Thursday, October 22, 2009

15 Pelsus di Batam terancam ditutup

Sebanyak 15 pelabuhan / terminal khusus yang beroperasi di Kota Batam terancam mengalami penutupan operasional karena hingga kini pihak pengelola belum mengajukan perizinan ke Kantor Pelabuhan.

Rocky Achmad, Kepala Kantor Pelabuhan Batam, mengungkapkan belum semua pengelola pelabuhan / terminal khusus (pelsus) mengajukan permohonan perizinan.

“Masih ada 15 pelabuhan lagi yang belum mengajukan perizinan,” ujarnya, kemarin.

Meskipun tidak memerinci perusahaan pemilik pelsus tersebut, namun dia mengatakan mereka akan mengalami penutupan operasional karena tenggat waktu yang diberikan oleh Dephub tinggal dua hari lagi.

Pada Agustus 2009 lalu, Sunaryo, Dirjend Perhubungan Laut, menegaskan kepada para pengelola pelsus di kota itu untuk segera mengurus perizinan karena batas waktu kebijakan sunset policy berakhir hingga 22 Oktober 2009.

Kebijakan itu sendiri dikeluarkan khusus untuk Provinisi Kepri karena banyaknya pelsus yang sudah beroperasi meskipun belum mengantongi izin, khususnya di kawasan industri galangan kapal Tanjung Uncang.

Sunaryo mengancam jika sampai dengan tanggal itu masih ada pengelola pelsus yang belum mengajukan perizinan maka pelabuhannya akan ditutup.

Per September 2009, Hubla mencatat ada 37 pelsus di daerah itu belum mengantongi izin dimana hampir seluruhnya digunakan untuk penunjang industri galangan kapal dan pendukung perminyakan.

Al. pelsus milik PT Tirta Artamina, PT Sumatera Timur Indonesia, PT Hasibel Nusantara, PT Daily Express, PT Batamindo Executive, PT Batamec / Batamans Jala Nusantara, PT Batam Expressindo Ship dan PT Bandar Abadi, PT Batam Mitra Sejahtera.

Kemudian pelsus milik PT Sintai Industrial Shipyard, PT Basindo Utama Karya, PT Batam Bahari Katulistiwa, PT Balcon Teknindo, PT Cahaya Nusantara Gemilang, PT Dharma Samudra Fishing dan PT Palindo Marine, PT. CitraShipyard dan PT Karyasindo Samudra Biru,

Berikutnya pelsus milik PT Latoka Eka Prasetya, PT Natwell Shipyard, PT Kacaba Narindo Laksana, PT Karya Pribumas, PT Batam Slop & Slop Sludge, PT Bintang Develatama dan PT Cahaya Fortuna Bahari, PT Sinbat Precast dan PT Pacific Atlantic

Lalu pelsus milik PT Jasindo Utama Raya dan PT Mustika Mas Sejati, PT Shopidak Industries, PT Batam Traiding, PT Skip Hilir Shipyard, PT TJK Power, PT Jagad Energy, PT Karya Tekhnik Utama, PT S & B Investama dan PT Bandar Abadi Shipyard.

Siap eksekusi
Rocky Achmad mengatakan Kanpel Batam saat ini sudah mempersiapkan diri untuk melaksanakan instruksi penutupan dari Departemen Perhubungan.

“Kami siap melaksanakan perintah penutupan karena yang melaksanakan kebijakan itu Dephub dan kami sebagai pelaksananya,” tegas Rocky.

Menurutnya, eksekusi penutupan itu merupakan bagian dari upaya penertiban pelsus yang telah dicanangkan oleh Ditjend Hubla di daerah itu sepanjang tahun ini.

Pelsus yang sudah ditutup, katanya, tidak diperkenankan lagi untuk melakukan aktivitasnya hingga pemilik atau pihak pengelolanya mengatongi izin.

“Tapi itu sulit karena mereka tidak akan mendapat kemudahan lagi oleh sunset policy, begitu juga untuk pelsus yang baru,” imbuhnya.

Artinya, mereka tidak boleh beroperasi terlebih dahulu sebelum izinnya keluar, berbeda dengan adanya sunset policy dimana mereka diperkenankan untuk tetap mengoperasikan pelsusnya sambil mengajukan perizinan.

Karena itu dia meminta kepada para pengelola yang belum mengajukan izin untuk segera melakukannya sehingga tidak mengalami penutupan operasional.

Kanpel sendiri, katanya, sejauh ini sudah melakukan sosialisasi dan upaya persuasi yang maksimal kepada para pengelola pelsus yang belum mengantongi izin.

Upaya sosialisasi dan persuasi itu a.l dilakukan dengan membuat pemberitahuan di media-media lokal dan menggelar berbagai pertemuuan dengan para pengelola pelsus.

Apalagi kebijakan sunset policy dari Ditjend Hubla sudah berjalan selama hampir tiga bulan sehingga menurutnya tidak ada lagi alasan bagi pengelola pelsus untuk tidak mengurus izin.

HUT OB ke 38 atau HUT BP Batam pertama..

Kalo tidak ada halangan, pada Selasa pekan depan akan dilaksanakan upacara peringatan hari ulang tahun oleh Otorita Batam/Badan Pengusahaan Kawasan Batam. Tapi masih belum jelas, apakah upacara itu memperingati HUT OB Ke 38 atau HUT BP Batam ke-1??

Oktober tahun lalu saat peringatan HUT OB ke 37, memang belum ada kepastian apakah saat itu merupakan upacara HUT OB yang terakhir karena institusi itu harus beralih menjadi badan pengusahaan kawasan bebas.

Tapi bila peringatan HUT dilakukan setiap Oktober maka itu berarti upacara HUT OB, karena konon OB ini lahir pada Oktober 1971 tepatnya pada tanggal 26 Oktober 1971 saat keluarnya Keppres No.74/1971 yang menetapkan Batu Ampar sebagai daerah industri berstatus entreport partikulir, sekaligus pembentukan Badan Pimpinan Daerah Industri Pulau Batam yang bertugas merencanakan dan mengembangkan pembangunan industri dan prasarananya, menampung, dan meneliti permohonan izin usaha untuk diajukan ke pejabat terkait, dan mengawasi proyek industri.

Bila HUT nya masih diperingati berarti OB masih ada donk dan belum bertransformasi menjadi BP Batam. Lalu, kapan ultah BP Batam akan dilaksanakan?

Jika melihat pengesahan PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam, maka bisa diasumsikan BP Batam memperingati ultah pada 20 Agustus 2007 bertepatan dengan saat disahkannya PP tersebut.

Atau HUT BP Batam bertepatan dengan keluarnya SK Dewan Kawasan bernomor: KPTS/6/DK/IX/2008 tentang Susunan BP Batam pada September 2008 lalu. Atau, bertepatan dengan pengesahan status FTZ Batam, Bintan, Karimun oleh Presiden SBY pada 19 Januari 2009 lalu?

Ga jelas, tidak ada momentum yg jelas untuk dijadikan sebagai hari jadinya BP Batam. Toh, proses peralihan dari OB ke BP Batam pun juga tidak jelas kapan terjadinya.

Jadi, pada 26 Oktober 2009 mendatang, yang pasti OB akan melakukan upacara peringatan ulang tahunnya ke 38. Mengapa? Ya karena lembaga itu masih ada dan belum beralih menjadi BP Batam.

Seperti kata Mustofa Widjaja, Ketua OB plus Kepala BP Batam. "Saat ini ada dua lembaga, yaitu OB dan BP Batam. Jadi OB belum bubar." OB juga masih dapat APBN untuk pembiayaan proyek fisik, begitu juga BP Batam juga ada alokasi APBN untuk pembiayaan proyek.

Nah, kita tunggu aja..kira2 apa yang jadi tema HUT tahun ini..Kalo tahun lalu, OB mengusung profesionalisme pegawainya melalui implementasi e-gov. Walaupun tema ini masih diperdebatkan karena tidak ada peningkatan kualitas profesionalisme pegawainya walaupun sudah e-gov.

Mungkin tahun ini, temanya kira2: "Melalui pembangunan Pusat Teknologi Informasi Batam, kita kurangi anggaran jalan-jalan dan perjalanan dinas pejabat ke luar kota karena rapat cukup melalui teleconference."

Ini bukan becanda lho, negara ini sudah menghabiskan dana Rp250 miliar untuk membangun proyek e-gov di Batam yang artinya seluruh aktivitas pekerjaan di institusi itu sudah paperless, e-office, e-procurement, dan tentu saja e-meeting alias teleconference.

Kalo ngakunya sudah e-gov, ga ada lagi yg namanya meeting rame-rame ke jakarta plus main golep. Semua cukup dilakukan di gedung TI yang dibanggakan itu. Tidak ada lagi biaya perjalanan dinas atau apapun namanya sepanjang masih bisa dilakukan via internet. Semoga semangat e-gov ini bukan ngecap doank!!

Wednesday, October 21, 2009

Otorita Batam dan BP Batam, apa bedanya???

barusan ada seorang pengunjung blog saya bernama Rahayu mengirimkan sebuah pertanyaan, sbb:
"pak, saya mau tanya.
apa perbedaan Otorita Batam dengan Badan Pengusahaan Kawasan Batam?
apakah otorita batam masih ada sekarang? atau sudah digantikan keseluruhan tugas dan wewenangnya oleh Badan Pengusahaan Kawasan?
terima kasih pak."

Terima kasih atas pertanyaannya bu Rahayu..
Secara fungsi, tidak ada perbedaan antara Otorita Batam (OB) dengan Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam). Kedua lembaga itu bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pembangunan pulau ini.

Namun secara kelembagaan, OB dan BP Batam jelas berbeda. OB dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden pada era Presiden Suharto. Perjalanan panjang selama tiga dasawarsa di Batam dimulai dengan keluarnya Keppres No.65/1970 ketika Ibnu Sutowo selaku dirut Pertamina pada era 1970-an diperintahkan untuk mendirikan basis operasi dan logistic Pertamina di Batam.

Kemudian, pada 26 Oktober 1971 keluar Keppres No.74/1971 yang menetapkan Batu Ampar sebagai daerah industri berstatus entreport partikulir, sekaligus pembentukan Badan Pimpinan Daerah Industri Pulau Batam yang bertugas merencanakan dan mengembangkan pembangunan industri dan prasarananya, menampung, dan meneliti permohonan izin usaha untuk diajukan ke pejabat terkait, dan mengawasi proyek industri.

Selanjutnya berdasarkan pada kajian Nissho Iwai Co. Ltd dari Jepang dan Pacific Bethel Inc. dari Amerika merekomendasikan Batam sebagai pusat industri petroleum dan petrokimia dengan pertimbangan pada awal dasawarsa 70-an, minyak dan gas adalah komoditi unggulan ekonomi Indonesia.

Kajian dua lembaga asing itu diperkuat dengan Keppres No.41/1973 yang menetapkan seluruh pulau Batam sebagai daerah industri dan membentuk Otorita Daerah Industri Pulau Batam (Otorita Batam).

Tugas yang diemban Otorita Batam antara lain mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industry dan kegiatan alih kapal, merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha dan menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus investasi asing di Batam.

Sejalan dengan keluarnya PP No.20/1972 tentang aturan Bonded warehouse, maka diterbitkanlah Keppres No.33/1974 tentang penetapan kawasan Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil sebagai gudang berikat atau bonded warehouse.

Ketika minyak dan gas tidak lagi menjadi produk unggulan ekonomi Indonesia, maka diusulkanlah rencana induk Pulau Batam sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional dalam sector industri berdasarkan kajian Crux Co. dari Amerika pada 1977. Sekaligus penugasan Otorita Batam sebagai penguasa pulau ini sejak 1977.

Pembangunan Batam memasuki decade ke dua ditentukan dengan keluarnya Keppres No.41/1978 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse. Pada tahun itu ditandai dengan munculnya Teori Balon yang dicetuskan oleh BJ Habibie setelah bertemu dengan PM Singapura Lee Kuan Yew.

Semangat teori Balon itu adalah menjadikan Batam sebagai basis pertumbuhan ekonomi baru dengan memanfaatkan tumpahan industri dari Singapura. Diibaratkan Singapura sebagai sebuah balon besar yang terus menggelembung maka di siapkan daerah-daerah di sekitarnya sebagai balon-balon kecil yang mendapatkan suntikan angin dari balon induk.

Keppres 41/1978 itu semakin diperkuat oleh Keppres No56/1981 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse ditambah dengan lima pulau sekitarnya meliputi Kasem, Moi-Moi, Ngenang, Tanjung Sauh, dan Janda Berias.

Pada masa penugasan Otorita Batam tahun 1979, disusunlah sebuah master plan oleh Departemen Pekerjaan Umum yang menetapkan empat fungsi utama pulau Batam yakni sebagai kawasan industri, free trade zone, alih kapal, dan pariwisata.

Nah dari sekian banyak Keppres itu, Keppres No.41/1973 dianggap sebagai pondasi awal terbentuknya Otorita Batam hingga Keppres terakhir yang terbit pada 2005 untuk memperpanjang keberadaan lembaga OB di Batam.

Lalu, apa itu BP Kawasan Batam? Sejak diterbitkannya Perppu No. 1 Tahun 2007 yang dilanjutkan dengan UU No. 44 Tahun 2007 tentang FTZ, maka ditegaskan dalam salah satu pasalnya bahwa pengelolaan kawasan bebas akan menjadi tanggung jawab sebuah lembaga bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas.

Sejalan dengan diterbitkannya PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam, maka otomatis lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan ini adalah Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Batam.

Dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa seluruh pegawai dan aset Otorita Batam akan beralih menjadi pegawai dan aset BP Kawasan Batam, walaupun dalam PP itu tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses peralihan pegawai dan aset kepada lembaga baru tersebut.

Jadi, secara hukum kelembagaan, maka OB dan BP Kawasan adalah dua lembaga yang berbeda karena produk hukum yang menjadi dasar pembentukannya juga berbeda. OB dibentuk oleh Keppres sedangkan BP Batam dibentuk oleh UU.

Apakah OB masih ada? Apakah tugasnya sudah diambil alih oleh BP Batam?
Ini pertanyaan yang gampang-gampang susah menjawabnya. Berdasarkan PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam, batas waktu pembentukan BP Batam adalah 31 Desember 2008 atau kurang lebih setahun yang lalu walaupun pembentukan kepala dan deputi BP Batam lebih cepat dari batas waktu yang ada.

Mestinya, dengan terbentuknya BP Batam itu maka seluruh aset dan pegawai OB menjadi milik BP Batam, tapi kenyataannya yang menjadi karyawan BP Batam baru 5 orang yaitu Kepala BP Batam plus empat deputi. Sedangkan pegawainya masih berstatus pegawai OB.

Beruntung kelima pegawai BP itu adalah para pimpinan OB sehingga mereka tidak pusing memikirkan kantor dan kendaraan dinas untuk mendukung operasionalnya. Coba lihat struktur BP Bintan dan Karimun, mereka masih berkantor ala kadarnya di daerah masing-masing.

Memang, yang masih mengganjal adalah proses peralihan pegawai OB menjadi BP Batam. Sebab ada aturan lain yang harus dipatuhi terkait dengan proses peralihan tersebut, tapi untuk tugas dan wewenang OB dalam pembangunan dan perdagangan di pulau ini sudah efektif beralih digantikan oleh BP Batam.

Mari kita berpikir positif, semua proses terus berjalan. Kita berharap BP Batam bisa terus bekerja dan cepat beradaptasi dengan peraturan baru di era FTZ ini. Kita juga berharap proses peralihan status pegawai OB ke BP Batam bisa berjalan lancar demi kebaikan semua pihak.

So, bu Rahayu, saya harap anda sudah cukup jelas. Kalo masih ada yang kurang, ya silahkan tanya lagi. Salam..

Tuesday, October 20, 2009

Timbangan di Bandara Hang Nadim belum dikalibrasi?

Barusan dapat informasi berharga dari seorang teman. Konon, timbangan yang berada di counter check in Bandara Hang Nadim sudah lima tahun ini tidak dilakukan kalibrasi, atau dengan kata lain, akurasi timbangan saat kita menimbang bagasi masih diragukan.

Kenapa selama lima tahun timbangan itu tidak dikalibrasi? Alasan pihak bandara karena tidak ada anggaran untuk mengundang petugas kalibrasi setiap tahunnya.

Emang dasar gila!!! Jadi pengelola bandara lebih memilih kehilangan nyawa ratusan penumpang ketimbang kehilangan uang Rp6 juta setahun untuk kalibrasi.

Apa hubungannya timbangan dengan keselamatan penumpang pesawat? Coba anda pikirkan, jika timbangan bagasi itu tidak akurat, berarti barang-barang yang masuk bisa lebih ringan atau lebih berat.

Kalo timbangan itu salah menimbang barang yang berat maka bisa-bisa terjadi kelebihan beban di pesawat yang bisa-bisa mengakibatkan pesawat oleng dan jatuh deh..its so simple i guess..hehehehehehe

Tapi yang dirugikan adalah penumpang yang terpaksa harus membayar excess bagage dari timbangan yang belum dikalibrasi. Semestinya, jita kita mau, kita boleh tidak membayar kelebihan bagasi itu karena memang akurasi timbangannya diragukan.

Bagaimana caranya? Ini ada trik bagi yang sering bepergian membawa barang banyak. Ketika petugas counter check in men-declare bahwa barang anda kelebihan, maka kami sarankan anda tidak membayar langsung biaya kelebihana barang tersebut.

Pertama yang harus anda lakukan, minta bukti otentik bahwa timbangan tersebut sudah dikalibrasi dengan bukti sertifikat dan stiker kalibrasi yang ditempel di timbangan tersebut. Kalo petugas tadi tidak bisa menunjukkan sertifikat dan stiker dimaksud, maka bisa dipastikan timbangan tersebut belum dikalibrasi.

Kedua, jika kita sudah mendapatkan konfirmasi bahwa itu timbangan belum dikalibrasi, maka anda disarankan jangan membayar kelebihan bagasi karena belum tentu berat barang bawaan anda seperti yang tertera di timbangan. Biarlah itu menjadi tanggung jawab pihak maskapai kepada pengelola bandara.

Ketiga, jika petugas bandara bersikukuh bahwa timbangannya sudah dikalibrasi dan memaksa anda membayar kelebihan bagasi, segera laporkan kepada petugas meterologi di Dinas Perindag Provinsi Kepri atau anda panggil wartawan supaya masalah ini diblow up di koran..hihihhihihihihihi

So, sarannya kepada pihak pengelola bandara. Marilah kita berpikir sehat. Hang Nadim itu khan bandara internasional, masak timbangannya belum dikalibrasi sih. Malu donk ama status internasional yang selalu dibangga-banggakan itu..

Untung selama lima tahun ini belum ada kecelakaan pesawat akibat kelebihan beban, atau mungkin itu pula yang menjadi pertimbangan pengelola bandara..Lha wong ga perlu kalibrasi aja pesawat ga pernah jatuh, jadi mengapa harus dikalibrasi...wakakakakakakakaka

Hati-hati beli mobil baru di Batam

Himbauan ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi sekedar sharing aja bagi yang masih ragu mau beli mobil baru (brand new) di dealer resmi atau mobil bekas Singapura. Kenapa??

Saya ingin menceritakan pengalaman saya ketika membeli satu unit mobil baru di sebuah dealer besar di Batam. Pada pertengahan Maret 2009 lalu, saya memutuskan untuk membeli sebuah mobil merek Nissan Livina. Saat itu, si dealer memang belum mengeluarkan kebijakan bebas PPN dan PPnBM bagi konsumen mobil baru.

Nah, ketika mobil saya sampai di Batam pada minggu pertama April, si dealer tiba-tiba mengeluarkan kebijakan bebas PPN dan PPn BM dari harga mobil. Alhasil, mobil yang saya bayar berkurang dari harga resminya.

Kebetulan, pada 1 April lalu, pemerintah secara resmi memberlakukan status FTZ di Batam, Bintan, dan Karimun, dan itu berarti setiap barang yang masuk ke pulau ini wajib bebas PPN, Bea masuk, dan PPn BM.

Lantas apa yang menjadi dasar perhitungan dealer? Nah jangan coba tanya itu, karena ga jelas dasar perhitungannya. Yang jelas, harga mobil jadi lebih murah dari harga sebelumnya. Bukan dari harga Jakarta lho ya.

Masalahnya kini, apakah ada perbedaan antara mobil yang dibeli sebelum April dengan sesudah April, antara mobil yang bayar PPN dan mobil yang bebas PPN? Tidak ada bedanya. Di BPKB, tidak ada cap atau endorsment yang menegaskan bahwa mobil yang kita beli terutang PPN.

Saat masalah ini saya konfirmasi ke pihak dealer, mereka pun mengaku masih bingung dengan kebijakan bebas PPN ini. Alasannya, pihak BP Kawasan masih membahas mekanisme pembebasan PPN bagi mobil baru.

Trus bagaimana jika mobil bebas PPN ini ingin keluar dari Batam, sperti pindah ke Jakarta atau Sumatra misalnya? Sekali lagi, pihak dealer tidak bisa menjawabnya dengan lugas.

Jika sudah demikian, apa solusinya? Cuma satu, yaitu jika ingin pindah ke luar Batam, anda jual saja mobilnya dan beli mobil baru di daerah tujuan. Aman toh..dari pada pusing-pusing..

Konon, BP Kawasan Batam masih mengkaji masalah ini. Lembaga itu akan mengeluarkan kebijakan soal mekanisme importasi mobil baru. Semoga mekanisme itu semakin mempertegas dan memperjelas..bukan berlarut seperti nasib mereka yang masih belum jelas mau jadi apa..

Nasibmu Otorita Batam

Sudah berulangkali pengelola blog ini menulis artikel soal nasib Otorita Batam pasca pengesahan FTZ melalui UU No. 44/2007 dan PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam. Dalam artikel terdahulu yang bertajuk "Menanti Kejelasan Nasib Otorita Batam" sudah diulas dengan gamblang berbagai potensi konflik yang bakal muncul bila OB harus bubar dan beralih menjadi Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam.

Kini isu itu bergulir kembali. Ada wacana yang berkembang bahwa OB akan dilikuidasi, karyawannya diberi pesangon, dan akhirnya bertransformasi menjadi BP Kawasan. Apakah bisa demikian?

Saya perlu hati-hati mengulas masalah ini. Karena memang persoalan transformasi OB ke BP Kawasan merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan sensitif. Bayangkan saja, walaupun Ketua Dewan Kawasan FTZ sudah menetapkan lima orang karyawan BP Kawasan, tapi tidak otomatis ribuan pegawai OB akan menjadi karyawan BP Kawasan.

Proses peralihan pejabat OB yang notabene memiliki eselonisasi dan ribuan pegawai yang tercatat sebagai PNS, ternyata tidak berlangsung mudah sebagaimana yang dibayangkan. Konon, Ketua OB a.k.a Kepala BP Kawasan masih bingung mencari jalan keluarnya.

Memang harus diakui, tidak gampang. Otorita Batam yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) ternyata harus gugur dengan sendirinya setelah Peraturan Pemerintah (PP) diterbitkan oleh Presiden SBY pada 2007 lalu. Oke, tidak ada masalah dengan itu. Secara kelembagaan, OB kini sudah menjadi BP Kawasan. Lambang pulau Batam dalam bundaran pun sudah berganti dengan kepala burung elang. Tapi apakah cukup sampai disitu?? Mari kita coba petakan beberapa potensi masalah dalam transformasi OB ke BP Kawasan.

1. Aset. Dalam PP No. 46/2007 pasal 3 ayat 1, dibunyikan "semua aset Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi aset Badan Pengusahaan
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, kecuali aset yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam, sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan."

Tapi pasal itu tidak menjelaskan bagaimana proses peralihannya. Sebab, aset OB adalah aset milik pemerintah pusat yang tentu saja proses peralihannya harus mengacu pada undang-undang. Apalagi status BP Kawasan sampai saat ini belum jelas, apakah institusi daerah atau pusat.

Kalau mengacu pada UU FTZ, BP Kawasan adalah institusi daerah karena pimpinannya ditetapkan berdasarkan SK Ketua Dewan Kawasan, bukan lagi SK Presiden seperti halnya penetapan Ketua OB. Jadi, harus didudukkan dulu nih, BP Kawasan itu selevel BUMD, dinas teknis, atau apa?

Kalau BP Kawasan itu adalah institusi daerah, apakah masih layak Kepala BP Kawasan menggunakan mobil plat merah dan menggunakan standard eselonisasi. Begitu juga dengan jajaran pimpinannya. Sekali lagi, masalah ini juga tidak jelas penyelesaiannya.

2. Pegawai. Dalam PP No. 46/2007 pasal 3 ayat 2, dibunyikan: "Pegawai pada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi pegawai pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam."

Sekali lagi, pasal itu tidak menjelaskan secara rinci proses pengalihan pegawai OB menjadi pegawai BP Kawasan. Bahkan peraturan Menteri PAN sebagai turunan dari PP itu juga belum keluar sampai akhir jabatan si Taufik Effendy, sang Menneg PAN.

Untuk masalah ini sangat rumit karena semua pegawai OB adalah PNS yang nyantol di departemen di Jakarta, ada yang di Depag, Deptan, dll. Bagaimana ribuan pegawai itu mau beralih sementara status BP Kawasan sendiri belum jelas mau jadi apa dan setingkat apa.

Jika melihat hirarki organisasi dalam UU 44, maka BP Kawasan berada di bawah koordinasi DK FTZ. Sebab SK Kepala BP diterbitkan oleh Ketua DK. Nah, karena DK merupakan institusi daerah maka BP Kawasan pasti institusi daerah juga, karena berada dalam satu garis komando.

So, menurut hemat kami, BP Kawasan itu adalah institusi daerah yang mestinya ditanggung anggaran operasionalnya oleh DK a.k.a Gubernur Kepulauan Riau melalui APBD Kepri. Untuk masalah ini, juga tidak jelas. Karena BP Kawasan tetap mendapatkan anggaran dari APBN.

Tidak jelas, apakah nomenklatur OB dalam APBN telah diubah menjadi BP Kawasan, kalo memang benar, maka BP Karimun dan Bintan mestinya bisa mendapatkan fasilitas serupa.

3. Esolonisasi. Nah ini masalah yang paling krusial yang menjadi mimpi buruk para pimpinan setingkat Kepala, Deputi, dan Direktur di BP Kawasan. Anda bayangkan, apa jadinya para bos-bos tingkat tinggi ini jika peralihan terjadi. Mau ditempatkan dimana mereka? dan ikut standar gaji siapa?

Saat ini, mereka masih menikmati fasilitas gaji dan tunjangan Otorita Batam walaupun nama lembaga dan logo sudah berganti menjadi BP Kawasan. Mereka adalah pejabat eselon yang selevel dengan Sekretaris Daerah Provinsi Kepri. Tidak bisa saya gambarkan bagaimana nanti mereka bisa jadi pegawai rendah setingkat dibawah Dinas Teknis jika proses peralihan berlangsung.

Konon, berlarut-larutnya proses peralihan ini karena belum ditemui titik temu bagaimana menempatkan para pejabat tinggi OB dalam struktur BP Kawasan. Apakah mungkin, BP yang merupakan lembaga daerah tapi pimpinannya digaji dengan standar eselon pejabat pusat? Wah..wah..bisa-bisa Kepala BP Karimun dan Bintan akan demonstrasi ke Dewan Kawasan menuntut hal serupa.

Kesimpulan yang bisa kita ambil dari tiga poin diatas adalah ketidak jelasan. Jika institusinya tidak jelas, bagaimana kebijakan yang dihasilkan bisa memberikan pencerahan bagi pembangunan pulau ini ke depan.

Coba saja lihat, apa yang sudah dibuat lembaga ini sejak disahkan jadi BP Kawasan? Membangun gedung Pusat Teknologi Informasi. Apa relevansinya FTZ Batam dengan penguatan bidang TI? Maaf ini akan kita bahas tersendiri, karena banyak sekali masalah dan pemborosan dalam pembangunan fasilitas ini.

Ditengah kesimpang siuran, muncul wacana membayarkan pesangon ribuan pegawai OB dan kemudian merekrut kembali untuk masuk dalam strutktur organisasi BP Kawasan. Apakah nanti ada penurunan gaji, atau tetap seperti sedia kala? Rasanya saya perlu melakukan investigasi lebih lanjut.

Yang pasti, nasib OB a.k.a BP Kawasan berada dipersimpangan jalan atau bahkan dibibir jurang. Memang sih, kita tidak berharap yang terburuk. Bagaimanapun juga, kita berharap Mustofa Widjaja bisa menjadi pemimpin sejati yang mampu membawa gerbong perubahan yang membahagiakan semua pihak.

Nasibmu FTZ Batam...

Beberapa waktu lalu, seorang pengunjung blog tercinta kita ini menyampaikan komentar sebagai berikut: "Penulis yang terhormat, bolehkah membuat tulisan mengenai PP FTZ 01? Membahas mengenai PDKB/Kawasan Berikat dan pengurusannya di bea cukai. Sejak berlakunya FTZ, PDKB sudah tidak berlaku lagi. Tapi pada kenyataannya di lapangan, masih saja dibedakan antara PDKB dan non PDKB, dimana perusahaan yang mengantongi ijin PDKB, bisa mengurus impor dengan PPSAD/BC23, dan dengan BC23 ini, barang bisa keluar saat itu juga.

Sementara yang tidak mengantungi PDKB, harus menunggu Surat Perintah Pemeriksaan dari BC dan sebagainya, akibatnya barang baru bisa keluar setelah cek fisik 2-3 hari.Dan tidak ada bedanya bagi perusahaan industri walaupun perusahaan tersebut berada di kawasan berikat. Bagaimana jalan keluarnya? Lalu apa gunanya mengurus APIT dan IU Industri, jika dalam implementasinya barang tidak bisa keluar secepat BC23?dan industri di kawasan berikat tidak bisa lagi mengurus PDKB karena sudah tidak ada dasar hukumnya? Bagaimana ini? Masak industri juga harus menunggu 2-3 hari baru barangnya bisa keluar?


Apa yang menjadi keluhan dari sodara kita ini memang telah menjadi concern kami yang tergabung dalam tim evaluasi implementasi FTZ Batam yang bekerja maraton menyusun matrix permasalahan yang dihadapi oleh dunia usaha (importir) pasca disahkannya FTZ BBK pada 1 April 2009 lalu.

Mestinya, sesuai dengan status Batam sebagai kawasan perdagangan bebas, maka status perusahaan dalam kawasan berikat (PDKB) sudah tidak berlaku lagi, sebab seluruh pulau ini merupakan wilayah FTZ baik yang berada di dalam kawasan industri maupun yang diluar kawasan.

Dokumen impor yang berlaku pun sudah ditetapkan adalah PPFTZ 01, sedangkan BC 23 sudah tidak berlaku lagi.

Terus terang, saya harus mempelajari masalah ini secara detail karena mungkin Bea Cukai punya pertimbangan tertentu sehingga BC 23 masih diperbolehkan dalam importasi barang. Padahal sesuai Permenkeu No. 47/2009 sudah dijelaskan bahwa hanya berlaku form dokumen PP FTZ 01 dan tidak ada pembedaan dalam cek fisik barang. Artinya, setiap cek fisik dilakukan setelah BC mendapatkan Nota Hasil Intelijen (NHI) dimana barang dimaksud memang diduga mengandung bahan berbahaya atau masuk dalam daftar negatif barang yang terlarang masuk ke Indonesia.

Apa yang menjadi keluhan di atas adalah bukti bahwa belum konsistennya pelaksanaan FTZ di lapangan. Selama hampir 5 bulan kami melakukan evaluasi atas implementasi FTZ Batam ini, banyak ditemukan berbagai permasalahan yang semestinya tidak terjadi. Yang paling dominan adalah masalah master list yang benar-benar menyusahkan proses importasi barang.

Memang sih, BC dan Badan Pengusahaan perlu beradaptasi dengan peraturan baru ini, tapi lebih dari itu, kedua lembaga itu harus satu visi dalam menyukseskan implementasi FTZ agar tidak menimbulkan implikasi negatif bagi perbaikan iklim investasi di wilayah ini.

Apakah masterlist memang benar-benar perlu?? Oke, jika maksudnya untuk mengantisipasi pemasukan barang ilegal, jelas masterlist dibutuhkan. Tapi, mestinya ada instrument pengawasan lain yang bisa digunakan tanpa perlu mempersulit pengusaha dan distribusi barang dari pelabuhan ke pabrik.

Pemerintah di pusat mungkin harus lebih banyak belajar praktek dari pada memperkaya diri dengan konsep-konsep yang belum teruji keandalannya. Ada banyak kawasan bebas di dunia ini yang bisa dijadikan contoh konkret betapa mengembangkan sebuah kawasan FTZ tidak mesti serumit seperti sekarang ini di Batam.

Pemerintah di daerah, apakah itu BP Kawasan atau Pemkot Batam, juga harus sadar diri untuk terus mengasah diri dan quick learning dengan perubahan peraturan yang ada. Belajar cepat dan efektif tanpa perlu menyebabkan sektor swasta menjadi kelimpungan tentunya sangat diharapkan. Bukan seperti saat ini, industri dan perdagangan harus heboh karena peraturan-peraturan yang tidak sinkron.

Kita semua memang sedang belajar. Seperti kata Ismeth Abdullah, Ketua Dewan Kawasan. "Kita harus mengakui, peraturan FTZ saat ini belum sempurna. Dan kita akan terus melakukan penyempurnaan."

Seberapa lama penyempurnaan akan dilakukan?? Hmmm..masih harus menunggu gebrakan dari Menteri Keuangan yang baru akan diambil sumpahnya besok pagi. Semoga Sri Mulyani memegang janjinya untuk segera merevisi Permenkeu yang bermasalah. Dan keluhan dari bapak di atas tadi bisa segera teratasi.

Monday, June 15, 2009

Batam Free Smuggling Zone...anehhh!!!

Hei hei hei...ternyata benar dugaan saya. Setelah PP 63 soal pengenaan pajak untuk mobil, rokok, elektronik, dan mikol dicabut, maka itulah kesempatan bagi para penyelundup mobil untuk mulai memasukkan mobil asal Singapura melalui jalur ilegal.

Berulang kali, TNI AL dan aparat Bea Cukai memergoki kapal-kapal bermuatan mobil mewah mencoba memasuki perairan Batam. Tapi tetap saja, satu kapal tertangkap, lima kapal lain berhasil bongkar muat di Batam.

Memang bukan rahasia umum lagi, banyak pelabuhan tikus di pulau ini menjadi surga bagi pengusaha hitam yang selalu menyelundupkan barang, tidak saja mobil, tapi elektronik, pakaian bekas, barang bekas, mikol, rokok, dan sebagainya.

Aparat sepertinya kesulitan mengawasi praktek penyelundupan ini karena selain luas, aparat juga jumlahnya terbatas dan bahkan ada indikasi dugaan keterlibatan oknum aparat dalam membekingi praktek tersebut.

Bagaimana dengan Dewan Kawasan FTZ Batam? Yah, apalah yang bisa dilakukan. Walaupun anggota DK sendiri terdiri dari aparatur keamanan seperti TNI AL, Polda, Korem, BC, dan Menkumham, tapi tampaknya tidak memberikan dampak positif bagi pengurangan aktivitas penyelundupan di wilayah ini.

Penyelundup memang pandai memanfaatkan peluang. Disaat peraturan sudah dicabut dan memberikan celah, maka saat itulah momen yang pas untuk memulai praktek ilegal ini.

Setali tiga uang, Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam juga tidak bisa berbuat banyak. Sampai saat ini, kuota impor mobil belum selesai dibahas oleh badan tersebut. Jadi, impor mobil secara legal belum bisa dilakukan.

Mungkin lelah menunggu pembahasan kuota yang tak kunjung usai, para pengusaha importir mobil ini pun mencoba jalur sendiri. Mereka itung kuota sendiri dan cari pelanggan sendiri. Terbukti, cara ini efektif. Banyak konsumen yang berburu mobil bodong dengan iming-iming harga murah.

Konsumen pun tak perlu khawatir dengan dokumen mobilnya. Penyelundup sudah menyiapkan plat nomor plus STNK bodong yang resmi dikeluarkan Dispenda setempat. So, apa bedanya dengan beli mobil baru toh..

Penulis blog BatamFTZPhobia pernah mendapatkan tawaran mobil bodong ini dari seseorang. Saat itu mereka menawarkan sebuah Odyssey Tahun 2005. Asli bodong, tapi STNK dijamin bisa diurus dan plat nomor sudah tersedia. Harganya masih dibawah Rp100 juta.
Ada lagi satu unit Toyota Corolla Altis tahun 2006. Harga Rp100 juta, juga bodong tapi lengkap dengan STNK dan plat nomor palsu.

Hanya saja, penjual tidak menjamin bila suatu waktu mobil ditangkap aparat saat razia. Karena membeli mobil bodong sifatnya putus tanpa ada aftersales service. Ya namanya aja bodong pak, masak kami harus jamin service dan kondisi tertangkap sih.

Hehehehhe, bener juga ya. Kalo mobilnya tertangkap ya nasibmulah nak..ya pandai-pandailah bernegosiasi dengan petugas dijalan. Tawar menawar harga pas tancap gas!!!

Friday, May 29, 2009

Pelindo II siap ambil alih Batu Ampar

Sejumlah investor lokal, termasuk PT Pelabuhan Indonesia II, berminat membangun dan mengelola Pelabuhan Batu Ampar, Batam, menggantikan perusahaan asal Prancis Compagnie Maritime d'Affretement-Compagnie Generale Maritime (CMA-CGM).

Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Suwandi Saputro mengatakan minat itu disampaikan setelah CMA-CGM memutuskan menunda proyek Batu Ampar akibat resesi ekonomi global.

”Ada beberapa investor lokal yang berminat, Pelindo II kemungkinan juga berminat,” katanya kemarin.

CMA-CGM semula berencana mengembangkan Batu Ampar dengan investasi US$425 juta melalui pola bangun, operasikan, dan transfer selama 50 tahun.

Menurut Suwandi, pemerintah menetapkan Batu Ampar sebagai salah satu pelabuhan utama di Indonesia dalam rencana jangka panjang karena berdekatan dengan alur pelayaran internasional.

Pelabuhan Batu Ampar sebagai pintu masuk ekspor impor juga akan mendukung implementasi asas cabotage (komoditas domestik wajib diangkut oleh kapal berbendera Indonesia) sehingga menghidupkan pelayaran antarpulau. ”Dengan Batu Ampar sebagai pelabuhan utama, asas cabotage tak ada masalah lagi karena pelayaran domestik akan hidup.”

Dia menambahkan minat investor lokal itu sejalan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang pemodal dalam negeri untuk mengembangkan Batu Ampar.

Dirut PT Pelindo II Richard Jose Lino menyatakan BUMN itu siap mengembangkan Pelabuhan Batu Ampar jika ditawarkan pemerintah pusat dan Pemprov Kepulauan Riau.

“Kami akan senang hati apabila ditawarkan membangun dan mengelola Batu Ampar karena kami punya kemampuan untuk mengembangkan pelabuhan itu,” katanya ketika diminta konfirmasi mengenai minat Pelindo II tersebut.

Dia menilai Batu Ampar memiliki prospek sangat cerah untuk dikembangkan dan bisa bersaing dengan Port of Singapore Authority serta Pelabuhan Tanjung Pelepas dan Port Klang, Malaysia.

“Tentu kami akan mengevaluasi dulu proyek itu, tetapi kami yakin mampu menjadikan Batu Ampar pelabuhan besar dan menguntungkan karena posisinya berada di Selat Malaka, jalur pelayaran internasional terpadat di Asia.”

Tuesday, May 5, 2009

Pelabuhan FTZ diusulkan bertambah

Dewan Kawasan (DK) FTZ Batam, Bintan, dan Karimun mengusulkan kepada Departemen Perhubungan agar segera menambah pelabuhan resmi (strategis) di kawasan perdagangan bebas.

"Kami sudah meminta Dephub untuk segera meresmikan Pelabuhan Sri Bayintan Kijang sebagai satu lagi pelabuhan resmi FTZ di Bintan," ujar Sekretaris DK FTZ BBK John Arizal, kemarin.

Dia menjelaskan bulan lalu DK sudah melayangkan surat kepada Dephub agar departemen itu mengkaji kelayakan Pelabuhan Sri Bayintan dan meminta agar pelabuhan itu ditetapkan sebagai pelabuhan resmi FTZ di Bintan.

Namun, hingga kini Dephub katanya belum memberikan kepastian, padahal pelabuhan itu sangat dibutuhkan dalam implementasi FTZ di daerah tersebut.

Saat ini aktivitas ekspor impor di Bintan masih melalui Pelabuhan Sri Wedana Lobam yang terletak di Bintan Utara sedangkan industri manufaktur dan galangan kapal sebagian besar beroperasi di Bintan Timur yang berjarak puluhan kilometer dari pelabuhan.

Menurut John, rentang jarak itu kurang memudahkan aktivitas ekspor impor apalagi Pelabuhan Sri Wedana Lobam dinilai relatif masih kurang memadai untuk menampung pemasukan barang dalam jumlah besar.

Karena itu, lanjutnya, DK meminta kepada Dephub untuk menambah satu lagi pelabuhan resmi FTZ di daerah itu yakni Pelabuhan Sri Bayintan Kijang yang terletak di kawasan Galang Batang, hanya beberapa kilometer dari kawasan industri di Bintan Timur.

Ketua Badan Pengusahaan (BP) kawasan FTZ Bintan Mardiah mengungkapkan hal serupa bahwa BP Bintan dan DK saat ini tengah mengupayakan penambahan pelabuhan resmi FTZ di daerah tersebut.

"Pelaksanaan FTZ tidak akan efisien bagi industri kalau pelabuhan resmi hanya ada di Bintan Utara," ujarnya.

Empat pelabuhan

Mardiah mengatakan sebelum FTZ efektif diberlakukan, BP Bintan sebenarnya sudah mengajukan empat pelabuhan sebagai pelabuhan resmi FTZ, yakni Pelabuhan Sri Wedana Lobam, Bintan Pelani, Sri Bayintan Kijang dan Pelabuhan Bulan Ringgi.

Namun lanjutnya, ternyata Pemprov Kepulauan Riau hanya mengajukan Pelabuhan Sri Wedana Lobam dan Sri Bayintan Kijang kepada Pemerintah Pusat dan Dephub kemudian hanya menyetujui Sri Wedana Lobam.

Akibatnya, aktivitas keluar masuk barang di kawasan FTZ Bintan belum berjalan lancar dalam hal efektivitas dan efesiensi waktu pengiriman barang karena jarak yang jauh antara pelabuhan dan kawasan industri.

Sementara itu Johanes Kenedy, Ketua Kadin Provinsi Kepri, yang juga Ketua Advisory Council DK FTZ Batam, mengusulkan kepada pemerintah agar menambah jumlah pelabuhan bebas dalam kawasan tersebut.

"Sesuai Keputusan Menhub, hanya ada tiga pelabuhan bebas di Batam yaitu Batu Ampar, Kabil, dan Sekupang. Kami usul terminal feri internasional ditetapkan sebagai pelabuhan FTZ."

Dia beralasan penunjukan terminal feri sebagai pelabuhan bebas yang baru karena banyak terjadi arus lalu lintas barang impor melalui pelabuhan ini sehingga perlu ditetapkan agar berlaku ketentuan dalam kawasan bebas.

Monday, May 4, 2009

Antisipasi Pungli, Biro Jasa Dilarang Urus Izin Usaha FTZ

Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam (BP Batam) melarang perusahaan biro jasa untuk mengurus izin impor barang di kawasan ekonomi khusus tersebut.

Anggota BP Batam I Wayan Subawa menyatakan kebijakan itu diambil guna menghindari terjadinya praktik percaloan dan pungli dalam pengurusan izin."Pengurusan izin usaha harus dilakukan perusahaan bersangkutan, tidak boleh pakai pihak ketiga," ujarnya kemarin.

Wayan menjelaskan sejak FTZ efektif diberlakukan 1 April 2009, BP Batam sebenarnya sudah melarang importir atau industri yang menggunakan bahan baku impor memanfaatkan jasa perantara dalam pengurusan izin usaha.

Namun, hal ini kembali ditegaskan guna mengantisipasi terjadinya praktik percaloan dan pungutan liar dalam pengurusan izin usaha sebagai dokumen utama perizinan impor barang ke FTZ Batam.

Pengurusan izin usaha, lanjutnya, harus dilakukan langsung oleh perusahaan calon pemilik izin baik oleh manajemen perusahaan maupun oleh karyawan yang bekerja di perusahaan bersangkutan.

"Petugas kita di lapangan juga akan meminta fotokopi kartu identitas orang yang mengurus izin usaha. Kalau orang itu tidak membawa atau memiliki kartu identitas itu bisa juga menggunakan surat kuasa dari perusahaan," jelasnya.

Petugas di BP Batam, lanjutnya, sudah diinstruksikan untuk tidak melayani pihak ketiga yang melakukan pengurusan izin usaha suatu perusahaan. BP Batam sendiri akan memberi teguran jika ada perusahaan menggunakan jasa pihak ketiga.

Di sejumlah bagian dinding ruangan pengurusan dokumen, BP Batam juga sudah melekatkan pengumuman tata cara pengurusan izin, yang menyebut pengurusan dokumen tidak dipungut biaya dan pengurusannya memakan waktu 4 hari.

Pungli dan percaloan

Seorang pengusaha jasa kepabeanan yang yang meminta identitasnya dilindungi mengatakan praktik pungli dan percaloan sebetulnya sudah terjadi di BP Batam ketika kisruh master list dalam importasi barang kian ramai diperbincangkan di kalangan pengusaha.

Para importir yang tidak mengurus dan melengkapi dokumen master list atau daftar rencana barang yang akan dimpor perusahaan selama setahun tersebut, tidak diperbolehkan untuk memasukkan barang.

"Masalah master list ini sebenarnya bisa diselesaikan lewat jalan damai, bila dokumen master list yang kami ajukan bermasalah, maka kami cukup membayar beberapa ratus ribu rupiah, dan barang pun aman," ujarnya.

Hal yang sama juga diungkapkan Harun, seorang konsultan yang membantu mengurus izin di BP Batam. Dia mengatakan ada investor yang dihubungi staf BP Batam dan dimintai uang Rp25 juta untuk menyelesaikan seluruh dokumen perizinan yang dibutuhkan.

"Namun, ketika kami konfirmasi kepada pihak BP Batam, si penelepon itu tidak terdaftar di instansi tersebut. Begitu pun nomor ponsel yang diberikan kepada kami juga tidak aktif lagi," ujarnya.

Menanggapi ini, Wayan mengatakan praktik percaloan dan pungli dalam pengurusan izin importasi barang itu diantisipasi dengan memasang empat unit kamera CCTV (closed circuid television) guna memantau aktivitas pengurusan dokumen dan mengawasi petugas.

"Kamera-kamera itu sudah kita pasang 1 minggu setelah FTZ berlaku efektif. Monitor pengendalinya ada di ruangan saya ini dan di ruangan Pak Mustofa [Ketua BP Batam]. Ini untuk mengawasi petugas kami juga," katanya.

Sejauh ini, keempat CCTV itu dinilainya masih cukup efektif dalam mengawasi aktivitas pengurusan dokumen dan kinerja para petugas BP mengingat keempat CCTV tersebut ditempatkan di titik-titik ruangan yang vital.

Dari pengamatan, keempat CCTV tersebut dipasang antara lain di ruang administrasi dan pengolahan data, ruang tunggu pengurusan dokumen, pintu masuk ruang utama dan di depan loket penyerahan dokumen.

Sejauh ini, monitor pengendali belum menemukan tayangan CCTV yang menunjukkan terjadinya praktik percaloan dan pungli baik yang dilakukan oleh pihak ketiga maupun oleh para petugas BP Batam.

Sunday, May 3, 2009

Gara-gara Masterlist, implementasi FTZ Batam tercoreng

Rapat hari Kamis 16 April 2009 lalu di Sekretariat Kadin Kepulauan Riau berlangsung riuh, saat belasan pengusaha dari berbagai bidang usaha mulai manufaktur, galangan kapal, ritel, dan perhotelan mengeluarkan uneg-unegnya terkait evaluasi pelaksanaan FTZ yang telah memasuki pekan kedua.

Hanya satu permasalahan yang dapat disimpulkan dari rapat selama tiga jam itu yakni ketentuan master list. Ketentuan master list sebagaimana diatur dalam PP No. 2 Tahun 2009 tentang ketentuan keluar masuk barang di wilayah FTZ, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 47 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Barang Dari dan Ke Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, bagi pengusaha dinilai telah merepotkan.

Satu contoh, sebuah perusahaan pendukung industri migas di Batu Ampar terpaksa menyusun daftar induk atau master list yang mencapai ribuan item dalam tiga tumpukan kotak kardus. Jangankan memeriksa daftarnya, melihat tumpukan list itu saja sudah membuat merinding.

Karena dalam tataran implementasi, tidak seindah yang dibayangkan. Puluhan peti kemas tertahan di pelabuhan menunggu proses verifikasi dan pemeriksaan fisik oleh Bea Cukai. Kondisi ini terekam pada 1 April saat pertama kali ketentuan FTZ ini diimplementasikan.

Ratusan perusahaan yang lupa mengurus izin, dibuat kelimpungan mondar mandir ke kantor BP Batam untuk mendapatkan izin sementara. Demi mengantisipasi tumpukan yang lebih banyak, akhirnya BP Batam menyepakati proses keluar barang hanya berbekal dokumen packing list.

Tapi itu juga belum cukup. Untuk beberapa kasus, BC masih tetap ngotot agar perusahaan memiliki izin impor dan master list walaupun BP Batam membolehkan dokumen packing list sebagai izin sementara. Alhasil, tangan kekuasaan berbicara. Sebagaimana dialami oleh pengusaha dalam kawasan industri Kabil dan Batamindo.

Seperti yang diceritakan kembali oleh OK Simatupang, pengelola KI Kabil, ketika barang milik perusahaan tenant-nya tertahan di pelabuhan. Dia terpaksa menelpon Ismeth Abdullah, Ketua Dewan Kawasan FTZ Batam dan Mustofa Widjaja, Kepala BP Batam, agar ada dispensasi untuk barang milik tenan-nya itu.
Cara itu berhasil, atas instruksi Ketua DK, barang-barang bisa dikeluarkan tanpa perlu membuat master list, cukup dengan list per shipment. Namun, otoritas setempat menolak kebijakan khusus ini dibuat menjadi ketentuan tertulis.

Sia-sia

Sebenarnya apa yang menjadi keberatan pengusaha atas ketentuan master list itu? Dalam rapat dua hari di Kadin Kepri terungkap berbagai kerumitan yang dihadapi pengusaha akibat ketentuan ini.

Satu pengusaha di sektor pendukung migas mengungkapkan bila tujuan dari pembuatan daftar induk adalah sebagai alat kontrol oleh BP Kawasan, maka ini akan sangatlah mustahil. Karena BP Kawasan juga tidak akan bisa meneliti semua daftar barang yang tercantum dalam masterlist yang ada sebelum menerbitkan persetujuannya.

“Pertimbangannya, pertama, karena jumlah pemohon yang begitu banyak dan juga item yg begitu banyak pula; kedua, BP Kawasan juga tidak dapat meneliti kebenaran angka yg diajukan oleh pemohon. Pemohon akan memasukan angka yang aman, misalnya tahun lalu memasukkan 10.000 item, maka tahun ini mereka akan mengajukan 50.000 dalam Masterlist untuk menjaga keamanan pasokan. Penggelembungan ini sama sekali tidak ada artinya dalam justifikasi dan pertimbangan bagi BP Batam untuk menyetujui atau menolak Masterlist tersebut,” tuturnya.

Penggelembungan angka dalam quota demi menjaga keamanan pasokan dari si pemohon juga tidak dapat dipakai sebagai patokan / pentunjuk. Itu hanyalah angka tanpa arti sama sekali. BP Kawasan juga tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran angka, kecuali melihat hystorical transaction untuk perusahaan tersebut.

Sebenarnya pengusaha berharap agar ketentuan master list untuk jangka waktu satu tahun bisa dipangkas hanya tiga bulan saja dan diberikan kemudahan membuat perubahan master list minimal tiga hari sebelum barang-barang diimpor ke Batam.
Namun demikian, satu tahun atau tiga bulan ternyata tidak ada perbedaan. Waktu satu tahun atau tiga bulan sangat relatif tergantung jenis usahanya.

Johanes Kennedy, Ketua Kadin Kepri, yang sejak awal tahun lalu cukup intensif memantau perkembangan FTZ di pulau ini sudah memprediksikan bakal munculnya permasalahan saat implementasi FTZ 1 April lalu.

“Pada Februari lalu, kami sudah menyurati Menteri Keuangan agar meninjau kembali ketentuan master list dan menggantinya dengan negative list, karena di wilayah FTZ lain di dunia, tidak ada lagi yang memberlakukan ketentuan master list itu,” paparnya.

Dia mengusulkan agar ketentuan daftar induk dihapus dan pengusaha diwajibkan mengisi form PP FTZ 01 atau lebih dikenal dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB), sebagai laporan setiap pemasukan barang bagi data base BC maupun BP Batam. Data base pada tahun berjalan ini dapat dijadikan patokan untuk pemasukan tahun berikutnya, dan selanjutnya dibuatkan negative list.

Pertimbangan lain, dengan ribuan items dari ribuan pemohon, apakah pengurangan quota oleh pihak bea cukai dapat dilaksanakan dengan baik? Di lapangan, untuk pengurangan quota dari master list, misalnya untuk 4.000 items dari satu perusahaan, seharusnya untuk pengurangan yang benar, maka pihak Bea Cukai seyogyanya mempunyai 4.000 item dalam stock card untuk pengurangan yang benar.

Bila tidak, maka pengurangan yang akurat juga akan tidak terpenuhi. Bila hari itu perusahaan memasukkan 300 items maka, seharusnya juga pihak bea cukai mengurangi quota dari 300 items itu dalam stock card yang ada, artinya mencari dan mendata kembali 300 items itu juga pada masterlist yg ada.
“Ini satu hal yang akan sangat memakan waktu. Untuk updating record dalam rangka pengawasan, ketentuan ini akan justru sia-sia dan sangat tidak mungkin,” papar Jhon.

Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap ketentuan master list tersebut? Menteri Perdagangan Mari Pangestu dalam satu kesempatan di Jakarta menyatakan ketentuan tersebut ditetapkan setelah pemerintah menggelar diskusi dengan pengusaha Batam beberapa bulan lalu sebelum serangkaian peraturan Menteri Keuangan dan Perdagangan diterbitkan.

Bahkan Diah Maulida, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Depdag menegaskan pengusaha hanya butuh waktu untuk beradaptasi dengan peraturan baru tersebut, jadi wajar bila pada saat-saat awal ini terjadi kesulitan.

BP Batam sendiri terus berbenah memperbaiki sistem administrasi instansinya. Setelah 20 hari memberikan keringanan kepada pengusaha berupa izin sementara impor barang, maka pada 21 April lalu, instansi itu mencabut ketentuan tersebut.

"Sesuai keputusan BP FTZ Batam, mulai 21 April 2009 [hari ini] seluruh aturan izin usaha berlaku efektif, jadi kami tidak akan mengeluarkan izin sementara pengeluaran barang," ujar Kepala Biro Humas Otorita Batam/ BP FTZ Batam Rustam H. Hutapea, di Batam, kemarin.

Dia menegaskan BP Batam tidak akan lagi memberikan toleransi dan akan menahan pengeluaran barang impor di pelabuhan resmi FTZ apabila masih ada importir yang belum mengantongi surat izin usaha dari BP FTZ Batam.

Toleransi itu diakhiri karena jumlah perusahaan pengimpor yang mengantongi izin usaha sudah berjumlah lebih dari 500 perusahaan, atau sudah lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan yang belum mengantonginya.

Pemerintah boleh saja berkeyakinan tidak ada yang salah dengan ketentuan master list itu, tapi suara-suara keberatan dari para pengusaha terus saja masuk ke sekretariat Kadin Kepri. Akankah ada jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak?

Pada Rabu, 29 April lalu telah digelar rapat gabungan yang dihadiri oleh Ketua DK FTZ, Kepala BP Batam, dan pengusaha. Rapat pun menyepakati untuk menyusun sebuah matriks evaluasi implementasi FTZ di Batam untuk diberikan kepada pejabat berwenang.

Friday, April 24, 2009

Investasi asing di Batam bisa anjlok 75%

Penerapan free trade zone (FTZ) di Batam diketahui belum memberi angin segar bagi perkembangan investasi asing, paling tidak hingga triwulan I/2009, karena ternyata realisasi investasi anjlok hampir 75% dibandingkan dengan rata-rata investasi pada periode sama 2007 dan 2008.

Data dari Biro Humas Badan Otorita Batam/Badan Pengusahaan FTZ Batam menyebutkan realisasi penanaman modal asing hanya US$22,9 juta.

Padahal, pada triwulan I/2007 nilai investasi asing yang masuk ke Batam sebesar US$74,7 juta dan pada 2008 mencapai US$105,7 juta. Jika dirata-rata nilai invetasi asing per triwulan pertama 2007 dan 2008 mencapai US$90,2.

"Negara-negara yang masuk dalam 3 bulan terakhir juga belum sebanyak jumlah negara asal investor yang masuk ke Batam pada 2008. Pada tahun lalu proyek-proyek penanaman modal asing (PMA )berasal dari 15 negara, sedangkan pada triwulan I/ 2009 ini hanya 11 negara," ujar Rustam H. Hutapea, Kepala Biro Humas Otorita Batam/Badan Pengusahaan FTZ Batam, kemarin.

Adapun negara asal PMA yang telah berinvestasi di Batam, yaitu Singapura, Malaysia, British Virgin Island, Hong Kong, China, Belanda, Inggris, Korea Selatan, Australia, Jepang, India, Taiwan, Kanada, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, dan Prancis.

Jika sepanjang tahun ini tidak terjadi lonjakan yang signifikan, investasi asing yang masuk ke Batam berpeluang anjlok hingga 75% pascapenerapan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.

Rustam menambahkan jumlah aplikasi penanaman modal asing (PMA) pada Januari-Maret 2009 juga turun, hanya 18 aplikasi atau 8% di bawah rata-rata jumlah aplikasi PMA yang masuk ke Batam pada periode sama 2007 dan 2008.

Dia menjelaskan investasi yang masuk ke Batam pada 2007 sebanyak 79 aplikasi PMA dan 4 proyek perluasan dengan total nilai investasi sebesar US$298,8 juta.

Pada 2008 jumlah aplikasi PMA sebanyak 77 dan 24 proyek perluasan senilai US$422,9 juta atau naik hampir 30%.

Industri galangan kapal, imbuhnya, sebagai industri unggulan di Batam juga belum menarik banyak investasi asing. Per triwulan I/ 2009 aplikasi PMA hanya satu proyek, padahal aplikasi investasi galangan kapal sepanjang 2008 mencapai 12 proyek.

"Tapi pada triwulan pertama tahun ini aplikasi PMA dari negara Luksemburg sudah disetujui sehingga ada penambahan negara yang berinvestasi di Batam," imbuh Rustam.

Merepotkan

Daniel Burhanuddin, Ketua Gabungan Pengusaha Ekspedisi dan Forwarder Indonesia (Gafeksi) Batam, menegaskan pemberlakuan status FTZ di Batam belum memberikan daya tarik bagi investor.

"Banyak aturan yang tidak konsisten di lapangan sehingga pengusaha dibuat bingung dan kerepotan. Jika ini terus berlanjut, pemodal baru akan beralih ke kawasan lain yang lebih menjanjikan selain Batam," tuturnya.

Kendati demikian, menurut Rustam, catatan ekspor pada 2008 sedikit bisa menghibur meskipun ada tren penurunan nilai investasi asing pada 2009. Kinerja ekspor Batam pada 2008 naik 4,96% atau sebesar US$6,36 juta dibandingkan dengan nilai ekspor pada 2007 sebesar US$6,06 juta.

Negara tujuan ekspor utama Batam adalah Singapura dengan kontribusi 63%, disusul oleh Jepang (5,8%), AS (5,6%), Malaysia (4,3%), dan China (3,4%).

Wednesday, April 22, 2009

Kelanjutan Batu Ampar ada ditangan Mustofa..

Lama tak terdengar lagi kabar kelanjutan pembangunan Terminal Peti Kemas Batu Ampar oleh investor Perancis CMA-CGM, ternyata prosesnya tinggal sedikit lagi. Hampir semua persyaratan yang diajukan investor sudah disetujui pemerintah, mulai dari masa pengelolaan selama 70 tahun, dan syarat lainnya.

Kini tinggal satu syarat lagi yang belum bisa dipenuhi, yaitu soal kepemilikan operator pengelola terminal. Pihak Perancis menginginkan agar mereka diberikan share lebih besar yaitu 51-49. Tapi itu masih jadi perdebatan.

Sebab, dalam daftar negative investasi, masalah kepemilikan belum dikeluarkan sehingga investor asing masih belum bisa mendapatkan porsi lebih besar. Konon, masalah share ini tergantung kepada Badan Pengusahaan FTZ Batam (BP Batam) untuk mengeluarkan keputusan.

"Masalah ini sudah diserahkan ke tangan BP Batam sebagai user dari pelabuhan itu. Tinggal bagaimana Kepala BP yang akan memutuskan," ujar Bambang Susantono, Deputi Menteri Perekonomian Bidang INfrastruktur dan Pengembangan Wilayah.

Dia menegaskan soal kepemilikan ini bisa jadi bisa mendapatkan pengecualian mengingat ini merupakan investasi di wilayah FTZ. Bisa saja, asing mendapatkan porsi lebih besar dengan pertimbangan yang lebih strategis.

Dalam sambutannya, ketika membuka diskusi terbatas bidang kepelabuhan yang digelar oleh Kementerian Perekonomian pada akhir Maret lalu, Mustofa Widjaja, Kepala BP Batam, justru mensinyalir adanya keragu-raguan dari investor Perancis itu untuk melanjutkan investasinya di Batu Ampar.

"Masalah Pelabuhan Khusus di Batam menjadi pertanyaan dari investor Batu Ampar, apakah keberadaannya akan mengganggu operasional Batu Ampar setelah dikelola oleh investor baru," papar Mustofa.

Tapi sinyalemen Musfota itu dibantah oleh Bambang Susantono. Menurut dia, tidak ada relevansinya antara keberadaan pelabuhan khusus dengan rencana pengembangan Terminal Batu Ampar.

Pelabuhan Khusus (Pelsus) beroperasi untuk kepentingan sendiri (perusahaan pengelolanya), sedangkan Batu Ampar diproyeksikan untuk melayani aktivitas transshipment yang mana artinya, barang yang akan dialihkapalkan tidak mesti barang-barang yang berasal dari dalam Batam sendiri, melainkan juga barang dari luar negeri.

"Jadi tidak perlu ada yang ditakutkan, karena pelsus dan Batu Ampar memiliki kepentingan sendiri-sendiri," papar Bambang.

Sejauh ini, komitmen CMA-CGM untuk melanjutkan investasi di Batu Ampar masih on-track dan masih berminat. Belum ada satu pun pernyataan dari pihak Perancis yang meragukan komitmen tersebut apalagi ada kekhawatiran karena kondisi dari dalam Batam sendiri.

"Justru yang harus dikejar adalah kapan Mustofa akan mengeluarkan keputusan soal share kepemilikan ini. Karena itu semua ditangan BP Batam (OB)," tandas Bambang.

Wah, kalo memang begitu, aku harus segera menanyakan soal ini ke Lantai 8 nih..
Soalnya kalo nanya ke lantai yang lain, takut ga bisa njawab..

Tunggu ya..

Frekuensi Labuh Kapal di Batu Ampar turun pasca FTZ

Frekuensi kapal barang yang berlabuh dan bersandar di Pelabuhan Batu Ampar mengalami penurunan akibat pembatasan importasi barang oleh Badan Pengusahaan (BP) FTZ Batam sejak 1 April 2009 lalu.

"Ada penurunan kapal yang masuk walau tidak sampai 10%," ungkap Surjadi, Kasi Pelayanan Terpadu Kantor Pelabuhan (Kanpel) Otorita Batam, Selasa (21/4).

Arus keluar masuk kapal barang di Pelabuhan Batu Ampar per harinya berjumlah sekitar 20 kapal, tetapi katanya, telah terjadi penurunan frekuensi sejak aturan importasi barang mulai diberlakukan pada 1 April 2009 lalu.

Salah satu aturan importasi barang oleh BP Batam, yaitu mewajibkan proses importasi berdasarkan master list untuk kebutuhan 1 tahun sehingga menurut Surjadi aturan itu secara tidak langsung telah mengurangi intensitas kapal barang.

Dimana dengan penerapan master list tersebut perusahaan-perusahaan importir memasukkan barang hanya untuk kebutuhan 1 tahun dan menghindari pemasukan dengan jumlah yang lebih besar karena harus kembali memperbaarui master list-nya.

Selain penurunan frekuensi kapal, Surjadi juga mengungkapkan bahwa sejak pembatasan importasi diberlakukan tidak ada lagi penumpukan kontainer di Pelabuhan Batu Ampar.

Hal itu menurutnya karena hampir semua barang-barang yang masuk adalah bahan baku industri yang langsung digunakan untuk proses produksi.

Biaya operasional

Di samping memicu penurunan frekuensi kapal, penerapan FTZ di Batam juga belum meringankan biaya operasional perusahaan pelayaran dan angkutan laut.

Menurut Surjadi, pungutan jasa kepelabuhanan yang dikelola oleh Kanpel belum mengalami perubahan dan besarannya masih mengacu pada SK Ketua Otorita Batam Tahun 2004.

Untuk kapal-kapal berbendera asing, biaya jasa labuh adalah sebesar US$0,082 x bobot kapal x lama labuh (dihitung per 10 hari) dan biaya jasa sandar/tambat sebesar US$0,088 x bobot kapal x lama tambat (dihitung per 24 jam).

Adapun jasa labuh untuk kapal berbendera Indonesia dikenakan tarif US$8 dan tarif jasa tambat sebesar US$39 dengan pola penghitungan yang sama dengan kapal berbendera asing.

Biaya jasa kepelabuhanan yang dikelola kanpel Otorita batam juga mencakup jasa bongkar muat untuk general cargo sebesar Rp800/ton dan jasa bongkar muat kontainer sebesar Rp13.650-Rp40.950 per ton.

Selain itu masih ada jasa-jasa kepelabuhanan yang lain seperti jasa penumpukan dan jasa pengadaan air di mana seluruh pungutan jasa tersebut diterapkan di pelabuhan-pelabuhan milik pemerintah dan milik industri (pribadi).

Pelabuhan Batu Ampar sendiri merupakan satu dari dua pelabuhan yang resmi ditunjuk sebagai pelabuhan FTZ selain Pelabuhan Kabil. Pelabuhan Batu Ampar mampu memberikan kontribusi pendapatan dari sektor jasa kepelabuhanan sebesar Rp70 miliar per tahun.

Tuesday, April 21, 2009

BP Batam cabut izin sementara, barang berisiko tertahan di pelabuhan

Badan Pengusahaan (BP) Free Trade Zone (FTZ) Batam mulai hari ini mencabut izin usaha sementara yang berlaku sejak 1 April di kawasan tersebut.

Dengan pencabutan izin sementara itu, berarti hanya izin usaha tetap yang bisa digunakan untuk mengeluarkan barang impor dari pelabuhan FTZ Batam. Apabila izin tetap itu tidak dimiliki, barang terpaksa tertahan di pelabuhan sampai izin tersebut keluar.

"Sesuai keputusan BP FTZ Batam, mulai 21 April 2009 [hari ini] seluruh aturan izin usaha berlaku efektif, jadi kami tidak akan mengeluarkan izin sementara pengeluaran barang," ujar Kepala Biro Humas Otorita Batam/ BP FTZ Batam Rustam H. Hutapea, di Batam, kemarin.

Dia menegaskan BP Batam tidak akan lagi memberikan toleransi dan akan menahan pengeluaran barang impor di pelabuhan resmi FTZ apabila masih ada importir yang belum me-ngantongi surat izin usaha dari BP FTZ Batam.

Toleransi itu, sambungnya, diakhiri karena jumlah perusahaan pengimpor yang mengantongi izin usaha sudah berjumlah lebih dari 500 perusahaan, atau sudah lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan yang belum mengantonginya.

"Jadi mulai sekarang pihak importir harus mempersiapkan terlebih dahulu izin usaha ke BP sebelum memasukkan barang ke kawasan FTZ Batam. Jika tidak, barang akan ditahan di pelabuhan sampai perusahaan yang bersangkutan mendapat izin usahanya," tegas Rustam.

Ketentuan yang mengatur perizinan impor barang ke kawasan FTZ harus menggunakan surat izin usaha yang dikeluarkan BP FTZ ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No.02/2009 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas.

Namun, di awal pemberlakuan FTZ pada 1 April lalu, aturan impor itu belum diterapkan efektif oleh BP Batam. Alasannya, banyak perusahaan yang belum mengantongi izin usaha dari BP FTZ Batam akibat kesulitan memenuhi persyaratan dokumen khususnya master list.

BP FTZ Batam kemudian memberikan dua kemudahan pada importir, yaitu menggunakan packing list sebagai dokumen pengecekan barang pengganti master list dan lembar tanda terima pengurusan izin usaha sebagai izin sementara pengeluaran barang dari pelabuhan.

Penggunaan lembar tanda terima pengurusan izin dan packing list masing-masing sebagai izin usaha sementara dan dokumen master list itulah yang kini tidak lagi diberlakukan. "Sekarang dua dokumen sementara itu tidak berlaku lagi," kata Rustam.

Importasi lancar

Di tempat terpisah, Ketua BP Batam Mustofa Widjaya membantah telah terjadi penumpukan bahan baku produksi industri galangan kapal dan offshore di Singapura dan Malaysia akibat ketatnya pemasukan barang ke kawasan FTZ Batam.

"Saya belum dengar. Setahu saya yang menyangkut bahan baku tidak ada masalah" ujar Mustofa kemarin.

Ketua Kadin Kepulauan Riau John Kennedy Aritonang sebelumnya mengungkapkan telah terjadi penumpukan bahan baku industri, khususnya di sektor galangan kapal dan offshore di Singapura dan Penang, Malaysia, akibat sulitnya memasukkan bahan baku tersebut ke Batam.

Bahkan kata John, penumpukan yang terjadi sudah mencapai 70% dari total kebutuhan industri sektor-sektor tersebut di Batam. Kondisi itu diperkirakan akan kian mengancam kelangsungan industri di kawasan FTZ Batam.

Namun, menurut Mustofa, hingga kini pihaknya belum menerima informasi adanya bahan baku impor yang terhambat masuk ke Batam atau perusahaan galangan kapal dan offshore yang menumpuk bahan bakunya di Singapura atau Malaysia.

Hampir seluruh perusahaan galangan kapal dan offshore yang beroperasi di Batam, katanya, telah mengantongi surat izin usaha dari BP sehingga tidak akan mengalami kesulitan dalam melakukan importasi dan mengeluarkan barang dari pelabuhan.

"Perusahaan-perusahaan galangan dan offshore juga sudah memasukkan bahan bakunya sesuai dengan kebutuhan. Jadi saya kira tidak ada yang tertumpuk di pelabuhan, apalagi di Singapura," ujar Mustofa.

Dia yakin pemberlakuan izin importasi sementara yang sempat dikeluarkan BP Batam selama 3 pekan lalu telah mampu mengantisipasi dengan baik potensi hambatan arus importasi dan pengeluaran barang-barang dari pelabuhan.

Monday, April 20, 2009

Industri di Batam mulai terancam, bahan baku tertumpuk di Singapura

Ketatnya syarat pemasukan barang impor ke Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam telah mengancam kelangsungan industri di kawasan tersebut.

Atas dasar efisiensi dan penghematan biaya, para importir kini tidak lagi menumpuk bahan bakunya impornya di pelabuhan resmi yang ditunjuk di Batam, tetapi menumpuknya di Pelabuhan Singapura atau Penang, Malaysia.

"Telah terjadi penimbunan bahan baku industri kita di Singapura dan Malaysia. Bahkan sudah mencapai 70% dari total kebutuhan industri Batam. Ini artinya, kelangsungan industri di Batam terancam," ungkap Ketua Kadin Kepri John Kennedy Aritonang, akhir pekan lalu.

Menurut dia, para importir yang sebagian besar adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pendukung migas dan galangan kapal yang beroperasi di Batam saat ini telah membuat gudang (warehouse) di Singapura.

Penumpukan itu dilakukan perusahaan guna menekan pembengkakan biaya operasional akibatnya sulitnya memasukkan barang ke Batam sejak pemberlakuan master list atau daftar barang yang akan dimpor selama setahun sebagai salah satu syarat utama pengeluaran barang.

Dengan situasi itu, menurut nya, tujuan penerapan kawasan FTZ di Batam, Bintan dan Karimun sudah tidak sesuai lagi dengan konsep kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas. "Ini karena adanya aturan keharusan pembuatan master list tersebut," katanya.

Kepala Badan Pengusahaan FTZ Batam Mustofa Widjaya sebelumnya menyatakan akan menyiasati birokrasi pengeluaran barang impor dari pelabuhan, yaitu dengan menunda pemberlakuan surat izin usaha yang diotorisasinya. (Bisnis, 6 April)

Daftar negatif

Lebih jauh, John menjelaskan, master list merupakan pembatasan yang secara sengaja diciptakan dari awal melalui peraturan Menteri Keuangan, sehingga aparat Bea dan Cukai tetap berperan di daerah pabean lainnya.

Kadin Kepri, katanya, sejak awal sudah menduga para pengusaha akan kesulitan dengan aturan pembuatan master list sejak FTZ mulai berlaku efektif pada 1 April 2009 dan dugaan itu menjadi kenyataan dengan banyaknya kesulitan industri kini.

Setelah melakukan pembahasan internal, Kadin Kepri, kata John, akan mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk menghentikan keharusan pembuatan master list dan menggunakan negative list (daftar barang impor terlarang) untuk pengawasan importasi.

"Negative list ini diterapkan di kawasan FTZ lainnya di dunia. Dengan begitu seluruh barang-barang diluar yang tercantum dalam negative list boleh masuk. Jadi pembatasannya bisa lebih jelas."

Tuesday, April 7, 2009

FTZ Batam..kawasan yang aneh!!! (bag. 2)

Dalam tulisan sebelumnya, kita sudah lihat potensi gesekan antara instansi vertikal di dalam pulau bebas ini. Nah, bagaimana dengan para pengusahanya? Dalam obrolan ringan dengan seorang teman yang bekerja di sebuah perusahaan pemasok alat manufaktur di daerah Muka Kuning, tergambar jelas bagaimana modus operandi yang mereka jalankan selama ini.

Tanpa perlu mengantongi izin importir, ternyata perusahaan temanku itu sudah bisa mendapatkan barang-barang impor dari Singapura dan Malaysia. Caranya, bekerjasama dengan perusahaan forwarder atau ekspedisi yang bolak balik membawa barang dari dan ke Singapura.

Aksi importir bodong ini jelas tidak sehat, dan tidak sehat lagi karena dibantu oleh jasa forwarder yang jadi makelar import barang dari luar negeri. Perusahaan temanku itu tentu tidak sendiri, ada puluhan bahkan ratusan perusahaan sejenis yang hanya bermodal SIUP dari Disperindag tapi bisa mendapatkan pasokan barang impor dari Singapura atau Malaysia tanpa perlu mengurus izin import atau angka pengenal impor yang diwajibkan.

Wajar saja, Dirjen BC Anwar Suprijadi gerah melihat kondisi ini dan mengeluarkan aturan wajib bagi para perusahaan yang ngakunya importir untuk segera mendaftarkan perusahaannya ke BC untuk mendapatkan Nomor Induk Kepabeanan (NIK) atau registrasi.
Alhasil, dari pendataan, ratusan perusahaan yang selama ini melakukan impor barang ternyata bodong alias tidak diketahui keberadaannya.

Upaya registrasi BC itu patut diapresiasi, sebab ada banyak perusahaan abal-abal yang menuntut fasilitas, seolah-olah merekalah yang paling dirugikan dari penerapan PP 63 dan FTZ ini. Sehingga ramai-ramai mereka menuntut agar PP 63 dicabut dan diganti dengan aturan yang lebih bebas.

Kini dengan aturan baru PP No 2 Tahun 2009 ini, seluruh perusahaan yang ingin melakukan kegiatna importasi wajib mendaftarkan diri. Apakah dia perusahaan asing yang sudah puluhan tahun atau perusahaan hantu blau yang baru muncul, sama saja, semua diperlakukan sama. Tidak ada lagi fasilitas khusus bagi PMA, semua sama.

PMA yang selama ini selalu melaporkan angka produksi, volume, dan jenis barang yang diimpor, termasuk barang reject kepada Bea Cukai, kini, hal serupa harus dilakukannya lagi di BP Batam.
Perusahaan perdagangan yang selama ini bermitra dengan penyelundup atau perusahaan forwarder untuk memasukkan barang, kini terpaksa harus mengurus sendiri izin impor nya lengkap dengan jenis dan jumlah barang yang mau dimasukkan. Berani melawan aturan, siap-siap kena denda jutaan rupiah.

Harus aku akui, selama ini mungkin kita beranggapan pengusaha adalah pihak yang palign dirugikan dalam aturan yagn aneh nan ajaib ini, dan menyalahkan BP Batam sebagai pihak yang tidak becus dalam mengurus FTZ ini. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Beberapa perusahaan juga ada yang nakal, seperti ilustrasi yang aku gambarkan di atas tadi.

Para perusahaan nakal yang selalu memanipulasi jumlah barang yang dimasukkan melalui jalur resmi dan bebas pungutan ini, tentu ingin menjaga kenyamanan yang selama ini dia terima. Sedikit saja ada gangguan, dia pun bereaksi menyalahkan aparat yang juga masih meraba-raba, ibarat orang buta berjalan dalam gelap. (Bayangin udah buta, dalam gelap pula).

Untung, BP Batam mulai jeli, aparat bisa membaca, mana saja perusahaan nakal itu. Tapi itu tadi, permasalahan yang dihadapai BP Batam bukan cuma dalam pengurusan izin dari importir semata, lebih dari itu, potensi masalah seperti gesekan dengan Pemkot Batam, BC Batam, dan instansi lain juga masih mengintai.
BP Batam tidak mau disalahkan bila ternyata implementasi Weird and Zonker FTZ ini tidak berjalan mulus sebagaimana diharapkan.
Lebih baik saling menyalahkan, biar sekalian publik makin pening...!!!

FTZ Batam..kawasan yang aneh!!!

Kemarin sore aku sempat chating dengan seorang temen yang lagi bete, dari obrolan itu banyak informasi penting yang muncul terutama menyangkut soal implementasi FTZ oleh Badan Pengusahaan Batam (BP Batam).

Hal pertama yang aku tangkap adalah keberadaan BP Batam sebagai titik sentral dalam implementasi ini. Karena instansi itulah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pemberian izin, dan mengawal pembangunan di pulau bebas ini.
Tapi, kendati sebagai instansi vital, BP Batam tidak mendapatkan kewenangan sebagaimana yang dijanjikan dalam UU FTZ dan PP No. 2 Tahun 2009. Ternyata ada instansi lain yang masih belum rela melepas sebagaian kewenangannya kepada BP Batam.

Siapa insatnsi itu, ialah Pemkot Batam. Anda bisa bayangkan, bila 172 kewenangan diserahkan ke BP Batam, maka Pemkot Batam hanya tinggal kolor doang. Cuma berhak mengurus KTP, Akte KElahiran, dan Surat Kematian, serta aktivitas sosial belaka.
Anda bayangkan, dengan 2.000 lebih PNS di bawah Pemkot Batam, mau dikemanain bila sudah tidak ada kerjaan lagi.

So, akhirnya, tarik menarik kewenangan mulai terlihat. Saat ini, BP Batam baru mengeluarkan izin usaha impor untuk industri plastik, besi-baja, dan cakram optik. Sisanya, masih dikompromikan dengan Pemkot Batam.

Itu dari sisi perizinan, bagaimana dengan sektor lain. Hal kedua yang aku tangkap dari obrolan kemarin adalah permainan instansi horizontal dalam pengawasan pelabuhan tidak resmi.
Pemkot Batam adalah pihak yang paling pertama maju menolak penutupan pelabuhan tikus dan tidak resmi di luar tiga pelabuhan FTZ Batam (Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil). MEreka beralasan, Kawasan Batam dengan 300-an pulau masih membutuhkan pelabuhan rakyat ini sebagai akses mengatasi keterisolasian dari daerah lain.

Bah, alasan apa pula itu? Mengatasnamakan rakyat, padahal, pelabuhan rakyat dan pelabuhan tikus itu selama ini menjadi akses penyelundupan barang bekas dari Singapura. Barang bekas yang menurut Pemkot Batam menguasai nadi perekonomian masyarakat kelas bawah.

Sebuah pembenaran yang salah kaprah di wilayah FTZ. Bagaimana mungkin sebuah kawasan yang sudah menjadi FTZ tapi membolehkan akses pelabuhan yang tidak resmi yang sudah diketahui bersama sebagai akses penyelundupan dan praktik perdagangan ilegal.

Dan BP Batam, tidak bisa berbuat banyak. Mereka saat ini masih sibuk mengurusi izin import bagi perusahaan asing yang jumlahnya 800-an. Mereka berupaya agar kejadian 1 April tidak terulang, sebisa mungkin barang bisa dikeluarkan dan tidak terjadi hambatan di pelabuhan.

Trus bagaimana donk tugas mengawasi pelabuhan tikus yang "dilindungi" Pemkot Batam itu? ah, nanti dulu lah..masih banyak kerjaan nih..demikian kira2 jawaban BP Batam. Bisa jadi mereka juga enggan bersinggungan secara langsung dengan Pemkot Batam atau instansi lain yang bermain dalam praktek ilegal.
Kalo sudah begitu, apakah FTZ seperti ini yang diharapkan dan ditunggu-tunggu selama ini? Bagi para smuggler, ya inilah yang kita harapkan..Batam harus kembali bebas seperti dulu lagi, tanpa pengawasan, tanpa pajak, bebas merdeka, bagi praktek liar dan ilegal..

Pelabuhan Rakyat Boleh Beroperasi

Kendati hanya ditetapkan tiga pelabuhan resmi di Free Trade Zone (FTZ) Batam, Pemkot Batam memberikan pengecualian sejumlah pelabuhan rakyat (pelra) dan pelabuhan tikus.

"Kami sedang melakukan verifikasi pelabuhan rakyat dan pelabuhan tikus yang layak digunakan. Yang jelas, dalam pelaksanaan FTZ sejumlah pelabuhan rakyat ada yang masih kami operasikan," ungkap Wali Kota Batam Ahmad Dahlan, kemarin.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cuka Anwar Suprijadi menegaskan akan menutup puluhan pelabuhan yang tidak ditunjuk sebagai pelabuhan resmi FTZ Batam secara bertahap guna mempermudah pengawasan arus barang dan memperkecil ruang gerak penyelundupan.

Sejumlah pelabuhan yang termasuk kategori tak resmi itu adalah pelabuhan rakyat, pelabuhan khusus, dan pelabuhan tikus.

Kebijakan Pemkot Batam memberikan pengecualian sejumlah pelra itu terkesan bertolak belakang dengan kemauan pemerintah pusat. Namun, pemkot punya argumentasi yang cukup kuat, yaitu memperlancar arus barang kebutuhan ke pulau-pulau lain di luar pulau yang ditetapkan sebagai FTZ.

Pada PP No. 46/2007 tentang Pelaksanaan FTZ Batam, pulau-pulau yang ditetapkan sebagai kawasan FTZ adalah Batam, Tonton, Setokok, Nipah, Pulau Rempang, Galang, dan Galang Baru.

Berdasarkan data pemkot, Kota Batam masih memiliki sekitar 393 pulau selain tujuh pulau yang ditetapkan sebagai kawasan FTZ. Sebagian besar berpenduduk dengan total ribuan jiwa.

Namun, Wali Kota Batam berjanji selektif untuk mengizinkan sejumlah pelra dan pelabuhan tikus beroperasi. Pemkot tidak akan memberi izin sekitar 41 pelabuhan rakyat yang saat ini beroperasi di Batam, karena banyak di antaranya tidak memiliki kelayakan fisik sebagai pelabuhan antarpulau.

Selain itu, sambungnya, dengan banyaknya pelra akan membuka peluang terjadinya aksi penyelundupan barang antar pulau, terlebih banyak di antara pelra itu tidak mendapat pengawasan yang memadai dari Bea Cukai dan pihak keamanan.

Buka isolasi

Wali kota menjelaskan pemkot berkepentingan tidak mengisolasi sejumlah pulau di wilayah Batam, terutama kelancaran arus komoditas kebutuhan masyarakat antarpulau.

"Dengan pengoperasian pelabuhan rakyat arus distribusi barang-barang kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang kehidupan lainnya tetap berjalan lancar, khususnya dari Pulau Batam ke pulau-pulau sekitar," ujar Ahmad.

Dalam hal ini, sambungnya, Pemkot Batam berkepentingan agar masyarakat yang berada di pulau-pulau lain ikut menikmati fasilitas dan peningkatan ekonomi yang sama dengan masyarakat yang tinggal di pulau yang ditetapkan sebagai kawasan FTZ.

Bahkan, jika dianggap perlu dan layak, pemkot juga akan melegalisasi pelabuhan tikus menjadi pelabuhan rakyat.

"Tapi pada tahun ini sebagian besar akan kami tutup karena tidak bermanfaat dan sangat mengganggu pelaksanaan FTZ di Batam," tegas Ahmad.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Diah Maulida meminta pembenahan pada tiga pelabuhan resmi FTZ Batam.

Dia mencontohkan Pelabuhan Batu Ampar yang belum jelas perbedaan antara titik ekspor dan titik impor, serta titik antar pulau, sehingga arus masuk dan keluar barang berpotensi terganggu dan menyebabkan keruwetan di lapangan.

Thursday, April 2, 2009

bukan BC, bukan BP, trus siapa donk??

Berikut ini percakapan via telpon antara saya dengan seorang pengusaha yang terjadi kamis sore kemarin.

"Sore pak, ini saya. Mau tanya-tanya dikit boleh ya pak?" sapaku memulai wawancara.
"Wah, kebetulan nih, ada banyak informasi yang harus anda muat," sambarnya cepat.
"jadi siapa yg bertanggungjawab atas kekakacauan tanggal 1 April lalu pak?" tanyaku.
"ya, BP Batam lah, mestinya mereka lebih siap sejak awal," ujar pengusaha itu.
"lho, bukannya barang ditahan oleh Bea Cukai pak?" lanjutku lagi.
"iya, tapi khan BC mengacu pada PP, jadi BC tidak salah," timpalnya.
"lalu, siapa donk yang salah?"
"ya, BP Batam, khan sudah saya bilang tadi. Ini bukti ketidaksiapan mereka menyambut FTZ pada 1 April lalu."
"Tapi pak, kok koran-koran lokal memberitakan suasana pelabuhan aman-aman saja tuh sejak pagi hingga malam. Tidak ada penumpukan apalagi pengusaha yang uring-uringan. Jangan-jangan, cuma bapak aja yang bermasalah?" ujarku.
"Ah, ga jelas itu. Anda lihat sendiri khan, saya ini saksi korban lho. Kontainer saya tertahan sejak tadi malam sampai siang ini. Bukan itu saja, perusahaan di Muka Kuning juga kelabakan dengan sistem yang baru ini. Itu namanya apa kalo bukan kekacauan?" sambungnya dgn nada tinggi.
"Iya sih pak, tapi harap maklum lah pak, namanya juga masih baru, pasti ada yg kurang di sana sini," kataku coba meredakan suasana.
"Bos, ini bukan soal maklum atau tidak, tapi profesionalitas sebagai pengelola kawasan bebas. Mestinya mereka siapkan diri untuk menyambut situasi seperti ini. Jangan menyalahkan juklak yang lamban diterbitkan. Sudah sejak januari sampai Maret, masak ga selesai juga perangkat organisasinya?"
"Bener juga ya pak, tapi khan, BP Batam mengaku sudah menyosialisasikan peraturan baru ini sejak Februari lalu. Artinya, mestinya kalo pengusaha lebih aware, kekacauan ini tidak perlu terjadi,"
"Ah siapa bilang, waktu itu mereka juga masih menunggu seperti apa aturan teknisnya. Jangan mengada-ada lah!"
"Tapi kalo menurut saya sih pak, BP Batam tidak juga bisa disalahkan, paling tidak, kita kasi kesempatan mereka untuk mengevaluasi dan membenahi diri," ujarku sok bijak.
"Lalu kalo bukan salah BP Batam, salah siapa donk..masak hantu yg disalahin," kata dia.
"hahahahahahaha..oke pak, terima kasih..,"

Bukan salah BP Batam???

Hari pertama penerapan status FTZ di Batam masih terdapat banyak kekurangan, terutama kesiapan aparat Bea Cukai dan BP Batam. Ratusan pengusaha baik yang mendatangi kantor Bea Cukai maupun yang menelpon terlihat panik. Barang-barang di pelabuhan tidak bisa keluar.

Akibatnya, barang-barang tertahan di pelabuhan, kapal boleh bongkar muat tapi tidak boleh dibawa keluar. Pengusaha uring-uringan, mereka menyalahkan aparat Badan Pengusahaan KAwasan FTZ Batam dan Bea Cukai Batam yang tidak siap melaksanakan peraturan baru di wilayah FTZ Batam ini.

Apa benar demikian? Kalau dilihat sekilas, implementasi hari pertama tanggal 1 April kemarin, jelas sekali tampak ketidaksiapan aparat. Perubahan peraturan dan keengganan melakukan sosialisasi kepada pengusaha menjadi faktor utama terjadinya kekacauan di pelabuhan kemarin sore.

Apakah memang semua kesalahan itu ditimpakan kepada BP Batam? Memang sih, BP Batam adalah institusi yang berwenang dalam menerbitkan izin usaha importir, dan mengatur jumlah serta jenis barang yang boleh dimasukkan ke dalam kawasan bebas Batam.

Tapi patut diingat, dengan waktu yang relatif singkat, BP Batam harus menyiapkan semua perangkat organisasi dan SOP untuk melayani proses penerbitan izin importir ini. Mengapa lambat? Ya, mari kita tanyakan ke Menteri Keuangan mengapa lamban menerbitkan KMK sebagai petunjuk pelaksanaan.
Trus, DEpkeu akan menyalahkan Istana Negara yang lamban mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2009, dan seterusnya..dan seterusnya..

Kalo demikian, itu namanya saling buang badan toh..
Yang jelas, kejadian 1 April itu harus dijadikan bahan evaluasi. Memang, BP Batam belum terbiasa mengelola kawasan bebas. Selama ini, mereka hanya mengelola kawasan berikat sebagaimana dulu diatur dalam KMK No. 825 tahun 1980. Jelas, peraturan dalam KMK 825 jauh lebih simple.

Karena masih baru, mestinya pengusaha dan publik bisa lebih arif menilai kemampuan sebuah institusi, dalam hal ini BP Batam. Mari kita berikan waktu bagi mereka membenahi diri. Kesalahan bukan untuk dihujat atau dimaki tapi diperbaiki bersama-sama.
BP Batam juga demikian, kalo merasa ada yang tidak dimengerti dalam tataran praktis dan pelaksanaan di lapangan, mbok ya nanya sama yang ngerti. Di Batam ini banyak kok orang pinter yang bisa dijadikan tempat bertanya, gratis pula.


Semoga, hari ini semua kesalahan bisa diperbaiki..barang-barang yang masih tertahan bisa dikeluarkan..so everybody happy lah..!!!

Hari Pertama FTZ Batam, BC dan BP Batam keteteran

Hari pertama implementasi status kawasan perdagangan bebas di Batam yang dimulai pada 1 April kemarin berjalan kacau balau. Sebanyak 10 unit kapal pengangkut kontainer dari Singapura tertahan tidak bisa bongkar muat barang.

Daniel Burhanuddin, Direktur PT Esqarada Indonesia, satu perusahaan forwarder di Batam, mengatakan kapal-kapal itu tertahan karena terlambat membayar fee pendapatan negara bukan pajak (PNBP) melalui bank.


“Setelah lewat jam 5 sore, kami tidak bisa lagi membayar PNBP, tadinya Bea Cukai beralasan sistem registrasi tidak beres, tapi setelah beres, ketika kami mau bayar, ternyata sudah terlambat,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.


PNBP merupakan fee yang disetorkan oleh pemilik barang senilai Rp30.000 per dokumen. Biasanya, sebelum ketentuan FTZ yang baru ini berlaku, pengusaha dibolehkan membayar secara berkala. Namun peraturan baru justru mewajibkan mereka membayar setiap hari sebelum jam 17.


Dia mengungkapkan saat ini terjadi penumpukan barang di pelabuhan karena barang yang sudah dibongkar dari kapal tidak bisa dikeluarkan dari pelabuhan. Kondisi ini terjadi sejak pagi kemarin.


“Hari pertaman implementasi FTZ di Batam malah kacau balau. Peraturan baru bukannya memudahkan tapi justru semakin merepotkan para importir,” papar Daniel.


Keluhan yang masuk ternyata tidak saja dari pengusaha forwarder, para pengelola kawasan industri di Muka Kuning dan Kabil juga merasakan betapa kacaunya sistem yang baru diterapkan mulai 1 April kemarin.


Daniel menilai kekacauan itu mengindikasikan belum siapnya Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam) sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam kelancaran arus keluar masuk barang.


Dia mengaku heran dengan sistem yang berlaku saat ini karena sama sekali tanpa sosialisasi kepada para pengusaha dan dipaksa untuk diterapkan. Akibatnya, pengusaha yang terlambat melakukan re-registrasi dan membayar PNPB terpaksa batal melakukan bongkar muat barang.

PT Esqarada mengklaim 30 unit kontainernya tidak bisa keluar dari pelabuhan pada malam ini dan harus menunggu hingga besok pagi.


Lebih parah


Bila dibandingkan dengan kondisi saat masih berstatus bonded zone atau kawasan berikat, Daniel mengakui kondisi saat menjadi free trade zone lebih kacau. Selain kurang sosialisasi, sistem yang dijalankan BP Batam juga belum berjalan optimal.


“Bila keadaan seperti ini terus terjadi, maka status FTZ tidak akan menarik minat investor untuk menanamkan modalnya ke Batam. Oleh sebab itu, instansi terkait harus segera memperbaiki kondisi ini,” tuturnya.


Sementara itu, Kurniawan, Humas KPU BC Batam, mengakui sejak kemarin pagi memang ada telpon dari banyak importir menanyakan barang tidak bisa keluar, jumlahnya sampai ratusan baik yang menelpon dan mendatangi kantor BC.


“Persoalannya adalah izin importasi dari BP Batam banyak yang belum keluar. Izin yang sudah dikeluarkan baru 118 izin dari 800-an importir yang sudah mengajukan izin registrasi ke BP Batam. BC sendiri akan memberikan izin keluar berdasarkan izin dari BP Batam,” tuturnya.


Pantauan di pelabuhan Batu Ampar, kontainer yang menumpuk di dermaga tercatat sekitar 42 kontainer dan belum dapat izin keluar dari pelabuhan. Menurut seorang sumber di pelabuhan, kondisi itu sering terjadi. Tidak ada penambahan tapi memang kondisi tidak jadi lancar.