Thursday, February 22, 2007

Maret, Depdag ajukan draft RUU KEK

JAKARTA: Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan draf Undang-undang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sedang dalam tahap finalisasi dan diharapkan dapat diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Maret 2007.

"Dalam satu minggu ini kita finalisasi dan bahas bagaimana masuk ke DPR. Kita harapkan Maret bisa diajukan ke DPR," katanya usai diskusi "Strategi, Kebijakan Pengembangan dan Pembiayaan Sektor Ekspor Indonesia" di Jakarta, Selasa.

Menurut Mendag, pembahasan RUU KEK itu telah 95% rampung hanya satu atau dua hal saja yang harus disempurnakan.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Diah Maulida menambahkan beberapa hal yang masih dalam pembahasan antara lain mengenai aturan ketenagakerjaan karena ada kaitan dengan UU Ketenagakerjaan.

"Kita kan tidak bisa memberikan pengaturan special (khusus) masalah ketenagakerjaan, tapi ada hal-hal lain yang tidak sensitif dalam UU itu (UU Ketenagakerjaan) yang bisa dimasukkan," jelasnya. (Antara)

Wednesday, February 21, 2007

DPR: Konsep KEK belum jelas

JAKARTA (Antara): Anggota Pansus RUU Investasi dari FPDIP, Irmady Lubis menganggap konsep kawasan ekonomi khusus (KEK) yang diharapkan pemerintah bisa meningkatkan investasi asing di Indonesia masih belum jelas, malah dianggap mengikuti ketentuan tentang kawasan perdagangan bebas (FTZ) yang sudah ada.

"Jadi dari pemerintah belum berhasil mengkonsepkan apa ini KEK. Makanya kita minta kepada yang mewakili pemerintah tolong dong sampaikan apa itu konsep KEK. Disampaikan kepada kita secara tertulis. Begitu kita baca saya katakan ini bukan KEK. Ini kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas karena dijiplak persis dari UU 36," kata Irmady di Jakarta, hari ini.

Menurutnya, konsep yang disampaikan kepada Pansus RUU Investasi secara tertulis tersebut disiapkan oleh Departemen Perdagangan pada awal tahun ini.

Sehingga, katanya, Pansus RUU Investasi tidak dapat memasukkan klausul tentang KEK itu ke dalam pembahasan RUU Investasi dan hal itu telah disampaikan kepada pemerintah agar pemerintah menyiapkan UU khusus tentang hal ini.

"Memang tadinya diusulkan, tapi RUU ini tidak dapat mengatur kawasan ekonomi khusus karena UU tidak mengatur hal yang belum ada. Bentuk kawasan itu seperti apa?" katanya.

Namun, ditambahkannya, Pansus sepakat untuk memasukkan klausul dimana pemerintah dapat memberi kebijakan yang berbeda terhadap kawasan ekonomi khusus daripada kawasan lainnya.

"Kami hanya buka celah itu," jelasnya.

Irmady, yang juga menjadi Ketua Pansus UU Kepabeanan, menambahkan kesamaan di antara KEK dan FTZ antara lain dari bentuk dan fungsi kawasan, fasilitas yang diberikan, serta regulasi yang akan diberlakukan.

"Apakah KEK yang dimaksudkan pemerintah sama dengan FTZ? Kalau sama, kenapa disebut KEK?" katanya mempertanyakan.

Dia mengungkapkan keinginan pemerintah untuk menerapkan KEK pada kawasan Batam, Bintan dan Karimun dianggap kurang tepat karena malah akan semakin melokalisir pembangunan pada kawasan Barat.

"Mereka kan hanya minta FTZ karena posisi mereka sudah strategis di dekat daerah sumber daya dan jalur perdagangan. Lebih baik ke wilayah Timur sehingga investor bisa memiliki pilihan investasi ke wilayah Barat atau Timur," katanya.

Lebih lanjut, Irmady mengatakan sebaiknya KEK lebih baik dari kawasan perekonomian yang sudah ada sekarang seperti kawasan berikat dan kawasan perdagangan bebas sehingga akan dapat menarik banyak investor

Tuesday, February 20, 2007

Apa itu Special Economic Zone??

Tanggal 25 Juni 2006 bisa jadi hari bersejarah bagi bangsa ini sekaligus momentum kedua bagi Batam-Bintan-Karimun. Hari itu, Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Perdagangan Singapura Lim Hng Kiang menandatangani kerja sama pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Batam-Bintan-Karimun (Batam-Bintan-Karimun Special Economic Zone/BBK-SEZ) yang disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Dalam sambutannya Presiden Yudhoyono mengatakan sejarah ini harus dirayakan. Karena, menurut Presiden, akan segera terjadi keajaiban ekonomi di Batam, Bintan, dan Karimun pasca penandatanganan tersebut.
Presiden juga mengatakan keberhasilan sistem pengaturan dan kebijakan di tiga pulau ini bisa dicontoh sebagai model untuk mengembangkan kawasan serupa di tempat lain di Indonesia. Namun apakah sudah berada di jalur yang benar Pemerintah RI dalam upayanya meningkatkan investasi asing dengan menerapkan konsep Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI).
Banyak pendapat mengatakan pola KEKI yang akan dijalankan oleh Pemerintah belum jelas arahnya seperti apa. Sebab ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi jika suatu daerah dapat dijadikan KEK, seperti adanya penduduk asli, kemudian tidak berorientasi pada ekspor semata, lalu aktivitas ekonominya sudah terintegrasi dengan ekonomi domestik, serta memiliki multi sektor.
Menko Perekonomian Boediono menuturkan, diprioritaskannya Batam dan Bintan karena kawasan itu yang paling siap .”Ya, karena itu yang paling siap untuk kita tawarkan,” katanya.
Sedangkan menurut Mari Elka Pangestu, tidak semua daerah bisa menjadi KEK. Sebab, untuk menjadi KEK, suatu daerah harus memenuhi persyaratan-persyaratan minimal. Menurut dia, kawasan tersebut harus memiliki sarana dan prasarana untuk akses bahan baku industri. Kemudian, di kawasan itu mesti tersedia sumber-sumber yang diperlukan untuk berproduksi, yaitu akses tenaga kerja dan keberadaan kluster industri.
“Jadi, di daerah itu harus terdapat industri dan jasa penunjang. Kita akan memulai dari daerah yang memiliki kriteria-kriteria tersebut,” katanya. Soal konsesi bagi investor yang melakukan pembangunan infrastruktur, Mari mengatakan, itu nanti akan tergantung perjanjian.
Nantinya akan ditetapkan infrastruktur mana yang dibangun pemerintah dan yang dibangun investor. Namun, menurutnya, yang mengembangkan nantinya lebih banyak swasta. Mari menandaskan untuk menarik investasi swasta salah satu ciri yang harus dipenuhi daerah untuk menjadi KEK adalah adanya otoritas khusus atau otoritas kawasan.
Sehingga bisa menjalankan pelayanan terpadu, yaitu satu tempat untuk mengurus semua perizinan yang diperlukan. Kalau ada keluhan, tambahnya, akan diselesaikan badan yang ditunjuk pemerintah berdasarkan perjanjian pusat dan daerah.
Untuk itu Pemerintah harus membuat sistem perizinan satu atap di Batam dan Bintan untuk mendukung pendirian KEK di kawasan tersebut, hal itu diungkapkan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi. Dengan sistem satu atap itu, menurut Lutfi, perizinan investasi, tenaga kerja asing, dan kepabeanan yang seharusnya diurus di Badan Koordinasi Penanaman Modal Jakarta dapat diurus langsung di Batam, Bintan dan Karimun.
Penetapan status SEZ bagi Batam-Bintan-Karimun seolah menjadi antiklimaks di tengah pengharapan status FTZ bagi Batam. Perjuangan panjang selama hampir satu decade terakhir ini seolah terobati dengan kebijakan pemerintah yang baru tersebut.

***

Sukacita, sinis, dan bingung. Itulah sekilas gambaran hati para pengusaha di Batam ketika menggelar acara syukuran atas ditetapkannya Batam dan Bintan sebagai kawasan special economic zone (SEZ) pada 2 Mei 2006 lalu.
Sukacita, itu sudah pasti sebab penetapan status ini merupakan klimaks atas perjuangan panjang para tokoh pengusaha di pulau itu dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir. “Lupakan FTZ, kini kami bersiap menyambut SEZ,” demikian kira-kira isi hati pengusaha di sana.
Namun tidak sedikit yang sinis dengan rencana status baru itu. Jangan-jangan SEZ hanya janji surga pemerintah kepada Batam dan Bintan, seperti halnya ketika pemerintah menjanjikan FTZ pada delapan tahun lalu.
Tapi tunggu dulu. Seperti apa sih SEZ yang akan disahkan oleh pemerintah melalui penandatanganan nota kerjasama antara RI dan Singapura pada pertengahan Mei nanti.
Bingung, itulah pertanyaan yang muncul dari para pengusaha dalam acara syukuran itu. Kebanyakan mereka belum tahu persis seperti apa makhluk SEZ ini nantinya dan bagaimana implementasinya di tengah dualisme kepemimpinan di Batam.
Tidak ada yang mampu menjawab, baik Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Provinsi Kepulauan Riau Abidin Hasibuan atau Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah sekalipun. Kedua tokoh itu dan kebanyakan para pengusaha masih meraba-raba seperti apa nantinya SEZ itu.
Wajar saja pengusaha masih bingung, pasalnya pemerintah masih menggodok konsep SEZ Batam-Bintan ini yang konon akan menjadi proyek percontohan bagi tujuh kawasan khusus lainnya di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.
Rencana penandatanganan nota kerjasama RI dan Singapura pun masih belum jelas kapan akan dilaksanakan. Sebelumnya sempat terbersit kabar kerjasama itu akan ditandatangani pada akhir April lalu, tapi batal dilakukan.
Gonjang ganjing mengenai SEZ ini memang ramai dibicarakan di Batam dan Bintan. Rencana pemerintah yang akan mengembangkan 10 kawasan khusus setingkat SEZ di tanah air memang mendapat sambutan hangat dari masyarakat di masing-masing daerah.
Batam dan Bintan yang akan dijadikan percontohan pun sudah buru-buru menggelar syukuran walaupun belum tahu seperti apa SEZ untuk Batam dan Bintan, apalagi di dua pulau itu kini sudah berlaku status bonded zone plus (BZP).

***

BZP, FTZ, ataupun SEZ hanyalah sekedar nama. Yang terpenting di dalamnya ada berbagai kemudahan kepabeanan, perpajakan dan perdagangan. Atau mungkin pemerintah sedang mempersiapkan jenis insentif tambahan di samping fasilitas yang sudah ada?
Dalam kunjungan Wapres Jusuf Kalla ke China beberapa waktu lalu, memang sempat muncul keinginan untuk mengadopsi konsep SEZ yang sudah dikembangkan di negari Tirai Bambu tersebut.
Wajar bila wapres terkaget-kaget dengan pesatnya pembangunan kawasan ekonomi khusus yang ada di negara itu, padahal Indonesia sebenarnya sudah lebih maju selangkah ketika mengembangkan Batam pada 1974 lalu.
Tapi entah kenapa, justru China kini menjadi yang terdepan dalam pengembangan kawasan ekonomi khusus di dunia dengan ratusan kawasan khusus.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya apa yang menjadi kekhususan dari sebuah kawasan khusus atau SEZ ini. Apa perbedaannya yang paling mendasar dibandingkan dengan FTZ atau pun BZP yang kini sedang berlaku di Batam dan Bintan?
Dalam beberapa literature, kata special dalam special economic zone memiliki arti kekhususan dalam system ekonomi dan politik. Mengacu pada kebijakan pemerintah RRC dalam pengembangan SEZ, memberikan kebijakan khusus SEZ ini beserta aturan yang fleksibel, serta mengizinkan SEZ untuk menggunakan system manajemen ekonomi yang khusus pula.
Di antaranya special tax incentives bagi investasi asing dalam SEZ, kebebasan dalam aktivitas perdagangan internasional. Karakteristik ekonominya tercermin dalam empat prisip, 1) Menciptakan daya tarik bagi penanaman modal asing, 2) Bentuk usaha harus merupakan sino-foreign joint ventures dan kemitraan seperti foreign-own enterprises. 3) Produk yang dihasilkan harus berorientasi ekspor, dan 4) Aktivitas ekonomi harus dikendalikan oleh pasar.
China memiliki banyak istilah dan ragam zona bebas. Zona bebas pertama di China adalah SEZ yang dibangun di lima wilayah yaitu Shenzen seluas 327 km2, Shantou 52,6 km2, Zhuhai 121 km2 (ketiganya di Provinsi Guangdong), dan Xiamen seluas 131 km2 di Provinsi Fujian, dan Hainan seluas 34.000 km2 atau seluruh wilayah provinsi termasuk seluruh pulau tersendiri).
Tapi sebenarnya dari praktek di berbagai belahan dunia, ternyata penerapan konsep zone bebas sangat beragam baik dalam pemberian nama maupun isi. Dalam aspek penanganan terhadap barang, keragaman tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu warehousing (penyimpanan) dan atau transhipping (alih kapal), transforming (pengubahbentukan), dan processing (pemrosesan).
Seluruh zona bebas juga memiliki kesamaan lain yakni bahwa barang tersebut adalah barang transito, apapun bentuk penanganan yang dilakukan terhadapnya. Artinya, barang-barang tersebut setelah disimpan, ditransformasi, atau diproses, pasti akan dikirim ke luar zona bebas.
Oleh sebab itu, kemudahan arus keluar masuk barang menjadi suatu hal yang sangat penting. Kegiatan zona bebas akan terganggu bila terdapat hambatan dalam proses transito tersebut. Hambatan itu lazim dikenal sebagai hambatan tariff (tariff barriers) dan non tariff (non- tariff barriers) yang menjadi lingkup kewenangan kepabeanan.

***
Kebingungan para pengusaha di Kepri patut dimaklumi. Pulau Batam sejak kelahirannya memang kerap bertukar-tukar status yang membingungkan para pengusaha asing yang beroperasi di dalamnya.
Ketidakkonsistenan peraturan dalam kurun waktu 33 tahun terakhir di pulau ini telah memicu aksi protes para pengusaha dalam beberapa kesempatan, hingga akhirnya pemerintah mengambil sikap untuk mengembalikan wujud Batam seperti saat pertama di lahirkan sebagai kawasan berikat enclave dan beberapa kemudahan di sana-sini.
Nasib Batam Free Trade Zone pun tinggal kenangan ketika BZP disahkan pada Juli 2005. Pemerintah beranggapan Batam tidak butuh kebebasan yang terlalu besar sehingga cukup dipilah-pilah menjadi tujuh wilayah industri dalam pulau itu.
Penggunaan istilah yang berbeda untuk sebuah pengertian, seringkali merancukan pemahaman. Misalnya, penggunaan istilah X dan Y untuk pengertian Z. Terlebih lagi bila istilah yang digunakan tersebut dipakai juga oleh pihak lain untuk pengertian yang berbeda.
Penggunaan istilah yang tidak tajam juga menyebabkan kerancuan, misalnya istilah bonded zone bagi Batam dalam PP No.14/1990 tentang kawasan berikat. Bonded zone sebenarnya berarti sama dengan free zone, bergantung pada sudut pandang yang digunakan.
Bonded zone atau kawasan berikat adalah istilah dari sudut pandang adanya pemberlakuan batas-batas atau syarat-syarat tertentu terhadap suatu custom enclave. Sementara free zone atau kawasan bebas adalah istilah dari sudut pandang adanya kebebasan-kebebasan tertentu dalam suatu custom enclave. Bonded zone dan free zone adalah dua istilah yang berbeda untuk satu pengertian umum yang sama.
Belum lagi dengan dilakukannya perubahan definisi hukum untuk satu istilah yang sama, seperti terjadi pada istilah bonded zone di Indonesia. Pengertian bonded zone per defenisi PP 14/1990 berbeda substansi dengan pengertian bonded zone per definisi PP 33/1996.
Kasus-kasus seperti di atas banyak ditemukan dalam kajian terhadap free zone atau zona bebas. Karena itu untuk memahami zona bebas diperlukan pemahaman terhadap prinsip dan praktek yang dilakukan, dibalik istilah-istilah yang digunakan.
Hal-hal prinsip yang dimaksud adalah klasifikasi substansi zona bebas yang meliputi perlakuan istimewa kepabeanan, status kedaerahpabeanan yang berhubungan dengan prosedur, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan didalamnya.
Apapun nama istilah yang akan digunakan, sebenarnya berpulang kembali pada prinsip kepebanan yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan perdagangan internasional, khususnya di Pulau Batam yang akan dijadikan proyek percontohan.
Efisiensi dan efektifitas prosedur kepabeanan secara signifikan akan mempengaruhi daya saing ekonomi suatu wilayah khusus yang akan dikembangkan negara. Dalam era persaingan global, perdagangan internasional dan investasi akan berpindah dari lokasi yang dianggap birokratis dan sinonim dengan biaya tinggi, menuju ke lokasi yang efisien, kondusif, dan mendukung daya saing.
Sistem dan proses pabean harus tidak dibiarkan berperan sebagai hambatan bagi pertumbuhan perdagangan internasional. Mungkin pulau itu sudah capek bergonta ganti nama, padahal tujuan yang ingin diraih masih tetap sama.
Pesta menyambut SEZ itu pun bergulir hambar tanpa greget karena tidak ada satu pun yang mampu menjelaskan seperti apa SEZ Batam nantinya. “Apakah SEZ sama dengan FTZ atau malah lebih buruk dan memperpanjang proses birokrasi?” demikian sinisme sebagian pengusaha.
Lalu, bagaimana peranan pemegang otoritas SEZ dengan Pemerintah Kota Batam yang hingga kini belum ada aturan yang mengaturnya pembagian kewenangan keduanya. Dan banyak lagi pertanyaan yang masih menggantung di benak pengusaha yang larut dalam pesta malam itu.

KEK yang simpang siur

Perjuangan Otorita Batam, pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Pemerintah Kota Batam untuk menjadikan daerah ini sebagai surga investasi tidak pernah surut. Berbagai cara ditempuh para pejabat dan pelaku usaha untuk menjadikan pulau ini mendapat hak istimewa di bidang perpajakan dan kepabeanan.
Usaha tersebut tak pernah surut dan setiap peluang selalu mereka rebut. Setelah gagal menggolkan RUU Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas, dan hanya mendapat status sebagai Kawasan Berikat Plus, Batam kini berjuang untuk menjadi KEK (kawasan ekonomi khusus).
Perjuangan ini 99% sudah berhasil. Sebab Presiden RI dan PM Singapura sudah meneken nota kesepahaman tentang KEK Juni lalu. Pertemuan para menteri kedua negara untuk membahas detail KEK juga sudah digelar di Jakarta Sabtu dua pekan lalu. Melihat progres tersebut, wajar jika semua pihak menilai pembentukan KEK yang pertama di Batam tinggal menghitung hari.
Namun siapa sangka, ternyata di antara menteri bidang ekonomi masih beda pandangan tentang KEK. Menurut Ketua Panitia Khusus DPR untuk pembahasan RUU Kepabeanan Irmadi Lubis, Menteri Keuangan menginginkan pemasukan barang dari KEK ke daerah pabean lainnya bebas bea masuk. Usul tersebut disisipkan ke dalam RUU Kepabeanan, yang tengah dibahas di DPR.
Menurut Lubis, Menkeu tidak jadi memasukkan usulan tersebut ke dalam RUU Kepabeanan dan berencana mengatur KEK dalam RUU tersendiri. Meski belum jelas kapan RUU tersebut akan diajukan ke DPR.
Sementara Menko Perekonomian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan justru mengusulkan hal sebaliknya. Mereka menghendaki penjualan barang dari KEK ke daerah pabean lainnya tetap dikenakan bea masuk.
Jika apa yang dipaparkan anggota DPR tersebut benar, ini menambah panjang daftar ketidakjelasan sikap pemerintah. Sehari sebelumnya, DPR juga mempertanyakan sikap pemerintah mengenai pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) atas komoditas primer (pertanian).
Sesuai janji pemerintah saat mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) 20 Oktober tahun lalu, komoditas pertanian yang belum melalui proses produksi akan bebas PPN per 1 Januari 2006. Namun hingga kini, jangankan terbit peraturan pemerintah-nya, sikap para menteri sendiri terhadap kebijakan tersebut belum jelas.
Lepas dari lemahnya koordinasi antarmenteri, keinginan Menkeu agar aliran barang dari KEK ke kawasan pabean lainnya di Indonesia bebas bea masuk, perlu mendapat catatan sendiri.
Sebab jika kebijakan ini yang diambil, hampir dapat dipastikan semua importasi akan melalui KEK, dalam hal ini Batam. Ini sama saja dengan Indonesia membebaskan bea masuk untuk semua pos tarif.
Padahal untuk pemasukan barang dari Sabang-yang merupakan daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas-ke daerah pabean lainnya di Indonesia juga diperlakukan sebagai impor sehingga terutang bea masuk sesuai tarif yang berlaku.
Apakah ini berarti KEK mempunyai status yang lebih tinggi dibandingkan daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas? Apalagi, seorang pejabat Depkeu bahkan menginformasikan adanya keinginan Indonesia untuk memberikan fasilitas bebas pajak (tax holiday) bagi investor di kawasan ekonomi khusus itu.

***
Agar tujuan KEK dapat tercapai, maka ada sejumlah hal yang harus dilakukan secepatnya oleh pemerintah, yakni pertama membuat kepastian hukum dalam kerangka otonomi daerah (regulatory framework). Kedua, siapa yang seharusnya memegang otoritas KEK.
Ketiga yang terpenting adalah pemerintah harus menyediakan lahan. Keempat adanya ketersediaan infrastruktur, seperti ketersediaan listrik yang memadai, adanya transportasi darat, laut, udara, telekomunikasi dan fasilitas dasar lainnya.
Syarat tersebut ternyata sama dengan yang diajukan Pemerintah Singapura untuk membangun KEKI, yakni Indonesia harus memperbaiki kerangka institusional, konsistensi kebijakan, ada kerangka regulasi untuk mejalankan kebijakan, perbaikan infrastruktur, dan pemberian insentif kepada investor.
Untuk kerangka peraturan KEK seperti yang dipersyaratkan pihak Singapura, menurut Kepala BKPM M.Lutfi Pemerintah juga akan melihat apakah perlu ada undang-undang tersendiri tentang KEK atau cukup merevisi undang-undang tentang kawasan perdagangan bebas (free trade zone).
“Untuk sementara ini, pemerintah akan menyelesaikan masalah-masalah pajak atau cukai, yang akan dikerjakan kasus demi kasus,” kata Kepala BKPM M. Lutfi.
Sedangkan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menuturkan, payung hukum zona ekonomi khusus tersebut akan memakai undang-undang. Namun, untuk tahap awal, terlebih dulu menggunakan peraturan pemerintah.
”Dengan peraturan yang ada, kita akan menciptakan kebebasan bea masuk dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk produksi di kawasan tersebut. Kalau produksinya diekspor, dia tidak dikenakan PPN dan bea masuk. Tapi, kalau dijual di daerah pabeanan yang lain, dia akan kena bea masuk dan PPN,” kata Mari.
Sementara itu pendapat lain mengatakan para investor tidak mempermasalahkan besar insentif pajak yang akan diberikan. Namun, yang diinginkan dalam bisnis adalah kepastian usaha. Tarif pajak atau fiskal besar tidak dipermasalahkan, tapi bagaimana potensi daerah dan kepastian bisnisnya terjamin.
Selain insentif pajak, investor mempertanyakan insentif lain yang ditawarkan di KEK itu, diantaranya kepastian daftar sektor tertutup dan sektor terbuka dengan syarat serta tidak terbatasnya tenaga kerja asing yang boleh bekerja di kawasan itu.

Menggantung Nasib Batam...

Menggantungkan nasib segitiga BBK

Johanes Kennedy, Ketua Kadin Provinsi Kepulauan Riau, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya karena dua pejabat pusat yaitu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M. Lutfi batal datang ke Batam.
Kedua pejabat yang sedianya akan menjadi pembicara dalam Rapat Pimpinan I Kadin Provinsi Kepri itu batal datang karena mendadak ada rapat kabinet terbatas bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta.
Padahal, sehari sebelumnya kedua pejabat sudah dikonfirmasi bisa hadir dan menyapa para pengusaha yang tergabung dalam organisasi ini. Berbagai spekulasi pun bermunculan, ada yang bilang Mari dan Lutfi tidak jadi datang karena takut dicecar pertanyaan seputar kapan realisasi UU KEK Batam-Bintan-Karimun.
Jika benar mereka takut, tentu ini tidak relevan karena sudah sepatutnya sebagai pejabat negara berani memberikan jawaban atas setiap aspirasi bahkan keluhan dari para pengusaha di daerah.
Rapim Kadin itu pun berjalan hambar. Pejabat pemda hanya mewakilkan jajarannya kecuali Otorita Batam yang dihadiri langsung oleh ketuanya Mustofa Widjaja. Acara itu pun diisi dengan paparan dari masing-masing institusi terkait tema rapim kali ini berjudul ‘Special Economic Zone sebagai lokomotif pembangunan di Kepulauan Riau.’
“Iklim investasi di Batam sudah lampu kuning, bila status hukum tidak juga disahkan maka bukan tidak mungkin iklim investasi Batam semakin tidak kondusif,” ujar Johanes.
Sebanyak 26 penanaman modal asing (PMA) di Batam telah dicabut izinnya selama kurun waktu 14 tahun sejak 1991-2005. Pemicunya beragam, karena faktor internal perusahaan seperti kehilangan order atau mis manajemen, atau faktor eksternal seperti upah, kepastian huku, dan iklim investasi yang tidak kondusif.
Kendati sudah berhenti beroperasi dan hengkang dari Batam tapi yang bersangkutan belum mengurus surat-surat tadi maka dia masih terdaftar sebagai PMA di Batam.
Kasus terakhir adalah terhentinya operasional PT Livatech Elektronik Indonesia, PMA asal Malaysia yang menelantarkan 1.300 orang karyawannya tanpa dibayar gaji maupun pesangon.
Persoalan
Lain Batam lain pula Bintan. Kawasan yang juga ditetapkan sebagai KEK dalam gugusan BBK itu juga mengalami permasalahan yang sama. Pengelola Kawasan Industri Bintan yang berlokasi di Lobam saat ini sedang pusing memikirkan kelanjutan kawasan itu.
Pemicunya, satu persatu industri manufaktur asing di KI Bintan mulai angkat kaki menuju Vietnam dan China. Belum jelas apa penyebabnya, sebab pengelola tidak bersedia menjelaskan secara rinci. Dari 35 PMA yang ada di KI Bintan, diperkirakan saat ini sudah lima PMA yang hengkang. Kasus terakhir PT Pacific Garment Manufacturing asal Singapura sudah berhenti beroperasi dan meninggalkan derita bagi 800-an karyawan yang dipecat.
KI Bintan jelas kelimpungan, mereka adalah kawasan andalan di Bintan yang akan menjadi KEK di pulau itu. Namun pada kenyataannya, penetapan status KEK ini belum memberikan dampak positif bagi calon pemodal yang melirik kawasan itu.
Bagaimana dengan Karimun? Masalah di kabupaten ini pun lebih fundamental. Bila pengelola kawasan industri di Batam-Bintan mendesak payung hukum. Justru di Karimun masih berkutat dengan persoalan kapan pasokan listrik bisa lancar tanpa byar pet?
Karena tidak tahan dengan keadaan listrik mati-hidup itu, ratusan warga yang menamakan diri Forum Masyarakat Anti Krisis Listrik melakukan aksi unjuk rasa ke DPRD Karimun mendesak pemkab mencari solusi atas kelangkaan pasokan listrik ini.
Pemkab tidak mampu berbuat apa-apa, sementara PLN Karimun yang masuk wilayah kekuasaan PLN Wilayah Tanjung Pinang itu mengakui kekurangan daya sebesar empat mega watt setiap hari. Bila warga saja bosan dengan byar pet, lalu bagaimana PLN bisa memenuhi kebutuhan perusahaan manufaktur yang nanti akan membuka usahanya di kawasan KEK itu?
Itulah sekelumit persoalan yang dihadapi oleh KEK-BBK, sebuah kawasan yang konon menjadi andalan Lutfi dalam menyukseskan proyek percontohan KEK di negeri ini.
Nasib KEK BBK pun makin simpang siur. Enam bulan sudah status KEK disandang oleh BBK, tapi belum ada dampak signifikan terhadap percepatan pembangunan ekonomi di wilayah ini.
Pemerintah pun belum bisa memastikan kapan UU itu akan selesai walaupun Menko Perekonomian Boediono sudah menjanjikan dalam enam bulan UU KEK akan rampung.
Tapi Irmady Lubis, Anggota Komisi VI DPR-RI menjamin UU itu tidak akan selesai dalam waktu setengah tahun, paling tidak dibutuhkan satu tahun untuk pembahasannya. “Itupun jika seluruh prosesnya lancar.”
DPR pun sudah menyiapkan amunisi untuk menahan laju pembahasan UU Ini karena dinilai telah melanggar prinsip keadilan dalam konteks pemerataan pembangunan wilayah barat dan timur.
“Selain itu, para menteri yang ngurusin KEK ini pun belum satu visi mengenai kekhususan kawasan KEK disamping format payung hukum yang belum jelas,” tuturnya.
Semangat
Walau kecewa, pimpinan Kadinda Kepri memang tidak mempersalahkan alasan Mari dan Lutfi absen dalam pembukaan rapim, tapi seharusnya kedatangan kedua pejabat itu pada Rapim Kadin Provinsi Kepri bisa memiliki arti strategis. Selain memberikan dorongan semangat kepada para pengusaha, juga memberikan pencerahan dan alternative insentif yang mungkin bisa dilakukan oleh provinsi ini.
Kedua pejabat itu jelas tidak memiliki kemampuan untuk mengesahkan UU KEK seorang diri, apalagi mengingat tarik ulur kepentingan baik di eksekutif maupun legislative. Tapi paling tidak, kedua pejabat itu mau bertanggung jawab atas kebijakan yang sudah ditetapkannya di BBK.
H. M. Sani, Wakil Gubernur Kepulauan Riau, mungkin sudah membaca ketidakseriusan pemerintah terhadap kelanjutan KEK ini, sehingga dia pun tak ragu mewanti-wanti pengusaha agar jangan terpaku.
“Pengusaha jangan terlalu berharap lagi atau menangisi bila SEZ ini tidak jadi disahkan. Kita harus cari alternative insentif yang bisa memperbaiki iklim investasi daerah,” ujarnya.
Pernyataan Sani itu memiliki dua makna, semangat dan pasrah. Intinya, dia ingin agar pemda dan pengusaha bersatu padu menyusun sebuah kebijakan daerah yang tidak kalah strategisnya dengan sebuah undang-undang.
Berbagai usulan pun bermunculan. Andi Anhar Chalid, Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kepri mengusulkan agar dibuat Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Vital di Batam, Bintan, dan Karimun.
“Perda ini pernah kami buat di Bintan, dan terbukti berhasil meredam aksi unjuk rasa buruh di kawasan industri,” kata dia.
Dia menyambut baik himbauan M. Sani agar pengusaha tidak lagi berharap dengan UU KEK. Menurut dia, KEK merupakan isu yang sengaja dihembuskan pemerintah untuk mengalihkan cita-cita Batam menjadi sebuah kawasan perdagangan bebas (FTZ).
Johanes menilai usulan itu sebagai alternative solusi bila KEK hilang ditelan bumi di mana isi perda itu nanti akan mengakomodasi berbagai kemudahan yang diinginkan pemodal seperti upah yang kompetitif, harga kebutuhan pokok murah, kemudahan ekspor impor mengacu pada aturan yang ada, menghapus birokrasi karena sudah ada sistem one stop service, dan sebagainya.
“Sistem yang sudah berjalan ini akan diperkuat dengan sebuah perda, dan tentu saja sinergi pemprov, pemkot/pemkab, dan pengusaha sangat diperlukan,” ujarnya.
Pengusaha dan pemda tampaknya sudah sepakat untuk mengubur mimpi KEK dalam-dalam. Terserah pemerintah pusat maunya apa, apakah SEZ ini disempalkan dalam UU Investasi, atau dibuat UU sendiri, atau dijadikan Perppu, atau—sembari bercanda-- dibuatkan saja Perda KEK.
Bila sikap nrimo dan pasrah dari para stake holder di Kepri ini sudah menguat, lantas untuk apa lagi forum JSC atau JWG dilanjutkan. Toh, UU yang dinanti pun tak kunjung kelihatan.
Sungguh tak terbayangkan, bagaimana kawasan segitiga pertumbuhan akan mampu bersaing dengan mengandalkan sebuah perda walaupun itu lebih baik dari pada tidak ada sama sekali.