Monday, June 23, 2008

Kepastian Nasib Otorita Batam

Ternyata, Ketua Dewan Kawasan FTZ Batam Bintan Karimun masih merahasiakan kapan pembentukan Badan Pengelola FTZ BBK bisa direalisasikan. Tidak saja soal waktu, Sang Maha Ketua juga masih merahasiakan siapa saja yang akan duduk di BPK termasuk status dari badan tersebut.

Okelah, terlepas dari masalah waktu dan personel yang duduk di BPK, sebenarnya proses pembentukan BPK di Bintan dan Karimun sedikit lebih gampang dibandingkan pembentukan BPK FTZ Batam. Pasalnya, di Batam sudah ada PP No. 46/2008 yang menegaskan peralihan Otorita Batam menjadi badan pengelola.

Sebuah tugas yang tidak gampang, baik bagi OB sendiri yang akan beralih, dan terutama sekali bagi Ketua DK yang bertanggung jawab dalam pengalihan status tersebut. Masalah status aset dan pegawai di OB dinilai menjadi batu sandungan yang harus dicarikan penyelesaian tanpa perlu melangkahi undang-undang yang lain.

Tapi ada satu jalan pintas yang bisa mulai diperjuangkan oleh Ketua DK dari pada sibuk ngurusin PP 63/2003 yang tidak jelas urgensinya. Yaitu, meminta Presiden SBY supaya mengeluarkan PP baru tentang Penetapan OB sebagai BPK, tanpa perlu ada peralihan.

Dengan penetapan ini, maka otomatis, OB akan menjadi BPK. Ketua OB Mustofa Widjaja tinggal mengganti plang nama gedungnya dari OB menjadi BPK. Beres khan?
PP itu juga mengatur soal status aset dan karyawannya serta status hukum BPK FTZ Batam. Sehingga tidak perlu ada pelanggaran terhadap aturan yang lebih tinggi.

Trus pertanyaannya, apakah itu mungkin direalisasikan dalam waktu enam bulan ke depan menjelang deadline 31 Desember 2008? Mungkin saja, asalkan presiden memang punya political will untuk itu, dibantu oleh para pengusaha di Batam dan tentu saja para pejabat yang sangat intens membahas soal ini.
Selain itu, jelas, komitmen Ketua DK juga harus dibuktikan kembali, apakah dia serius mempercepat pembentukan BPK FTZ BBK, atau cuma dijadikan ajang tawar menawar demi kepentingan sekelompok orang?

Apapun pilihan yang akan dibuat, apakah peralihan atau penetapan melalui PP, jelas memiliki konsekwensi. Tapi, tentunya, sudah menjadi tugas DK FTZ untuk mengkaji dampak positif negatif bila OB langsung di tetapkan dengan PP.

Tanpa ada kajian komprehensif, tidak mungkin bisa dibuat kebijakan yang benar-benar bisa memberikan manfaat bagi daerah bebas ini. Kecuali hanya hasrat kekuasaan yang tidak relevan dengan semangat free trade zone yang telah lama kita perjuangkan.

Investor bingung soal aturan FTZ


Dewan Kawasan Free Trade Zone Batam, Bintan, dan Karimun (DK FTZ BBK) disahkan melalui Perpres No. 9, 10, 11/ 2008 pada Mei 2008. Namun, setelah satu bulan belum jelas program konkret dari lembaga itu.

Tugas terpenting, pembentukan Badan Pengusahaan Kawasan FTZ BBK justru tidak bisa diprioritaskan. Dewan Kawasan FTZ BBK cenderung memilih usulan pencabutan PP No. 63/ 2003 tentang Pengenaan PPN, PPn-BM, dan Bea Masuk atas empat komoditas mobil, rokok, minuman beralkohol, dan elektronik. Usulan itu disampaikan kepada Presiden RI.

Untuk mengetahui langkah-langkah strategis yang akan disiapkan oleh para pemangku kebijakan terkait dengan FTZ ini, Bisnis mewawancarai Johanes Kennedy Aritonang, Ketua Kadin Provinsi Kepulauan Riau. Berikut petikannya:

Bagaimana iklim investasi Batam setelah pulau ini disahkan sebagai FTZ?


Saya melihat sudah ada perbaikan dan minat yang cukup signifikan dari calon pemodal dari China, Singapura, Malaysia, dan Timur Tengah. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah bisa menciptakan daya tarik investasi yang lebih baik melalui pemberian fasilitas dan pengurangan pajak.

Dalam status FTZ ini juga memberi peran sentral kepada pengusaha. Kami juga bisa memberikan pandangan dan masukan pada Dewan Kawasan soal kebijakan.

Namun, intinya adalah apakah kita bisa memanfaatkan momentum ini. Apalagi, tidak lama lagi banyak agenda politik, seperti Pemilu 2009 sehingga dikhawatirkan akan membuyarkan konsentrasi.

Terkait dengan agenda politik tahun depan, apakah masih sempat momentum FTZ ini dimanfaatkan untuk menarik investor ke Batam?


Sebagai pengusaha tentu saya tidak boleh pesimistis. Namun, melihat realitas yang ada, saya pikir tidak ada waktu lagi untuk memanfaatkan momentum.

Kalau dilihat dari sisi kepastian hukum, seharusnya ini bisa jadi momentum. Selama ini Batam diindikasikan mati suri karena pemberlakuan PP 63/ 2003 tentang Pengenaan PPN, PPn-BM dan Bea Masuk untuk empat komoditas mobil, rokok, minuman beralkohol, dan elektronik, sehingga semua pengusaha kesulitan karena harga barang menjadi mahal.

Mestinya, DK sebagai regulator bisa memanfaatkan momentum ini sebaik mungkin. Di antaranya dengan membuat kajian komprehensif terhadap PP 63 jika memang ingin dicabut pemberlakuannya.

Maksud kajian ini adalah agar ketika ada usulan dicabut, sudah jelas alasannya. Jika PP 63 bertentangan dengan aturan lain, bertentangan dengan apa. Mengapa bertentangan, harus disebutkan alasannya. Jangan hanya teriak, PP ini tidak bisa dilaksanakan tetapi tidak ada kajian yang mengevaluasi PP tersebut.

Selain itu masalah PP 46/ 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Batam. PP ini setara dengan PP 63, otomatis yang setara tidak bisa saling menggugurkan. Definisi dalam UU 36/2000 tentang FTZ menegaskan yang namanya kawasan perdagangan bebas itu merupakan fasilitas bebas pajak dan bebas bea. Itu intinya.

Belum lagi aturan mengenai pembentukan BPK di Batam. Seolah-olah, DK tidak boleh membentuk BPK di Batam karena dalam PP 46 itu ditegaskan yang beralih itu adalah OB menjadi BPK. Sementara itu, ada undang-undang yang harus diperhatikan sebelum proses peralihan dilaksanakan, antara UU No. 17/2003 tentang Aset dan Pengelolaan Negara dan UU No. 25/2002 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan UU Kepegawaian.

Apakah usulan pencabutan PP 63 oleh Ketua DK sudah sangat urgent dibandingkan dengan prioritas tugas yang lain?

Semestinya setelah disahkan, DK segera membentuk BPK di Batam, Bintan, dan Karimun. Masalahnya ketika hendak membentuk BPK di Batam, di sini ada Otorita Batam. Ada PP 46/2007 tentang FTZ Batam yang menetapkan aset dan pegawai OB beralih menjadi BPK, sementara DK tidak berwenang menyelesaikan ini karena PP No. 9/2008 tidak secara jelas menegaskan peran DK dalam proses peralihan OB menjadi BPK.

Kami mendesak Gubernur Kepri yang juga menjabat Ketua DK agar segera membentuk BPK. Banyak persoalan yang bisa diselesaikan jika badan ini terbentuk, misalnya bidang pertanahan.

Kami sudah bertemu dengan Badan Pertanahan Nasional. Ditegaskan untuk pengalokasian lahan, BPN masih menunggu hingga BPK terbentuk karena mereka juga harus tahu kepada siapa hak pengelolaan lahan ini dilimpahkan.

Apakah PP 63 sudah mengganggu kelangsungan industri di Batam?

Perlu saya jelaskan, sebenarnya pengusaha pernah dijanjikan yang lebih baik. Janji itu akan kami jadikan umpan balik untuk mempromosikan Batam sebagai tujuan investasi. Namun, ketika yang dijanjikan tidak kunjung tiba, momentum itu bisa hilang.

Pengusaha melihat jangan sampai setelah semua perangkat terbentuk tetapi kondisi ini tidak menarik lagi bagi investor. Artinya, kita terlambat memanfaatkan momentum.

Di daerah pabean ini, harapan kami ada perbaikan sistem birokrasi. Ini dijadikan alat untuk menarik investasi asing. Apa alat kita untuk mengurangi pengangguran dan memperbaiki ekonomi, yaitu dengan memberikan fasilitas kepada calon investor. Salah satunya dengan mencabut PP 63. Tentunya, setelah melalui kajian yang komprehensif.

Apa yang sering dipertanyakan oleh PMA yang sudah ada terkait dengan FTZ ini?


Terus terang, pengusaha asing yang sudah beroperasi di Batam masih bingung. Mengapa pemerintah dalam membuat sesuatu yang positif tetapi bingung bagaimana mengimplementasikannya.

Mestinya, jika pemerintah serius ingin membuka pintu selebar-lebarnya, akan berdampak positif terhadap pengurangan pengangguran. Coba lihat, kawasan Muka Kuning, ada 100.000 tenaga kerja.

Calon investor justru bingung, mengapa pemerintah yang buat peraturan untuk Batam, kok jalan ditempat. Jadi, sebenarnya siapa berkepentingan dengan status FTZ ini, investor asing atau Indonesia.

Bahkan, Singapura juga mempertanyakan sebenarnya DK itu bertanggung jawab kepada siapa. Jadi, sebenarnya ada banyak pertanyaan yang hingga kini tidak juga mendapat jawaban konkret dari pemerintah pusat.

Badan Pengelola FTZ dirahasiakan

Sampai saat ini Dewan Kawasan Free Trade Zone Batam, Bintan, Karimun belum merampungkan penyusunan Badan Pengelolaan Kawasan di tiap-tiap daerah tersebut dengan alasan masih memiliki waktu sampai Desember.

Ketua Dewan Kawasan FTZ Ismeth Abdullah, yang juga Gubernur Kepulauan Riau, tidak kunjung memberi penjelasan mengenai proses yang sedang dilakukan Dewan Kawasan saat ini dalam penyusunan Badan Pengelolaan Kawasan.

"Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama, tinggal membuat rumusannya sedikit lagi, lebih baik kita berhati-hati daripada tergesa-gesa," ujarnya, saat Dialog Ekonomi yang digelar Kadin Kepri, akhir pekan lalu.

Dia mengatakan Dewan Kawasan masih menerima masukan-masukan termasuk dari Kadin Kepri, tanpa menjelaskan sejauh mana proses yang sudah dilakukan Dewan Kawasan dalam penyusunan Badan Pengelolaan Kawasan di Batam, Bintan dan Karimun.

Pada kesempatan sama Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepri Jon Arizal mengakui Ketua Dewan Kawasan FTZ Batam, Bintan, dan Karimun belum bersedia memastikan perampungan penyusunan Badan Pengelolaan Kawasan di Batam, Bintan dan Karimun.

Namun, dia mengharapkan kalangan dunia usaha tidak merasa khawatir terhadap hal itu. Berdasarkan ketentuan, pembentukan Badan Pengelolaan Kawasan di Batam sudah harus rampung pada akhir Desember 2008.

"Yang pasti dalam PP 46 khusus untuk Batam tanggal 31 Desember sudah mesti terbentuk, kemudian dalam PP 47 untuk Badan Pengelolaan Kawasan Bintan tanggal 20 Agustus 2008 sudah harus terbentuk sama dengan di Karimun."

Adapun saat ini, katanya, Dewan Kawasan masih mengupayakan dicabutnya PP 63 tentang pajak pertambahan nilai dan pajak barang mewah di Batam.

Jon yakin kehati-hatian Ketua Dewan Kawasan dalam membentuk Badan Pengelolaan Kawasan adalah sikap yang positif guna lebih mematangkan persiapan implementasi FTZ di Batam, Bintan dan Karimun meskipun terkesan lambat.

Selain itu, dia optimistis pembentukan Badan Pengelolaan Kawasan yang dilakukan oleh Dewan Kawasan akan melalui pembahasan yang matang dan akan rampung sesuai dengan amanat undang-undang FTZ serta tidak menyalahi undang-undang tentang otonomi daerah.

Status Otorita Batam


Belum rampungnya pembentukan Badan Pengelolaan Kawasan menjadi dilema di mana hal tersebut sangat terkait dengan ketidakpastian status Badan Otorita Batam sebagai institusi yang selama ini menjadi regulator investasi di Batam.

Ketua Otorita Batam Mustofa Widjaya mengaku ketidakpastian status Otorita Batam dalam implementasi FTZ sedikit banyak telah menyita perhatian para karyawan dan staf Otorita Kawasan.

Namun, menurutnya sampai saat ini kinerja Otorita Batam masih berjalan sesuai dengan program-program yang direncanakan meskipun institusi itu diganti dengan Badan Pengelolaan Kawasan. "PP 46 telah menjelaskan. Pegawai Otorita Batam sudah pegawai negeri sipil jadi tidak ada masalah," ujar Mustofa. Dia mengatakan tak akan ada kebijakan pensiun dini atau pemecatan karyawan.

Mustofa juga meyakinkan investor, perubahan Otorita Batam menjadi Badan Pengelolaan Kawasan tidak akan memengaruhi iklim investasi meskipun nantinya ada beberapa perubahan terhadap regulasi investasi di Batam, Bintan dan Karimun.

Namun, dia menegaskan penggantian Otorita Batam menjadi Badan Pengelola Kawasan secara prinsip lebih kepada penggantian nama institusi dan pertanggungjawaban.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tidak akan mengucurkan dana operasional bagi Otorita Batam mulai 2009 sebelum ada kejelasan status bagi badan tersebut.

Tahun ini, Otorita Batam menerima alokasi dana APBN Rp160 miliar. Untuk biaya rutin yang diperoleh dari unit usaha seperti pelabuhan laut, bandara, rumah sakit, dan pengelolaan lahan Rp300-an miliar, sehingga total anggaran belanja dan pendapatan Otorita Batam mencapai Rp460-an miliar.

31 Desember merupakan batas waktu bagi Otorita Batam menjadi badan pengusahaan kawasan dengan sesuai amanat PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam. Sementara proses pengalihan badan itu menjadi badan pengelolaan tidak segampang yang diperkirakan banyak pihak.

Thursday, June 19, 2008

Kinerja ekonomi tak sesuai harapan

Hasil yang dicapai pemerintah setelah empat tahun dinilai tidak sesuai dengan harapan yang ditunjukkan antara lain oleh indikator makro yang berada di bawah target, kemiskinan bertambah, dan daya beli yang merosot.

Penilaian itu merupakan pernyataan sikap Komite Bangkit Indonesia (KBI), bertajuk Konstitusi, Hak Angket BBM, dan Kebutuhan Pokok Rakyat, yang disampaikan di Jakarta, kemarin.

Jumpa pers itu dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional di antaranya mantan Ketua MPR Amien Rais, pengurus PBNU Lili Wahid, anggota Komisi XI DPR Dradjad H. Wibowo, Managing Director Econit Advisory Group Hendri Saparini, serta pengamat ekonomi Iman Sugema dan Ichsanuddin Noorsy.

"Setelah memasuki tahun keempat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dipilih secara demokratis dengan biaya sangat mahal, hasil-hasilnya sangat mengecewakan," kata Ketua Umum KBI Rizal Ramli.

Dia menjelaskan hasil yang mengecewakan selama empat tahun pemerintahan Presiden Yudhoyono itu antara lain, pertama, indikator makro ekonomi, baik tahunan maupun lima tahun, berada jauh di bawah target.

Pertumbuhan ekonomi, misalnya, hanya 6,4% dalam APBN-P 2008, padahal ditargetkan 6,8% dalam APBN 2008. "Angka pertumbuhan ini bahkan kemungkinan besar diturunkan menjadi 6,0% dalam APBN-P 2008 II [perubahan kedua]," tambah Hendri Saparini.
Kedua, kehidupan rakyat semakin sulit, daya beli merosot, pengangguran semakin tinggi, dan kemiskinan bertambah. "Angka kemiskinan meningkat dari 36,1 juta orang (16,7%) pada 2004 menjadi 39,3 juta orang (17,8%) pada 2006, dan 37,17 juta orang (16,58%) pada 2007," ujar Hendri.

Di sisi lain, anggaran pengurangan kemiskinan dalam APBN naik dari Rp18 triliun pada 2004 menjadi Rp62 triliun pada 2008. "Peningkatan anggaran yang signifikan itu ternyata tidak mampu menurunkan angka kemiskinan," kata Hendri.

Ketiga, proyek infrastruktur-seperti proyek trans-Java dan pembangkit listrik-yang dibangun kurang dari 10% dari target yang ditetapkan untuk lima tahun. "Akibatnya, kualitas infrastruktur semakin merosot dan lapangan kerja yang tercipta sangat rendah," tutur Rizal.

Minta insentif

Di tempat terpisah, Kamar Dagang dan Industri mulai berteriak meminta insentif menyusul meningkatnya kredit macet di dunia usaha kendati pelaksanaan kenaikan harga BBM bersubsidi belum genap sebulan.

Bambang Soesatyo, Ketua Komite Tetap Moneter dan Fiskal Kadin Indonesia, mengatakan meningkatnya ketidakmampuan atau gagal bayar para pelaku usaha dalam mengembalikan kredit pascakenaikan harga BBM, sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan.

"Karena itu, Kadin mendesak Menko Perekonomian segera merespons peningkatan kredit macet dari kalangan pelaku usaha dengan kebijakan bermuatan insentif bagi dunia usaha," katanya kemarin.

Batam Island still attractive for investors

Kendati masih terganjal sejumlah kendala infrastruktur dan peraturan, promosi investasi ke luar negeri Batam mulai membuahkan hasil, setidaknya tecermin dari realisasi 36 proyek PMA periode Januari-Mei 2008.

Pada enam bulan pertama tahun ini Otorita Batam (OB) menyetujui 36 proyek penanaman modal asing (PMA) senilai US$54.358.803, dan enam proyek perluasan usaha senilai US$8.055.479.

Adapun persetujuan aplikasi investasi asing yang dikeluarkan OB selama Mei tahun ini sebanyak tujuh proyek senilai US$5,607 juta, dan satu proyek perluasan senilai US$107.979.

"Adanya aplikasi investasi asing yang disetujui tersebut menunjukkan bahwa Batam masih diminati oleh para investor, dalam negeri atau pun luar negeri," ujar Dwi Joko Wiwoho, Kabag Humas Otorita Batam, pekan ini.

Dia menjelaskan aplikasi PMA selama Januari - Mei 2008 itu berasal dari beberapa negara, antara lain Singapura, Malaysia, British Virgin Island, Hong Kong, China, Belanda, Inggris, dan Korea Selatan.

Dia menambahkan bidang usaha yang digarap oleh PMA itu meliputi pembenihan biota laut, industri shipyard (galangan kapal), perhotelan, percetakan, industri kemasan plastik, ekspor-impor, logam, konstruksi, dan lainnya.
Menurut Djoko, berbagai upaya promosi akan terus dilakukan oleh Otorita Batam. Selama Mei lalu, promosi yang telah dilakukan Otorita Batam antara lain ke Polandia, Belgia, dan Belanda.
Selain menawarkan potensi investasi sektor manufaktur, instansi yang akan berubah status pada akhir tahun nanti juga menawarkan potensi pariwisata kepada para pemodal Eropa.

Iklim kondusif

Selain itu, lanjutnya, Otorita Batam akan terus mengupayakan untuk menjaga iklim investasi yang kondusif, peningkatan pelayanan publik, peningkatan sarana infrastruktur.
Dia menegaskan hal terpenting adalah penetapan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas berdasarkan UU FTZ No. 44/2007.
Dia sangat yakin investasi akan semakin meningkat jika UU FTZ dapat terimplementasikan dalam tahun ini juga sesuai dengan amanah UU FTZ tersebut.

Djoko menyebutkan dibandingkan dengan periode yang sama, jumlah aplikasi proyek baru periode Januari - Mei tahun ini tercatat sebanyak 29 proyek, atau naik 29% dibandingkan dengan periode sama 2007 sebanyak 22 proyek.

Selain itu, pada Mei juga terdapat dua proyek penanaman modal dalam negeri (PMDN) baru yang disetujui aplikasinya senilai Rp8.864.200.000.
Dengan adanya aplikasi baru yang disetujui tersebut, perkiraan jumlah tenaga kerja domestik yang dapat terserap sebanyak 1.366 orang.

Dengan demikian, secara akumulatif realisasi PMA sejak 1971 hingga Mei tahun ini sudah mencapai 1.009 PMA, senilai US$4,7 miliar, dan 152 PMDN senilai Rp3,1 triliun, dengan total estimasi jumlah tenaga kerja domestik yang terserap mencapai 287.843 orang.

Wednesday, June 18, 2008

Comment from Neighbour

This is one comment from annonymous regarding to the articles about Iskandar Development Region.

"It is quite obvoius that the author of the article has not been keeping up with the news. A visit to the Iskandar Malaysia website should clear any doubts whether the project is progressing. Targeted investments are 70% of the target for the period to 2010. The list of investors are like a who's who in the global investment community e.g. Saraya Holding, Mubadala, Mantri Properties, Limitless, DAMAC, Flextronics, Oakwoood,Newcastle University,ect."

Thanks for the comment..Annonymous!

In fact, we are in Batam Island already knew about the developing of Iskandar Region in Johor Bahru. The rapid development in the IDR and fully commitment from Malaysian Government gave us in Indonesia some lesson how we should prepared the policy for developing the new trade and investment area.

Now, Batam Island has the status as free trade zone and we must confessed the status does not making everything clear. Actually, we live in phobia of FTZ..

Monday, June 16, 2008

Why Iskandar Development Region Will Fail

This article were sent by anonimous and published in Indian Malaysian Online.
I dont know which is true or false, because untill now, i have not see any complaint from Iskandar Development Region (IDR) Authority regarding to the article.

The response from the foreign investors to the Iskandar development Region is quite evident. After few months from its launching, the Iskandar Development Region has received lukewarm response from the foreign investors.

This prompted Tun Musa Hitam, a member of the Iskandar Development region Authority(IRDA)advisory Council to say unequivocally that ‘it was time to give up the New Economic Policy (NEP) for the success of the Iskandar development Region(IDR).’


On 22nd March 2007, our P.M declared that six sectors would not have to have Bumiputra equity participation.

For 50 years our malay political masters have deemed fit to cling to the NEP policy and now without much persuation they have willingly relinquish that condition for the Iskandar development Region. Why?

The simple reason is that Malaysia has missed the boat. Most of the FDI’s that we are targeting have taken flight to China’s economic region of Shenzan, Hangchou and to India’s Mumbai and Bangalore region.

Of late whatever FDI left have gone to Vietnam. So who are we trying to attract to the IDR? In order to answer this question let us examine the profile of the investors in Malaysia.

For the last ten years, the main investors in Malaysia have been the U.S and Singapore. Both their investments in Malaysia constitute almost 50% of all investments in the country.
Therefore based on historical statistics it would be safe to assume that this would be the same category of investors targeted.

But would Singaporeans be keen to invest in the Iskandar development Region? Obviously not. Why would they want to invest in a country that seem to treat their presence with utter disdain and contempt?

The scenic bridge, the sand issue, the use of Malaysian air space and a host of other minor irritants have seen relationship between the two countries at their lowest level.

No matter what the incentives offered by the Malaysian counterparts, the Singapore govt is defintely not going to take the bait. Further, a successful Iskandar Development project would be at the expense of Singapore’s own development. So logically it would be in Singapore’s interest for the IDR to fail.

As for the Americans, would they want to pour their Investment dollars in the Iskander development region? Definitely not, especially when their President was recently charged under the war crimes tribunal held in Kuala Lumpur and presumably under the patronage of the govt.

By our own volition, our govt have foolishly offended the two most likely investors in the country and any amount of incentives or cajoling would unlikely to have any positive impact. Without the participation of these two major investors the Iskandar Development Region is destined to fail.

Surat Sakti Ketua Dewan Kawasan FTZ BBK

Dear blogger,

Beberapa waktu lalu, Ismeth Abdullah, Ketua Dewan Kawasan (DK) FTZ Batam menegaskan pihaknya sudah menyurati pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan agar membatalkan PP No. 63 Tahun 2003 tentang Pengenaan PPN dan Bea Masuk terhadap empat komoditi mobil, rokok, minuman beralkohol dan elektronik.

Ismeth beralasan, PP 63 sudah tidak relevan lagi dengan semangat FTZ yang disahkan melalui PP No. 46 tahun 2007 dan UU No. 44 Tahun 2007. Jadi, sudah selayaknya PP 63 dicabut demi peningkatan daya saing Batam ke depan.

Memang, persoalan PP 63 menjadi pokok bahasan tersendiri bagi para pengusaha dan aparat dilapangan. Pengusaha merasa, PP tersebut sangat memberatkan karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi sehingga layak dibatalkan.
Di sisi lain, aparat menilai selama belum ada aturan yang membatalkan keberadaan PP 63 berarti ia terus berlaku.

Kondisi ini lah yang menjadi concern dari Ketua DK. Walaupun sudah ada PP 46, tapi tidak ditegaskan mengenai pencabutan PP 63. Walaupun secara de-jure mestinya PP 63 tidak berlaku lagi. Tapi apakah aparat Bea Cukai dan Pajak mau mengambil resiko berdasarkan interpretasi saja? Rasanya tidak mungkin, itu pula yang menyebabkan mereka tetap menjalankan amanah PP 63 sampai ada peraturan pencabutan.

Maka Ketua DK pun mengirimkan surat ke para pejabat terkait agar pencabutan PP 63 bisa dipercepat. Alasannya, demi kenyamanan para pengusaha dan industri yang ada di Pulau Batam. Tapi apakah benar pengusaha manufaktur akan diuntungkan dengan pencabutan PP 63 tersebut?

Ada beberapa pendapat yang pro dan kontra terkait rencana pencabutan PP 63. Kubu yang pro, menilai PP 63 hanya memberatkan dan membuat daya saing Batam jadi lemah karena pemberlakuan PPN, PPn BM dan BM terhadap empat komoditi tersebut terasa memberatkan dan menyebabkan ongkos produksi menjadi tinggi.

Kubu yang kontra, menilai PP 63 tidak ada relevansinya dengan daya saing Batam. Toh, empat komoditi itu tidak menyentuh langsung kepada pola konsumsi masyarakat. Apakah pengenaan PPN dan PPn BM untuk mobil akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat golongan menengah bawah yang mendominasi struktur masyarakat Batam?
Begitu juga dengan elektronik, rokok, dan minuman beralkohol. Apakah relevan bila komoditi tersebut dibebaskan dari pungutan pajak sementara kontribusinya terhadap perbaikan pola konsumsi dan daya saing Batam belum tentu besar?

Sebelum surat Ketua DK itu dikirimkan apakah tidak sebaiknya dikaji terlebih dahulu, baik buruk dari PP 63. Mestinya dilakukan evaluasi atas pemberlakuan PP 63 selama empat tahun terakhir apakah merugikan atau justru tidak ada dampak sama sekali terhadap arus investasi asing ke pulau ini. Apalagi, industri yang berada di dalam kawasan industri sama sekali tidak tersentuh oleh PP ini, karena mereka dilindungi oleh insentif sebagaimana dijanjikan dalam Paket Deregulasi Juli 2005.

Tapi itulah Ketua DK kita. Doyannya berkirim surat melulu. Biar dibilang ada kerjaan dan DK sudah melakukan langkah konkrit dalam menindaklanjuti keluhan pengusaha, maka dikirimlah surat ke Jakarta.
Mengapa DK tidak melakukan langkah evaluasi terlebih dahulu, kemudian hasil evaluasi dan kajian PP 63 itu diekspose agar masyarakat awam, pengusaha, dan industri bisa tahu, bahwa PP 63 tidak berdampak apapun terhadap iklim investasi di pulau ini.

Kalaupun ternyata ada dampaknya, juga disampaikan apakah dampak itu bisa mengancam kelancaran arus keluar masuk barang serta iklim investasi atau dampak itu hanya sesaat yang ditimbulkan oleh para spekulan atau pun penyelundup barang seperti mobil dan elektronik.

Ismeth mestinya sadar, betapa bisnis otomotif di pulau ini sudah mulai berjalan di jalur yang benar. Para pengusaha otomotif mulai menjajakan mobil brand new, dan beralih untuk menjual mobil baru saja. Walau demikian aksi penyelundupan mobil, walaupun tidak seramai dulu, tapi paling tidak sudah ada pengurangan.

Begitu juga bisnis elektronik. Sebelum PP 63 berlaku, barang elektronik asal China membanjiri pasaran, tapi kini, barang elektronik buatan dalam negeri justru mendominasi. Merek-merek ternama seperti Samsung, Sony, LG, Sharp, Panasonic, berlomba-lomba membuka kantor perwakilannya di Batam sebagai bentuk pelayanan kepada pelanggan.
Ini artinya, masyarakat mulai terbiasa untuk mengkonsumsi barang elektronik produksi dalam negeri dan melupakan barang selundupan asal China yang kurang berkualitas.

Yang paling ironis adalah rokok dan minuman beralkohol. Apakah wajar bila kedua komoditi itu dibebaskan dari pungutan pajak dan BM. Kemana logika pengurus DK?
Apakah tidak sebaiknya, sebelum buru-buru mengirim surat, dikaji dulu, relevansi dari usulan pencabutan PP 63 itu. Maksudnya adalah agar pusat tidak semakin sinis dengan DK FTZ Batam. Seolah-olah, kita tidak tahu apa yang kita kerjakan.

Semoga saja, DK sadar dengan apa yang diperjuangkannya!!!

Saturday, June 14, 2008

Yangshan Deepwater Port-Brief Information


Yangshan Deepwater Port is the core project of Shanghai international navigation center. As the first port built by China on sea islands, it is located in the area of Qiqu Islands, Shengsi, off the estuaries of Hangzhou Bay and Yangtze River, and composed of dozens of islands like Dayangshan Island and the Xiaoyangshan Island. Yangshan Deepwater Port lies 32 km. southeast of Luchaogang, Nanhui, Shanghai, 90 km. north of Beilun Port of Ninbo, and 45 nautical miles from the international navigation line, and is the a good deepwater port nearest to Shanghai.

Shanghai started the construction of Yangshan Deepwater Port in 2002. On December 10, 2005, the first phase of Yangshan Deepwater Port was completed for opening. The first phase included three parts, i.e., the port operation area, Dong Hai Bridge, Luchaogang Supporting Area. (Refer to Sketch 12-1: Sketch Map of Planned Yangshan Deepwater Port)

1) The Port Operation Area. Five 70-100 thousand tonnage berths of the first phase have been built and come into operation, and the world newest generation of super-Panamanian containerships may anchor. The dock is 1600 meters long, 18 container bridge cranes have been installed, the annual handling capacity is over three million. TEUs, and the land area is 1.53 sq.km. The completion of the first phase of Yangshan Deepwater Port has re-written the history of Shanghai, which did not have over 15 meters deep sea lanes and deepwater wharves, and present world biggest container ships may be received in all weathers for anchorage and operation.

(2) The Dong Hai Bridge. Being the longest sea bridge, it is 32.5 km long, starting from Luchaogang of Nanhui, Shanghai and ending at Xiaochengzishan Island of Qiqu Islands, Shengsi County, Zhejiang Province, and also links the Port Operation Area with the shore. The bridge was designed in accordance with the standards of two-way and six-lane expressway with Width of 31.5 m and standard a driving speed of 80km/h.

(3) Luchao Port Supporting Area, located near the landing point of the East Sea Bridge and relatively independent, mainly performs the function of providing Yangshan Deepwater Port Operation Area with supporting services and includes port inspection area, auxiliary operation area, dangerous goods operation area and comprehensive auxiliary facilities of water supply, electricity supply and telecommunication.

(4) Overall Planning of Yangshan Deepwater Port Operation Area. The second phase of Yangshan project will be completed at the end of 2006. The dock of Yangshan Port will be extended from 1600 m to 3000 m.; the storage area expanded from 0.87 min sq.m. to approx.1.4 min sq.m.; the number of cranes increased to 34 with thirteen 40ft double-lifting bridge cranes. By 2012, the dock will further be extended to over 10 km., the number of berths increased to over 30 with annual capacity of over 15 million TEUs.

Learning How To Developing the Container Port

The story below, show us how the China Government built the largest container deepwater port of Yang Shan. I don't think that we are on Batam Island can do the same. Read this carefully..!!


China Shipping Terminal Development Co., Ltd. (CSTD), a subsidiary of the Shanghai-based China Shipping Group, and Hong Kong container terminal operator Modern Terminals Limited, a member of the Wharf Group, have recently signed an agreement to participate jointly in the development of the Yang Shan Deepwater Port project in Shanghai.

A press conference was held in the Shanghai International Convention Centre, followed by the signing ceremony on 14th August 2003. The events were co-hosted by Mr Li Kelin, President, and Captain Mao Shijia, Assistant President of the China Shipping Group; and Mr Erik Bogh Christensen, Managing Director of Modern Terminals.

It was pointed out that the Central Government and the State Council of the People’s Republic of China are giving their full support to the development of Yang Shan Deepwater Port. The Shanghai Municipal Government and authorities in neighbouring provinces are providing their strong backing to the project. All these bodies regard the construction of an international shipping centre in Shanghai as an important element and a high priority in China’s economic development during the 21st century.

To enhance the overall competitiveness of China’s position as an international container terminal hub in the Northeast Asia region, Shanghai needs to develop a deep-water container port with a draft of at least -15 metres that can cope with the growing size of container vessels and the establishment of strategic alliances and networks by the world’s shipping lines. Yang Shan Container Port will be designed to handle container vessels of the latest generation, with a capacity of 8,000 TEUs.

The companies expressed their delight at the endorsement of their alliance by the Shanghai Municipal Government. Leveraging on their respective expertise as a major shipping line and a highly experienced container terminal operator, they believe they will be able to realise the project’s full potential, enabling it to play an important role in transforming Shanghai into one of China’s leading international economic, financial, trading and shipping centres.

“China Shipping (Group) Company aims to build itself into a world-class shipping enterprise in the period of the current 10th five-year plan. This is in line with the government targets of turning Shanghai into an international shipping centre and developing Shanghai Port as the world’s third largest container hub port,” said Mr. Li Kelun, President of the Group.

Mr. Erik BØgh Christensen, Managing Director of Modern Terminals, remarked on the cooperation between the two companies, “This is a very good example of an all-win solution for the development of the Yang Shan Deepwater Port. Modern Terminals, with our 3-decade solid foundation of terminal development and operations expertise, is very delighted to be able to contribute to this big port infrastructure project in Shanghai.”

The two companies established a joint working team for the project in July. Feasibility studies are now underway, and the working team will liaise more actively with all the other parties concerned during the coming months. A joint venture company will be formed in due course as the vehicle for their investment in the project and its subsequent development.

China Shipping Terminal Development Co., Ltd in brief

China Shipping Group (China Shipping) is one of the key state-owned enterprises under the direct administration of the Chinese Central Government and is a super-large shipping conglomerate that operates across different sectors, different regions and countries. China Shipping (Group) Company operates five specialized shipping fleets of container vessels, oil tankers, bulk ships, passenger ships and special cargo ships, with a total number of more than 400 vessels, deadweight of more than eleven million tons, container transport volume of over 3.5 million TEUs and throughput of 200 million tons per annum. It also operates terminal management, integrated logistics, finance and investment, engineering and manning service, supply and trading and information technology. China Shipping Development and China Shipping (Hainan) Haisheng, both controlled by China Shipping (Group) Company, are listed on the Hongkong and Shanghai stock exchanges respectively.

Established in April, 2001, China Shipping Terminal Development Co., Ltd. (CSTD), one of the first-class subsidiaries affiliated to China Shipping Group, specializes in domestic and foreign marine terminal investment, operation and management. Currently China Shipping Terminal Development has joint ventures to operate several container terminals in the ports of Dalian, Lianyungang, Shanghai and port of Los Angeles in the United States. The annual handling capacity of these terminals reaches four million TEUs.

Based on the terminal development strategy of supporting and serving container shipping and integrated logistics, CSTD is focusing on the investments in domestic coastal and overseas hub port terminal projects. Recently CSTD has signed letters of intent regarding joint development of container terminals in ports of Tianjin and Xiamen. CSTD is also looking for investment opportunities in oil, LNG/LPG and auto roro terminals. It is expected that China Shipping terminal industry will have a total capacity of five million TEUs per annum by 2005 and ten million TEUs by 2010, so as to form a diversified and large-scale terminal industry layout and to become China Shipping Group’s vital pillar industry and source of profit.


Modern Terminals in brief

Modern Terminals opened Hong Kong’s first purpose-built container terminal in September 1972. It currently owns and operates Terminals 1, 2 and 5, plus Terminal 8 (West), handling 4 million TEUs per annum. The company will shortly start operating four berths at the new Container Terminal 9 (South), which together with productivity enhancement will give an increased total capacity of 5.5 million TEUs per annum.

In 2000 it established ModernPorts.com, Hong Kong’s first one-stop e-business portal providing a wide range of port-related services for the shipping community. In February 2003, it jointly established OnePort Limited with other terminal operators to improve the efficiency of business processes in the Container Port through an open, secure and neutral platform for exchanging electronic information. In 2002, the company launched the PRD Inland Gate, a unique network of dedicated daily feeder services that provide a faster, more efficient, cost-effective and reliable means of moving containers between Hong Kong Container Port and major manufacturing centres in the Pearl River Delta.

In 1998, Modern Terminals began to extend its operations to the Mainland by winning the management contract for Shekou Container Terminals (Phase 1) in Shenzhen through a joint venture with P&O Ports. It subsequently acquired equity stakes in Chiwan Container Terminal Co., Ltd., and Shekou Container Terminals (Phase 2). The opening of Modern Terminals’ Shanghai Representative Office in 2002 signalled the company’s commitment to extend its participation in port developments to Northern and Eastern China.



Shanghai port may become the world's largest container port


Shanghai port is likely to overtake Singapore to become the world's largest container port in 2008, with an expected throughput of 30 million TEUs this year, up 15% year-on-year, said Chen Shuyuan, President of Shanghai International Port Group Co (SIPG)<600018>, operator of the busiest container port in the country.

Shanghai surpassed Hong Kong for the first time in 2007 to become the world's second largest container port with container volume hitting 26.15 million TEUs.

The port group will invest about RMB 4.5 billion in expansion this year, of which RMB 2 billion will be spent on adding berths. It is seeking foreign investors and strategic partners to help develop its container business, improve management and technology as it eyes an overseas listing, according to Chen.

As the biggest port enterprise in the Chinese mainland, the port group provides a wide range of businesses covering domestic and overseas freight transportation, load and unloading, warehousing, transfer, and container operation, repair, manufacture and lease. It predicts total cargo volume, including non-container traffic, to grow around 8%-10% this year.

Nasib Batu Ampar terganjal Singapura dan status OB


Selama 34 tahun keberadaan Otorita Batam membangun Pulau Batam, hanya tiga misi yang sudah terlaksana yaitu menciptakan kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata, sedangkan misi keempat sebagai pusat alih kapal belum juga kesampaian.

Misi yang diemban oleh OB untuk menjadi pusat alih kapal di kawasan ini sebenarnya sudah tertuang dalam beberapa produk hukum pada tiga dasawarsa lalu.Ini dimulai ketika Keppres 65/1970 yang menetapkan Pulau Batam sebagai basis logistic Pertamina.

Selanjutnya, berdasarkan Keppres 41/1973 ketika Otorita Batam resmi dibentuk sekaligus mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industri dan kegiatan alih kapal.

Memang Batam belum terlambat untuk membangun sebuah pelabuhan kontainer dan transshipment port, tapi bila berkaca pada proses yang dilakukan dalam satu dekade terakhir, rasanya publik pesimistis cita-cita keempat OB itu bakal terwujud.

Isu pembangunan Pelabuhan Batu Ampar Batam menjadi terminal petikemas memang tidak pernah habis untuk diberitakan. Mulai dari pelaksanaan tender yang berulang-ulang hingga tiga kali dan terakhir ditutup dengan beauty contest.

Berbagai nama operator terminal container dan perusahaan pelayaran kelas dunia sempat menghiasi tender yang digelar Otorita Batam sejak 2003 hingga 2005 seperti Evergreen, Port of Singapore Authority, Hanjin Shipping Co., Samudera Shipping, P & O Port Ltd, dan International Container Terminal Services Inc.

Dari semua nama itu, tidak satu pun yang lolos sebagai pemenang dengan berbagai alasan hingga akhirnya dipilih opsi akhir melalui beauty contest pada 2005 dan keluarlah nama Compagnie Maritime d’Affretement – Compagnie Generale Maritime (CMA-CGM) asal Perancis.

Proses terus berlanjut, investor Perancis itu mengajukan permintaan masa operasi diperpanjang hingga 50 tahun atau naik dua kali lipat dari ketentuan 25 tahun. Pertimbangannya, investasi senilai US$250 juta untuk pelabuhan itu dirasa belum cukup bila hanya dikelola seperempat abad.

Pemerintah akhirnya mengabulkan permintaan investor tersebut untuk mengelola konsesi Pelabuhan Internasional Batu Ampar selama 50 tahun. Pertimbangan pemerintah memberikan izin pengelolaan melalui pola built operate transfer (BOT) selama 50 tahun didasari oleh besarnya nilai investasi yang ditanamkan pada pelabuhan tersebut sehingga dibutuhkan waktu pengembalian yang cukup lama.

Informasi yang berhasil dikumpulkan menyebutkan CMA-CGM akan membangun dermaga sepanjang 700 meter atau tiga kali lipat dari perencanaan semula yaitu 250 meter.

Nilai investasi untuk membangun dermaga itu dibutuhkan sekitar US$250 juta. Angka ini jauh lebih murah bila dibandingkan hasil studi semula di mana diperkirakan dengan membangun dermaga 250 meter akan menghabiskan investasi US$120 juta.

Sebagai wujud keseriusan pihak CMA-CGM dalam kelanjutan investasinya di Batu Ampar, akhirnya diinisiasi penandatangan letter of intent (LoI) antara OB dan CMA-CGM.

Mestinya, LoI sudah diteken pada Desember 2007 lalu, namun hingga memasuki Juni 2008 ini belum ada kepastian kapan kesepakatan awal itu akan ditandatangani kedua pihak.

Informasi yang diperoleh dari Kementerian Perekonomian menyebutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan akan menyaksikan penandatanganan LOI itu di Perancis pada Juni ini. Tapi, ternyata jadwal berubah.

Begitu juga Ketua OB Mustafa Widjaja yang dijadwalkan berada di Paris pada awal Juni ini, juga menunda keberangkatannya tanpa alasan yang pasti.

”Kami harus pastikan yang menandatangani LoI itu adalah CEO CMA-CGM karena ini merupakan kesepakatan yang mengikat. Untuk itu kami masih menunggu konfirmasi dari Prancis,” ujar Mustofa Widjaja, Ketua Otorita Batam kepada Bisnis pada akhir 2007 lalu.

Dia menjelaskan bila LoI itu sudah ditandatangani maka selanjutnya ada persiapan untuk melakukan studi teknis terhadap pembangunan Pelabuhan Petikemas Batu Ampar yang diperkirakan menelan investasi senilai US$250 juta.

Menurut dia, rancangan yang ada saat ini masih berupa draft dan untuk rancangan yang lebih rinci akan digarap bersama antara OB dan CMA-CGM sesuai dengan kesepakatan.

”Karena ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam studi teknis maka LoI ini harus ditandatangani dulu sehingga OB dan CMA-CGM sepakat dan sama-sama bekerja,” papar Mustofa waktu itu.

Tidak pasti

Kini, masa depan Batu Ampar memasuki fase yang krusial, jangan sampai investor Perancis itu batal melanjutkan investasinya di Batam. Berbagai spekulasi pun bermunculan, salah satunya adalah ketidakjelasan status OB pasca ditetapkannya Batam-Bintan-Karimun sebagai kawasan perdagangan bebas melalui PP No. 46, 47, 48 tahun 2007.

Sesuai amanat PP 46, OB harus dilebur menjadi Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) di mana bentuk badan hukum organisasi BPK itu sendiri belum jelas. Bahkan Dewan Kawasan FTZ BBK pun sampai saat ini masih pusing memikirkan proses peleburan institusi negara tersebut.

Nah, bisa saja muncul kekhawatiran dari CMA-CGM, bila kesepakatan dilakukan, jangan-jangan OB berubah status menjadi lembaga yang tidak memiliki kewenangan sebesar seperti saat ini.

Perlu diketahui, saat ini OB berwenang mengelola Bandara Hang Nadim, Pelabuhan Batu Ampar, dan rumah sakit di mana ketiganya membentuk unit pelaksana teknis (UPT) sendiri.

Apakah setelah menjadi BPK, OB masih dipercaya mengelola tiga aset strategis tersebut? Juga belum jelas, karena semua itu bergantung pada badan hukum BPK itu sendiri, apakah berbentuk BUMN, BUMD, Badan Layanan Umum (BLU), atau Badan Khusus seperti saat ini.

Puddu Razak, Koordinator Kajian Stratejik Otorita Batam, mengakui lambatnya pembangunan Batu Ampar sangat dipengaruhi oleh status kelembagaan OB yang akan diganti menjadi BPK.

“Karena alasan itu, CMA-CGM mungkin tengah menunggu masa transisi pengalihannya guna menghindari kerancuan legalitas kontrak kerjasama yang akan dilakukan dengan OB,” tuturnya.

Persoalan semakin pelik, di mana sejauh ini belum ditemukan pasal-pasal dalam Undang-Undang Free Trade Zone yang secara tegas mengatur beberapa masalah yang akan dihadapi OB ketika berubah menjadi BPK. Antara lain status kelembagaan, status kepegawaian, pengelolaan infrastruktur, pengalihan aset dan lain sebagainya.

Puddu mengharapkan DK FTZ dibawah kendali Gubernur Kepri Ismeth Abdullah segera menyikapi persoalan-persoalan tersebut karena dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak bagi investor lain dan pihak ketiga yang sedang menjalin kerjasama dengan OB.

“Jika persoalan-persoalan itu mampu diselesaikan DK, implementasi FTZ dapat berjalan maksimal termasuk pembangunan Pelabuhan Batu Ampar,” tuturnya.

Namun spekulasi itu dibantah oleh Mustofa. Menurut dia, peralihan status OB menjadi BPK tidak akan mengganggu kelancaran investasi asing ke pulau ini, apalagi terkait investasi CMA-CGM di Batam.

“Justru dengan peralihan status akan meningkatkan daya saing Batam. Pada prinsipnya tidak akan mengganggu, kalau mengganggu maka berarti kemunduran bagi kawasan FTZ Batam.

Dia mengakui rencana penandatanganan LOI dengan CMA di Perancis terpaksa ditunda hingga dua bulan ke depan sampai disahkannya semua aspek legal yang mendukung kelancaran investasi Perancis itu di Batam. Diantaranya, PP perpanjangan BOT 50 tahun.

Pihak luar

Spekulasi kedua adalah soal campur tangan Singapura dalam kelanjutan pengembangan Batu Ampar itu. Isu ini sudah santer terdengar sejak awal tender Batu Ampar dibuka pada lima tahun lalu.

Bahkan panitia tender terang-terangan menyatakan keberatannya bila nama peserta tender dipublikasikan karena khawatir akan memicu aksi lobi dari Singapura sehingga peserta urung melanjutkan penawarannya.

Negeri Singa itu tentu tidak akan rela bila Batam mengembangkan pelabuhan kontainer sendiri untuk melayani alih kapal dan sebagainya. Mereka tidak mau mengulangi kesalahan ketika Port of Tanjung Pelepas (PTP) di Johor Baru resmi dibuka pada 13 Maret 2000 yang berakibat pada berkurangnya pangsa pasar alih kapal ke Singapura.

PTP yang menggandeng Maersk Sealand merupakan ancaman bagi Port of Singapore Authority (PSA). Maersk awalnya tercatat sebagai pelanggan terbesar PSA, sebelum perusahaan pelayaran terbesar dunia itu mengalihkan transshipment hub-nya di Asia Tenggara dan jutaan TEU’s petikemas ke PTP.

Tapi itu hanya spekulasi yang sulit dibuktikan kebenarannya. Yang jelas, saat ini muncul lagi rencana dari PT Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam (PT Persero Batam) yang menggandeng investor asal Hongkong untuk mengembangkan Batu Ampar.

Terlepas dari kewajiban PT Persero Batam dalam mengembangkan infrastruktur di pulau ini, namun apakah logis dan efektif bila dalam kawasan yang sama dibangun dua pelabuhan kontainer dengan investasi masing-masing mendekati Rp3 triliun.

Nasib Batu Ampar memang menarik untuk terus dikupas. Sebagai pintu masuk utama ke kawasan bebas Batam, posisi pelabuhan itu sangat strategis. Prospek pembangunnannya ke depan dipastikan akan bersinggungan langsung dengan dua pelabuhan utama di Singapura dan Malaysia, sehingga wajar bila tarik ulur dan spekulasi banyak bermunculan.

Seperti apa klimaks dari kelanjutan pembangunan Batu Ampar berikutnya, mari sama-sama kita tunggu gebrakan dari pemerintah!

Monday, June 9, 2008

Ke Singapura makin mahal?

Ongkos perjalanan ke Singapura dari Batam kian hari kian mahal saja. Tidak saja seaport tax yang semakin melonjak tinggi, harga tiket pun sebentar lagi akan ikut-ikutan naik. Penyebabnya, apalagi kalau bukan harga minyak dunia yang sudah meroket lebih dulu. Dengan alasan itu, pengelola terminal feri di Singapura menaikkan seaport tax dari Sin$16 menjadi Sin$21.

Begitu juga di Batam, dengan dalih peningkatan pendapatan asli daerah atau PAD, pemangku kebijakan di pulau gersang itu menetapkan kenaikan seaport tax dari Sin$3 menjadi Sin$7. Memang sih, kenaikan itu belum seberapa dibandingkan Singapura, tapi setelah diakumulasi semua kenaikan itu plus harga tiket, maka total biaya yang harus disiapkan para pelancong karbitan dari negeri ini kurang lebih Sin$48 atau sekitar Rp326.000 dalam kurs Rp6.800 per dolar.

Bagi pelancong asal Jakarta dan sekitarnya, harga diatas belum termasuk fiskal sebesar Rp500.000 yang harus dibayarkan sebelum membeli tiket. Jadi total biaya perjalanan dari Batam ke Singapura mencapai Rp850.000 sampai Rp1 juta per orang.

Oke, mari kita berhitung, berapa kira-kira ongkos yang harus ditanggung oleh para back packer atau pun pelancong musiman dari Jawa dan sekitarnya bila ingin berwisata ke Singapura via Batam.

1. Tiket Pesawat, dengan asumsi harga tiket per orang Rp400.000 - Rp1 juta, maka satu orang pelancong harus menyiapkan dana Rp800.000-Rp2 juta untuk tiket PP. Dengan pertimbangan harga BBM yang sudah selangit, biasanya maskapai mulai mengurangi tiket promosi sehingga harga tiket Jakarta-Batam kurang lebih dalam kisaran angka di atas.

2. Ongkos Taksi. Setelah mendarat di Bandara Hang Nadim Batam, maka pelancong asal Jakarta itu harus siap-siap berhadapan dengan armada taksi yang menawarkan jasa dengan ongkos yang tidak manusiawi. Para taksi itu didukung oleh sistem monopoli yang berlaku di bandara, sehingga wisatawan domestik ini tidak punya pilihan lain, selain terpaksa naik taksi bandara.
Untuk jurusan Hang Nadim-Nagoya, anda harus merogoh kocek sekitar Rp80.000-Rp150.000.
Tapi bila anda ingin langsung menyeberang ke Singapura, maka rutenya adalah Hang Nadim-Terminal Batam Centre, dengan tarif berkisar antara Rp80.000 - Rp100.000. Biasanya, bila si supir tahu anda akan ke Singapura, maka dia bisa mematok tarif lebih tinggi.
Makanya, harus diingat, sebelum naik taksi, upayakan melakukan tawar menawar.

3. Setelah sampai ke Terminal Feri Batam Centre, anda bisa menuju counter check in untuk membeli tiket. Biasanya harga tiket di terminal berkisar antara Sin$18 - Sin$21 untuk pulang pergi (PP), ditambah seaport tax Sin$3 maka total tiket Sin$21-Sin$24 per orang atau sekitar Rp143.000 (kurs Rp6.800 per dolar).
Karena anda dari Jakarta dengan Paspor Jakarta, maka anda wajib bayar fiskal sebesar Rp500.000 untuk moda transportasi laut. Jadi total biaya di terminal sekitar Rp600.000 - Rp800.000.

4. Dari Terminal Feri Batam Centre, anda akan menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit ke Terminal Harbour Front Singapura. Selanjutnya, biaya menginap di negara Singa disesuaikan dengan kemampuan finansial anda. Kalau anda berkantong tebal, bisa memilih hotel di sekitar kawasan bisnis dan perdagangan seperti Orchard Road, kalau anda punya dana cekak, bisa pilih kawasan Gelang. Disitu anda bisa menikmati pemandangan malam para pelacur asal Indonesia menjajakan 'barang'. Tapi rata-rata menginap murah di Singapura tidak lebih dari Sin$100-Sin$200 atau sekitar Rp680.000 - Rp1,3 juta.

5. Sekembalinya dari jalan-jalan di Singapura, anda kembali ke Terminal Harbour Front. Disini, anda bisa langsung ke counter check in dan membayar seaport tax sebesar Sin$21 atau sekitar Rp143.000. Setelah menunggu kurang lebih setengah jam, anda bisa berangkat kembali ke Batam.

Jadi total biaya perjalanan yang harus anda siapkan, kira-kira:
Tiket pesawat : Rp800.000
Ongkos Taksi Bandara-Terminal feri : Rp100.000
Tiket feri + tax +fiskal di Batam : Rp650.000
Seaport Tax di Singapura: Rp143.000
Total jeneral : Rp1,69 juta atau kita ambil angka aman Rp2 juta.

Angka di atas bisa berbeda setiap orang, kalo mau hemat, anda bisa pilih berjalan kaki dari bandara ke terminal feri yang jaraknya ya kurang lebih 10-15 kilo. :)
Namun demikian, walaupun makin mahal, tetap saja, perjalanan ke Singapura via Batam masih lebih murah dibandingkan naik pesawat langsung dari Jakarta.

Selain ongkos tiket, anda harus bayar fiskal transportasi udara Rp1 juta, belum termasuk airport tax di Soeta dan Changi, Singapura serta ongkos taksi dari Changi ke down town yang lumayan jauh dan macet.
Kalau anda pebisnis yang biasa bolak balik Singapura by plane, tentu ongkos ini bukan masalah besar. Tapi sekali lagi, bagi para back packer dengan modal cekak, rasanya akan lebih hemat kalo tetap lewat Batam.

Jadi kesimpulannya, mahal atau tidaknya kenaikan tarif seaport tax dan tiket Batam-Singapura-Batam, tergantung dari mana anda menilainya. Yang pasti, kenaikan ini tidak akan membuat Singapura sepi dari pelancong Indonesia. Indonesia khan negara kaya, so..kenaikan berapa pun di negeri orang tidak akan menyurutkan langkah untuk berlibur dan berbelanja ke Singapura.

Tapi coba lihat di negeri sendiri, kenaikan harga sedikit saja, pasti diprotes abis-abisan. Seakan-akan dunia sudah mau kiamat saja..


Friday, June 6, 2008

BPK FTZ Batam masih belum jelas

Setelah Dewan Kawasan FTZ BBK terbentuk melalui PP No9-10-11 Tahun 2008, tugas berat sudah membentang di depan mata. Gubernur Kepri yang ngotot minta pemerintah mempercepat pembentukan DK justru dihadapkan pada persoalan pelik ketika harus mengejar deadline pembentukan BPK FTZ Batam.

Ternyata proses peralihan Otorita Batam menjadi BPK tidak segampang yang dibayangkan sebagaimana tertuang dalam PP No 46/2007 tentang FTZ Batam. Peleburan OB yang merupakan lembaga negara menjadi lembaga BPK berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam PP 46 itu disebutkan seluruh aset dan pegawai OB akan menjadi aset dan karyawan BPK, padahal dalam implementasinya, tidak mudah bagi DK mengeluarkan kebijakan seketika untuk mengalihkan aset dan karyawan negara menjadi milik BPK. Butuh kajian mendalam agar tidak UU yang dilanggar, yaitu UU Kepegawaian, UU Perbendaharaan Negara.

Proses pembentukan BPK terutama peralihan status Otorita Batam sekarang menjadi badan pengelola tidak semudah yang dibayangkan karena banyak peraturan perundang-undangan yang akan berbenturan. Oleh karena itu, kata dia, dibutuhkan kajian yang mendalam terhadap semua aspek yang kemungkinan tidak bisa bersinergi dengan UU yang membawahi status kawasan perdagangan bebas ini.

Edy Putra Irawady, Deputi Menteri Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan, menegaskan ada beberapa peraturan perundangan yang harus diperhatikan oleh Dewan Kawasan sebelum membentuk BPK FTZ Batam terutama menyangkut peralihan asset dan pegawai sebagaimana diatur dalam UU Perbendaharaaan, UU Kepegawaian, dan UU Kekayaan Negara.

“DK harus hati-hati dalam membentuk BPK FTZ ini. Masalah pelimpahan kewenangan perizinan, asset dan pegawai harus diperhatkan. Jadi, jangan gembira dulu, ada banyak masalah yang harus diselesaikan dengan cermat,” paparnya.

Yang harus diperhatikan oleh DK adalah status badan yang akan menggantikan OB nantinya sebagai pengelola, apakah BUMN, BUMD, Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Khusus. Masing-masing bentuk hukum badan pengelola ini memiliki implikasinya sendiri-sendiri. Bila BP berbentuk BUMD, apakah nanti badan itu bisa menerima dana APBN. Begitu juga bila jadi BUMN, maka akan berlaku UU BUMN.

Bila BP jadi sebuah Badan Khusus, maka Menpan harus menetapkan ketentuan sebagai badan khusus agar status pegawainya jelas, dan bila OB menjadi BLU maka dia bisa menerima dana daerah dan pusat serta berwenang mengelola dananya sendiri tanpa perlu menyetor ke Negara.
“Intinya jangan sampai pembentukan badan baru itu bertentangan dengan UU yang ada,” tuturnya.

Ampuan Situmeang, Wakil Ketua Bidang Hukum Kadin Kepri menyorot soal pengalihan asset dan pegawai OB yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS) perlu dipertegas.
“Pengalihan asset dan pegawai OB menjadi asset dan karyawan BPK itu nyantol di UU yang mana. Ini harus jelas dulu,” tandasnya.

Hasil tindak lanjut Rakortas bulan lalu, menugaskan Tim Teknis segera menyelesaikan kebijkan yang diperlukan untuk implementasi UU No. 44/2007 dan peraturan pelaksanaan tentang Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas (KPBPB) setelah adanya Dewan Nasional dan Dewan Kawasan.

Rakortas meminta penyelesaian masalah preaktik dengan fokus yang terjadi di Batam karena setelah UU No. 44/2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2007 terkait Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), dan pemberlakuan Batam, Bintan, Karimun (BBK) sejak 1 November 2007, serta PP 46/2007 tentang KPBPB Batam, tidak ketentuan peralihannya.

Padahal banyak hal yang harus diawasi. Misalnya, dari mulai kelancaran pemasukan dan pengeluaran barang, perizinan, pengeluaran, pelimpahan ke BP, dokumen (surat keterangan asal/ SKA), dan point kewajiban lainnya. Selain itu masalah fasilitas pajak seperti yang dituangkan dalam PP No. 63 dan SK Menteri Keuangan No. 60/2003 juga masih berlaku, kendati sudah ada UU No. 44/2007 dan sejumlah PP lainnya yang terbit pada 7 Mei 2008.


Singapura bantah tutup Terminal Harbour Front

Singapore Cruise Centre (SCC) Pte Ltd, pengelola Harbour Front Ferry and Cruise Terminal, tidak berencana menutup terminal itu untuk kapal feri dari Batam.

Kepastian ini diperoleh dari Singapore Tourism Board (STB) menanggapi keluhan para pengelola feri jurusan Batam-Singapura. Mereka keberatan jika rute dialihkan dari Harbour Front ke Tanah Merah Ferry Terminal.

Simon, Direktur PT Kurnia Djaja Wisata, mengatakan beberapa agen perjalanan sudah bertemu dengan STB, dan kabar pengalihan rute itu tidak benar sama sekali.

"Bahkan SCC sedang melakukan renovasi ruang tunggu bagi penumpang feri di Harbour Front dan kabarnya terminal kapal pesiar yang akan dipindahkan ke Marina Bay bila kawasan itu selesai dibangun pada 2009," ujarnya kemarin.

Kemarin, para operator feri yang melayani rute Batam-Singapura melakukan rapat dengan Kadin Kepulauan Riau untuk membahas mengenai rencana penutupan terminal tersebut bagi kapal feri.

Dalam pertemuan itu, Nada Faza Soraya, pengelola kapal feri Penguin, menegaskan jika penutupan jadi direalisasikan, akan merugikan para penumpang dari Batam karena jarak tempuh semakin jauh dan biaya semakin besar.

"Perjalanan bisa ditempuh hingga 2 jam, belum lagi harga tiket yang semakin tinggi dan ongkos dari terminal Tanah Merah ke tengah Kota Singapura yang cukup jauh," ungkapnya.

Saat ini rata-rata waktu tempuh kapal dari Batam ke Singapura mencapai 45 menit sampai satu jam bergantung pada dari mana lokasi terminal berangkatnya. Harga tiket rata-rata sebesar Sin$18-Sin$21 untuk pulang pergi (PP).

Informasi mengenai penutupan Harbour Front bagi kapal feri dipublikasikan oleh koran lokal Singapura dan melalui surat pemberitahuan kepada para pengelola kapal feri di Batam.

Kebijakan tidak populer itu jelas membuat para operator panik karena biaya operasional akan semakin tinggi. Jika kondisi itu terjadi, ada potensi arus kunjungan wisatawan Indonesia ke Singapura melalui Batam akan turun.

Berdasarkan data, jumlah kunjungan warga Indonesia ke Singapura via Batam mencapai sekitar 1,2 juta per tahun, dan dari seluruh Kepulauan Riau mencapai sekitar 1,3 juta per tahun.

"Dengan biaya yang semakin tinggi dan waktu tempuh yang cukup lama, orang akan berpikir untuk naik pesawat saja langsung dari Jakarta ke Singapura. Jika ini terjadi, Batam akan terkena dampaknya," kata Ketua Kadin Kepulauan Riau Johanes Kenedy.

Makin mahal

Saat ini para wisatawan domestik yang ingin melancong ke Singapura via Batam harus berpikir ulang karena ongkos perjalanan ke Negeri Singa itu tidak semurah dahulu.

Di luar harga tiket sebesar Sin$18 PP, penumpang akan dikenakan sea port tax sebesar Sin$21 di Singapura dan Sin$7 di Batam.

Total biaya tiket dan pajak saja bisa mencapai Sin$47 per penumpang, jika dikonversikan sekitar Rp319.600 (kurs Rp6.800 per Sin$).

"Kebijakan pengelola terminal di Singapura menaikkan tarif sea port tax ini sangat memberatkan penumpang," tegas Zulkifli Amura, Ketua Indonesian National ShipOwner Association (INSA) Batam.