Monday, June 23, 2008

Investor bingung soal aturan FTZ


Dewan Kawasan Free Trade Zone Batam, Bintan, dan Karimun (DK FTZ BBK) disahkan melalui Perpres No. 9, 10, 11/ 2008 pada Mei 2008. Namun, setelah satu bulan belum jelas program konkret dari lembaga itu.

Tugas terpenting, pembentukan Badan Pengusahaan Kawasan FTZ BBK justru tidak bisa diprioritaskan. Dewan Kawasan FTZ BBK cenderung memilih usulan pencabutan PP No. 63/ 2003 tentang Pengenaan PPN, PPn-BM, dan Bea Masuk atas empat komoditas mobil, rokok, minuman beralkohol, dan elektronik. Usulan itu disampaikan kepada Presiden RI.

Untuk mengetahui langkah-langkah strategis yang akan disiapkan oleh para pemangku kebijakan terkait dengan FTZ ini, Bisnis mewawancarai Johanes Kennedy Aritonang, Ketua Kadin Provinsi Kepulauan Riau. Berikut petikannya:

Bagaimana iklim investasi Batam setelah pulau ini disahkan sebagai FTZ?


Saya melihat sudah ada perbaikan dan minat yang cukup signifikan dari calon pemodal dari China, Singapura, Malaysia, dan Timur Tengah. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah bisa menciptakan daya tarik investasi yang lebih baik melalui pemberian fasilitas dan pengurangan pajak.

Dalam status FTZ ini juga memberi peran sentral kepada pengusaha. Kami juga bisa memberikan pandangan dan masukan pada Dewan Kawasan soal kebijakan.

Namun, intinya adalah apakah kita bisa memanfaatkan momentum ini. Apalagi, tidak lama lagi banyak agenda politik, seperti Pemilu 2009 sehingga dikhawatirkan akan membuyarkan konsentrasi.

Terkait dengan agenda politik tahun depan, apakah masih sempat momentum FTZ ini dimanfaatkan untuk menarik investor ke Batam?


Sebagai pengusaha tentu saya tidak boleh pesimistis. Namun, melihat realitas yang ada, saya pikir tidak ada waktu lagi untuk memanfaatkan momentum.

Kalau dilihat dari sisi kepastian hukum, seharusnya ini bisa jadi momentum. Selama ini Batam diindikasikan mati suri karena pemberlakuan PP 63/ 2003 tentang Pengenaan PPN, PPn-BM dan Bea Masuk untuk empat komoditas mobil, rokok, minuman beralkohol, dan elektronik, sehingga semua pengusaha kesulitan karena harga barang menjadi mahal.

Mestinya, DK sebagai regulator bisa memanfaatkan momentum ini sebaik mungkin. Di antaranya dengan membuat kajian komprehensif terhadap PP 63 jika memang ingin dicabut pemberlakuannya.

Maksud kajian ini adalah agar ketika ada usulan dicabut, sudah jelas alasannya. Jika PP 63 bertentangan dengan aturan lain, bertentangan dengan apa. Mengapa bertentangan, harus disebutkan alasannya. Jangan hanya teriak, PP ini tidak bisa dilaksanakan tetapi tidak ada kajian yang mengevaluasi PP tersebut.

Selain itu masalah PP 46/ 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Batam. PP ini setara dengan PP 63, otomatis yang setara tidak bisa saling menggugurkan. Definisi dalam UU 36/2000 tentang FTZ menegaskan yang namanya kawasan perdagangan bebas itu merupakan fasilitas bebas pajak dan bebas bea. Itu intinya.

Belum lagi aturan mengenai pembentukan BPK di Batam. Seolah-olah, DK tidak boleh membentuk BPK di Batam karena dalam PP 46 itu ditegaskan yang beralih itu adalah OB menjadi BPK. Sementara itu, ada undang-undang yang harus diperhatikan sebelum proses peralihan dilaksanakan, antara UU No. 17/2003 tentang Aset dan Pengelolaan Negara dan UU No. 25/2002 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan UU Kepegawaian.

Apakah usulan pencabutan PP 63 oleh Ketua DK sudah sangat urgent dibandingkan dengan prioritas tugas yang lain?

Semestinya setelah disahkan, DK segera membentuk BPK di Batam, Bintan, dan Karimun. Masalahnya ketika hendak membentuk BPK di Batam, di sini ada Otorita Batam. Ada PP 46/2007 tentang FTZ Batam yang menetapkan aset dan pegawai OB beralih menjadi BPK, sementara DK tidak berwenang menyelesaikan ini karena PP No. 9/2008 tidak secara jelas menegaskan peran DK dalam proses peralihan OB menjadi BPK.

Kami mendesak Gubernur Kepri yang juga menjabat Ketua DK agar segera membentuk BPK. Banyak persoalan yang bisa diselesaikan jika badan ini terbentuk, misalnya bidang pertanahan.

Kami sudah bertemu dengan Badan Pertanahan Nasional. Ditegaskan untuk pengalokasian lahan, BPN masih menunggu hingga BPK terbentuk karena mereka juga harus tahu kepada siapa hak pengelolaan lahan ini dilimpahkan.

Apakah PP 63 sudah mengganggu kelangsungan industri di Batam?

Perlu saya jelaskan, sebenarnya pengusaha pernah dijanjikan yang lebih baik. Janji itu akan kami jadikan umpan balik untuk mempromosikan Batam sebagai tujuan investasi. Namun, ketika yang dijanjikan tidak kunjung tiba, momentum itu bisa hilang.

Pengusaha melihat jangan sampai setelah semua perangkat terbentuk tetapi kondisi ini tidak menarik lagi bagi investor. Artinya, kita terlambat memanfaatkan momentum.

Di daerah pabean ini, harapan kami ada perbaikan sistem birokrasi. Ini dijadikan alat untuk menarik investasi asing. Apa alat kita untuk mengurangi pengangguran dan memperbaiki ekonomi, yaitu dengan memberikan fasilitas kepada calon investor. Salah satunya dengan mencabut PP 63. Tentunya, setelah melalui kajian yang komprehensif.

Apa yang sering dipertanyakan oleh PMA yang sudah ada terkait dengan FTZ ini?


Terus terang, pengusaha asing yang sudah beroperasi di Batam masih bingung. Mengapa pemerintah dalam membuat sesuatu yang positif tetapi bingung bagaimana mengimplementasikannya.

Mestinya, jika pemerintah serius ingin membuka pintu selebar-lebarnya, akan berdampak positif terhadap pengurangan pengangguran. Coba lihat, kawasan Muka Kuning, ada 100.000 tenaga kerja.

Calon investor justru bingung, mengapa pemerintah yang buat peraturan untuk Batam, kok jalan ditempat. Jadi, sebenarnya siapa berkepentingan dengan status FTZ ini, investor asing atau Indonesia.

Bahkan, Singapura juga mempertanyakan sebenarnya DK itu bertanggung jawab kepada siapa. Jadi, sebenarnya ada banyak pertanyaan yang hingga kini tidak juga mendapat jawaban konkret dari pemerintah pusat.

No comments:

Post a Comment