Sunday, May 3, 2009

Gara-gara Masterlist, implementasi FTZ Batam tercoreng

Rapat hari Kamis 16 April 2009 lalu di Sekretariat Kadin Kepulauan Riau berlangsung riuh, saat belasan pengusaha dari berbagai bidang usaha mulai manufaktur, galangan kapal, ritel, dan perhotelan mengeluarkan uneg-unegnya terkait evaluasi pelaksanaan FTZ yang telah memasuki pekan kedua.

Hanya satu permasalahan yang dapat disimpulkan dari rapat selama tiga jam itu yakni ketentuan master list. Ketentuan master list sebagaimana diatur dalam PP No. 2 Tahun 2009 tentang ketentuan keluar masuk barang di wilayah FTZ, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 47 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Barang Dari dan Ke Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, bagi pengusaha dinilai telah merepotkan.

Satu contoh, sebuah perusahaan pendukung industri migas di Batu Ampar terpaksa menyusun daftar induk atau master list yang mencapai ribuan item dalam tiga tumpukan kotak kardus. Jangankan memeriksa daftarnya, melihat tumpukan list itu saja sudah membuat merinding.

Karena dalam tataran implementasi, tidak seindah yang dibayangkan. Puluhan peti kemas tertahan di pelabuhan menunggu proses verifikasi dan pemeriksaan fisik oleh Bea Cukai. Kondisi ini terekam pada 1 April saat pertama kali ketentuan FTZ ini diimplementasikan.

Ratusan perusahaan yang lupa mengurus izin, dibuat kelimpungan mondar mandir ke kantor BP Batam untuk mendapatkan izin sementara. Demi mengantisipasi tumpukan yang lebih banyak, akhirnya BP Batam menyepakati proses keluar barang hanya berbekal dokumen packing list.

Tapi itu juga belum cukup. Untuk beberapa kasus, BC masih tetap ngotot agar perusahaan memiliki izin impor dan master list walaupun BP Batam membolehkan dokumen packing list sebagai izin sementara. Alhasil, tangan kekuasaan berbicara. Sebagaimana dialami oleh pengusaha dalam kawasan industri Kabil dan Batamindo.

Seperti yang diceritakan kembali oleh OK Simatupang, pengelola KI Kabil, ketika barang milik perusahaan tenant-nya tertahan di pelabuhan. Dia terpaksa menelpon Ismeth Abdullah, Ketua Dewan Kawasan FTZ Batam dan Mustofa Widjaja, Kepala BP Batam, agar ada dispensasi untuk barang milik tenan-nya itu.
Cara itu berhasil, atas instruksi Ketua DK, barang-barang bisa dikeluarkan tanpa perlu membuat master list, cukup dengan list per shipment. Namun, otoritas setempat menolak kebijakan khusus ini dibuat menjadi ketentuan tertulis.

Sia-sia

Sebenarnya apa yang menjadi keberatan pengusaha atas ketentuan master list itu? Dalam rapat dua hari di Kadin Kepri terungkap berbagai kerumitan yang dihadapi pengusaha akibat ketentuan ini.

Satu pengusaha di sektor pendukung migas mengungkapkan bila tujuan dari pembuatan daftar induk adalah sebagai alat kontrol oleh BP Kawasan, maka ini akan sangatlah mustahil. Karena BP Kawasan juga tidak akan bisa meneliti semua daftar barang yang tercantum dalam masterlist yang ada sebelum menerbitkan persetujuannya.

“Pertimbangannya, pertama, karena jumlah pemohon yang begitu banyak dan juga item yg begitu banyak pula; kedua, BP Kawasan juga tidak dapat meneliti kebenaran angka yg diajukan oleh pemohon. Pemohon akan memasukan angka yang aman, misalnya tahun lalu memasukkan 10.000 item, maka tahun ini mereka akan mengajukan 50.000 dalam Masterlist untuk menjaga keamanan pasokan. Penggelembungan ini sama sekali tidak ada artinya dalam justifikasi dan pertimbangan bagi BP Batam untuk menyetujui atau menolak Masterlist tersebut,” tuturnya.

Penggelembungan angka dalam quota demi menjaga keamanan pasokan dari si pemohon juga tidak dapat dipakai sebagai patokan / pentunjuk. Itu hanyalah angka tanpa arti sama sekali. BP Kawasan juga tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran angka, kecuali melihat hystorical transaction untuk perusahaan tersebut.

Sebenarnya pengusaha berharap agar ketentuan master list untuk jangka waktu satu tahun bisa dipangkas hanya tiga bulan saja dan diberikan kemudahan membuat perubahan master list minimal tiga hari sebelum barang-barang diimpor ke Batam.
Namun demikian, satu tahun atau tiga bulan ternyata tidak ada perbedaan. Waktu satu tahun atau tiga bulan sangat relatif tergantung jenis usahanya.

Johanes Kennedy, Ketua Kadin Kepri, yang sejak awal tahun lalu cukup intensif memantau perkembangan FTZ di pulau ini sudah memprediksikan bakal munculnya permasalahan saat implementasi FTZ 1 April lalu.

“Pada Februari lalu, kami sudah menyurati Menteri Keuangan agar meninjau kembali ketentuan master list dan menggantinya dengan negative list, karena di wilayah FTZ lain di dunia, tidak ada lagi yang memberlakukan ketentuan master list itu,” paparnya.

Dia mengusulkan agar ketentuan daftar induk dihapus dan pengusaha diwajibkan mengisi form PP FTZ 01 atau lebih dikenal dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB), sebagai laporan setiap pemasukan barang bagi data base BC maupun BP Batam. Data base pada tahun berjalan ini dapat dijadikan patokan untuk pemasukan tahun berikutnya, dan selanjutnya dibuatkan negative list.

Pertimbangan lain, dengan ribuan items dari ribuan pemohon, apakah pengurangan quota oleh pihak bea cukai dapat dilaksanakan dengan baik? Di lapangan, untuk pengurangan quota dari master list, misalnya untuk 4.000 items dari satu perusahaan, seharusnya untuk pengurangan yang benar, maka pihak Bea Cukai seyogyanya mempunyai 4.000 item dalam stock card untuk pengurangan yang benar.

Bila tidak, maka pengurangan yang akurat juga akan tidak terpenuhi. Bila hari itu perusahaan memasukkan 300 items maka, seharusnya juga pihak bea cukai mengurangi quota dari 300 items itu dalam stock card yang ada, artinya mencari dan mendata kembali 300 items itu juga pada masterlist yg ada.
“Ini satu hal yang akan sangat memakan waktu. Untuk updating record dalam rangka pengawasan, ketentuan ini akan justru sia-sia dan sangat tidak mungkin,” papar Jhon.

Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap ketentuan master list tersebut? Menteri Perdagangan Mari Pangestu dalam satu kesempatan di Jakarta menyatakan ketentuan tersebut ditetapkan setelah pemerintah menggelar diskusi dengan pengusaha Batam beberapa bulan lalu sebelum serangkaian peraturan Menteri Keuangan dan Perdagangan diterbitkan.

Bahkan Diah Maulida, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Depdag menegaskan pengusaha hanya butuh waktu untuk beradaptasi dengan peraturan baru tersebut, jadi wajar bila pada saat-saat awal ini terjadi kesulitan.

BP Batam sendiri terus berbenah memperbaiki sistem administrasi instansinya. Setelah 20 hari memberikan keringanan kepada pengusaha berupa izin sementara impor barang, maka pada 21 April lalu, instansi itu mencabut ketentuan tersebut.

"Sesuai keputusan BP FTZ Batam, mulai 21 April 2009 [hari ini] seluruh aturan izin usaha berlaku efektif, jadi kami tidak akan mengeluarkan izin sementara pengeluaran barang," ujar Kepala Biro Humas Otorita Batam/ BP FTZ Batam Rustam H. Hutapea, di Batam, kemarin.

Dia menegaskan BP Batam tidak akan lagi memberikan toleransi dan akan menahan pengeluaran barang impor di pelabuhan resmi FTZ apabila masih ada importir yang belum mengantongi surat izin usaha dari BP FTZ Batam.

Toleransi itu diakhiri karena jumlah perusahaan pengimpor yang mengantongi izin usaha sudah berjumlah lebih dari 500 perusahaan, atau sudah lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan yang belum mengantonginya.

Pemerintah boleh saja berkeyakinan tidak ada yang salah dengan ketentuan master list itu, tapi suara-suara keberatan dari para pengusaha terus saja masuk ke sekretariat Kadin Kepri. Akankah ada jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak?

Pada Rabu, 29 April lalu telah digelar rapat gabungan yang dihadiri oleh Ketua DK FTZ, Kepala BP Batam, dan pengusaha. Rapat pun menyepakati untuk menyusun sebuah matriks evaluasi implementasi FTZ di Batam untuk diberikan kepada pejabat berwenang.

4 comments:

  1. Monitoring dan evaluasi berkala proses pelaksanaan FTZ Batam, Bintan dan Karimun harus terus dilakukan yang bertujuan agar pelaksanaan kawasan bebas dapat berjalan secara efektif tanpa mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan FTZ BBK harus diselesaikan secara arif dan profesional. FTZ memang sangat menjanjikan bagi tumbuhnya investasi pada sektor perdagangan dan industri di BBK di masa yang akan datang, tapi sekali lagi kawasan bebas adalah bagian yang tidak terpisahkan dari integritas ekonomi Indonesia yang setiap permasalahan harus dikaji secara komprehensif.

    ReplyDelete
  2. Semestinya tiap peraturan dibuat dengan sebaik-baiknya dengan kata lain bukan hanya diatas kertas tapi juga implementasinya di lapangan harus menjadi pertimbangan. Kalau tidak ya masalah seperti ini yang akan dihadapi, ternyata kendalanya cukup merepotkan para pengusaha, dan lagi ternyata sistem informasi yang ada di pintu keluar masuk BC belum mendukung penerapan sistemnya, sdm2 yang berkualitas dan sistem yang canggih didukung peraturan yang sejalan akan memberikan kontribusi yang besar untuk menjalankan FTZ ini..
    Sepertinya kita terlalu gengsi untuk belajar dari tempat yang lebih maju yang dulu juga belajar dari Batam seperti Shenzen.
    Untuk sistem yang canggih sudah sewaktunya pemerintah tidak ragu-ragu merogoh kocek untuk kerjasama dengan perusahaan kelas dunia seperti Oracle, Microsoft, dsb untuk sistem FTZ yang mumpuni...
    Semoga saja..

    ReplyDelete
  3. Penulis yang terhormat, bolehkah membuat tulisan mengenai PP FTZ 01? Membahas mengenai PDKB/Kawasan Berikat dan pengurusannya di bea cukai. Sejak berlakunya FTZ, PDKB sudah tidak berlaku lagi. Tapi pada kenyataannya di lapangan, masih saja dibedakan antara PDKB dan non PDKB, dimana perusahaan yang mengantongi ijin PDKB, bisa mengurus impor dengan PPSAD/BC23, dan dengan BC23 ini, barang bisa keluar saat itu juga. Sementara yang tidak mengantungi PDKB, harus menunggu Surat Perintah Pemeriksaan dari BC dan sebagainya, akibatnya barang baru bisa keluar setelah cek fisik 2-3 hari.Dan tidak ada bedanya bagi perusahaan industri walaupun perusahaan tersebut berada di kawasan berikat. Bagaimana jalan keluarnya? Lalu apa gunanya mengurus APIT dan IUIndustri, jika dalam implementasinya barang tidak bisa keluar secepat BC23?dan industri di kawasan berikat tidak bisa lagi mengurus PDKB karena sudah tidak ada dasar hukumnya? Bagaimana ini? Masak industri juga harus menunggu 2-3 hari baru barangnya bisa keluar?

    ReplyDelete
  4. Satu lagi, mengenai barang bukan baru yang hanya bisa dimasukkan jika ada COI (Certificate of Inspection) dari Surveyor Indonesia dan Sucofindo. Kan gak masuk akal jika kita mau masuk mesin/komputer second, tapi harus bayar mahal untuk COI? kagak masuk akal

    ReplyDelete