, 2008

Dua PMA Hengkang dari kawasan bebas Batam


Dear blogger,

Sedih juga hati ini membaca berita lokal hari ini. "Dalam 20 hari, dua PMA hengkang dari Batam". Kok bisa ya? Udah gitu, Kepala Dinas Tenaga Kerja Batam Pirma Marpaung pake ngeles lagi, "Jangan bilang hengkang donk, kok seolah-olah kondisi di Batam sudah parah," demikian dia bilang.

Lha, emang dia ga sadar ya, kalo Batam emang sudah tidak kondusif lagi baik dari penyediaan infrastruktur sampai kesiapan payung hukum. Mana buktinya kalau Batam sudah lebih baik?
PP No. 46 Tahun 2007 tentang FTZ Batam pun sampai sekarang tidak jelas kapan diimplementasikan, rencana pembangunan Terminal Kontainer Internasional Batu Ampar juga tidak jelas, pembangunan jalan tersendat-sendat, mental birokrasi yang masih doyan melakukan praktek pungutan liar (pungli), birokrat yang gagal mengendalikan harga, aparat keamanan yang berkonspirasi melindungi para penyelundup, distribusi barang kebutuhan pokok yang amburadul sehingga harga semakin selangit, moda transportasi yang tidak terurus, mafia lahan yang semakin merajalela memicu hadirnya para rente tanah, konspirasi para pejabat Otorita, Pemkot, dan DPRD yang mengorbankan pelayanan publik demi pemasukan, jalanan berlubang dimana-mana, saluran drainase yang tidak selesai-selesai, kejahatan semakin meningkat, pengangguran bertambah, bla...bla...bla...

Sudahkan masalah-masalah itu dipikirkan oleh pak Gubernur, pak Walikota, pak Ketua??
Kalau sudah dipikirkan, apakah sudah dikerjakan dan diselesaikan??
Kalau sudah dikerjakan, apakah sudah ada perkembangan perbaikannya??

Semua bullshit...
Pemerintah daerah tidak bekerja, yang dipikirkan hanya bagaimana menghabiskan uang APBD saja. Mental birokrat kita memang tidak layak duduk dan mengurus kawasan perdagangan bebas. Tidak cocok, dan coba bandingkan FTZ-FTZ dunia lainnya, adakah birokrat di sana??
Kalaupun ada, mereka mendukung penciptaan iklim usaha yang kondusif, bukan semakin membuat runyam keadaan.

Komitmen yang ditunjukkan oleh birokrat hanya hiasan bibir saja, toh mereka tidak rela bila harus terpinggirkan oleh pengelola kawasan bebas ini.

Lalu apakah, Otorita Batam sudah layak untuk meneruskan pengelolaan FTZ Batam-Rempang-Galang??
Jika para 'maling' yang banyak berkeliaran di Direktorat Lahan, maka lebih baik OB dibubarkan saja. Lebih baik pemerintah membentuk lembaga baru bernama Badan Pengelolaan Kawasan Bebas Batam dan diisi oleh orang-orang eks OB yang masih mempunyai nurani dan kemauan untuk membangun pulau ini.
Bukan para mafia yang hanya memperjuangkan perut sendiri, tapi mengorbankan kepentingan rakyat dan institusi. Go to hell..

Kembali ke topik hengkangnya dua PMA dalam 20 hari terakhir ini, ini berarti warning bagi pemerintah daerah dan pusat agar lebih peka terhadap permasalahan yang dihadapi oleh para PMA tersebut. Baik yang disebabkan masalah internal, terutama masalah eksternal sebagaimana yang disebutkan di atas tadi.

Otorita Batam pun semestinya bisa lebih tanggap dalam menindaklanjuti informasi hengkangnya PMA ini dari Batam agar tidak terjadi kesimpangsiuran berita. Lha wong sudah jelas-jelas tutup, malah dibilang tidak tahu, belum konfirmasi, tidak ada pemberitahuan, dan bla..bla..bla..
Lantas kemana aja para staf BKPM OB atau Kantor Pelayanan Satu Atap? Mengapa mereka tidak pernah turun ke lapangan mendata PMA yang ada atau apalah..
Kalau masalanya keterbatasan SDM, toh mereka bisa meng-hired perusahaan swasta untuk melakukan pendataan.

Intinya keseriusan dan konsistensi. Konsistensi itu yang tidak dimiliki oleh para birokrat di pulau ini. Jadi siap-siap saja, PMA-PMA lainnya satu persatu hengkang dari pulau ini, mereka tidak peduli lagi dengan status FTZ atau apalah namanya..Karena memang sama sekali tidak ada keistimewaan dari status itu...

Kasihan betul pulau ini ye...

Wednesday, January 9, 2008

Don't go to Singapore, its expensive..

dear blogger,

Fungsi DPRD Batam dalam pengawasan tampaknya semakin dikebiri, pasalnya, kenaikan tarif air dan layanan publik lainnya ini luput dari perhatian dewan. Kemana saja mereka, apakah mereka pura-pura tidak tahu, atau ikut dalam konspirasi terselubung.

Tapi sepertinya mereka sengaja ditinggalkan, dari pada bikin ribut dan protes sana sini, lebih baik bila SK langsung diteken dan yang lebih penting, jatah Pemkot Batam diperhatikan, sehingga lempeng lah semua..

Setelah airport tax, seaport tax, tarif air, dan RS naik, kabar selanjutnya tarif seaport tax dari Singapura juga akan naik menjadi Sin$16. Sebelumnya, tarif yang dikenal dengan fuel surcharge itu dikenakan Sin$10, kemudian naik jadi Sin$12, tapi terakhir dinaikkan lagi menjadi Sin$16 (Rp106.000 dengan kurs Rp6.500/Sin$).

Bisa dibayangkan, untuk sekedar jalan-jalan setengah hari saja ke negari tetangga, kita harus menyiapkan uang dolar kurang lebih Sin$40 atau sekitar Rp260.000. Rinciannya, beli tiket two way Sin$15, bayar seaport tax di terminal Batam Centre Sin$7, dan bayar fuel surcharge di terminal feri Singapura Sin$16.

Padahal dulu, walaupun modal cekak, tapi masih bisa jalan-jalan hemat ke Singapura. Sekitar tahun 2005-2006, tiket masih bisa dibeli seharga Sin$12 two way (Rp73.000 dengan kurs Rp6.000/Sin$ waktu itu), seaport tax di Batam Sin$3 (Rp18.000), dan fuel surcharge di Singapura Sin$10 (Rp60.000). Total uang untuk tiket dan tax sekitar Rp150.000-an.

So, its getting expensive now..
Walau banyak yang komplain, tapi yang berangkat ke Singapura tetap banyak lho..
Ternyata para pelancong dari negeri ini tidak terpengaruh kenaikan harga seaport tax or fuel surcharge. Pokoke, bisa melancong ke Singapura, dan mborong belanjaan sebanyaknya.

Sungguh sebuah negara yang aneh, katanya negara miskin, tapi rakyatnya banyak yang bisa keliaran di Orchard Road. Katanya, sedang dilanda musibah, tapi yang buang uang di negara orang juga banyak.

Katanya negara sedang krisis, tapi DPR RI tetap dapat uang rapelan Rp39 juta per orang. Katanya....katanya...katanya...uh..sebel..

Tarif Layanan Publik di Batam meroket..(1)


Dear blogger,

Hari ini gw ingin curhat soal tarif layanan publik di Kota Batam yang naik serentak menjelang tutup tahun 2007 tepatnya pada bulan Desember lalu. Mulai dari tarif air bersih, tarif airport tax, seaport tax, dan rumah sakit.

Adalah Ketua Otorita Batam Mustofa Widjaja yang menjadi aktor tunggal dibalik kenaikan empat tarif layanan publik tersebut. Dimulai pada tanggal 5 Desember 2007, OB menaikkan tarif pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U) atau passenger service charge (PSC) Bandara Hang Nadim sebesar Rp30.o00,- (tarif sebelumnya Rp13.000).

Kemudian tanggal 17 Desember 2007 melalui SK No. 106/KPTS/KA/XII/2007 tentang kenaikan tarif air yang dikelola oleh PT Adhya Tirta Batam (ATB), dilanjutkan dengan SK No. 109/KPTS/KA/XII/2007 tentang kenaikan sea port tax menjadi Sin$7 (tarif sebelumnya Sin$3), dan SK No. 110/KPTS/XII/2007 tentang kenaikan tarif jasa dan fasilitas di Rumah Saki Otorita Batam (RSOB).

OB menjamin kenaikan itu akan berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pelayanan di bandara, terminal feri, rumah sakit, dan distribusi air bersih. Tapi apakah ada konsekwensi bila janji peningkatan pelayanan itu tidak terealisasi? Siapa yang akan mengawasi bila janji itu tidak dpenuhi?

Sulit menjawabnya, baik OB dan Pemkot Batam sudah setali tiga uang. Mereka melakukan konspirasi terselubung dibalik janji perbaikan pelayanan untuk mengeruk untung dari kenaikan tarif jasa layanan publik tersebut.

Otoritas pengelola Bandara Hang Nadim OB berjanji akan meningkatkan pelayanan di bandara dengan menambahkan ratusan troli barang, menambah monitor plasma untuk informasi penerbangan, dan lainnya.

Begitu juga pengelola terminal ferri juga menjanjikan hal yang sama. Peningkatan kualitas terminal sebagai pintu keluar masuk turis dari dan ke Singapura. PT ATB selaku penyedia air bersih sudah komitmen walaupun masih sebatas wilayah Batam Centre, dan RSOB juga berjanji perbaikan pelayanan medis semakin baik.

Namun dibalik itu semua, apakah kenaikan ini sudah tepat atau hanya akal-akalan dari OB dan Pemkot untuk menumpuk pundi pendapatan kedua instansi tersebut. Harus diakui, sebagai bandara internasional, Hang Nadim jauh dari kesan rapi.

Dari luar bisa terlihat betapa kesemrawutan bandara itu tidak teratasi oleh pengelola. Mobil-mobil menumpuk di depan terminal kedatangan dan keberangkatan mengganggu arus masuk dan keluar kendaraan yang menjemput atau mengantar penumpang.

Areal parkir tidak sepenuhnya dimanfaatkan. Jalur masuk kendaraan justru dipadati oleh mobil pejabat yang mengantar atau sedang menunggu si pejabat tiba. Akibatnya, mobil-mobil lain pun ikut-ikutan memadati lajur yang sama.

Di dalam, kita bisa kualitas toilet bandara yang jauh dari kesan internasional. Troli yang terbatas sehingga penumpang harus berebut untuk mendapatkannya. (Kemana saja pendapatan bandara selama ini, mengapa tidak pernah dibelikan troli?) Bila memang ingin meningkatkan pelayanan, tentu tidak perlu menunggu kenaikan tarif PSC.

Lantas bagaimana kondisi di terminal feri. Lebih parah..!!!
Coba lihat terminal feri batam center, kondisi sangat memprihatinkan. Areal parkir yang semrawut oleh taksi yang mencari penumpang. Begitu masuk ke dalam, jangan sekali-kali ke toilet, karena toiletnya bau pesing, kotor, dan tak terurus. Inikah terminal internasional?

Apakah kenaikan seaport tax akan menjamin toilet terminal akan kembali wangi seperti saat pertama terminal diresmikan?? Rasanya belum tentu..
Seperti yang sama bilang tadi, kenaikan ini cuma akal-akalan OB dan Pemkot Batam saja demi meraup untung belaka.

Bila OB berdalih mereka butuh dana segar untuk menutupi pengeluaran selama ini, lantas apakah pengeluaran itu sudah tepat sasaran sehingga perlu menaikkan tarif layanan publik? Kalau belum tepat, justru itu yang harus dibenahi bukan dengan mengorbankan masyarakat.

Kita jangan bicara Pemkot Batam deh, sudah pasti, jatah mereka dari kenaikan seaport dan airport tax hanya untuk menambah tebal pemasukan para pejabat saja. Mau mereka kemanakan dana bagi hasil itu? Untuk pembangunan, uh...bullshit..
Pemkot Batam tidak bisa bekerja, mereka hanya memikirkan kesejahteraan pegawai saja, tapi melupakan rakyat.
Buktinya mana, kalau memang pendidikan diperhatikan, mestinya sekolah gratis. Kalau memang kesehatan diperhatkan tentu biaya berobat sudah gratis dan tidak terpengaruh kenaikan biaya layanan di RSOB.

Tapi apa yang terjadi, mereka hanya memikirkan pemasukan-pemasukan dan pemasukan. Adakah mereka memikirkan untuk apa uang itu nantinya. Adakah program kerja mereka yang tepat sasaran? Lha wong untuk bangun jalan saja susahnya minta ampun...

Monday, January 7, 2008

Batam kian dijepit Integrated Resort dan Iskandar Development Region


Gutten Morgen, dear Blogger..

Topik kita pagi ini masih seputar nasib Pulau Batam yang kian tidak menentu. Tentu saja bandingannya dengan Singapura dan Johor Bahru. Ga mungkin khan kita bandingin pulau tercinta ini dengan Gunung Kidul??

Oke, lets talk about what our government have done to boost up economic growth in this island. The answer is not done yet. Why? Coba saja anda lihat sendiri, apa yang sudah dilakukan pemerintah baik pusat dan daerah untuk menggesa perbaikan iklim investasi di kawasan yang katanya sudah mendapat status free trade zone ini.

Mestinya, kalau pemerintah memang sudah bergerak, maka pembangunan infrastruktur sudah terlihat di mana-mana? Ini jangankan belanja modal yang butuh dana ratusan miliar, produk hukum dan instansi penanggung jawab pembangunan saja belum usai juga dibahas.

Jadi wajar saja, bila Pulau Batam semakin tertinggal dibandingkan Singapura dan Johor Bahru. Coba anda lihat di dua negara tetangga itu. Singapura sedang sibuk membangun Integrated Resort (IR) yang berisi dua kawasan resort kelas dunia plus wisata casino di Marina City. Begitu juga dengan JB, mereka sedang giat-giatnya membangun Iskandar Development Region (IDR) yang bakal menjadi one stop entertainment dan investment destination di semenanjung ini dan Asia.

Bila negara tetangga asyik menggarap pembangunan, Batam masih asyik memikirkan soal bagi-bagi pendapatan daerah dan soal Dewan Kawasan.
Betapa miris hati ini melihat tingkah polah pejabat pusat dan daerah. Tapi yang paling ironis ya di daerah. Adakah para pejabat itu berpikir untuk menggesa pembangunan di pulau ini? Kalau ada, mengapa yang diributkan masih seputar pendapatan. Bagi-bagi pendapatan seaport tax dan air port tax.

Apakah alasan OB menaikkan seaport dan airport tax itu sudah tepat? Belum tentu. Bila alasannya untuk menutupi pengeluaran, lantas apakah pengeluaran yang dikeluarkan selama ini sudah tepat sasaran?

Oke, let them fight for the tax.. Kita kembali soal, Singapura dan JB saja. Dua kawasan baru yang mereka bangun itu bakal menjadikan mereka semakin terang benderang bergelimang dolar.

Bisakah Batam mengambil manfaat dari kehadiran IR dan IDR itu? Ya, sebagai pulau dengan fasilitas seadanya mungkin wajar saja kita bertanya seperti itu, sebab tidak mungkin kita bisa mengalahkan dua kawasan baru tersebut. Yang ada, ya memanfaatkan saja lah, tak lebih.

Seperti apa? Nanti khan pasti banyak tuh turis yang masuk Singapura, nah bagi turis yang ga kebagian hotel di sana bisa menyeberang ke Batam mencari hotel murah plus bisa menggaet pelacur yang banyak beredar di panti pijat dan karaoke. Cukup dengan membawa Sin$500 saja, maka dua tiga pulau bisa terlampaui.

Manfaat lain? Paling-paling, para turis nyasar itu bisa dibawa keliling pulau ke Jembatan Barelang, Lokasi Pengungsian Vietnam di Galang, atau belanja barang murah di DC Mall atau Mega Mall. Trus mau apa lagi, mau disuguhkan tari-tarian rasanya tidak mungkin, sebab penari Melayu hanya hadir saat seremoni informal saja.

Mestinya ini yang menjadi perhatian pemerintah daerah, mulai memikirkan format pembangunan pariwisata dalam rangka menyambut beroperasinya IR pada 2009 mendatang. Tidak cukup dengan launching logo Visit Batam Year 2010, tanpa ada perubahan fundamental dari pemerintah dan pengusaha pariwisatanya.

Banyak hal yang harus dipikirkan. Memang ini bukan tugas Dinas Pariwisata saja melainkan tugas semua pihak pelaku pariwisata Batam. Sepanjang pemda tidak serius maka jangan harap tahun 2010 akan terjadi keajaiban.

Friday, January 4, 2008

Dewan Kawasan FTZ BBK hanya 10 orang

Dear blogger,

Ini informasi terbaru dari 'orang dalam' di salah satu departemen di Jakarta. Kasak kusuk mengenai struktur Dewan Kawasan FTZ BBK terjawab sudah. Saat ini, pemerintah sedang membahas komposisi DK yang terdiri dari 10 orang yakni Ketua Dewan Pembina DK (Menko Perekonomian) dan anggota masing-masing Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Dalam Negeri, dan Kepala BKPM Pusat.

Adapun Dewan Pelaksana terdiri dari Ketua Harian (Gubernur Kepulauan Riau), dibantu satu orang Sekretaris, dan anggota masing-masing Walikota Batam, Bupati Bintan, dan Karimun. Jadi total ada 10 orang yang akan duduk dalam struktur DK.

Lantas bagaimana nasib pejabat yang namanya kadung duduk dalam struktur yang diusulkan oleh Ismeth Abdullah, Gubernur Kepri beberapa waktu yang lalu. Beberapa pengamat menilai usulan itu hanya politik akomodatif dari sang gubernur untuk membuktikan bahwa Gubernur sudah berupaya melibatkan para pejabat Muspida.

Padahal Ismeth tahu, bahwa usulan pertama itu pasti ditolak oleh Presiden karena tidak mungkin para pejabat struktural, vertikal, dan legislatif duduk dalam DK. Struktur DK merupakan ranahnya eksekutif dan pusat yang berhak menentukan siapa saja yang duduk di dalamnya.

Ismeth sudah tahu itu dan dia pun sudah menyiapkan daftar nama dari kantong yang lain dan dipastikan skenario 10 orang DK ini yang akan disetujui Jakarta.

Lalu, dimana posisi Ketua Otorita Batam? Jelas, OB akan melebur menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Batam, demikian juga dengan badan sejenis yang akan dibentuk di Bintan dan Karimun.

Dalam usulan DK versi 25 orang, Ketua OB dimasukkan dalam struktur dan ini menunjukkan kesengajaan sang gubernur bahwa usulan ini tidak akan disetujui. Mana mungkin, Ketua OB yang notabene adalah badan pelaksana ikut-ikutan duduk dalam DK. Begitu juga dengan legislatif baik DPRD Provinsi maupun kabupaten/kota.

Bila DPRD ikut duduk dalam DK lantas siapa yang akan mengawasi kinerja DK dan BPK? Apakah mungkin DPRD yang jadi DK akan mengawasi DK dimana dia duduk di dalamnya? Apakaah tidak lebih baik bila DPRD tetap berada di luar sistem dan menjalankan fungsi pengawasan seperti saat ini?

Entahlah, sepertinya para pejabat di Kepri ini sangat berharap bisa duduk dalam struktur DK. Betapa tidak, DK ibarat mainan baru dan tentunya memiliki nilai prestisius bagi siapa saja yang terpilih untuk duduk di dalamnya.

Tapi kita tunggu saja, apa keputusan Jakarta. Apakah Presiden akan mengesahkan usulan 25 orang anggota DK atau kembali ke opsi pertama 10 orang saja?

That's why this blogger was here to deliver all information about FTZ.
Because, no longer it'll become FTZ phobia..

Thursday, January 3, 2008

UMK Batam 2008 Tidak Pro Investasi dan Lapangan Kerja

Dalam melakukan fotosintesa terhadap kinerja ekonomi Batam selama 2000 – 2005. Sebenarnya menyimpan misteri, bahwa di duga ”ekonominya keluar dari jalur ”, dimana ekonomi Batam dikenal pertumbuhan ekonominya ditopong oleh sektor industri dan perdagangan yaitu 80% dari sektor lainnya. Ternyata konstribusi Pembentukan modal tetap domestik bruto (PMDB) tumbuh 8%, disusul oleh konsumsi 7,5 % dan impor 7,3 % (kajian LIPI). Pertumbuhan sektor konsumsi yang bukan andalan, bukanlah merupakan sektor yang produktif dan apalagi pertumbuhan konsumsi yang dipicu oleh peningkatan impor barang konsumsi akan berdampak negatif pada sektor produksi domestik.. Batam perlu lebih focus pada upaya mendorong pertumbuhan investasi dan kegiatan ekspor untuk mengurangi penggangguran. Batam keluar dari jalur utamanya dengan lokomotif sektor industri sebagai mesin pertumbuhan, Batam : ”We are on the wrong track”.

Adanya korelasi positif dengan menurunnya kegiatan industri manufacturing 2000-2005, nilai ekspor komponen elektronik dari US$ 1,284.13 juta dengan porsi nilai ekspor 33% (2001) menjadi US $ 1,060.46 porsinya berubah menjadi 20,2 % atau penurunan US $ 223. 67 juta atau menurun 17 %. . ”Economic down grade” dibuktikan dengan penurunan lapangan kerja di sektor industri pengolahan dari 106.685 pekerja (2001) menjadi 92.266 pekerja (2005), menciptakan penggangguran sebesar 14.419 pekerja atau 13,5 %. Dan panganguran 2006 sebesar 11.773 nager dan Agustus 2007 sebesar 10.110 naker, itu yang tercatat di disnaker kota Batam.Keadaan ini selalu di artikan lain oleh penguasa setempat, dengan alasan penurunan order, padahal kenyataanya perusahaan sudah hengkang. Lebih tidak manusiawi lagi kasus Livatech, Singa Com dan Singamip, hengkang dengan tidak menyelesaikan uang pesangon pekerja.

Upah minimum Batam Tertinggi di beberapa Kota di Asia

Menjadi perhatian kita bersama, bahwa upah minimum Batam dibanding dengan kota lainnya di Asia lebih tinggi, dan ini tidak dimaklumi oleh pemerintah sebagai komponen Tripatrit. Pertumbuhan UMK Kota Batam dari 2003-2007 dari Rp. 555.000 menjadi Rp.860.000, meningkat 55% atau rata-rata per tahun meningkat 11 %. Dan anehnya pada saat keadaan genting dan krisis minyak tahun 2005 inflasi 14,79%, UMK di paksa meningkat 28,3 %, artinya putusan pemerintah membuat ” lonceng kematian” investasi yang membuka perluasan penggangguran di Batam. Hasil kajian Timnas KEK dalam persiapan FTZ di BBK memberikan gambaran upah minimum di Batam tertinggi di Asia.Harus ada upaya untuk memperhatikan kompetisi dalam menarik investor ;

Komponen yang besarannya significant terhadap konstribusi KHL mencapai 50 % s/d 60%, seharusnya secara pararel adanya insentif yang diberikan kepada komunitas pekerja berupa penyediaan rumah susun sewa (Rusunawa) murah dan transportasi murah bagi pekerja, jaminan asuransi serta adanya jaminan stabilitas harga, sebagaimana pelaksanaan kawasan khusus di beberapa negara pesaing.. Tujuannya untuk memelihara tingkat persaingan dengan kawasan sejenis.Peluang industri manufacturing masih cukup besar, sepanjang kita dapat mengeliminasi sevent issues yang disampaikan para investor dan juga di kritisi dalam pertemuan Joint Stering Committe (JSC) di Singapore 1 September 2006, antara lain 1) Ekonomi biaya tinggi , 2) Kelancaran custom, kelancaran/keamanan barang dan manusia 3) Biaya Transportasi dan pelabuhan yang tinggi , 4) Insentif pajak dan pembenahan aparat pajak 5) Hubungan industrial yang harmonis 6) Upah minimum yang predictable 7)Kebijakan yang pasti.

Keputusan UMK yang paradoks, memaksa perlawanan hukum

KHL bukan parameter tunggal dalam memutuskan UMK, dilaksanakan dengan pentahapan. Dalam unsur KHL terdapat tanggung jawab pemerintah yang equivalent sebesar 20% (kajian Apindo). Parameter lainnya ; Pertumbuhan ekonomi, inflasi, pasar kerja, upah sekitar (membandingkan regional, nasional, global) Batam sudah tertinggi, sektor marginal dengan kemampuan Rp. 534.000 dan kelanjutan usaha. Celah yang paradoks antara lain ; 1) KHL Rp. 1.043.000 yang di ambangkan, membuat usulan pekerja jauh diatas KHL Rp.1.150.000 dan pengusaha Rp.872.040 menuai hambatan dalam perundingan 2) Walikota membentuk Tim di luar Dewan Pengupahan, sudah tidak sejalan dengan mekanisme per undang-undangan 3) Angka tengah Rp. 960.000 tidak menunjukkan data kajian dengan peningkatan Rp. 100.000 dari UMK 2007 sebesar Rp. 860.000 atau meningkat dua digit yaitu 11,6%, jauh diatas angka inflasi 3,5 %.

Dengan memperhatikan bahwa keputusan yang paradoks di usulkan kepada Gubernur, selain akan menyulitkan dunia usaha dalam pra kondisi FTZ dan pengaruh harga minyak dunia serta akan mematikan kelanjutan investasi dan mengancam meningkatnya penggangguran maka jalan yang terbaik adalah mempertahankan hak hidup berusaha melalui jalur hukum dengan PTUN. Ini jalan yang berat untuk di ambil karena dipaksankan, akhirnya terpaksa dilaksanakan.

Dikutip dari artikel Abdullah Gosse, pengurus Apindo Kepri

Wednesday, January 2, 2008

Batam Terjepit Dua Zona Waktu (2)

Batam dan Singapura memang dibelah oleh zona waktu yang berbeda. Singapura lebih cepat satu jam dibandingkan Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Padahal, jarak tempuh ke negeri Singa itu hanya 45 menit dengan menggunakan ferry.

Jadi pukul 23.00 di Batam berarti pukul 24.00 di Singapura. Tampaknya pengelola A1 mengerti, setelah pukul 23 WIB, pesta kembang api akan dilanjutkan pada pukul 24 WIB. Acara live pun dilanjutkan. Kali ini si penyanyi membawakan lagu Mandarin, menyesuaikan dengan pengunjung yang mendominasi pujasera itu.

Setelah kenyang, kami pun beranjak dari A1. Kami berpisah, saya dan istri memutuskan untuk menjelajahi wilayah Batam Centre sebelum kembali ke Pulau Kapuk (alias tidur). Dan seperti diduga, kawasan Batam Centre macet total. Konsentrasi massa terlihat menumpuk di Engku Putri dan Mega Mall. Bahkan jalanan yang menuju ke dua lokasi itu macet oleh mobil dan kendaraan roda dua.

Sadar akan kemacetan yang tak terperi, kami memutuskan untuk balik body dan meninggalkan lokasi itu yang konon akan menyuguhkan pesta kembang api nan apik. 'Dari pada terjebak macet dan makin kesal, lebih baik pulang," demikian pikir saya.

Jam sudah menunjukkan pukul 23.15, artinya sebentar lagi akan memasuki Tahun Baru 2008. Tapi kami masih dalam perjalanan pulang. Kami baru sampai di rumah pas pukul 24.0o, dan kami pun melewatkan momen kembang api.

Walaupun melewatkan momen Tahun Baru pukul 24.00, setidaknya kami sudah lebih dulu larut dalam pesta Tahun Baru pukul 23.00.

Dari siaran televisi lokal, kami masih bisa menyaksikan pesta kembang api di dataran Engku Putri dan Mega Mall. Memang benar, kembang api yang disuguhkan sangat enak dipandang..rasanya nyesel juga ga ada di lokasi.

Selamat Tahun Baru 2008, Selamat Tinggal Tahun 2007..
Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan..
Kepada Pemkot Batam, jangan cuma pandai buat pesta kembang api, masih banyak tugas yang belum kerjakan..
Tahun ini, kinerja-mu harus lebih baik..jangan ada lagi jalan-jalan yang berlubang..
Jangan lagi ada alasan tidak ada anggaran, tapi buat kembang api masih bisa direalisasikan.

Tuesday, January 1, 2008

Batam Terjepit Dua Zona Waktu

Batam, 31 Desember 2007 pukul 22.15. Jalanan di down town Nagoya terlihat lengang. Penumpukan massa terkonsentrasi di beberapa lokasi seperti Harbour Bay Food Court, Dataran Engku Putri, Pantai Pasir Putih, Tanjung Uma, Marina WaterFront City, dan Pantai Nongsa.

Dari rumah, saya memutuskan untuk menuju Harbour Bay Food Court karena konon kata orang dari lokasi itu kita bisa melihat kembang api Tahun Baru di Singapura. Antara percaya dan tidak, tapi hati ini tetap memutuskan untuk berkunjung ke tempat itu.

Perkiraan awal, masyarakat akan tersedot ke Engku Putri atau Mega Mall di Batam Centre, tapi dugaan itu salah karena Harbour Bay juga dipadati masyarakat yang juga punya niat yang sama dengan saya. Akhirnya, setelah berputar-putar tiga kali, tidak satu pun kursi kosong bisa ditemukan.

Saya dan istri pun memutuskan untuk beranjak dari tempat itu dan menuju Nagoya. Niat pun berubah, tidak lagi ingin melihat pesta kembang api melainkan mencari tempat makan Mie Ekonomi. Pilihan jatuh di Pujasera Okky yang berada di depan Pujasera A1 (Happy Pub). Beruntung suasana sepi di sana, sehingga acara makan Mie Ekonomi berlangsung sukses.

Setelah kenyang, kami pun berpindah ke Pujasera A1 untuk bergabung dengan teman-teman. Dan seperti yang sudah terlihat dari luar, pujasera itu dipadati orang yang ingin makan dan merayakan Tahun Baru. Kursi-kursi dipadati oleh wisman asal Singapura yang didominasi oleh etnis China. Hanya sedikit tamu dengan wajah lokal, termasuk saya, istri, dan teman saya.

Alunan musik live yang dilantunkan oleh penyanyi asal Jakarta membuat suasana semakin meriah. Mulai dari lagu dangdut sampai lagu Mandarin dibawakan oleh si penyanyi yang tampil lumayan seksi. Pengunjung pun tak sungkan memberikan amplop sembari berjoget di depan panggung.

Kami pun asyik dengan obrolan sambil menikmati hidangan kepiting, ayam goreng, sup ikan, dan es longan. Dan saya yang duduk membelakangi panggung terpaksa harus bolak balik badan untuk melihat si penyanyi menggoyang-goyangkan badan dan menyibakan rambutnya.

Jam baru menunjukkan pukul 22.50, dan tiba-tiba, dari belakang panggung kembang api ditembakkan ke udara berulang-ulang. Di tengah kerumunan, para wisman Singapura serentak membunyikan terompet sembari mengucapkan teriakan"...Happy New Year..."

Whadda hell, what time is it?? Kami kaget sesaat, sebelum sadar ternyata di Singapura saat yang bersamaan sedang merayakan Tahun Baru 2008. Dua screen besar menayangkan secara langsung pesta tahun baru di Vivo City Singapura. Kembang api semakin semarak di atas langit yang masih kosong. Dari kejauhan terdengar bunyi-bunyi letupan kembang api, hampir dipastikan saat itu beberapa lokasi di Batam tengah merayakan Tahun Baru 2008 pada pukul 23.00.