Thursday, July 9, 2015

Isu McDermott Hengkang [Kayaknya] Tak Terbukti

Dear blog reader, Pada posting kali ini, saya akan memberikan update mengenai isu PT McDermott Batam yang dikabarkan akan hengkang dan menghentikan seluruh operasinya di Batam. Secara tak sengaja, tadi malam saya sempat berbincang lepas dengan beberapa teman yang bekerja di sektor migas, dan mereka mengkonfirmasi bahwa tidak benar PT McDermott akan hengkang dan berhenti beroperasi dari Batam. "McDermott itu seperti panutan seluruh perusahaan fabrikasi di Batam pak, kalo sampai mereka hengkang bisa habis Batam!" ujar seorang teman. Bener juga analisa teman itu, mengingat McDermott sebagai perusahaan fabrikasi tertua dan terbesar di Batam, tidak salah jika perusahaan itu menjadi acuan bagi perusahaan sejenis dan juga sebagai indikator bagi kenyamanan investasi di Batam. Informasi yang diperoleh, McDermott memang tengah mengalami penurunan order dari perusahaan migas global sehingga ada isu akan terjadi pengurangan karyawan sebagaimana pernah terjadi juga beberapa tahun lalu. Ada pengaruh juga terhadap tren minyak global yang merosot sehingga beberapa perusahaan migas menunda ekspansi. Tapi jika dilihat lebih dalam, sebenarnya pesanan jacket/platform off shore di Batam masih tetap ada, seperti yang dialami PT Siemens yang saat ini kebanjiran order. Konon, ada satu pekerjaan pembuatan platform yang tidak bisa dikerjakan di Filipina dan hanya bisa diselesaikan di McDermott sehingga mulai akhir tahun nanti sepertinya perusahaan itu akan kembali berputar. Jika proyek ini berhasil didapat, maka diperkirakan selama 2 tahun ke depan mereka kebanjiran pekerjaan. Memang, ada informasi bahwa ada pemindahan kantor regional office dari Singapura ke Dubai namun fabrication yard di Batam tampaknya belum akan ditutup.

Wednesday, July 8, 2015

Benarkah PT McDermott Berniat Tutup Operasi di Batam?

Beberapa hari terakhir ini, penulis mendapatkan informasi kurang sedap terkait PT McDermott Indonesia, yaitu desas desus mengenai rencana perusahaan fabrikasi terbesar dan tertua di Batam itu. Tentunya kita tidak ingin rencana tersebut benar - benar terealisasi sebab dampak yang dimunculkan bisa sangat luas dan berpotensi merontokkan citra Batam sebagai tujuan investasi. Jika PMA sekelas McDermott saja bisa tutup operasi lantas bagaimana dengan perusahaan skala menengah yang jumlah ratusan di pulau ini? Sebaiknya jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Belum ada satu pun pejabat di Kepri yang mengkonfirmasi rencana tutupnya McDermott tersebut. Bahkan BP Batam selaku otoritas yang mengurusi perizinan investasi asing belum mengeluarkan pernyataan mengenai isu rencana McDermott itu. Jika kita flashback, dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai rencana tutupnya PT McDermott sebenarnya sudah cukup kencang berhembus dan menjadi berita utama media lokasi Batam. Pada 2011 misalnya, Ketua Dewan Pembina Apindo Kepri waktu itu Mr. Abidin Hasibuan mensinyalir beberapa perusahaan di Batam yang hendak hengkang termasuk salah satunya PT Mc Dermott. Namun sinyalemen itu dibantah oleh Direktur Humas BP Batam dan juga petinggi McDermott sendiri. Menurut BP Batam, McDermott baru saja memperpanjang masa berlaku UWTO untuk 120 hektar lahan yang mereka miliki. Waktu berlalu, isu itu pun akhirnya menguap ditelan sinar mentari. Kini empat tahun berselang, isu tersebut muncul kembali. Apakah kali ini benar - benar tutup? Belum jelas juga. Menurut informasi yang beredar, saat ini memang karyawan McDermott terus mengalami pengurangan. Pada 2013 lalu, perusahaan asal Amerika itu masih mencatat jumlah karyawan sebanyak 5.000 orang. Proyek yang mereka tangani pun juga masih banyak untuk bertahan dalam dua tahun. Tapi kini, konon jumlah karyawan terus merosot seiring melemahnya bisnis migas global. Permintaan untuk pembangunan fabrikasi rig atau platform offshore juga semakin menurun dan sudah pasti berdampak terhadap jumlah karyawan yang ada. Tapi apakah hanya karena penurunan order kemudian McDermott mengambil keputusan untuk tutup? Padahal beberapa tahun lalu, terutama saat krisis ekonomi 1998 perusahaan ini juga pernah mengalami kondisi yang sama dengan hanya mempekerjakan 300 orang karyawan saja. Artinya, McDermott sudah pernah beberapa kali mengalami krisis dan mereka masih tetap bertahan dari badai yang menghantam. Jika memang keputusan hengkang yang diambil, apakah itu semua murni karena factor krisis di industry migas? atau karena ada factor lain yang membuat mereka lebih yakin untuk menghentikan seluruh operasinya di Batam yang dibangun sejak 1972 atau 42 tahun yang lalu? Entahlah...semoga analisis ini tidak benar dan mereka masih tetap bertahan sebagaimana mereka dulu pernah mengalami masa yang jauh lebih sulit.

Friday, January 13, 2012

PMA hengkang bukan berarti kiamat

Selama dua minggu terakhir, pemberitaan di beberapa surat kabar di Batam dan nasional dihebohkan oleh rencana tutupnya PT Exas Batam Indonesia, satu PMA yang bergerak di bidang perakitan elektronik di Kawasan Industri Batamindo.

Berdasarkan penuturan dari serikat pekerja, PT Exas ternyata bukan satu – satunya perusahaan asing yang hendak tutup dan mengalihkan produksinya ke negara lain, ternyata ada tiga perusahaan lagi yang juga berniat untuk menghentikan aktivitasnya di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (FTZ) Batam.

Tidak berhenti di situ saja, salah satu koran nasional bahkan mengutip pernyataan satu lembaga swadaya masyarakat, yang mengungkapkan bahwa data investasi yang selama ini dirilis oleh Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam disinyalir merupakan data yang tidak akurat dan tidak sesuai fakta.

Situasi ini mendapat tanggapan serius dari BP Kawasan Batam dan menggelar jumpa pers untuk memberikan data sebenarnya tentang data realisasi investasi yang dicatat instansi tersebut selama 2010 – 2011 sekaligus membantah tudingan bahwa data yang mereka miliki tidak akurat.

Dwi Joko Wiwoho, Direktur Humas dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BP Batam, menuturkan pada 2011 untuk penanaman modal asing mencapai 91 PMA dengan total nilai realisasi investasi US$105 juta atau naik 44,8% dibandingkan pencapaian 2010 sebesar US$72,5 juta.

Dari total realisasi investasi tersebut, sektor manufaktur masih menopang pencapaian investasi dengan total realisasi investasi yang menyentuh US$34 juta pada 2011 dengan total 35 PMA. Sedangkan pada 2010 sektor ini nilai investasinya mencapai US$58 juta dengan 29 PMA.

Pada tahun 2011, sektor lainnya yakni sektor perkapalan dengan nilai investasi US$17,8 juta dengan 23 PMA, sektor developer properti US$30 juta dengan 4 PMA dan sektor perdagangan dan jasa lainnya US$22 juta dengan 29 PMA.

BP Batam juga mengakui bahwa ada tiga PMA yang sudah mengajukan pencabutan izin penanaman modal atau menghentikan operasi karena berbagai faktor, seperti order yang mulai berkurang dan dampak dari krisis ekonomi global.

Menurut Joko, perusahaan tutup merupakan hal yang wajar. Kondisi serupa juga lumrah terjadi di sejumlah kawasan industri di tanah air, bahkan di luar negeri. Umumnya, sebuah perusahaan akan tutup jika usahanya tidak lagi kompetitif.

“Di Singapura, Malaysia, Thailand juga banyak perusahaan yang tutup. Tapi tidak terlalu dibesar-besarkan karena itu hal yang wajar,” tuturnya.

Sementara itu, terkait beredarnya kabar perusahaan asal Jepang, PT Exas Batam Indonesia yang juga menghentikan beroperasi, setelah bertemu dengan manajeman perusahaan, ia mengklrafikasi PT Exas tidak tutup. Kata dia, saat ini PT Exas hanya mengurangi order dan secara otomatis akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja.

Joko ada benarnya. Perusahaan tutup atau berhenti beroperasi adalah hal yang lumrah terjadi di kawasan manapun di dunia ini. Apalagi untuk perusahaan perakitan yang masuk kategori footloose industri yang mudah berpindah tempat. Seperti mengutip judul tulisan ini, perusahaan tutup bukan berarti kiamat bagi Batam.

Sebagai sebuah kawasan FTZ, tentu saja tolak ukur keberhasilan sebuah kawasan perdagangan bebas adalah berapa besar investasi asing berhasil masuk, berapa besar lapangan kerja yang tersedia, berapa besar ekspor, dan berapa besar kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Bila indikator tersebut tidak menunjukkan angka positif di Batam, maka kita bisa mengatakan bahwa Batam sebagai kawasan FTZ telah gagal. Jadi, sebelum menyatakan bahwa FTZ di pulau ini gagal maka harus diperhatikan indikator – indikator tersebut.

Sebaiknya kita tidak terburu – buru menggunakan kata ‘gagal’ untuk menggambarkan implementasi FTZ di Batam, apalagi dengan periode pemberlakuan status FTZ masih bisa dihitung dengan jari yaitu hanya tiga tahun sejak April 2009. Memang, Pulau Batam telah berusia 38 tahun sejak dikembangkan pertama kali pada 1974 tapi harus diingat ada masa – masa dimana peralihan status yang mengiringi perjalanan pembangunan pulau ini.

FTZ adalah status terakhir yang diberikan pemerintah pusat melalui PP 46/2007 tentang FTZ Batam setelah sebelumnya Batam berstatus bonded zone, bonded island, dan bonded zone plus.

Jika kita perhatikan indikator ekonomi di Batam, sebenarnya pulau ini masih cukup prospektif dilihat dari realisasi investasi sebagaimana yang dirilis oleh BP Batam, pertumbuhan ekonomi yang masih berada di level 7%, inflasi pada 2011 lalu yang masih rendah sebesar 3,76%, dan ekspor yang juga masih positif.

Hanya saja, bila dibandingkan dengan daerah lain yang tidak memiliki status FTZ, jelas pencapaian Batam bisa dibilang biasa – biasa saja, tidak ada yang istimewa. Ada banyak kota lain di Indonesia yang mengalami pertumbuhan ekonomi di atas 7%.

Dua kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Batam saat ini, yaitu tidak optimal. Status FTZ yang dimilikinya belum dapat memacu investasi asing untuk masuk dalam jumlah yang masif. Birokrasi perizinan juga belum sepenuhnya baik, dan infrastruktur yang dimiliki terutama pelabuhan masih jauh dari layak.

“Kami mengkhawatirkan jika kondisi ini tidak dibenahi maka Batam akan semakin tenggelam dan kalah dibandingkan dengan Iskandar Development Region di Malaysia,” ujar Johanes Kennedy, Ketua Kadin Provinsi Kepulauan Riau.

Kekhawatiran Johanes tentunya bukan tanpa alasan. Dilihat dari kinerja investasi IDR selama lima tahun pertama pengembangan, tercatat sebesar RM47 miliar atau setara US$14 miliar dari total RM72 miliar komitmen yang sudah ditandatangani.

Angka US$14 miliar itu ternyata setara dengan pencapaian kumulatif investasi di Batam selama 38 tahun pengembangan daerah ini sebagai daerah industri dan tujuan investasi asing.

Jika pemerintah tidak segera bergerak cepat membenahi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pulau ini maka bukan tidak mungkin akan semakin banyak lagi perusahaan yang berhenti beroperasi.

Kalau hanya berhenti atau tutup operasi mungkin masih bisa dikatakan wajar, tapi yang tidak wajar jika PMA tersebut berhenti operasi di Batam dan membuka pabrik yang lebih besar di Malaysia. Berarti ada yang tidak beres di Batam!

Tentunya ini menjadi tugas semua pihak, baik pemerintah pusat, daerah, pengelola FTZ, masyarakat, dan tentu saja media massa untuk memberikan pemahaman dan informasi yang berimbang mengenai kondisi riil di Batam.

Mustofa Widjaja, Ketua BP Batam, menegaskan perbaikan peringkat Indonesia menjadi investment grade ini harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menjual FTZ Batam sebagai destinasi investasi utama di regional.

“Jika kita terus – terusan memberitakan wacana yang jelek maka bukan tidak mungkin situasi yang jelek akan benar – benar jadi kenyataan. Kalau itu terjadi maka yang rugi adalah masyarakat juga,” tandasnya.

Semua pihak harus proporsional melihat suatu isu atau kejadian. Terlepas dari rencana tutupnya sebuah perusahaan, yang lebih penting adalah bagaimana agar investor asing bisa tetap tertarik untuk masuk ke Batam dengan dukungan semua stakeholders.

Tanpa adanya gebrakan dan inovasi dari pemerintah berupa pemberian insentif, perizinan yang mudah, menghapus pungli, dan infrastruktur yang layak, maka jangan berharap terlalu tinggi iklim investasi akan semakin membaik.

Kita iri melihat pemerintah di negara lain sangat serius mengurus daerah FTZ nya sehingga bisa menjadi lokomotif pembangunan. Masih banyak persoalan yang menanti untuk diselesaikan di FTZ Batam, Bintan, dan Karimun, tapi terkesan pemerintah tidak berkomitmen untuk mengatasinya.

Berkali – kali Kadin Kepri berteriak untuk mendesak agar ada pembenahan regulasi di kawasan FTZ, tapi selama itu pula pemerintah terdiam seperti tidak mengerjakan apapun. Tarik ulur kewenangan di pelabuhan dibiarkan terjadi yang membuat pelaku industri bingung dan resah.

Pengusaha tetap berharap kiamat di FTZ Batam tidak benar – benar terjadi, dan hanya keseriusan pemerintah yang bisa menyelamatkan Batam dari aksi hengkang PMA – PMA yang ada.

Thursday, July 7, 2011

Semua serba tidak jelas..!!

Masih seputar rapat gabungan antara Tim Asistensi Ekonomi Provinsi Kepri dengan Kadin Kepri dan Apindo Kepri.

Dalam paparannya, Ir. Cahya, Ketua Apindo Kepri menyampaikan yang paling utama yang harus dilakukan oleh Gubernur adalah menciptakan iklim usaha yang sehat di wilayah ini.

Tapi kesulitannya adalah ketika Gubernur harus berkoordinasi dengan Walikota dan Bupati di kabupaten/kota. Sebagai contoh, ketika rancangan peraturan daerah tentang pajak daerah dan beberapa retribusi lainnya dibahas di DPRD.

"Kami secara tegas menolak kenaikan pajak daerah karena sudah pasti akan menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif dan kompetitif di Kepri. Walaupun akhirnya kami harus tawar menawar, pajak daerah tidak naik tapi pajak penerangan naik," ujarnya.

Dia menegaskan apa yang diperjuangkan Apindo adalah agar permasalahan riil yang dijumpai di lapangan bisa diselesaikan. Pengusaha ingin ketenangan dalam berusaha, biarlah perizinan sulit asalkan pengusaha tidak diganggu dengan berbagai pungutan yang tidak jelas.

Secara makro, Johanes Kennedy, Ketua Kadin Kepri, menyampaikan enam sektor andalan Kepri yaitu manufaktur, shipyard, pariwisata, perdagangan, properti, dan industri pendukung oil and gas.

"Jika kita bisa mengatasi hambatan yang dialami enam sektor andalan ini maka saya yakin ekonomi Kepri bisa melesat melebihi 8% pada tahun ini," ujarnya.

Tapi tentu itu bukan hal gampang. Hambatan di sektor kepabeanan dan regulasi FTZ masih menjadi kendala bagi pengembangan sektor andalan ini untuk bergerak kencang. Tidak cukup seorang gubernur untuk mengatasinya, tapi harus seorang menteri khusus yang bisa mengkoordinasi semua instansi terkait untuk memberikan perhatian serius terhadap pengembangan FTZ BBK ke depan.

Jika semua bermuara pada ketidakjelasan dan kesulitan, lantas bagaimana ekonomi Kepri ini bisa tumbuh pesat hingga mencapai 8-10%?

Hanya mukjizat yang bisa melakukannya. Toh, selama ini pun, sektor galangan kapal berkembang tanpa campur tangan pemerintah baik di daerah (termasuk BP Batam) maupun pusat.

Semua sektor industri berkembang sendiri. Perdagangan berkembang karena mengikuti sektor industri yang membutuhkan pasokan suplai barang dan jasa. Pariwisata berkembang karena menopang sektor industri yang ada. Sektor supporting oil and gas berkembang karena ada industri yang mendukungnya.

Dengan ongkos promosi sekecil-kecilnya, pemerintah berharap investasi masuk sebesar-besarnya. Sebuah strategi aneh yang jarang diterapkan didunia manapun di jagad ini. Tanpa insentif yang jelas, bagaimana mungkin investor bisa masuk ke kawasan ini.

Sebagai contoh, hanya gara-gara permainan mafia lahan di BP Batam, akhirnya investor senilai US$150 juta mengurungkan niatnya untuk masuk ke Batam. Ketidakjelasan status dan pungutan lahan di pulau ini membuat investor ragu untuk masuk dan berinvestasi.

Ketika OB bertransformasi menjadi BP Batam pun sebenarnya tidak banyak perubahan. Justru instansi itu berjalan dengan beban pegawai yang sangat berat, yang menggerogoti anggaran lembaga tersebut.

Begitu juga Pemkot Batam. Dengan anggaran hampir Rp1,2 triliun tapi tidak mampu menyuguhkan sebuah kota yang menarik dan teratur. Duit rakyat hanya dihabiskan untuk menggaji pegawai dan biaya rutin pejabat, bukannya dikembalikan kepada rakyat berupa pelayanan publik dan infrastruktur.

Ahhh..jadi ngelantur nih..
Whatever will be lah..