Friday, December 28, 2007

The Long Road to Heaven..

Pagi tadi, saat saya mau berangkat kerja dari tempat tinggal di seputaran Kabil-Batam, saya melewati jalan rusak yang kini sedang dibangun gorong-gorong. Sungguh sebuah pemandangan yang menyedihkan, ketika saya melihat puluhan kendaraan berbaris antri saat hendak melewati jalan rusak itu.

Kemacetan itu disebabkan oleh sebuah truk kontainer yang terperosok dalam lubang sehingga mengakibatkan kendaraan yang berada di belakang truk tersebut harus rela memperlambat jalannya. Of course, karena di depan melambat maka yang dibelakang pun melambat dan terjadilah antrian panjang mulai dari lokasi jalan rusak hingga ke simpang KDA.

Tak bosan-bosannya saya melalui forum blogger tercinta ini menyampaikan uneg-uneg terkait kinerja Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam yang tidak becus mengurus pulau tercinta ini.

Kenapa gorong-gorong itu tak kunjung selesai? Kenapa jalan alternatif tidak diperbaiki dulu? Kenapa jalan akses menuju Bandara Hang Nadim yang melewati jalan baru juga mengalami nasib yang sama alias rusak parah. Kenapa semua jalan di Batam ini rusak parah, kenapa..oh kenapa..

Kalau dibilang Pemda dan OB tidak punya duit, rasanya mustahil karena Walikota masih bisa menaikkan tunjangan pejabat yang sama sekali tidak ada kerja. Jangan marah pak cik, kalau anda bekerja pasti Batam sudah nyaman. Tapi ini, sama sekali tidak ada kenyamanan berkendara di pulau tercinta.

Seorang teman pernah berkata, seandainya Pemkot Batam tidak ada, saya yakin Pulau Batam akan tetap berjalan alias tidak terpengaruh sedikitpun. Paling-paling, tidak ada lagi pak Camat yang meneken KTP dan akte kelahiran.

Sebenarnya posisi OB sudah sangat strategis. Karena dia yang membangun pulau ini dari awal sehingga mengerti betul konsep awal pengembangannya. Tapi sayang, OB pun terdegradasi. Konsep cantik yang disusun tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya.

Kawasan asri hanya bisa dijumpai di wilayah Sekupang, sisanya, ibarat lokasi habis diterpa badai topan dan tsunami. Hutan gundul, gersang, jalanan kotor, tiada pohon di jalanan, tiada trotoar buat pejalan kaki, rumah liar berserakan di mana-mana, dan sebagainya.

Dear blogger, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan Batam, tapi memang begitulah adanya. Apa hebatnya Pulau Batam? itulah pertanyaan seorang teman dari Manokwari, ketika berkunjung ke pulau ini.
Memang betul, apa hebatnya sih pulau ini, lha wong penyelenggara pemerintahannya saja tidak mampu membangun jalan. Jalan berlobang dibiarin, dia biarkan rakyat menyumpah serapah, dia habiskan ratusan uang rakyat untuk program yang tidak jelas.

Sambil menulis blog ini, saya membayangkan bakal kembali melewati jalan rusak dekat gorong-gorong. Rutinitas yang sama sekali tidak mengenakkan dan menyedot energi serta dosa karena terus menerus menyumpah.

Tak tau, apakah sumpah kami pengguna jalan ini didengar Tuhan seperti kata para kiyai, doa kaum terzolimi akan mendapat prioritas. Tapi kembali lagi, siapa yang menzolimi dan terzolimi, tak jelas. Yang pasti, jalan pulang ke rumah bakal melelahkan..

FTZ BBK, antara ada dan tiada

Mungkin sebagian orang berpikir setelah Perppu No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas disahkan menjadi UU No. 44 Tahun 2007, maka urusan mengenai kawasan perdagangan bebas/FTZ telah mencapai titik klimaks.

Tapi dugaan itu meleset, UU 44 justru jadi antiklimaks dan episode perjuangan FTZ masih terus berlanjut dan mencapai babak baru. Proses implementasinya di lapangan ternyata tidak segampang yang dibayangkan seperti termaktub dalam UU dan PP No. 46-47-48 tahun 2007 tentang FTZ Batam-Bintan-Karimun.

Tidak saja soal pembentukan Dewan Kawasan yang menuai kritikan dari berbagai kalangan mulai ahli hukum hingga LSM yang mengatasnamakan warga tempatan. Tapi juga soal peralihan Badan Otorita Batam menjadi Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam dan peralihan aset-aset pusat di kota ini menjadi aset daerah.

Dan tentu saja, yang paling krusial dan sensitif adalah pembagian kewenangan antara Pemkot Batam yang merepresentasikan otonomi daerah dengan BPK-FTZ yang memegang amanah UU sebagai penanggung jawab pembangunan di daerah bebas.

Sudahkah ini dipikirkan pemerintah? Sepertinya belum, sebab kalau sudah dipikirkan dengan matang maka episode demi episode perjuangan FTZ ini sudah mencapai titik klimaks dan implementasinya sudah terealisasi dengan mulus.

Kenyataannya, UU 44 dan PP yang menyertainya justru menimbulkan persoalan baru. DK yang berisi orang-orang yang 'pilihan' belum juga disahkan oleh presiden, embrio BPK-FTZ beserta kewenangannya belum juga disosialisasikan, dan bagaimana mekanisme peralihan aset-aset pusat ke daerah, dan antisipasi perubahan struktur pemerintahan dalam kawasan bebas ini.

Soal DK
DK yang diusulkan gubernur--seperti diduga banyak pihak--diisi oleh para birokrat dan pejabat yang menduduki posisi struktural daerah, seperti Gubernur Kepri, Ketua DPRD Kepri, Wagub, Walikota Batam, Bupati Bintan-Karimun, Kapolda Kepri, DanLantamal, Kejaksaan, dan perwakilan pengusaha.

Bila ditanyakan soal kapabilitas orang-orang yang duduk di DK itu, tentu saja masih diragukan karena penunjukkannya tanpa melalui proses uji kepatutan dan transparansi. Lalu mengapa masih ditunjuk?

Dalam satu kesempatan, Ismeth Abdullah, Gubernur Kepri pernah mengatakan bahwa komposisi DK akan diisi oleh orang-orang yang akan mendukung terselenggaranya sistem perizinan investasi yang cepat, tepat, aman, dan terkendali.

Artinya, DK inilah yang akan mengatasi berbagai hambatan yang selama ini dikeluhkan para investor seperti birokrasi berbelit, keamanan kapal dan distribusi barang, pungutan liar, dan lain sebagainya.

"Mereka inilah yang akan menjamin berbagai hambatan itu tidak terjadi lagi sehingga kenyaman berinvestasi bisa diwujudkan di kawasan bebas ini," ujar Ismeth.

Maksudnya pak Gubernur memang benar, tapi apakah sudah selayaknya menempatkan seorang polisi dan TNI dalam struktur DK, apakah bila militer dan polisi tidak ada dalam DK lantas keamanan investor tidak terjamin.

Sungguh ironis cara berpikir pejabat zaman sekarang. Sudah jelas, tugas dan fungsi pokok polisi dan TNI itu adalah menjaga keamanan dan ketertiban di darat, laut, maupun udara. Tanpa perlu duduk dalam DK pun, seorang polisi wajib mengamankan aset-aset vital milik investor dari ancaman teroris atau kelompok tertentu.

Soal BPK-FTZ
Masih terkatung-katungnya pembahasan DK oleh presiden, tentu saja berdampak terhadap pembentukan BPK-FTZ dan pada akhirnya proses peralihan dari OB ke BPK-FTZ akan terkendala termasuk peralihan aset-asetnya.

Satu hal yang mesti jadi perhatian serius adalah peralihan sebuah badan representasi pusat (OB) menjadi sebuah badan di daerah tentu tidak cukup diatur secara umum, ia memerlukan aturan khusus karena ada hal-hal khusus dan substansial yang harus dijabarkan secara detail oleh pusat.

Tidak saja soal penggantian nama dari OB menjadi BPK-FTZ tapi juga soal inventarisasi aset tidak bergerak, pegawai, dan segala hal yang menyangkut peralihan sebuah badan baru milik pusat ke daerah.

Ampuan Situmeang, Wakil Ketua Hukum dan Etika Usaha Kadin Provinsi Kepri, menilai selayaknya pemerintah menyiapkan sebuah peraturan pemerintah baru yang mengatur khusus soal peralihan status OB dari milik pusat menjadi daerah.

"Mestinya PP 46 khusus mengatus soal penetapan status FTZ Batam, tapi ini sudah melampaui kewenangan PP itu dengan menyebutkan pula peralihan OB menjadi BPK-FTZ. Pemerintah harus menyelesaikan masalah ini," tuturnya.

Masalah terpenting diantara itu semua adalah berubahnya struktur pemerintahan di daerah pasca penerbitan UU 44 dan PP 46, 47 dan 48 tahun 2007. Pertama, Pulau Batam yang selama ini dikelola secara bersama antara OB dan Pemkot Batam akan mengalami benturan kewenangan karena nantinya OB akan menjadi BPK-FTZ yang juga berwenang penuh.

Pertanyaannya, dimanakan peran Pemkot Batam pasca pembentukan badan pengelolaan kawasna bebas ini? Jawabannya hampir pasti, OB=BPK akan tetap menguasai aset-aset strategis dan perizinan usaha serta investasi. Pemkot Batam kembali ke khitahnya sebagai pengelola masalah sosial kemasyarakatan.

Kedua, Pulau Bintan yang terdiri dari dua pemerintahan kota yaitu Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan juga akan berbenturan dengan Badan Pengelola kawasan bebas Bintan sesuai amanat PP No 47. Pulau Bintan sudah terkotak-kotak menjadi beberapa kawasan bebas, dan sejauh mana kewenangan pemkot/pemkab dalam kawasan FTZ tersebut?

Ketiga, Pulau Karimun yang dikelola oleh Pemkab Karimun juga akan berhadapan dengan Badan Pengelola FTZ Karimun. Pulau Karimun Besar juga sudah terkotak-kotak menjadi kawasan bebas.

Ketiga hal tersebut menjadi potensi masalah karena beberapa alasan, pertama, UU 44 yang merupakan perbaikan dari UU 36/2000 terbukti gagal mengangkat Sabang sebagai kawasan bebas yang berhasil. Tapi mengapa kini, UU yang sama dijadikan landasan hukum bagi FTZ BBK?

Kedua, pengalaman membuktikan niat pemerintah pusat menyelesaikan konflik kewenangan antara Pemkot dan OB tidak pernah ada. Nyatanya, PP Pembagian kewenangan antara dua institusi pemerintahan itu tidak pernah dibuat setelah hampir 8 tahun Otonomi Daerah bergulir.
Bagaimana pusat bisa menyelesaikan konflik-konflik kewenangan di pulau Bintan dan Karimun, sementara pekerjaan rumah yang lama saja tidak terselesaikan.

Masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang menggantung di benak pengusaha dan pengamat di kota ini. FTZ bukan lagi pemicu bagi kebangkitan ekonomi Kepri, toh, pertumbuhan yang terjadi selama ini bukan karena FTZ secara riil melainkan secara psikologis.

Insentif yang dirasakan oleh investor di kota ini merupakan peninggalan Menteri Keuangan Jusuf Anwar ketika meluncurkan Paket Deregulasi Juli atau yang dikenal dengan Bonded Zone Plus (BZP) pada 2005 lalu. Praktis sejak itu, tidak ada lagi peraturan pemerintah atau menteri yang secara signifikan mengatur atau memberikan insentif baru kepada pemodal.

Provinsi ini nyaris tidak lagi bangga dengan statusnya sebagai FTZ, karena status itu hanya menjadi lip service bagi pejabat-pejabat dalam setiap acara-acara seremonial di pusat dan daerah, untuk mengesankan bahwa Kepri memang maju karena FTZ padahal itu semua bohong belaka karena FTZ secara riil belum dirasakan di BBK.

Thursday, December 27, 2007

Wake Up..and Make it Up..!!

Penyelenggara Kota Batam ini benar-benar sudah parah, benar-benar tidak punya sense of crisis sedikitpun. Apakah memang seperti ini karakter sebuah pemerintah kota??
Saya rasa tidak, toh pemerintah kota di wilayah lain mampu memberikan layanan publik terbaik bagi rakyatnya walaupun di tengah keterbatasan anggaran.

Mentang-mentang dapat banyak Dana Bagi Hasil (DBH), eh bukannya dibuat mensejahterakan rakyat malah dibagi-bagi untuk pegawainya. Pak Walikota, coba lihat donk ke lapangan, apakah sudah berhasil anda membangun kota ini??

Lupakan dulu deh segala mimpi menjadikan Batam Bandar Dunia Madani, benahi dulu infrastruktur kota. Kami, rakyat kecil, hanya bisa menilai keberhasilan anda dari seberapa mampu anda memuluskan jalan-jalan umum. Tak perlu anda buktikan dengan memberikan banyak bantuan kepada fakir miskin atau sektor pendidikan, karena pasti itu juga tidak akan bisa anda selesaikan.

Mengurus benda mati seperti jalan dan infrastruktur saja anda kesulitan, apalagi mengurus manusia yang lebih kompleks.

Wajar bila kami gregetan dengan pemerintahan kota ini. Katanya mau mencanangkan Visit Batam Years 2010, tapi apa yang sudah dilakukan oleh staf anda di Dinas Pariwisata untuk mendukung pencanangan itu. Apakah cukup dengan menggelar lomba membuat logo Visit Batam Year lantas itu dibilang program kerja?

Mengapa tidak dibuat program yang konkrit, yang benar-benar mendukung pencanangan itu? Tidak usah jauh-jauh, benahi dulu jalan umum dan infrastruktur pelabuhan/bandara sebagai tempat keluar masuk wisatawan domestik dan mancanegara. Sudahkah Pak Wali melihat ke lapangan, bagaimana crowded nya kondisi di Pelabuhan Telaga Punggur, Terminal Batam Centre, atau sudahkah anda melihat kondisi jalanan menuju ke pelabuhan?

Lupakanlah Visit Batam Years 2010 bila dari sekarang tidak ada program yang konkrit. Kalo tidak mampu, libatkan para praktisi pariwisata yang dijamin sudah berpengalaman, janganlah anda mengandalkan staf anda di Dinas Pariwisata yang bercakap-cakap dalam bahasa inggris saja tidak mampu.

Tapi kalo kami rakyat kecil ini bisa mengusulkan, anda tegur juga anak buah anda di Dinas Kimpraswil. Tanyakan, apa saja yang sudah mereka kerjakan? Kalo mereka tak sanggup kerja, ya diganti aja.

Jangan maunya meraup uang pendapatan daerah dari retribusi dan pajak daerah tapi realisasi pembangunan tidak tercapai. Kami rakyat kecil dan dunia usaha bukan sapi perahan untuk menumpuk pundi-pundi gaji para pegawai negeri. Kalian digaji untuk mengabdi bukan untuk menumpuk pundi.

Sekali lagi, bangunlah hai penyelenggara negeri..
Mumpung masih ada waktu libur nasional, cobalah jalan-jalan dengan mobil dinas anda yang mengkilap itu. Lihatlah kondisi jalanan, mulai dari Batu Ampar hingga Bandara Hang Nadim, mulai dari Tanjung Uncang hingga Batam Center..

Setelah itu anda baca blog saya ini, maka anda pasti akan berpikir, wajar saja rakyatku muak dan menyumpah serapah, karena kenyataan di lapangan memang demikian.

so, wake up...and make it up..

Wednesday, December 26, 2007

Johor Port set to serve IDR


JOHOR Port Bhd is beefing up its operations to serve as import and export maritime gateway for the Iskandar Development Region (IDR).
Chief operating officer Abdul Wahab Abdull Majeed said the port, located within the IDR, played a strategic role as a logistics hub in that region.
“We want to increase the efficiency of terminal operations, ship turnaround time and yard operations as well as terminal capacity,” he told StarBiz.
In the second half of this year, the port took the delivery of one post-panamax quay crane and three rubber-tyred gantry (RTGs) for its container terminal.
“With this delivery, there will be a total of six post-panamax gantry cranes, one panamax gantry crane (for feeder operations) and 19 RTGs,” he said.
On the ICT infrastructure, Abdul Wahab said the port launched an upgraded terminal management system, the Johor Port Container Terminal System (JCTS), last year.
“The terminal also uses radio frequency identification (RFID) technology for tracking of containers with RFID tags. It is currently under trial run and will be fully implemented by the middle of next year,” he said.
He added that the port used a web-based container terminal system that facilitated real time, integrated and paperless transactions.
In terms of performance, Abdul Wahab said, the container terminal handled 453,626 20-ft equivalent units (TEUs) in the first half of this year, a 10% increase against the same period last year.
The container terminal has three berths with the total length of 760m, depth of 14m and yard area of 250,000 sq m.
According to Abdul Wahab, the existing warehouse space at its bulk and break bulk terminal is also being expanded by 10,935 sq m.
“Johor Port will further open up an area of about 20,175 sq m with 66,200-tonne storage tanks capacity for edible, biodiesel and biochemical products.
“The terminal, which is capable of handling heavy lift cargo, also recently introduced the service of floating crane with capacity ranging between 25 and 500 tonnes.
“Last June, the terminal took delivery of one dry bulk-handling crane, T-Rex 1. It is presently procuring another dry bulk handling-crane, T-Rex 2, which is scheduled to be in operation by August next year,” he said.
The bulk and break bulk terminal has berth length of 2.4km, with maximum draught of 13.5m and storage facility of 230,000 sq m.
It handles dry bulk cargo such as grains, cereals, palm kernel expellers, fertilisers, cement clinkers, iron ore and others. Meanwhile, under its break bulk facility, the terminal handles timber products, wood pulp, plate and coils, bagged cargo, scrap iron and ingots plus others.
The terminal also handles liquid bulk such as fuel oil, petrochemicals, gas, palm oil, soybean oil, corn oil, sunflower oil and coconut oil.
Abdul Wahab said its edible liquid terminal was the world’s largest tank farms for edible oil, with a storage capacity of over 460,000 tonnes at any time.
“Currently, the terminal is developing a new multipurpose terminal system for the management of activities in the terminal operation.
“The system will be ready by the third quarter of next year,” he said.
For the first half of this year, Abdul Wahab said, the terminal handled 7.7 million freight weight tonnes (fwt), contributed by an increase in throughput in the break bulk sector of 33% against the same period last year.
“Its liquid and dry bulk sectors experienced temporary slowdown in that period but are picking up in the second half of the year,” he said.
The terminal's total throughput last year was 16.7 million fwt.
To further support IDR development in terms of logistics, Abdul Wahab said, the port had teamed up with logistics subsidiary JP Logistics to provide supply chain management.
Johor Port has been facilitating the trading activities of the hinterland since its establishment 31 years ago.
“The Pasir Gudang industrial estate houses at least 300 companies from different industries, and some 90% of the cargo handled by the port originated from the hinterland.
“Not limiting itself to the Pasir Gudang industrial estate, it reaches customers well beyond Johor, penetrating into other industrial estates and economic zones to help facilitate trades,” he said.
Abdul Wahab added that the port was supported by multi-modal connectivity and served as a gateway for movement of trade through its direct links to rail system, road network and sea connectivity.
“Some of the container shipping liners are PIL, PACC, Wan Hai and Evergreen. For bulk sector, we have Stolt Neilsen, Jo Tanker BV, Norgas, MISC, Gearbulk, Swire, Thoresen and Rickmers,” he said.
On the proposal to hand over Johor Port's container operation the Port of Tanjung Pelepas, Abdul Wahab said the parent company of both ports, MMC Corp Bhd, was looking into the matter.
“Currently, the container business at Johor Port will operate as usual as long as there is demand from the shipping community,” he said.
The Johor Port container terminal now has 33 weekly strings served by 22 international main liners. It also has 17 weekly string services for feeder operations.

Malaysia sees economic zone booms in 2007


KUALA LUMPUR, Dec. 17 (Xinhua) -- Malaysia seemed very hectic in the elapsing year as various activities were launched nationwide to celebrate its tourism year and its 50th anniversary of independence. But it could not overshadow another landscape in the country -- pop-ups of new economic development zones.
Throughout the year, the current Malaysian government led by Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi unrolled or launched three economic development zones one after another in a bid to seek a balanced development of the country and enhance the life of every Malaysian.
The idea to establish economic development zones in the country might trace back to about two years ago and it came to reality when Badawi officially launched the country's first economic zone in November last year in the south most state of Johor.
The South Johor Economic Region (SJER) covers a land area of 2,217 square km in southern Johor, which borders Singapore over a strait. It is also called "Iskandar Development Region", named after Johor Sultan Iskandar who attended the launching ceremony.
The SJER aims to develop the region into a strong and sustainable international metropolis through attracting foreign investment.
Under the plan, the SJER would strengthen the region's role as a logistic hub, develop new service-based industries, upgrade human capital development through building education and entertainment satellite cities.
To that end, the Malaysian federal government had initially allocated 4.3 billion ringgit (1.3 billion U.S. dollars) to start up work on security, infrastructure and traffic improvement for 1.35 million people in the SJER.
The government also had set up some management bodies, like the South Johor Development Authority and South Johor Investment Corporation, to strengthen specific services and investment for the economic zone.
From the beginning of this year, the Malaysian government led by Badawi, has been sparing no efforts to promote the SJER and seizing every opportunity to encourage investors, both local and foreign, to go to the country's new leading economic zone to seek for business opportunities.
In August this year, the efforts apparently bore fruits as investors from Jordan, Kuwait and the United Arab Emirates signed a series of deals with Malaysia on real estate and infrastructure development for the SJER, initially with a total value of 1.2 billion U.S. dollars.
The deals represented the single largest foreign real estate development in Malaysia, and one of the largest single foreign investments in Malaysia.
Yet, it was not the only economic zone in the country as Badawi said when he launched it.
At the end of July this year, Badawi took a journey to northern Malaysia, announcing the country introduced another economic development zone -- the Northern Corridor Economic Region (NCER).
The NCER was the Malaysian government's initiative to accelerate economic growth and elevate income levels in the north of Peninsular Malaysia, encompassing the states of Perlis, Kedah, Pinang and the north of Perak.
Under the NCER development plan, the state of Pinang will be the logistics and transportation hub for the region with several major projects to be implemented, including the expansion of Pinang Port and the Pinang International Airport as well as an integrated terminal for rail, road and sea travel.
The hub also is aimed at serving for the Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle. The Malaysian prime minister has set up a committee led by himself to oversee the progress of the construction of the zone.
At the end of October this year, Badawi went to the east coastal states on Peninsular Malaysia and unveiled the country's third economic corridor plan -- East Coast Economic Region (ECER), which covers the states of Kelantan, Terengganu, Pahang and the Johor northern district of Mersing.
The ECER, which embraces nearly four million people or 15 percent of population in the country, is aimed at raising incomes of people and generate economic growth there.
According to the development plan, the ECER is expected to 560,000 jobs, attract 112 billion ringgit (33.9 billion U.S. dollars) worth of investment over the next 12 years.
The ECER will involve 227 projects in transportation, infrastructure, tourism, education, manufacturing, the oil and gas industries, and agriculture. It is also aimed at addressing the development imbalance between the east and west coasts of Peninsular Malaysia.
However, it is still not the end of the story. The country is still planning to establish another economic development region in East Malaysia's states of Sarawak and Sabah, which is expected to be launched next year.
Analysts said that these economic development zones planned by the government are expected to boost the overall economic growth of the country and pave the way for the National Front which forms the current coalition government to win the next general election

Kuwait company eyes partners to develop Malaysian IDR project

KUALA LUMPUR, Nov. 6 (Xinhua) -- Kuwait Finance House (KFH), one of the largest Islamic banks in the world, is looking for partners to develop the 249.6-hectare cultural and heritage zone in the Malaysian southern economic corridor, Iskandar Development Region (IDR).

"We are eyeing partners from Singapore, Japan, Middle East, Australia and China, in addition to the companies in this country to develop the site which was brought for 300 million U.S. dollars," said K. Salman Younis, managing director of KFH (Malaysia) Bhd, after the launch of its awareness campaign in Johor Baharu, capital city of southern Johor state on Tuesday.

The IDR which spreads over an area of 2,240 square kilometers lies on the southern tip of Johor and is touted as the new growth corridor where multi-billion ringgit investments are expected.
"We will also work closely with 2 consortiums from the Middle East to develop the entertainment industry, education, healthcare and financial products in the region," Malaysian national news agency Bernama quoted Younis as saying.

The development of the zone would be its initial project in the IDR before participating in the subsequent programs in the region, Younis said.
The details on the partnerships would be unveiled in 3 months, he said.

KFH would work closely with the federal and state governments to ensure the success of IDR which would benefit the economy and people, Younis said.
Earlier, in his speech, Younis said the campaign aimed to introduce the bank to the people.
KFH would set up a branch in Johor Baharu, its first outside Kuala Lumpur, by the first quarter next year, he said.

Headquartered in Kuwait, KFH's business covers corporate, investment, commercial and retail banking. Kuwait Finance House (Malaysia) Bhd is part of its expansion program.

Belajarlah ke Johor (2)

Saat ini pemerintah Malaysia dan Johor Bahru tengah mengembangkan sebuah kawasan baru bernama Iskandar Development Region (IDR). Konon, Malaysia mengalokasikan dana investasi sebesar lebih dari Rp50 triliun untuk membangun kawasan IDR tersebut. Sebuah nilai yang fantastis dari pemerintah Jiran.

Untuk apa saja dana sebesar itu? ya macam-macam, yang pasti buat membangun infrastruktur berkelas dunia. Karena nantinya, perusahaan jasa keuangan dunia akan berkantor di kawasan itu.

Seorang temen yang bekerja di JB menuturkan saat ini sedang dibangun jalan tol akses ke IDR yang tak lama lagi akan selesai. Jalan akses ini tidak menghubungkan IDR dari satu titik tapi dari berbagai titik sehingga dari manapun masyarakat bisa langsung bisa menuju IDR, tanpa hambatan.

Selain diproyeksikan sebagai pusat jasa keuangan, IDR juga bakal menjadi kawasan industri, dan hiburan dunia. Kabar terakhir menyebutkan Walt Disney memastikan membuka wahana hiburannya di kawasan tersebut. Ini artinya, IDR bakal menjadi cabang Disney ke tiga di Asia setelah Hongkong dan Tokyo.

So, anda bisa bayangkan...arus wisatawan bakal semakin ramai lagi ke Malaysia. Mereka tidak butuh lagi lagu Rasa Sayange atau Reog Ponorogo, sebab dengan maskot Mickey Mouse and Donald Duck sudah cukup untuk menyedot wisman ke negeri itu.

Tapi dibalik itu, ada peluang besar yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. Apalagi kalau bukan suplai TKI. IDR dipastikan membutuhkan ribuan buruh kasar sektor konstruksi dan pengamanan.
Menurut teman saya itu, Pemerintah JB lebih memilih buruh asal Indonesia untuk bekerja di kontruksi karena terbukti lebih rapi dibandingkan buruh dari negara lain. Untuk tenaga pengamanan, mereka memilih buruh asal Nepal atau Bangladesh. (mungkin karena mereka tinggi besar dan hitam tentunya..)
Untuk tenaga operator, buruh asal Filipina dan Vietnam menjadi pilihan karena produktif dan dibayar murah.

So, bagi anda yang punya bisnis penyalur TKI ke Malaysia, segeralah manfaatkan peluang ini. Hubungi mitra-mitra anda di Malaysia. Mumpung Indonesia masih kesulitan menyediakan lapangan kerja di tengah membludaknya pengangguran di negeri ini. Semoga, IDR banyak memberikan manfaat bagi kita..

Belajarlah ke Johor..

Seorang teman yang bekerja di Johor Bahru pulang ke Batam saat Hari Raya Idul Adha tanggal 20 Desember lalu. Tak terasa, selama tiga jam tanpa bosan dia menceritakan keberhasilan pemerintah JB dan Malaysia dalam mengembangkan dan membangun kawasan industri di negara bagian itu.

Mulai dari komitmen pemerintah dalam mengangkat derajat ekonomi masyarakat lokal (bumiputera) hingga penyediaan sarana infrastruktur yang saya yakin tidak akan mampu diikuti oleh Indonesia. Jalan mulus mulai dari pelabuhan hingga kawasan industri dan pusat-pusat perdagangan.

Bahkan pemerintah menyediakan nomor hotline khusus bagi masyarakat yang menemukan ada lubang atau jalan rusak. Sekali lagi, hal ini tidak akan pernah bisa ditiru oleh Indonesia.

Harus diakui, Indonesia masih terbelakang dalam penyediaan infrastruktur yang memadai. Jangan bicara wilayah lain yang ada di Papua atau Nusa Tenggara, toh Batam saja yang sudah jadi kawasan perdagangan bebas sekalipun masih berkutat dalam jalanan berkubang.

Pemerintah pusat dan lokal seolah lupa, urusan penciptaan daya tarik investasi bukan saja soal insentif dan penyediaan upah murah, tapi lebih dari itu, infrastruktur dan kenyamanan berkendara bagi kendaraan pengangkut barang ke pelabuhan jauh lebih penting.

Boro-boro mau mengadukan jalanan berlubang yang ada disudut pulau, lha wong jalan berlubang di depan hidung Pemkot Batam saja tidak dibenahi. Kenapa sulit sekali, kita di pulau ini menciptakan jalan yang layak dan nyaman? Apakah keterbatasan anggaran selalu jadi kambing hitam?

Kembali ke cerita teman saya soal JB, rasanya tidak cukup waktu bagi dia menceritakan keunggulan kawasan yang katanya menjadi saingan Batam sebagai kawasan tujuan investasi asing. Tapi, menurut saya, JB bukan saingan Batam, masih jauuuuhhh...Dibandingkan Pekanbaru saja, Batam masih ketinggalan dalam penyediaan jalan yang rapi, bersih dan minus lubang.

Jadi bagaimana? Ya banyak belajar, belajar, dan belajar. Tapi belajar saja tidak cukup tanpa komitmen dari legislatif dan eksekutif. Anggaran besar jangan dihabiskan untuk studi-studi bandng dan tunjangan yang tidak perlu. Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) diberikan oleh pusat bukan untuk mensejahterakan pegawai negeri, tapi menyediakan sarana publik yang nyaman dan mendukung percepatan ekonomi.

PNS yang bergaji tinggi tidak menjamin pekerjaannya akan semakin baik dan efisien. PNS bergaji besar juga tidak menjamin yang bersangkutan akan berhenti melakukan praktek korupsi dan kolusi.

So, berubahlah hai penyelenggara negeri..
Kami masih menanti komitmen kalian untuk memberikan yang terbaik bagi pulau ini.

Monday, December 24, 2007

Hidup di Batam mulai membosankan..!!

Emang bener sih..makin lama hidup di Batam semakin membosankan. Penyebabnya tak lain adalah kondisi jalan umum yang kian memprihatinkan tanpa ada tindakan konkrit yang cepat dari pemerintah setempat.

Mulai dari berangkat kerja pagi hari, pergi makan siang, hingga pulang lagi ke rumah, PASTI kita jumpa jalanan berlubang. Oke, kita maafkan jalanan rusak karena ada perbaikan gorong-gorong, tapi bagaimana dengan jalan yang rusak tapi tidak ada perbaikan apapun di sana.

Batam kini sudah jadi KOTA SEJUTA LUBANG, tak ada lagi jalan mulus di kota ini. Kemana saja kalian para pemegang kebijakan di kota ini. Tidakkah kalian lihat fakta di lapangan?

Mereka melihat tapi pura-pura tidak tahu. Biarkanlah jalan berlubang, yang penting gua khan tetap nyaman, naik mobil mewah dengan suspensi anti jalan berlubang. Emang gw pikirin..!!

Ironisnya, Pemkot Batam sebagai institusi yang katanya bertanggung jawab terhadap pembangunan kota ini tidak punya anggaran yang cukup untuk memperbaiki jalan baru. Jangankan membangun jalan baru, memperbaiki saja pun mereka tidak sanggup.
Dikemanakan uang rakyat ratusan miliar itu, hai para pejabat.
Mengapa uang rakyat kalian habiskan untuk mensejahterakan para pegawai? Mengapa kalian korbankan kesejahteraan rakyat yang ratusan ribu jiwa ini.

Tidak ada gunanya menjerit..toh tidak didengar juga..

Dalam APBD 2008 yang baru disahkan itu tercatat anggaran pendapatan Batam sebesar Rp870 miliar namun sayang..60% dari jumlah itu habis untuk gaji, tunjangan, dan kesejahteraan para pegawainya baik di Pemkot maupun di DPRD.

Hanya tersisa 40% saja untuk pembangunan proyek-proyek. Itu pun harus dibagi-bagi lagi per instansi yang mengusulkan. Bagaimana mau memikirkan kemulusan jalan, lha wong untuk memperbaiki infrastruktur sekolah dan kesehatan saja masih kembang kempis.

Lengkaplah sudah, kota ini memang berjalan tanpa pola, tak tau mau dibawa kemana. Tata kota yang tidak beraturan, tanah gersang di mana-mana, air mampet, banjir, jalan berlubang, reklame bertebaran tak beraturan, ketidakdisiplinan pengendara, kejahatan meningkat dan sebagainya.

Kapan kota ini mau belajar..
Kapan kota ini mau tersadar bahwa ia sudah jadi kawasan bebas..

Atau memang penyelenggara kota ini sudah bosan belajar dan tidak mau tersadar..

its getting bored living in this city..

Mau Jadi Apa Pulau Batam??

UU No. 44 Tahun 2007 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sudah disahkan oleh pemerintah. Ini artinya, selama satu tahun ke depan atau hingga akhir 2008 ini, FTZ di Batam, Bintan, dan Karimun sudah harus diimplementasikan.

Sesuai amanat dalam PP No. 46, 47 dan 48 tahun 2007, setelah status FTZ disahkan maka presiden harus mengesahkan struktur Dewan Kawasan FTZ BBK setelah mendapatkan usulan dari Gubernur dan DPRD Provinsi Kepri.

Gubernur Kepri Ismeth Abdullah pun sudah paham dengan hal itu, beberapa nama pun diusulkan untuk menduduki posisi strategis dalam DK FTZ BBK. Walaupun beliau malu-malu menyebutkan siapa saja pejabat birokrat yang duduk dalam DK, namun publik sepertinya sudah bisa menerka-nerka.

Tanpa perlu menunggu bocoran pun, beberapa pengamat sudah bisa memperkirakan siapa saja yang akan duduk dalam DK. Perkiraan sementara menyebutkan posisi Ketua DK akan diduduki oleh sang gubernur sendiri, Wakil Ketua DK oleh Ketua DPRD Kepri. Selanjutnya, anggota dirangkap secara ex-officio oleh Wakil Gubernur, Walikota Batam, Bupati Bintan, Karimun, Dinas terkait, Kapolda Kepri, Kepala Kejaksaan Tinggi, Bea Cukai, dan tiga orang wakil pengusaha yaitu Kadin Kepri, Apindo Kepri, dan pengusaha kawakan Kris Wiluan.

Beberapa pejabat yang dihubungi Bisnis mengaku belum tahu kalau dirinya diusulkan duduk dalam DK BBK. Seperti Jon Arizal, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepri. Dia baru tahu kalau ternyata namanya ikut diusulkan oleh Gubernur kepada presiden.

"Saya ndak tau kalau ternyata saya ikut diusulkan. Tapi itu khan baru sekedar usulan, dan bisa saja usulan itu berubah dalam artian bertambah jumlahnya atau berkurang,"

Namun demikian, tidak sedikit yang bersuara mengkritisi kebijakan Ismeth Abdullah dalam menentukan nama-nama pejabat yang duduk dalam DK.

Ampuan Situmeang, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Etika Usaha Kadin Kepri, menilai tolak ukur penunjukkan seorang pejabat untuk duduk dalam DK tidak jelas sehingga diragukan kapabilitasnya dalam menjalankan roda organisasi DK nantinya.

Ampuan benar, layaknya sebuah organisasi profesional yang akan menentukan arah pembangunan Batam-Bintan-Karimun ke depan, sudah selayaknya personel yang duduk dalam DK diisi oleh kalangan profesional baik birokrat atau pengusaha.

"Artinya, orang yang duduk dalam DK memiliki visi pembangunan yang jelas dan bukan sekedar duduk karena jabatannya," ujar seorang pengusaha.

Memang harus diakui, langkah Ismeth mengusulkan struktur DK dinilai gegabah dan tanpa melalui prosedur perekrutan personel yang lazim digunakan seperti mekanisme fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan.

Padahal, melalui mekanisme ini bisa diperoleh para personel yang benar-benar mumpuni dan memiliki kapasitas terbaik di bidangnya. Bukannya personel yang ditunjuk berdasarkan jabatan yang disandangnya saat ini.

Tidak jelas
Satu hal yang harus mendapat perhatian dari pemerintah adalah mengenai struktur personel yang didominasi oleh pejabat. Mengapa harus birokrat? Apakah negeri ini sudah kekurangan orang pintar?

Faktor birokrat dan pejabat ini harus jadi perhatian karena dengan posisi mereka saat ini saja sudah disibukkan oleh tugas-tugas daerahnya apalagi bila mereka juga duduk di DK BBK, bisa dibayangkan berapa besar lagi tanggung jawab yang harus dipikulnya.

Bukan itu saja, kinerja mereka seperti Gubernur Kepri, Walikota Batam, Bupati Bintan dan Karimun belum terbukti berhasil dalam mengangkat derajat ekonomi masyarakat setempat, trus mereka dipaksa untuk berpikir mengembangkan kawasan bebas yang jauh lebih rumit.
Adakah hal ini jadi perhatian???

Mestinya, mereka yang ditunjuk dan diusulkan itu bisa legowo dan mawas diri serta mengukur kemampuan diri. Apakah mereka sudah layak duduk dalam DK? Kalau belum layak, berikan tempat kepada yang layak.

Gubernur juga harus bertindak bijak sebagai orang yang bertanggung jawab dalam penunjukkan ini. BBK sudah lama terlantarkan, sudah saatnya kawasan ini bangkit membangun dan membangun agar tidak semakin jauh tertinggal.

Pesan buat pak Ismeth, kita masih saja meributkan soal DK dan orang, sementara Johor Bahru sedang giat-giatnya membangun sebuah kawasan baru lengkap dengan infrastruktur dan insentif menarik.

Terlalu jauh kita membandingkan diri dengan Johor, Batam tidak ada apa-apanya. lha wong ngurus jalan aja masih gak becus apalagi mau bersaing dengan luar negeri.
Kita harus berkaca dan introspeksi diri. Jangan buruk muka cermin dibelah.

Atau jangan-jangan, para pejabat di sini memang doyan berleha-leha. Terserah mau ngomong apa, yang penting korupsi masih bisa jalan, dan persetan dengan segala perbaikan.

Waduh-waduh...mau jadi apa Batam ini???

Wednesday, October 10, 2007

DPR Sahkan Perpu I/2007 Jadi UU FTZ

Jakarta (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pengesahan RUU tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2007 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas menjadi Undang-Undang (UU).Semua fraksi yang berjumlah sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU tersebut dalam rapat paripurna DPR, Selasa, kecuali Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP).FPDIP menyatakan tetap menolak RUU tentang Perpu No I/2007 menjadi UU karena dinilai penetapan Batam, Bintan dan Karimun menjadi kawasan perdagangan bebas (FTZ) tidak cukup dengan Peraturan Pemerintah turunan UU itu."Kami berniat mempelopori adanya landasan hukum yang kokoh atas Batam, Bintan, dan Karimun, yakni melalui Undang-Undang," kata anggota fraksi PDIP, Hasto Kristiyanto, saat membacakan pandangan fraksinya.FPDIP akan mengajukan Rancangan UU inisiatif pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)B Batam, Bintan, Karimun (BBK).RUU KEK BBK, lanjut dia, merupakan landasan hukum yang akan memberikan kepastian investasi dan akan terbentuk FTZ yang memperkuat semangat otonomi."UU itu merupakan landasan yang memungkinkan pengaturan kelembagaan dengan kejelasan urusan pemerintah pusat, pemerintah otonom Kota Batam dan kejelasan mekanisme kerja dengan Otorita Batam," jelasnya.PDIP juga menolak dilakukannya voting dan menyatakan tidak ikut dalam pengesahan UU tersebut."Dengan demikian kita tidak bertanggung jawab terhadap keputusan UU ini," ujarnya.Meski menyetujui pengesahan UU FTZ, Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) memberikan beberapa catatan dan syarat."PKS meminta pemerintah untuk sungguh-sungguh melakukan antisipasi setelah disahkannya Perppu menjadi UU," kata anggota FPKS, Refrizal.Anggota DPR dari PAN, Nasril Bahar mengatakan, pemerintah tidak boleh menerbitkan lagi Peraturan Pemerintah tentang FTZ sebelum ada UU KEK.Selain itu, pemerintah harus menyediakan kawasan khusus untuk Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam kawasan perdagangan bebas itu.Sebelumnya, Ketua Komisi VI DPR, Didik J. Rachbini menjelaskan, bahwa dalam pembahasan selama ini ada beberapa isu yang butuh perhatian pemerintah, diantaranya mengenai waktu pembahasan yang kurang dari satu bulan, penafsiran kegentingan yang memaksa dan disharmoni kebijakan."Perpu FTZ ini dibahas secara efektif dalam waktu kurang dari 1 bulan dari 14 September-4 Oktober dan ini waktu yang singkat untuk menyusun UU, namun Anggota Komisi VI menyadari bahwa FTZ penting untuk menarik investasi," ujarnya

FTZ cukup dengan PP

JAKARTA: Pembentukan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas (free trade zone/ FTZ) yang semula harus melalui UU kini cukup dengan peraturan pemerintah (PP), menyusul disetujuinya Perppu No. 1/2007 oleh sidang paripurna DPR di Jakarta, kemarin.

"Perubahan dasar hukum itu untuk mempercepat terciptanya landasan hukum dalam membenahi iklim investasi," kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu ketika membacakan pandangan akhir pemerintah dalam sidang itu।

Mendag menambahkan ketidakpastian hukum akibat sejumlah perubahan pascakrisis ekonomi mengakibatkan iklim investasi di BBK makin tidak kondusif, meski pemerintah pusat dan daerah telah memperbaiki berbagai peraturan terkait investasi.

Di tempat yang sama, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi menyatakan perubahan dasar hukum dari UU menjadi PP itu tidak akan membedakan status kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas yang ada।?

Sebab, sebelum UU tentang Penetapan Perppu No.1/2007 disepakati, Indonesia telah memiliki UU No. 36/2000 yang merupakan Penetapan Perppu No. 2/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi UU.

"Kedudukan Batam, Bintan, dan Karimun tidak berbeda dengan Sabang।? Justru itu yang diperbaiki," tambahnya saat berkunjung ke Bisnis setelah rapat paripurna tersebut।

Karena itu, menurut dia, Perppu No.1/2007 justru membuat BBK yang jadi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas masing-masing melalui PP No.46/2007, PP No.47/2007, dan PP No.48/2007 lebih kuat secara hukum.

Jalan pintas
Dalam sidang tersebut, satu fraksi yakni F-PDIP, ditambah dua legislator F-PAN-Dradjad H. Wibowo dan Alvin Lie-mengajukan minderheidsnota.
Juru bicara Fraksi PDIP Hasto Kristanto menyatakan catatan keberatan itu didasarkan kebutuhan atas kebijakan strategis yang terencana, final, dan menyeluruh, untuk pengelolaan BBK, bukan dengan jalan pintas, tambal sulam atau kebijakan trial and error.

Keberatan itu, sambung dia, bertolak dari pemahaman bahwa Perppu tersebut mengatur penetapan suatu daerah menjadi FTZ hanya melalui PP। Padahal, ada hal prinsip dalam FTZ, yaitu lepasnya sebagian kedaulatan negara terhadap suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu।

"Harapan kita terhadap Batam berakhir antiklimaks, bukan UU penetapan kawasan ekonomi khusus yang dikeluarkan. Tapi malah PP yang tidak cukup kokoh menyangga harapan yang begitu besar terhadap kawasan yang strategis itu."

Hasto menegaskan fraksinya tidak menolak upaya pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi di BBK। F-PDIP justru ingin memperkuat dasar hukum perbaikan tersebut। Karena itu, cara yang ditempuh dalam menetapkan suatu kawasan FTZ harus melalui UU।

"Kami sudah siapkan RUU Inisiatif Penetapan Batam, Bintan, dan Karimun sebagai FTZ। Pada saat yang sama, kami juga akan mengajukan judicial review terhadap Perppu ini. RUU inisiatif hanya butuh 13 orang, dan kami akan fight," tegasnya.

Sementara itu, Alvin Lie mengatakan pemerintah harus sudah siap dengan skema perbaikan struktur dan sistem legalisasi investasi di BBK, termasuk membangun sistem hak atas tanah rakyat, mengembangkan usaha mikro dan kecil, serta mengantisipasi penyelundupan।

Alvin menyadari sikapnya tidak didukung penuh fraksinya। Sebab, meski mengajukan sejumlah syarat, fraksi itu tetap setuju dengan penetapan Perppu tersebut. "Saya dan Dradjad bisa memahami Perppu ini, tapi tidak dapat menerima Perppu FTZ sebagai UU," tegas Alvin.

Seusai sidang, Mendag, Lutfi, Menhuk-HAM Andi Mattalata dan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah yang menggelar konferensi pers, menjanjikan peningkatan daya saing, penambahan ekspor dan investasi ke BBK pascapersetujuan RUU Penetapan Perppu No। 1/2007.

Lutfi mengatakan penetapan BBK sebagai FTZ akan membuka 88।000 lapangan kerja dari investasi Rp104,33 triliun. Sejak 2 Agustus, 20 perusahaan telah menyatakan minatnya berinvestasi senilai US$1,9 miliar di BBK.

Peningkatan investasi ke BBK diharapkan menaikkan ekspor dalam tiga tahun sebesar US$14,9 miliar, 14% dari total ekspor nasional. Lalu memangkas tren relokasi 26 pabrik dari kawasan tersebut yang sudah menciptakan lapangan kerja bagi 29.140 orang.

Saturday, September 8, 2007

Perppu FTZ berpeluang dirombak

JAKARTA: Parlemen mungkin akan merombak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2007 tentang Pembentukan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas yang sudah diajukan pemerintah pekan lalu.

Dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi VI DPR tentang Perppu tersebut di Jakarta, kemarin malam, tiga pakar hukum tata negara, yakni Ismail Sunny, Erman Rajagukguk, dan Harun Al Rasyid, mengingatkan kewenangan yang dimiliki parlemen itu.

Ketiganya menekankan kewenangan parlemen tidak sekadar pada tingkat menyetujui atau menolak perppu seperti diatur Pasal 140 Ayat (1) UU No.10/2004.
Mereka menekankan pada Ayat (2) pasal yang sama menyebut pembahasan sekaligus penyelesaian Perppu tersebut.
"Nah, di Ayat 2 itu berlaku ketentuan Pasal 136,137,138 dengan memerhatikan ketentuan khusus untuk RUU dari pemerintah. Jadi pembahasan Perppu ini, kalau kami semua setuju, bisa saja diubah," ujar anggota Komisi VI Irmady Lubis (F-PDIP) di Jakarta, kemarin.

Dia mengatakan dalam rapat itu juga makin jelas ternyata Perppu No.1/2007 hanya mengubah penetapan pembentukan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas, dari tadinya harus melalui UU seperti diatur UU No.36/ 2000 menjadi melalui PP.

Senada dengan Irmady, Refrizal (F-PKS) yang juga hadir pada rapat tersebut, mengatakan ada memang kemungkinan DPR mengubah Perppu tersebut. Perubahan itu terutama di bagian konsideran yang menunjukkan sudah terpenuhinya syarat kegentingan memaksa dan situasi darurat.

"Ketiga pakar itu setuju dengan hal ikhwal menyangkut kegentingan memaksa dan situasi darurat. Tapi kalau kita lihat lagi, situasi memaksa dan darurat itu kan karena pemerintah yang lamban, bukan karena faktor lain. Jadi masih sumir," tandasnya.
Parlemen, kata Refrizal, menginginkan agar free trade zone ini memiliki dasar hukum yang kuat yang memberi kepastian kepada investor. Karena itu, DPR tidak menginginkan Perppu ini punya celah besar untuk ditorpedo di Mahkamah Konstitusi nanti.

Irmady menambahkan, perlu dipahami bahwa FTZ berawal dari penandatanganan MoU antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan PM Lee di Singapura per 2006. Lalu diputuskan di UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal bahwa FTZ dibentuk melalui UU.
"Sampai tiba deadline, lalu bikin Perppu, syarat pembentukan FTZ di UU No.32/2000 diubah jadi PP. Kami ini bukan usil, tapi kalau Perppu mengamendemen satu dua pasal saja, rusak sistem tata negara kita. Apa saja bisa dibuat Perppu, terlalu menggampangkan," papar Irmady.

Tanpa alternatif
Di tempat terpisah, Menteri Negara PPN/ Kepala Bappenas Paskah Suzetta menyatakan pemerintah akan terus melakukan pendekatan dengan DPR agar Perppu No. 1/ 2007 mendapat persetujuan.

Dia mengakui lobi itu dilakukan karena pemerintah tidak memiliki alternatif lain selain mendapatkan persetujuan legislatif atas Perppu tersebut.
"Kami akan bicarakan dengan DPR. Pembicaraan segitiga antara pemerintah daerah, pemerintah pusat harus segera dilakukan," tuturnya di Jakarta, kemarin.

Dia membenarkan jika Perppu No. 1/2007 ini ditolak oleh DPR, maka tiga PP yang menetapkan FTZ, batal demi hukum.
Paskah menyatakan penunjukan Batam, Bintan, dan Karimun sebagai kawasan FTZ merupakan aspirasi masyarakat. "Pemerintah berupa untuk mengakomodasikan kepentingan masyarakat setempat," ujarnya.

Sebelumnya Kadin meminta agar FTZ di semua kepulauan yaitu Batam, Bintan, dan Karimun agar ada kepastian hukum usaha

Friday, September 7, 2007

Nasib FTZ-BBK terancam September 'kelabu'


Pada 14 September 2004, semestinya menjadi hari bersejarah bagi Pulau Batam, karena saat itu DPR nekat mengesahkan UU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam walaupun tanpa persetujuan Presiden Megawati.

Karena disahkan sepihak, maka sudah pasti, nasib UU itu pun terkatung-katung alias tidak diakui. Sembilan fraksi DPR punya kesimpulan yang sama dalam pengesahan RUU FTZ Batam menjadi UU saat itu.

Padahal hingga pembahasan terakhir pada 10 September, masih terjadi tarik ulur antara pemerintah dan DPR terhadap tiga pasal, yaitu pasal 2 mengenai pembagian wilayah FTZ, pasal 16 mengenai tata ruang, dan pasal 18 mengenai pengalihan asset.

Tepat tiga tahun sejak UU FTZ Batam disahkan dan di bulan yang sama, kini DPR kembali ke meja perundingan untuk membahas kelayakan Perppu No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UU.

Namun kali ini posisi berbalik. Pemerintah sebagai pihak yang mengesahkan perppu tersebut berada dalam posisi terancam karena di kalangan legislatif muncul spekulasi untuk menolak perppu menjadi UU.
DPR di atas angin, pemerintah tersudut. Kedua pihak saling ngotot dengan argumentasi masing-masing mengenai keabsahan perppu ini.

Yang menarik adalah mengapa legislatif ngotot mempertanyakan keabsahan perppu tersebut. Apakah ada prosedur yang dilanggar atau ada pihak-pihak yang merasa dilangkahi?
Padahal, bila merunut pada kejadian tiga tahun lalu saat pengesahan RUU FTZ Batam, semestinya anggota legislatif masih memiliki semangat dan visi yang sama terhadap pengembangan Pulau Batam.

Pada pembahasan kali ini, kedua pihak bisa menyatukan pandangan dan bukan lagi saling mempertanyakan. Tapi kenyataan berkata lain, beberapa fraksi masih belum bisa menerima alasan pemerintah menerbitkan perppu tersebut.

Melanggar konstitusi
Mengapa DPR terkesan garang dalam pembahasan perppu ini? Ketua Komisi VI DPR-RI Didik J. Rachbini mengakui adanya silang pendapat antar anggota terhadap pemberlakuan perppu tersebut.

Dia menegaskan pada prinsipnya ide dasar pembentukan kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) oleh pemerintah didukung penuh oleh legislatif karena ini diatur dalam UU Penanaman Modal.
"Hanya saja masalah aspek legal dan prosedural dalam penerbitan Perppu itu tidak bisa grasa-grusu, mestinya ada konsultasi sebelum disahkan" ujarnya kepada Bisnis.

Komisi VI mendapat tugas untuk membahas kelayakan Perppu No. 1/2007 ini menjadi undang-undang. Dan selanjutnya, Didik menyerahkan kepada para fraksi untuk menyatakan pendapatnya terkait pengesahan perppu tersebut pada 4 Juli 2007 lalu.

Namun demikian dia mengajak masyarakat dan pengusaha untuk terus optimistis selama pembahasan perppu ini berlangsung di DPR yang akan digelar selama satu bulan ke depan.
Proses perundingan masih berlangsung sejak 5 September lalu. Awalnya ada empat fraksi yang menyatakan penolakannya terhadap pengesahan perppu tersebut, namun informasi terakhir menyebutkan hanya Fraksi PDI-Perjuangan yang masih belum setuju.

Irmady Lubis, anggota Komisi VI DPR-RI dan anggota Fraksi PDI-P, menyesalkan penerbitan perppu dan PP ini karena itu sama saja pemerintah memberikan ketidakpastian hukum kepada para calon investor di Batam, Bintan, dan Karimun.

"Perppu ini masih berpeluang untuk dibatalkan dan belum tentu DPR menyetujui. Apabila DPR sepakat untuk batal maka status hukum FTZ BBK akan dicabut kembali," ujarnya.

Dalam Pasal 22 UUD 1945 disebutkan (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Walaupun nanti disetujui, kata Irmady, Fraksi PDI-Perjuangan akan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi atas pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2007 itu karena melanggar konstitusi.

Rancu
Irmady menilai ada banyak kerancuan dan pelanggaran system ketatanegaraan dalam penerbitan Perppu No.1 Tahun 2007 dan PP 46, 47, dan 48 sebagai turunannya.
"PP itu tidak sah menurut hukum, sebab PP harus berdasarkan UU bukan Perppu. Bagaimana bisa presiden mengesahkan PP sedangkan Perppu yang menjadi dasarnya belum menjadi UU. Ini sudah pelanggaran terhadap konstitusi," tuturnya.

Begitu juga, kata dia, dalam penerbitan Perppu itu sendiri sudah menyalahi aturan karena DPR tidak melihat adanya kegentingan atau keadaan darurat sehingga perlu diterbitkan sebuah Perppu.

Apalagi, lanjutnya, ternyata dalam perppu itu hanya mengubah Pasal 2, 3, 4, dan ketentuan peralihan di mana dalam pasal 4 menyebutkan pembentukan kawasan FTZ ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Perppu No. 1/2007 berisi tentang perubahan atas UU No. 36/2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang. Disahkan pada 4 Juni 2007.
Sedangkan PP No. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun disahkan pada 20 Agustus 2007.

Kendati perppu ini nanti akan disahkan juga oleh mayoritas fraksi, namun itu bukan berarti persoalan akan selesai dengan sendirinya. Penolakan fraksi PDI-P tidak bisa dinafikkan begitu saja.

Ancaman judicial review dari Fraksi PDI-P patut menjadi perhatian dan bukan tidak mungkin Mahkamah Konstitusi akan membatalkan peraturan itu.
Tidak mudah memang membangun sebuah kawasan khusus dalam sistem perpolitikan seperti sekarang ini. Harus ada sinkronisasi dan kesatuan visi antara legislatif dan eksekutif, bila satu pihak saja menolak maka sia-sia semua upaya.

Seharusnya kejadian tiga tahun lalu bisa menjadi pelajaran. Saat itu pemerintah ngotot menolak UU yang disahkan sepihak, dan kini DPR-lah yang mencoba membalas perlakuan pemerintah.
Semoga saja aksi tolak menolak ini bukan didasari politik balas dendam. Seperti yang sudah disampaikan Didik, semangat FTZ-nya sudah sama, tinggal bagaimana pemerintah mengkomunikasikan pembahasan perppu ini menjadi UU.

Ismeth Abdullah, Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, mengharapkan ada pemahaman yang mendalam dari seluruh tim DPR yang membahas perppu tersebut. "Dengan demikian semua pihak bisa menerima perppu itu menjadi UU."

Pembahasan masih terus berlangsung di Senayan. Kemarin, DPR sudah mendengarkan pandangan dari tiga pakar hukum tata Negara mengenai keabsahan perppu ini.
Apakah giliran DPR yang akan membatalkan perppu tersebut sehingga skor impas 1-1, atau dengan terpaksa legislatif manut lagi dengan keinginan pemerintah. Kita tunggu saja!

Thursday, September 6, 2007

Paskah: FTZ jalan terus

Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengisyaratkan pemerintah enggan mundur terkait penolakan DPR pada Perppu FTZ? karena Perppu tersebut merupakan aspirasi masyarakat setempat, sementara penolakan DPR hanya karena formalitas.

"Kalau Perppunya ditolak ya PP-nya ga bisa. Tapi nanti kita bicara lagi lah dengan DPR supaya mereka bisa paham. Ya DPR harus dengar aspirasi dari sana dong. Kita kan juga menyerap aspirasi dari sana," kata Paskah di sela-sela Rapat Kerja Dephub di Jakarta, Rabu.

Menurutnya, penetapan sistem kantung (enclave)hanya untuk Bintan dan Karimun sudah final karena tidak mungkin diterapkan di Batam. Bahkan, menurutnya, jika sistem enclave tetap dipaksakan di Batam, protes besar-besaran masyarakat Batam bakal terjadi.

Sebelumnya, DPR menolak Perppu I/2007 tentang FTZ karena mempertanyakan alasan penggunaan Perppu untuk sesuatu yang dianggap tidak mendesak. DPR juga meminta adanya revisi UU 36/2000 tentang Kawasan Ekonomi Khusus agar penetapan kawasan FTZ menggunakan UU, bukan PP.

Komisi VI Rabu pukul 19.30 dijadwalkan untuk melakukan rapat dengar pendapat dengan beberapa ahli hukum untuk meminta pertimbangan tentang Perppu FTZ ini.

Wednesday, September 5, 2007

DPR harus dengar aspirasi daerah

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dihimbau untuk lebih objektif dalam pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi undang-undang.
Penolakan sebagian fraksi terhadap keabsahan perppu itu justu membuat iklim investasi di Batam semakin merosot.
Irwansyah, Wakil Ketua Komisi III DPRD Batam, menegaskan pemberlakuan perppu itu oleh pemerintah pada 4 Juli lalu sudah sesuai dengan ketentuan dalam konstitusi.
“Soal kegentingan dan situasi darurat itu sudah sesuai kenyataan bila melihat Pulau Batam tengah menghadapi situasi genting karena PMA mulai hengkang dan pengangguran meningkat,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Justru, kata dia, dengan pemberlakuan perppu itu dan dilanjutkan dengan terbitnya peraturan pemerintah tentang kawasan perdagangan bebas Batam maka pulau ini semakin bergairah dan menarik bagi pemilik modal.
Dia mengharapkan ditetapkannya Batam sebagai kawasan FTZ maka arus modal akan kembali mengalir ke pulau ini dengan demikian pengangguran bisa teratasi dan perekonomian masyarakat semakin meningkat.
“Kami di daerah sangat berharap DPR mau mendengar aspirasi pengusaha dan masyarakat. Dalam hal ini, DPR harus objektif melihat kondisi Batam,” papar Irwansyah.
Dia mengusulkan bila legislative butuh informasi lebih banyak mengenai kondisi riil di pulau ini maka sebaiknya DPR mengundang kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kadinda, Apindo, Hipmi, dan HKI.
Sementara itu Ismeth Abdullah, Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, mengharapkan dalam pembahasan akan ada pemahaman yang lebih mendalam dari seluruh tim DPR yang membahas perppu tersebut.
“Tentunya kami berharap perppu itu bisa dibahas menjadi UU tentunya dengan pemahaman yang sama dari pemerintah dan DPR,” tuturnya.
Informasi terakhir menyebutkan hampir seluruh fraksi sudah menyatakan persetujuannya untuk mengubah Perppu No. 1 Tahun 2007 menjadi UU kecuali Fraksi PDI-Perjuangan.
Irmady Lubis, anggota Komisi VI DPR yang juga anggota Fraksi PDI-P, menegaskan pengesahan perppu telah melanggar konstitusi dan masih berpotensi untuk dibatalkan.
“Karena perppu itu bermasalah maka PP yang menjadi turunannya pun cacat hukum,” tegasnya.
Pada kesempatan terpisah Didik J. Rachbini, Ketua Komisi VI DPR, mengakui adanya perdebatan dan perbedaan pendapat dari kalangan anggota terhadap keabsahan perppu tersebut.
“Kami mendukung upaya pemerintah, hanya saja masalah aspek legal dan procedural dalam penerbitan Perppu itu tidak bisa grasa-grusu,” ujarnya.
Namun demikian dia mengajak masyarakat dan pengusaha untuk terus optimistis selama pembahasan perppu ini berlangsung di DPR yang akan digelar selama satu bulan ke depan.
“Jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa perppu ini akan dibatalkan, perdebatan bisa saja terjadi dan proses negosiasi masih terus berlangsung,” tandas Didik.

DPR bakal berdebat soal FTZ BBK

Ketua Komisi VI DPR-RI Didik J. Rachbini mengakui adanya perdebatan oleh legislative mengenai aspek legal dalam pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Dia menegaskan pada prinsipnya ide dasar pembentukan kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) oleh pemerintah didukung penuh oleh legislative karena ini diatur dalam UU Penanaman Modal.
“Hanya saja masalah aspek legal dan procedural dalam penerbitan Perppu itu tidak bisa grasa-grusu, mestinya ada konsultasi sebelum disahkan” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Komisi VI mendapat tugas untuk membahas kelayakan Perppu No. 1/2007 ini menjadi undang-undang. Dan selanjutnya, Didik menyerahkan kepada para fraksi untuk menyatakan pendapatnya terkait pengesahan perppu tersebut pada 4 Juli 2007 lalu.
Namun demikian dia mengajak masyarakat dan pengusaha untuk terus optimistis selama pembahasan perppu ini berlangsung di DPR yang akan digelar selama satu bulan ke depan.
“Jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa perppu ini akan dibatalkan, perdebatan bisa saja terjadi dan proses negosiasi masih terus berlangsung,” papar Didik.
Informasi terakhir yang diperoleh Bisnis mengungkapkan empat fraksi di DPR sudah menyatakan penolakannya terhadap perppu ini yaitu Fraksi PDI-Perjuangan, PKB, PKS, dan fraksi gabungan.
Perppu No. 1 Tahun 2007 berisi tentang perubahan atas UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang. Disahkan pada 4 Juni 2007.
Sedangkan PP No. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun disahkan pada 20 Agustus 2007.
Irmady Lubis, anggota Komisi VI DPR-RI, menyesalkan penerbitan perppu dan PP ini karena itu sama saja pemerintah memberikan ketidakpastian hukum kepada para calon investor di Pulau Batam, Bintan, dan Karimun.
“Perppu ini masih berpeluang untuk dibatalkan dan belum tentu DPR menyetujui. Apabila DPR sepakat untuk batal maka status hukum FTZ BBK akan dicabut kembali,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Dalam pasal 22 UUD 1945 disebutkan (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Walaupun nanti disetujui, kata Irmady, Fraksi PDI-Perjuangan akan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi atas pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2007 itu karena melanggar konstitusi.
Irmady menilai ada banyak kerancuan dan pelanggaran system ketatanegaraan dalam penerbitan Perppu No.1 Tahun 2007 dan PP 46, 47, dan 48 sebagai turunannya.
“PP itu tidak sah menurut hukum, sebab PP harus berdasarkan UU bukan Perppu. Bagaimana bisa presiden mengesahkan PP sedangkan Perppu yang menjadi dasarnya belum menjadi UU. Ini sudah pelanggaran terhadap konstitusi,” tuturnya.
Begitu juga, kata dia, dalam penerbitan Perppu itu sendiri sudah menyalahi aturan karena DPR tidak melihat adanya kegentingan atau keadaan darurat sehingga perlu diterbitkan sebuah Perppu.

Wednesday, August 29, 2007

FTZ Phobia @ BBK

Tanggal 28 Agustus lalu, saya dihubungi oleh seorang anggota DPR-RI dari Komisi VI bernama Irmady Lubis. Dia juga anggota Fraksi PDI-Perjuangan. Kami ngobrol seputar Perppu No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas serta PP no. 46-47-48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun.

Apa yang mengejutkan saya dari obrolan itu adalah ternyata kepastian hukum yang dijanjikan pemerintah melalui empat produk hukum itu justru semakin memberikan ketidakpastian kepada calon investor.
Pasalnya, DPR menilai perppu tersebut telah melanggar konstitusi dan berpotensi untuk dibatalkan dalam persidangan mendatang. Selain itu, PP yang diterbitkan itu juga cacat hukum karena mestinya berdasarkan UU bukan perppu.
"Bagaimana presiden bisa mengesahkan sebuah PP, sementara perppu nya saja belum disahkan menjadi UU?" tukas Irmady.

Obrolan kami semakin memanas. Ada indikasi Presiden SBY telah dijebak dan masuk dalam pusaran politicking. Perppu No. 1 Tahun 2007 telah melanggar konstitusi pasal 22 UUD 1945.

Memang, Irmady tidak mempersoalkan kebijakan pemerintah membentuh sebuah kawasan ekonomi khusus, tapi apapun alasannya, pemerintah tidak boleh menggampangkan suatu persoalan dengan mengabaikan prosedur ketatanegaraan yang berlaku.

Eksekutif telah mengajukan agenda pembahasan perppu tersebut menjadi UU. Dan bila DPR menolak maka perppu itu harus dicabut dan ini artinya status FTZ BBK akan dicabut kembali. Sia-sialah semua jika ini sampai terjadi.

So, jangan terlalu bergembira dulu..
Nasib BBK kembali berada di tangan DPR.

Ini mengingatkan memori ketika DPR mengesahkan UU FTZ Batam pada September 2004, secara sepihak. Sebab, Presiden Megawati waktu itu enggan menandatangani UU yang disahkan DPR tersebut.
DPR meradang, marwah wakil rakyat seolah dilangkahi secara sewenang-wenang oleh eksekutif.

Pertanyaannya kini, apakah 'dendam' tiga tahun lalu itu akan muncul kembali? Apakah DPR akan membalas pemerintah dengan tidak menyetujui pembahasan perppu menjadi UU, sebagaimana yang dilakukan pemerintahan Megawati dulu?

Analisa ini bisa benar bisa salah. Semoga saja tidak ada dendam politik, apalagi anggota dewan yang membahasnya juga banyak mengalami perubahan.
Tapi persoalannya bisa lain bila sudah mengarah pada masalah konstitusi.
"Bukan karena kami dari PDI-P sebagai partai oposisi, tapi cara-cara seperti ini tidak bisa dibenarkan. Konstitusi harus ditegakkan," ujar Irmady.

Ternyata masalah FTZ ini belum berakhir ya..
Tetap jadi phobia..

Batam Centre, 29 Agustus 2007

FTZ BBK terancam batal

Pemberlakuan Perppu No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun terancam batal karena disinyalir melanggar konstitusi.
Irmady Lubis, anggota Komisi VI DPR-RI, menyesalkan penerbitan perppu dan PP ini karena itu sama saja pemerintah memberikan ketidakpastian hukum kepada para calon investor di Pulau Batam, Bintan, dan Karimun.
“Perppu ini masih berpeluang untuk dibatalkan dan belum tentu DPR menyetujui. Apabila DPR sepakat untuk batal maka status hukum FTZ BBK akan dicabut kembali,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Dalam pasal 22 UUD 1945 disebutkan (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Walaupun nanti disetujui, kata Irmady, Fraksi PDI-Perjuangan akan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi atas pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2007 itu karena melanggar konstitusi.
Ketidakpastian nasib Perppu No. 1/2007 tersebut sebenarnya sudah diketahui oleh Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Ismeth Abdullah.
Menurut Gubernur, perppu ini harus dibahas lagi menjadi sebuah UU dan selanjutnya baru bisa diimplementasikan. “Mudah-mudahan waktunya tidak terlalu lama dan sembari menunggu kami akan menyelesaikan beberapa pekerjaan secara simultan.”
Pihak eksekutif pun diketahui sudah mengajukan rapat pembahasan Perppu No. 1 Tahun 2007 menjadi UU dan selanjutnya Komisi VI yang ditugaskan untuk membahas perppu ini akan segera melakukan pertemuan internal.
Rencananya pada pekan depan, Komisi VI DPR juga akan mengagendakan rapat pembahasan perppu ini bersama wakil pemerintah.
Rancu
Irmady menilai ada banyak kerancuan dan pelanggaran system ketatanegaraan dalam penerbitan Perppu No.1 Tahun 2007 dan PP 46, 47, dan 48 sebagai turunannya.
“PP itu tidak sah menurut hukum, sebab PP harus berdasarkan UU bukan Perppu. Bagaimana bisa presiden mengesahkan PP sedangkan Perppu yang menjadi dasarnya belum menjadi UU. Ini sudah pelanggaran terhadap konstitusi,” tuturnya.
Begitu juga, kata dia, dalam penerbitan Perppu itu sendiri sudah menyalahi aturan karena DPR tidak melihat adanya kegentingan atau keadaan darurat sehingga perlu diterbitkan sebuah Perppu.
Apalagi, lanjutnya, ternyata dalam perppu itu hanya mengubah pasal 2, 3, 4, dan ketentuan peralihan di mana dalam pasal 4 menyebutkan pembentukan kawasan FTZ ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
“Bila hanya untuk mengubah sebuah pasal, pemerintah sampai mengeluarkan perppu, lantas untuk apalagi ada mekanisme pembahasan UU. Padahal untuk persoalan ini bisa dilakukan amandemen terhadap UU No. 36 Tahun 2000,” papar Irmady.
Perppu No. 1 Tahun 2007 berisi tentang perubahan atas UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang. Disahkan pada 4 Juni 2007.
Sedangkan PP No. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun disahkan pada 20 Agustus 2007.

Thursday, August 23, 2007

What is the latest news...

Kemarin 22 Agustus 2007, pukul 17.00, empat orang wartawan nasional, saya (Bisnis Indonesia), Ferry dari Kompas, Emerson dari Media Indonesia, dan Janattunnaim dari LKBN Antara berkesempatan berdialog dengan Ketua Otorita Batam Mustafa Widjadja di ruang kerjasanya.

Dengan wajah sumringah dan penuh senyum, pak Ketua memasuki ruang dialog dan tanpa basa basi langsung to the point membahas isi PP No. 46 Tentang FTZ Batam. Dengan lugas dan penuh keyakinan, beliau membantah kesimpangsiuran berita mengenai nasib institusi Otorita Batam pasca disahkannya PP ini.

"Saya ingin tegaskan bahwa seluruh aset dan pegawai OB akan dialihkan kepada Badan Pengusahaan Kawasan. Dengan kata lain, OB hanya tinggal nama, sedangkan organisasinya sudah berganti," demikian ujar Mustofa.

Penampilan Pak Mus, demikian beliau sering disapa, memang beda dibandingkan lima hari belakangan ini. Pasalnya, pemberitaan media lokal yang menyebutkan OB akan dibubarkan pada 2008 telah memicu keresahan mulai dari karyawan level terendah hingga eselon termasuk sang ketua.

Karyawan level rendah di OB tentu merasa nasibnya tidak lama lagi dan ini berarti bencana di depan mata. Mereka lah yang paling kebakaran jengkol..eh jenggot akibat pemberitaan yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Pada satu sisi, pernyataan sang Ketua dalam menanggapi berita itu pun masih mengundang tanya dan mempertegas keraguan para karyawan.
"Saya akui, ketika berita itu muncul, saya tidak berani ngomong panjang lebar, karena itu baru rancangan PP, saya tidak mau salah memberikan pernyataan," tegasnya.

Tanggal 22 Agustus lalu, Presiden SBY meneken tiga PP tentang FTZ di BBK dan ini berarti kepastian semakin menggelayut tidak saja bagi Pulau Batam tapi juga bagi Otorita Batam dan karyawannya.
Media lokal yang getol memberitakan pembubaran OB mesti mencabut kembali beritannya karena ternyata interpretasi sepihak itu sama sekali tidak benar dan tidak bertanggung jawab.

"Mestinya karyawan saya sudah lega, karena pemberitaan seputar pembubaran tidak terbukti sama sekali. Dan saya juga lega dengan keluarnya PP ini," tandas Pak Mus.

Kami, empat orang jurnalis yang diundang khusus sore itu bisa merasakan keriangan dan kelegaan yang menghinggapi diri Pak Mus dan institusinya. Berulang kali, beliau mempertegas posisi OB dalam PP itu.
Karena konteks dialog kami kemarin seputar PP No.46/2007, maka tidak banyak statement penting yang diberikan oleh sang ketua, kecuali ya..pasal demi pasal yang ada dalam PP.
Gempuran pertanyaan dari kami berempat tentang potensi konflik dengan Pemkot Batam, masa depan OB dan asetnya, pembangunan infrastruktur, dan retorita lainnya, sukses dijawab dengan aman oleh pak Ketua.
"Saya berbicara berdasarkan PP ini lho..," tutur Pak Mus.

Setelah menghabiskan teh hangat yang sudah dingin akibat dihembus AC dan ngalor ngidul selama kurang lebih satu jam, dialog pun berakhir. Kami berempat beranjak meninggalkan ruangan dengan berbagai pertanyaan yang menggelayut tanpa jawaban dan bayangan berita yang harus disusun buat besok.
Tak lama setelah kami sampai di luar gedung, azan Magrib pun menggema dari Mesjid Raya Batam maka kami pun meninggalkan gedung OB yang sebentar lagi menjadi Gedung Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam.

Tabiak buat OB
Selamat buat Pulau Batam..

RI-Singapura bahas kelanjutan KEK

JAKARTA: Joint steering committee Indonesia-Singapura akan kembali bertemu di Bali pada 29 Agustus guna membahas kelanjutan kerja sama bilateral terkait penerapan Kawasan Ekonomi Khusus Batam Bintan dan Karimun.Menko Perekonomian Boediono mengatakan pertemuan tersebut akan mempertajam beberapa isu seperti promosi, pelatihan, keimigrasian dan pertanahan, yang sudah disepakati dalam kerja sama tersebut.

"Kita akan dengar apa yang telah Singapura laksanakan dan kemudian sepakat tentang langkah berikutnya, mengenai masalah training, promosi. Kita inventarisasi apa yang telah kita lakukan sejak Perpu dan PP 46,47,48," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Sebaliknya, sambung Boediono, Indonesia akan menyelesaikan beberapa komitmen kepada Singapura, yaitu masalah keimigrasian dan pertanahan. Meskipun tidak merinci, dia mengatakan pembicaraan menyangkut dua isu tersebut sudah mengalami kemajuan. Dia menambahkan sejauh ini kerja sama kedua negara untuk meningkatkan investasi di Batam telah membuahkan hasil sangat bagus.

Langkah selanjutnya yang akan difokuskan Indonesia adalah mengimplementasikan ketiga PP itu. Komitmen investasi asing ke KEK Batam pada semester I/2007 naik 400% atau mencapai US$9,011 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal M. Lutfi menyatakan kenaikan pesat ini terjadi karena investasi di sektor logam dan elektronik di Batam sangat diminati para investor. "Kenaikan ini sangat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya," katanya seusai rapat koordinasi di kantor Menko Perekonomian.

Selain itu, Lutfi menyatakan kenaikan ini didukung juga oleh beberapa kemudahan fiskal seperti tax allowance, pajak penghasilan dan penangguhan pajak penghasilan.
Di tempat yang sama, Menakertrans Erman Suparno menjelaskan pembentukan FTZ di Batam, Bintan dan Karimun ini diprediksikan mampu menyerap tenaga kerja hingga 30.000 orang.
"Pada 2006, penyerapan tenaga kerja hanya 28.000 orang. Jika [BBK] ini berhasil, maka pada 2007 penyerapan tenaga kerjanya diprediksikan mencapai 30.000 orang, bahkan dua kali lipat," paparnya.

Dia menginformasikan dari data yang dihimpun pada semester I ini sudah terdapat lebih 10.000 pekerja yang terserap. Erman meyakini kebijakan pembentukan kawasan baru itu akan mendorong masuknya investor baru dan hal ini pada akhirnya berimbas pada penyerapan tenaga kerja yang besar.

Dari Batam, para pengusaha menilai pengesahan PP No. 46, 47, dan 48 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam-Bintan-Karimun belum tuntas. Mereka berharap aturan lanjutan bisa turun lebih cepat.
Abidin Hasibuan, Ketua Apindo Provinsi Kepri, menyatakan masih menunggu terbitnya peraturan menteri terkait disahkannya PP No. 46/2007 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam ini. "Nantinya aturan secara rinci akan diatur dalam peraturan lanjutan," jelas dia.

Sementara itu, OK Simatupang, General Manager PT Kabil Indonusa Estate, pengelola KI Kabil, mengakui banyak substansi yang belum diatur dalam PP tersebut.Dia mencontohkan definisi pelabuhan bebas dan kepabeanan belum diatur termasuk juga insentif selain insentif untuk barang ekspor dan impor, seperti perpajakan dan lainnya.

"Bukan berarti kami mengerdilkan usaha pemerintah dalam membuat PP ini, tapi kami merasa belum plong karena masih banyak yang perlu diperjelas," papar dia.

Dewan Kawasan
Sementara itu, pemerintah tengah menyiapkan dua opsi dalam pembentukan struktur Dewan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, Karimun.Informasi yang diperoleh Bisnis mengungkapkan opsi pertama, DK akan diketuai oleh Gubernur Kepulauan Riau, wakil ketua adalah Ketua DPRD Provinsi Kepri, anggota terdiri dari Walikota/Bupati dan Ketua DPRD Kota/Kabupaten. Dewan Pengarah terdiri dari Menko Perekonomian, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian.

Opsi kedua, DK diketuai oleh Menko Perekonomian, wakil ketua adalah Mendagri, Menkeu, Mendag, Menperin, dan Gubernur Kepri. Anggotanya terdiri dari Ketua DPRD Provinsi Kepri, Wali Kota/Bupati, dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota.

Oleh Diena Lestari, Suyono Saputra & Bastanul Siregar
Bisnis Indonesia

Wednesday, August 22, 2007

Dewan Kawasan FTZ Batam disahkan September

BATAM: Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah menyatakan Dewan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam-Bintan-Karimun (BBK) akan disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada September.Gubernur menyatakan hal itu menyusul disahkannya PP No. 46, 47 dan 48 yang mengatur tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam, Rempang, Galang (Barelang) - Bintan-Karimun."Minggu depan, saya dan DPRD akan segera mengusulkan struktur Dewan Kawasan FTZ BBK kepada Presiden. Paling lambat awal September sudah disahkan," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.Komposisi keanggotaan Dewan Kawasan sendiri, menurut dia, akan mengakomodasi semua pihak terkait dalam percepatan pengembangan investasi di daerah yakni dari kelompok pengusaha, birokrat pemegang kebijakan, dan aparat keamanan.Dia mengatakan komposisi itu dinilai cukup tepat karena masing-masing memiliki visi yang sama dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif dan kompeten dalam mengatasi permasalah para pemilik modal."Saya ingin semua permasalahan terkait investasi bisa diatasi secara tuntas oleh Dewan Kawasan," papar Ismeth.Dia mejelaskan Badan Pengusahaan Kawasan akan dibentuk di tiga kawasan bebas di Kepri yakni di Batam, Bintan, dan Karimun. Sementara DK cukup satu yang mengelola tiga kawasan bebas ini dan berpusat di ibu kota provinsi yakni Tanjung Pinang.Pembiayaan pembangunan oleh DK akan dialokasikan dalam APBD dan APBN. Dalam hal ini, dia berharap pemerintah tetap memberikan perhatian dalam bentuk anggaran pembangunan bagi kawasan bebas tersebut.Mengenai keberadaan Badan Otorita Batam (OB), Gubernur Kepri menegaskan posisi OB tidak akan terganggu dengan dibentuknya Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam, sebab kedua institusi ini memiliki tugas yang berbeda.OB, kata Ismeth, akan bertugas dalam pembangunan infrastruktur dan pengelolaan aset-aset penting daerah seperti bandara, pelabuhan laut, dan lainnya, sedangkan Badan Pengusahaan Kawasan lebih spesifik mengelola investasi di dalam kawasan FTZ.Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam harus dibentuk paling lambat 31 Desember 2008, sedangkan badan yang sama untuk Bintan dan Karimun paling lambat Agustus 2007, menyusul diterbitkannya tiga PP tentang FTZ masing-masing untuk Batam, Bintan dan Karimun, awal pekan ini.

Alih aset
Di tempat terpisah, Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa menjelaskan dalam PP tersebut dinyatakan semua aset Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi aset Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, kecuali aset yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam."Demikian pula dengan pegawai OB akan dialihkan menjadi pegawai pada Badan?? Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam," katanya di Jakarta kemarin. ?Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan OB dan hak pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam yang berada di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam juga dialihkan kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

EPA Jepang-RI: Siapa 'menunggangi' siapa?

Pesta ijab kabul kesepakatan kemitraan ekonomi (ecomomic partnership agreement/EPA) antara Indonesia dan Jepang baru saja berlalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Perdana Menteri Shinzo Abe ibarat sepasang 'pengantin' yang berhasil menarik perhatian luas saat menandatangani EPA itu, Senin silam.
Apalagi PM Abe disertai lebih dari 200 pengusaha dan eksekutif perusahaan Jepang. Bukanlah suatu kelaziman Pemimpin Jepang melakukan kunjungan kenegaraan disertai rombongan korporasi dan sogososha dalam jumlah besar.
Padahal, bagi Jepang penandatanganan kesepakatan kali ini bukanlah EPA yang pertama dengan mitra dagang. Sebelum menggandeng Indonesia, Jepang telah menandatangani EPA dengan tujuh negara, yakni Singapura, Meksiko, Malaysia, Filipina, Cile, Thailand dan Brunei.
Di Asean, Indonesia adalah negara ketujuh yang meneken EPA dengan Jepang.Tetapi bagi Indonesia, ini merupakan penandatanganan EPA pertama dengan mitra dagang.
Tentu, pesta yang 'berbiaya' mahal tersebut diharapkan memberikan manfaat ekonomi dan bisnis yang sepadan. Apalagi cakupan kesepakatan itu sangat luas, mulai dari akses pasar dalam bentuk penurunan dan penghapusan tarif, national treatment dalam investasi, hingga bantuan teknis. Fakta tersebut menyatakan Jepang akan secepatnya menghapuskan tarif hampir seluruh produk industri yang berasal dari Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia akan menghapuskan tarif komponen otomotif Jepang pada 2016, selain menghapus bea masuk barang elektronik pada 2010. Berdasarkan kesepakatan itu pula, Indonesia akan memangkas 15% tarif baja Jepang yang dipakai untuk industri otomotif, elektronik dan industri alat berat. Kesepakatan itu tentu saja bakal membantu mengurangi beban biaya bagi perusahaan otomotif Jepang seperti Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Honda dan perusahaan lainnya.
Di sektor pertanian, Indonesia memotong tarif impor apel, anggur, dan produk pertanian lainnya yang diekspor oleh Jepang. Sebaliknya Tokyo akan menurunkan secara bertahap pajak impor pisang, nanas, tekstil alas kaki dan produk kayu Indonesia. Jadi cakupan kesepakatan memang sangat luas.
Apalagi, secara historis, Indonesia-Jepang memiliki hubungan strategis. Total investasi langsung perusahaan Jepang periode 1967-2005 mencapai US$293 miliar, terbesar dibandingkan korporasi dari negara lainnya. Begitu pula di bidang perdagangan, Jepang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.

3 Isu & faktor China
Berbeda dengan kesepakatan dagang bebas atau FTA (free trade agreement), EPA memiliki cakupan lebih strategis. Dalam konteks Indonesia-Jepang, setidaknya terdapat? tiga isu besar yang melingkupi EPA itu, yakni isu investasi, energi dan akses pasar.
Ketiga isu tersebut tampaknya memang sangat mewakili kepentingan korporasi Jepang, yang? membutuhkan kontinuitas investasi dan akses pasar, sedangkan di dalam negerinya, Jepang sangat berkepentingan dengan kesinambungan pasokan energi.
Energi merupakan topik hot, karena Jepang mengimpor lebih dari 22% kebutuhan gasnya dari Indonesia. Negeri itu berkepentingan, bahkan kalau perlu, meminta garansi Jakarta untuk kelangsungan pasokan gas dari Indonesia. Sebagai imbalannya, Jepang bersedia menyediakan bantuan teknis agar produksi gas alam Indonesia lebih efisien dan terjaga.?? Di luar itu, tampaknya Jepang juga amat berkepentingan dengan isu geopolitik regional.
Berkembangnya pengaruh China di Asia mendorong Jepang kian agresif memanfaatkan skema EPA sebagai alat tangkal. Analis melihat kesepakatan itu akan membantu Jepang menangkal berkembangnya pengaruh China di kawasan. Apalagi, setelah ke Indonesia, PM Abe melanjutkan lawatannya ke India, yang pasarnya hampir menyamai China.
PM Jepang itu bahkan berpandangan satu ketika hubungan Jepang-India akan lebih penting ketimbang hubungan Jepang-AS atau Jepang-China. Di China, Jepang memiliki 4.757 perusahaan dan di India hanya 216. Korporasi Jepang di masa lalu enggan investasi di India karena kondisi infrastruktur yang buruk.
Tetapi, kini India berencana investasi senilai US$475 miliar-sekitar Rp4.000 triliun-hingga tahun 2012 untuk perbaikan infrastruktur. Itulah daya tarik baru bagi korporasi Jepang. Tak ayal, jejaring EPA dibalut kepentingan strategis korporat Jepang. Karena itu, tiada salahnya jika Indonesia pintar-pintar menunggangi kepentingan Jepang dalam soal geopolitik tersebut.
Caranya? Kembali ke prinsip bisnis: Indonesia harus mengelola daya saing dan daya tarik bagi pihak eksternal terutama Jepang. Tetapi apa yang sebenarnya mereka inginkan? Menurut Mitsuo Sakaba, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Jepang, Indonesia perlu menawarkan tak hanya iklim bisnis yang baik, "Tetapi iklim bisnis yang kompetitif."
Tuntutan pengusaha Jepang memang tidak sekadar tenaga kerja yang lebih produktif, tetapi juga rezim perpajakan yang bersaing dan ketersediaan infrastruktur yang baik.Terjemahan sederhananya: Jepang berkepentingan agar korporasi mereka mendapatkan tempat yang menguntungkan.
Sebaliknya, kepentingan Indonesia adalah mendapatkan investasi langsung yang berkualitas. Karena itu, melalui EPA, sudah saatnya Jakarta 'menunggangi' kepentingan Jepang di kawasan, dengan mewujudkan Indonesia sebagai 'rumah produksi' yang kompetitif bagi korporasi Jepang.
Jika hal itu dapat dilakukan, berarti akan kian besar kapasitas ekspor Indonesia, dan berarti kian banyak pula lapangan kerja yang tersedia. Persis seperti kebijakan besar Presiden Yudhoyono: pro-poor strategy dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, bukan sekadar grojokan uang panas. Mampukah Jakarta melaksanakannya?

Oleh Arief Budisusilo
Wartawan Bisnis Indonesia

Tuesday, August 21, 2007

PP Kawasan Perdagangan Bebas Batam, Bintan & Karimun terbit

JAKARTA: Pemerintah meminta Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) segera membentuk Dewan Badan Pengusahaan Kawasan, menyusul ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun (BBK)."Gubernur Kepri perlu segera membentuk Dewan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas BBK," kata Bambang Susantono, Wakil Ketua Timnas Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) kepada Bisnis kemarin.Dia menjelaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani PP tentang FTZ Batam, Bintan dan Karimun, sehingga di wilayah itu nantinya akan ada tiga badan pengusahaan kawasan."Namun sebelum badan itu terbentuk maka kewenangannya tetap dilaksanakan oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Batam," tambah Bambang yang juga Deputi Menko Perekonomian bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah.Otorita Batam, jelasnya, menjadi badan transisi sebelum badan pengusahaan kawasan terbentuk. "Intinya kepastian hukum bagi para investor tetap terjaga. Jangan ada kekosongan kepastian hukum dan institusi pelaksana yang dapat menimbulkan ketidakpastian bagi para investor. Kan semua ini kita lakukan untuk memperbaiki iklim investasi."
Dihubungi terpisah, Ketua Timnas KEKI Muhammad Lutfi mengakui PP tentang FTZ Batam sudah disahkan Presiden, maka ketentuan mengenai jangka waktu (70 tahun), batas dan titik koordinat Pulau Bintan dan Karimun berlaku."Khusus Batam, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas berlaku untuk semua pulau hingga Rempang dan Galang," tambahnya.Menurut Bambang, pasca ditandatanganinya PP tersebut akan semakin membawa dampak positif terhadap BBK. "Belum disahkan saja, nota kesepahaman (MOU) senilai US$2 milyar telah ditandatangani oleh 20 perusahaan yang akan menanamkan modalnya di BBK saat Wapres ke Batam awal Agustus."Dia menjelaskan, perusahaan yang akan berinvestasi di BBK bervariasi dari bidang usaha minyak dan gas, perkapalan, hingga pariwisata. "Kalau semua berjalan sesuai rencana diharapkan terbuka 100.000 lapangan kerja."

Oleh Neneng Herbawati
Bisnis Indonesia

Thursday, August 16, 2007

Bebas Pajak yang Bikin Cemburu

Bisnis Indonesia, 24 Agustus 2004

Kerinduan yang panjang atas lahirnya Undang-Undang Zona Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) Batam hari-hari ini mulai terobati. Sayangnya, masa penantian yang dipenuhi kontroversi itu justru dijawab dengan sebuah rancangan UU yang malah melahirkan polemik baru.

Polemik tersebut muncul lantaran RUU FTZ Batam yang digagas (inisiatif) Dewan Perwakilan Rakyat, dan kini sedang dalam proses pembahasan dengan pemerintah, tampak bertolak belakang dengan RUU versi pemerintah. Pemerintah sebenarnya bertekad melakukan koreksi atas kemelencengan yang telah berlangsung di Batam selama bertahun-tahun, dengan berupaya mengembalikan posisi Batam yang strategis secara ekonomi dan bisnis, ke "jalur yang benar."

Tak heran, jika rapat kerja pembahasan RUU Batam yang diketuai Surya Dharma Ali, Ketua Komisi V DPR, itu melibatkan sejumlah menteri termasuk Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra, Menperindag Rini M.S. Soewandi, dan Menteri Keuangan Boediono. Seperti pernah disinggung Menkeu Boediono, posisi Batam saat ini, yang mendapatkan banyak fasilitas perpajakan dan bea masuk, memang perlu diluruskan.

Mengapa? Batam, dengan fakta kependudukan, birokrasi dan kepabeanan seperti sekarang ini, sesungguhnya secara de facto telah menjadi free trade zone. Pasalnya, pemerintah menerapkan pembebasan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) -yang berangsur mulai dihapuskan untuk komoditas tertentu-bagi sebuah kawasan industri yang berbaur campur aduk dengan pemukiman penduduk, dan di dalamnya terdapat administrasi pemerintahan (Pemerintah Kota).

Barangkali tidak ada satu kawasan perdagangan bebas di manapun di dunia ini, yang berbaur jadi satu dengan kawasan pemukiman seperti Batam. Bahkan kawasan Pudong yang terkenal di Shanghai sekalipun, tetapi dibatasi antara zona perdagangan bebas dengan zona pemukiman dan aktivitas penduduk sehari-hari. Lazimnya, zona perdagangan bebas steril dari pemukiman penduduk, sehingga bisa meminimalkan terjadinya penyelundupan barang-barang yang mendapatkan fasilitas bebas pajak maupun bea masuk.

Dan karena itulah, jika dalam satu wilayah yang luas -seperti Batam yang berpenduduk hingga 500.000 jiwa-zona perdagangan bebas dipagari ke dalam wilayah industri yang disebut kawasan berikat (bonded zone), yang di dalamnya tidak terdapat aktivitas kependudukan maupun administrasi pemerintahan.

Bertolak belakang
Itu sebabnya, ketika pemerintah mulai membahas RUU FTZ Batam di DPR, suara sumbang langsung muncul ke permukaan. Pasalnya, dalam RUU inisiatif DPR itu, Batam 'secara keseluruhan' hendak dijadikan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Tentu saja, RUU versi DPR itu bertolak belakang dengan RUU versi pemerintah. Menurut RUU yang terakhir itu, Batam mesti dibagi-bagi ke dalam sejumlah wilayah perdagangan bebas, yang disebut enclave. RUU sandingan pemerintah memang menginginkan Kawasan Batam terdiri dari beberapa wilayah di Batam, Rempang, dan Galang. Zona tertentu di Batam dibagi dalam tujuh zona industri yaitu Batu Ampar di kecamatan Batu Ampar, Batam Centre dan Kabil di Nongsa, Muka Kuning di Sei Bedug, serta Sagulung, Tanjung Ucang, dan Sekupang di kecamatan Sekupang.

Sementara RUU dari DPR menginginkan Kawasan Batam merupakan daerah kota Batam, sesuai dengan UU No. 53/1999 yang dilaksanakan secara bertahap melalui peraturan pemerintah. Pada tahap pertama meliputi Batam, Rempang, Galang, dan Belakang Padang. Selain itu, dalam Ketentuan Peralihan RUU Batam, DPR menginginkan seluruh aset dan pengelolaan tanah yang berada di dalam wewenang Otorita Batam dialihkan menjadi aset Badan Otorita Pengusahaan Kawasan Batam (BOPKB).

Sedangkan pemerintah menginginkan aset dari Otorita Batam itu berpindah kepemilikannya menjadi aset Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BPKB), kecuali aset Jakarta dan yang telah diserahkan di bawah kendali Pemerintah Kota Batam. Menurut RUU 'versi pemerintah', aset yang menjadi milik pusat berupa pelabuhan laut dan bandar udara.

Sedangkan para pegawai Otorita Batam, sebut RUU 'bikinan' pemerintah itu, dialihkan menjadi pegawai pada BPKB. Selain itu, dari segi fasilitas perpajakan, RUU versi pemerintah memang tidak mengatur pembebasan berbagai jenis pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sementara PPN, PPnBM, bea masuk dan cukai tetap diberlakukan di luar zona-zona industri yang ditetapkan sebagai free trade zone.

Karena itulah, Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menuding RUU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang diajukan DPR bisa memicu persepsi ganda. Menurut dia, RUU 'versi DPR' itu bisa mengundang masalah baru pada saat diimplementasikan, jika tidak dipersempit atau diperjelas definisi yang melingkupinya.

Beberapa contoh istilah itu antara lain kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas atau badan otorita yang berbeda dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 1 Tahun 2000 yang akhirnya dikukuhkan menjadi UU No. 36/2000. UU No. 36/2000 tersebut memperkenankan suatu kawasan di wilayah Indonesia bisa ditetapkan kawasan perdagangan bebas yang menikmati pembebasan bea masuk, cukai, PPN, dan PPnBM, tetapi diberlakukan "di daerah kepabeanan."

Picu kecemburuan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi bahkan lebih tegas lagi. Menurut dia, beberapa materi RUU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam hasil inisiatif DPR sulit diterapkan. Jika dipaksakan, ketentuan dalam RUU itu akan memicu 'kecemburuan' antar daerah.

Rini mengatakan definisi DPR yang menginginkan Kawasan Batam secara keseluruhan menjadi zona perdagangan bebas tidak tepat dilaksanakan pada saat ini. Itulah yang mendorong Rini menjelaskan ke DPR secara berapi-api: Zona perdagangan bebas di Batam harus dibatasi (dipagari).

"Zona untuk kawasan perdagangan bebas perlu dibatasi karena perkembangan Batam kini menyimpang dari pemikiran awal [sebagai kawasan industri]...kini Batam dihuni sekitar 500.000 jiwa sehingga aktivitas industri hanya sebagian dari aktivitas industri," katanya kala itu.
Mengapa picu kecemburuan daerah lain?
Satu hal saja. Jika RUU itu dijalankan, daerah lain bisa saja meminta perlakuan yang sama seperti Batam: Diperbolehkan mengimpor barang dari luar negeri dengan murah, karena bebas pajak dan bea masuk, dan bisa diselundupkan oleh penduduk daerah itu ke daerah lain yang tidak masuk kategori zona perdagangan bebas.

Karenanya, Rini menekankan, sikap pemerintah jelas: penetapan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas hanya diperuntukkan bagi kawasan industri yang diharapkan bisa memicu ekspor nasional. Sejauh ini polemik belum menghasilkan kesimpulan akhir. Namun ujung polemik itu pada akhirnya bergantung kepada wisdom pemerintah dan anggota DPR dalam membahas RUU tersebut.

Sudikah mereka, terutama para anggota DPR, mengutamakan kepentingan nasional yang lebih besar, atau 'kalah' oleh desakan interest pribadi? Akan hal itu, seorang pelaku bisnis yang bermain di Batam mengingatkan, "Jangan salah mengambil keputusan, [karena] akan mengancam pengembangan [ekonomi] Batam ke depan."

FTZ Batam, bukan contoh yang baik..

Kendati sudah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) menyeluruh, ternyata Batam-Rempang-Galang bukanlah contoh yang baik untuk sebuah FTZ.
Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bidang Pengembangan Regional dan Hubungan Otonomi Daerah Max H. Pohan menegaskan pembangunan selama tiga decade di pulau itu belum mencerminkan keberhasilan yang diharapkan.
“Di Batam, bukannya industri yang berkembang tapi justru bisnis property dan ruko yang merajalela. Batam bukan contoh yang baik untuk sebuah FTZ,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Selain Batam-Rempang-Galang yang ditetapkan sebagai FTZ menyeluruh, pemerintah juga menetapkan Pulau Bintan dan Karimun sebagai FTZ enclave.
Dia mengemukakan pengembangan Rempang dan Galang pun belum tentu bisa terealisasi dalam waktu cepat mengingat selama ini pun kedua pulau ini masih berupa lahan kosong dan jadi sarang penyelundupan.
“Coba sebutkan satu saja keberhasilan di Rempang dan Galang, tidak ada. Padahal sudah ada jalan dan jembatan yang menghubungkan pulau di gugusan itu,” papar Max.Dia menjelaskan penetapan satu wilayah sebagai FTZ itu bukan sembarangan dan pemerintah di daerah harus memahami definisi dari FTZ tersebut. “Pemerintah daerah harus menyiapkan sarana dan prasarana pendukung di lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan bebas.”

PP Free Trade Zone segera terbit, Investasi banjiri Batam

BATAM: Puluhan perusahaan mengucurkan investasi baru senilai US$1,797 miliar (Rp17 triliun) di Batam dan sekitarnya, menyusul penerapan kawasan perdagangan bebas di wilayah itu.

Kesepakatan investasi itu diteken oleh 20 perusahaan di Batam kemarin. Penandatanganan tersebut dilakukan dengan kepala daerah di Batam, Bintan, Karimun (BBK) dan Ketua Otorita Batam yang disaksikan oleh Wapres Jusuf Kalla dan Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah.

Perusahaan besar yang ikut dalam penandatanganan itu antara lain Fabtech International Ltd.
dan Dubai Drydocks World Ltd di industri galangan kapal di Batam senilai US$500 juta. Selain itu, PT Bintan Resort Cakrawala, pengelola kawasan pariwisata Lagoi, yang mengembangkan kawasan Lagoi Bay Village Resort senilai US$200 juta di Pulau Bintan.

Total kebutuhan tenaga kerja dari 20 proyek itu mencapai 50.000 orang. "Ke-20 perusahaan ini sudah menyatakan kepastian berinvestasi. Artinya, upaya mengurangi pengangguran di Batam, Bintan, Karimun, dan wilayah lain di Indonesia bisa terwujud," kata Ismeth.

Investor yang akan menanamkan modal di Batam sebanyak enam proyek dengan nilai US$668,3 juta, di Bintan sembilan proyek senilai US$651 juta, dan Karimun empat proyek senilai US$497 juta.
Selain itu, satu perusahaan yang berinvestasi di tiga lokasi di BBK senilai US$20 juta, dan dua kerja sama perdagangan di Batam senilai US$102,5 juta. Bidang usaha yang dimasuki investor beragam, dari logistik, industri pipa besi, industri pendukung migas, peralatan listrik, manufaktur elektronik, galangan kapal, hingga kawasan wisata.

"Komitmen para investor ini menunjukkan BBK masih menjadi tujuan investasi yang menarik di Asia," ujar Ismeth. PP segera terbit Pada kesempatan itu, Wapres Jusuf Kalla menjamin tidak akan ada masalah lagi dengan regulasi soal rencana pemberlakuan status BBK sebagai kawasan perdagangan bebas.

"[PP] soal FTZ segera ditandatangani, efektif Agustus ini," ujar Kalla di sela-sela kunjungannya itu. Menurut Wapres, FTZ akan berlaku untuk seluruh wilayah Batam, tetapi tidak berlaku bagi Pulau Bintan dan Karimun. Kedua pulau itu akan diberlakukan sistem pembatasan (enclave). Perubahan status Batam diperkirakan akan memancing investasi baru senilai US$2 miliar dalam tiga tahun mendatang.

Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfi, rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang FTZ Batam, Bintan, dan Karimun sudah rampung dan Senin pekan depan diserahkan ke Departemen Hukum dan HAM. "Rancangan PP tersebut selanjutnya segera dikirim ke Sekneg untuk disahkan oleh Presiden. PP tentang FTZ Batam, Bintan, Karimun akan diselesaikan secara ekspres," tuturnya kepada Bisnis sepulang mendampingi Wapres Jusuf Kalla dalam kunjungan ke Batam kemarin.

Kendati tidak menyebutkan angka, Lutfi mengatakan nilai investasi per Juli 2007 di Batam naik 47% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan itu disebabkan makin berkurangnya kendala birokrasi yang menghambat investasi di Batam selama ini.

Lutfi menambahkan dengan perubahan status dari kawasan berikat setidaknya tiga persoalan yang ada di Batam akan bisa diselesaikan. Masalah itu adalah soal pelayanan perpajakan, bea cukai, dan layanan imigrasi.
(john.oktaveri@bisnis. co.id/suyono.saputra@bisnis.co.id/neneng. herbawati@bisnis.co.id) Oleh John Andhi Oktaveri, Suyono Saputra & Neneng Herbawati Bisnis Indonesia
Bisnis-Indonesia3 Agustus 2007,