Wednesday, August 29, 2007

FTZ Phobia @ BBK

Tanggal 28 Agustus lalu, saya dihubungi oleh seorang anggota DPR-RI dari Komisi VI bernama Irmady Lubis. Dia juga anggota Fraksi PDI-Perjuangan. Kami ngobrol seputar Perppu No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas serta PP no. 46-47-48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun.

Apa yang mengejutkan saya dari obrolan itu adalah ternyata kepastian hukum yang dijanjikan pemerintah melalui empat produk hukum itu justru semakin memberikan ketidakpastian kepada calon investor.
Pasalnya, DPR menilai perppu tersebut telah melanggar konstitusi dan berpotensi untuk dibatalkan dalam persidangan mendatang. Selain itu, PP yang diterbitkan itu juga cacat hukum karena mestinya berdasarkan UU bukan perppu.
"Bagaimana presiden bisa mengesahkan sebuah PP, sementara perppu nya saja belum disahkan menjadi UU?" tukas Irmady.

Obrolan kami semakin memanas. Ada indikasi Presiden SBY telah dijebak dan masuk dalam pusaran politicking. Perppu No. 1 Tahun 2007 telah melanggar konstitusi pasal 22 UUD 1945.

Memang, Irmady tidak mempersoalkan kebijakan pemerintah membentuh sebuah kawasan ekonomi khusus, tapi apapun alasannya, pemerintah tidak boleh menggampangkan suatu persoalan dengan mengabaikan prosedur ketatanegaraan yang berlaku.

Eksekutif telah mengajukan agenda pembahasan perppu tersebut menjadi UU. Dan bila DPR menolak maka perppu itu harus dicabut dan ini artinya status FTZ BBK akan dicabut kembali. Sia-sialah semua jika ini sampai terjadi.

So, jangan terlalu bergembira dulu..
Nasib BBK kembali berada di tangan DPR.

Ini mengingatkan memori ketika DPR mengesahkan UU FTZ Batam pada September 2004, secara sepihak. Sebab, Presiden Megawati waktu itu enggan menandatangani UU yang disahkan DPR tersebut.
DPR meradang, marwah wakil rakyat seolah dilangkahi secara sewenang-wenang oleh eksekutif.

Pertanyaannya kini, apakah 'dendam' tiga tahun lalu itu akan muncul kembali? Apakah DPR akan membalas pemerintah dengan tidak menyetujui pembahasan perppu menjadi UU, sebagaimana yang dilakukan pemerintahan Megawati dulu?

Analisa ini bisa benar bisa salah. Semoga saja tidak ada dendam politik, apalagi anggota dewan yang membahasnya juga banyak mengalami perubahan.
Tapi persoalannya bisa lain bila sudah mengarah pada masalah konstitusi.
"Bukan karena kami dari PDI-P sebagai partai oposisi, tapi cara-cara seperti ini tidak bisa dibenarkan. Konstitusi harus ditegakkan," ujar Irmady.

Ternyata masalah FTZ ini belum berakhir ya..
Tetap jadi phobia..

Batam Centre, 29 Agustus 2007

FTZ BBK terancam batal

Pemberlakuan Perppu No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun terancam batal karena disinyalir melanggar konstitusi.
Irmady Lubis, anggota Komisi VI DPR-RI, menyesalkan penerbitan perppu dan PP ini karena itu sama saja pemerintah memberikan ketidakpastian hukum kepada para calon investor di Pulau Batam, Bintan, dan Karimun.
“Perppu ini masih berpeluang untuk dibatalkan dan belum tentu DPR menyetujui. Apabila DPR sepakat untuk batal maka status hukum FTZ BBK akan dicabut kembali,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Dalam pasal 22 UUD 1945 disebutkan (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Walaupun nanti disetujui, kata Irmady, Fraksi PDI-Perjuangan akan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi atas pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2007 itu karena melanggar konstitusi.
Ketidakpastian nasib Perppu No. 1/2007 tersebut sebenarnya sudah diketahui oleh Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Ismeth Abdullah.
Menurut Gubernur, perppu ini harus dibahas lagi menjadi sebuah UU dan selanjutnya baru bisa diimplementasikan. “Mudah-mudahan waktunya tidak terlalu lama dan sembari menunggu kami akan menyelesaikan beberapa pekerjaan secara simultan.”
Pihak eksekutif pun diketahui sudah mengajukan rapat pembahasan Perppu No. 1 Tahun 2007 menjadi UU dan selanjutnya Komisi VI yang ditugaskan untuk membahas perppu ini akan segera melakukan pertemuan internal.
Rencananya pada pekan depan, Komisi VI DPR juga akan mengagendakan rapat pembahasan perppu ini bersama wakil pemerintah.
Rancu
Irmady menilai ada banyak kerancuan dan pelanggaran system ketatanegaraan dalam penerbitan Perppu No.1 Tahun 2007 dan PP 46, 47, dan 48 sebagai turunannya.
“PP itu tidak sah menurut hukum, sebab PP harus berdasarkan UU bukan Perppu. Bagaimana bisa presiden mengesahkan PP sedangkan Perppu yang menjadi dasarnya belum menjadi UU. Ini sudah pelanggaran terhadap konstitusi,” tuturnya.
Begitu juga, kata dia, dalam penerbitan Perppu itu sendiri sudah menyalahi aturan karena DPR tidak melihat adanya kegentingan atau keadaan darurat sehingga perlu diterbitkan sebuah Perppu.
Apalagi, lanjutnya, ternyata dalam perppu itu hanya mengubah pasal 2, 3, 4, dan ketentuan peralihan di mana dalam pasal 4 menyebutkan pembentukan kawasan FTZ ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
“Bila hanya untuk mengubah sebuah pasal, pemerintah sampai mengeluarkan perppu, lantas untuk apalagi ada mekanisme pembahasan UU. Padahal untuk persoalan ini bisa dilakukan amandemen terhadap UU No. 36 Tahun 2000,” papar Irmady.
Perppu No. 1 Tahun 2007 berisi tentang perubahan atas UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang. Disahkan pada 4 Juni 2007.
Sedangkan PP No. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun disahkan pada 20 Agustus 2007.

Thursday, August 23, 2007

What is the latest news...

Kemarin 22 Agustus 2007, pukul 17.00, empat orang wartawan nasional, saya (Bisnis Indonesia), Ferry dari Kompas, Emerson dari Media Indonesia, dan Janattunnaim dari LKBN Antara berkesempatan berdialog dengan Ketua Otorita Batam Mustafa Widjadja di ruang kerjasanya.

Dengan wajah sumringah dan penuh senyum, pak Ketua memasuki ruang dialog dan tanpa basa basi langsung to the point membahas isi PP No. 46 Tentang FTZ Batam. Dengan lugas dan penuh keyakinan, beliau membantah kesimpangsiuran berita mengenai nasib institusi Otorita Batam pasca disahkannya PP ini.

"Saya ingin tegaskan bahwa seluruh aset dan pegawai OB akan dialihkan kepada Badan Pengusahaan Kawasan. Dengan kata lain, OB hanya tinggal nama, sedangkan organisasinya sudah berganti," demikian ujar Mustofa.

Penampilan Pak Mus, demikian beliau sering disapa, memang beda dibandingkan lima hari belakangan ini. Pasalnya, pemberitaan media lokal yang menyebutkan OB akan dibubarkan pada 2008 telah memicu keresahan mulai dari karyawan level terendah hingga eselon termasuk sang ketua.

Karyawan level rendah di OB tentu merasa nasibnya tidak lama lagi dan ini berarti bencana di depan mata. Mereka lah yang paling kebakaran jengkol..eh jenggot akibat pemberitaan yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Pada satu sisi, pernyataan sang Ketua dalam menanggapi berita itu pun masih mengundang tanya dan mempertegas keraguan para karyawan.
"Saya akui, ketika berita itu muncul, saya tidak berani ngomong panjang lebar, karena itu baru rancangan PP, saya tidak mau salah memberikan pernyataan," tegasnya.

Tanggal 22 Agustus lalu, Presiden SBY meneken tiga PP tentang FTZ di BBK dan ini berarti kepastian semakin menggelayut tidak saja bagi Pulau Batam tapi juga bagi Otorita Batam dan karyawannya.
Media lokal yang getol memberitakan pembubaran OB mesti mencabut kembali beritannya karena ternyata interpretasi sepihak itu sama sekali tidak benar dan tidak bertanggung jawab.

"Mestinya karyawan saya sudah lega, karena pemberitaan seputar pembubaran tidak terbukti sama sekali. Dan saya juga lega dengan keluarnya PP ini," tandas Pak Mus.

Kami, empat orang jurnalis yang diundang khusus sore itu bisa merasakan keriangan dan kelegaan yang menghinggapi diri Pak Mus dan institusinya. Berulang kali, beliau mempertegas posisi OB dalam PP itu.
Karena konteks dialog kami kemarin seputar PP No.46/2007, maka tidak banyak statement penting yang diberikan oleh sang ketua, kecuali ya..pasal demi pasal yang ada dalam PP.
Gempuran pertanyaan dari kami berempat tentang potensi konflik dengan Pemkot Batam, masa depan OB dan asetnya, pembangunan infrastruktur, dan retorita lainnya, sukses dijawab dengan aman oleh pak Ketua.
"Saya berbicara berdasarkan PP ini lho..," tutur Pak Mus.

Setelah menghabiskan teh hangat yang sudah dingin akibat dihembus AC dan ngalor ngidul selama kurang lebih satu jam, dialog pun berakhir. Kami berempat beranjak meninggalkan ruangan dengan berbagai pertanyaan yang menggelayut tanpa jawaban dan bayangan berita yang harus disusun buat besok.
Tak lama setelah kami sampai di luar gedung, azan Magrib pun menggema dari Mesjid Raya Batam maka kami pun meninggalkan gedung OB yang sebentar lagi menjadi Gedung Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam.

Tabiak buat OB
Selamat buat Pulau Batam..

RI-Singapura bahas kelanjutan KEK

JAKARTA: Joint steering committee Indonesia-Singapura akan kembali bertemu di Bali pada 29 Agustus guna membahas kelanjutan kerja sama bilateral terkait penerapan Kawasan Ekonomi Khusus Batam Bintan dan Karimun.Menko Perekonomian Boediono mengatakan pertemuan tersebut akan mempertajam beberapa isu seperti promosi, pelatihan, keimigrasian dan pertanahan, yang sudah disepakati dalam kerja sama tersebut.

"Kita akan dengar apa yang telah Singapura laksanakan dan kemudian sepakat tentang langkah berikutnya, mengenai masalah training, promosi. Kita inventarisasi apa yang telah kita lakukan sejak Perpu dan PP 46,47,48," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Sebaliknya, sambung Boediono, Indonesia akan menyelesaikan beberapa komitmen kepada Singapura, yaitu masalah keimigrasian dan pertanahan. Meskipun tidak merinci, dia mengatakan pembicaraan menyangkut dua isu tersebut sudah mengalami kemajuan. Dia menambahkan sejauh ini kerja sama kedua negara untuk meningkatkan investasi di Batam telah membuahkan hasil sangat bagus.

Langkah selanjutnya yang akan difokuskan Indonesia adalah mengimplementasikan ketiga PP itu. Komitmen investasi asing ke KEK Batam pada semester I/2007 naik 400% atau mencapai US$9,011 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal M. Lutfi menyatakan kenaikan pesat ini terjadi karena investasi di sektor logam dan elektronik di Batam sangat diminati para investor. "Kenaikan ini sangat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya," katanya seusai rapat koordinasi di kantor Menko Perekonomian.

Selain itu, Lutfi menyatakan kenaikan ini didukung juga oleh beberapa kemudahan fiskal seperti tax allowance, pajak penghasilan dan penangguhan pajak penghasilan.
Di tempat yang sama, Menakertrans Erman Suparno menjelaskan pembentukan FTZ di Batam, Bintan dan Karimun ini diprediksikan mampu menyerap tenaga kerja hingga 30.000 orang.
"Pada 2006, penyerapan tenaga kerja hanya 28.000 orang. Jika [BBK] ini berhasil, maka pada 2007 penyerapan tenaga kerjanya diprediksikan mencapai 30.000 orang, bahkan dua kali lipat," paparnya.

Dia menginformasikan dari data yang dihimpun pada semester I ini sudah terdapat lebih 10.000 pekerja yang terserap. Erman meyakini kebijakan pembentukan kawasan baru itu akan mendorong masuknya investor baru dan hal ini pada akhirnya berimbas pada penyerapan tenaga kerja yang besar.

Dari Batam, para pengusaha menilai pengesahan PP No. 46, 47, dan 48 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam-Bintan-Karimun belum tuntas. Mereka berharap aturan lanjutan bisa turun lebih cepat.
Abidin Hasibuan, Ketua Apindo Provinsi Kepri, menyatakan masih menunggu terbitnya peraturan menteri terkait disahkannya PP No. 46/2007 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam ini. "Nantinya aturan secara rinci akan diatur dalam peraturan lanjutan," jelas dia.

Sementara itu, OK Simatupang, General Manager PT Kabil Indonusa Estate, pengelola KI Kabil, mengakui banyak substansi yang belum diatur dalam PP tersebut.Dia mencontohkan definisi pelabuhan bebas dan kepabeanan belum diatur termasuk juga insentif selain insentif untuk barang ekspor dan impor, seperti perpajakan dan lainnya.

"Bukan berarti kami mengerdilkan usaha pemerintah dalam membuat PP ini, tapi kami merasa belum plong karena masih banyak yang perlu diperjelas," papar dia.

Dewan Kawasan
Sementara itu, pemerintah tengah menyiapkan dua opsi dalam pembentukan struktur Dewan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, Karimun.Informasi yang diperoleh Bisnis mengungkapkan opsi pertama, DK akan diketuai oleh Gubernur Kepulauan Riau, wakil ketua adalah Ketua DPRD Provinsi Kepri, anggota terdiri dari Walikota/Bupati dan Ketua DPRD Kota/Kabupaten. Dewan Pengarah terdiri dari Menko Perekonomian, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian.

Opsi kedua, DK diketuai oleh Menko Perekonomian, wakil ketua adalah Mendagri, Menkeu, Mendag, Menperin, dan Gubernur Kepri. Anggotanya terdiri dari Ketua DPRD Provinsi Kepri, Wali Kota/Bupati, dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota.

Oleh Diena Lestari, Suyono Saputra & Bastanul Siregar
Bisnis Indonesia

Wednesday, August 22, 2007

Dewan Kawasan FTZ Batam disahkan September

BATAM: Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah menyatakan Dewan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam-Bintan-Karimun (BBK) akan disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada September.Gubernur menyatakan hal itu menyusul disahkannya PP No. 46, 47 dan 48 yang mengatur tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam, Rempang, Galang (Barelang) - Bintan-Karimun."Minggu depan, saya dan DPRD akan segera mengusulkan struktur Dewan Kawasan FTZ BBK kepada Presiden. Paling lambat awal September sudah disahkan," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.Komposisi keanggotaan Dewan Kawasan sendiri, menurut dia, akan mengakomodasi semua pihak terkait dalam percepatan pengembangan investasi di daerah yakni dari kelompok pengusaha, birokrat pemegang kebijakan, dan aparat keamanan.Dia mengatakan komposisi itu dinilai cukup tepat karena masing-masing memiliki visi yang sama dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif dan kompeten dalam mengatasi permasalah para pemilik modal."Saya ingin semua permasalahan terkait investasi bisa diatasi secara tuntas oleh Dewan Kawasan," papar Ismeth.Dia mejelaskan Badan Pengusahaan Kawasan akan dibentuk di tiga kawasan bebas di Kepri yakni di Batam, Bintan, dan Karimun. Sementara DK cukup satu yang mengelola tiga kawasan bebas ini dan berpusat di ibu kota provinsi yakni Tanjung Pinang.Pembiayaan pembangunan oleh DK akan dialokasikan dalam APBD dan APBN. Dalam hal ini, dia berharap pemerintah tetap memberikan perhatian dalam bentuk anggaran pembangunan bagi kawasan bebas tersebut.Mengenai keberadaan Badan Otorita Batam (OB), Gubernur Kepri menegaskan posisi OB tidak akan terganggu dengan dibentuknya Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam, sebab kedua institusi ini memiliki tugas yang berbeda.OB, kata Ismeth, akan bertugas dalam pembangunan infrastruktur dan pengelolaan aset-aset penting daerah seperti bandara, pelabuhan laut, dan lainnya, sedangkan Badan Pengusahaan Kawasan lebih spesifik mengelola investasi di dalam kawasan FTZ.Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam harus dibentuk paling lambat 31 Desember 2008, sedangkan badan yang sama untuk Bintan dan Karimun paling lambat Agustus 2007, menyusul diterbitkannya tiga PP tentang FTZ masing-masing untuk Batam, Bintan dan Karimun, awal pekan ini.

Alih aset
Di tempat terpisah, Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa menjelaskan dalam PP tersebut dinyatakan semua aset Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi aset Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, kecuali aset yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam."Demikian pula dengan pegawai OB akan dialihkan menjadi pegawai pada Badan?? Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam," katanya di Jakarta kemarin. ?Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan OB dan hak pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam yang berada di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam juga dialihkan kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

EPA Jepang-RI: Siapa 'menunggangi' siapa?

Pesta ijab kabul kesepakatan kemitraan ekonomi (ecomomic partnership agreement/EPA) antara Indonesia dan Jepang baru saja berlalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Perdana Menteri Shinzo Abe ibarat sepasang 'pengantin' yang berhasil menarik perhatian luas saat menandatangani EPA itu, Senin silam.
Apalagi PM Abe disertai lebih dari 200 pengusaha dan eksekutif perusahaan Jepang. Bukanlah suatu kelaziman Pemimpin Jepang melakukan kunjungan kenegaraan disertai rombongan korporasi dan sogososha dalam jumlah besar.
Padahal, bagi Jepang penandatanganan kesepakatan kali ini bukanlah EPA yang pertama dengan mitra dagang. Sebelum menggandeng Indonesia, Jepang telah menandatangani EPA dengan tujuh negara, yakni Singapura, Meksiko, Malaysia, Filipina, Cile, Thailand dan Brunei.
Di Asean, Indonesia adalah negara ketujuh yang meneken EPA dengan Jepang.Tetapi bagi Indonesia, ini merupakan penandatanganan EPA pertama dengan mitra dagang.
Tentu, pesta yang 'berbiaya' mahal tersebut diharapkan memberikan manfaat ekonomi dan bisnis yang sepadan. Apalagi cakupan kesepakatan itu sangat luas, mulai dari akses pasar dalam bentuk penurunan dan penghapusan tarif, national treatment dalam investasi, hingga bantuan teknis. Fakta tersebut menyatakan Jepang akan secepatnya menghapuskan tarif hampir seluruh produk industri yang berasal dari Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia akan menghapuskan tarif komponen otomotif Jepang pada 2016, selain menghapus bea masuk barang elektronik pada 2010. Berdasarkan kesepakatan itu pula, Indonesia akan memangkas 15% tarif baja Jepang yang dipakai untuk industri otomotif, elektronik dan industri alat berat. Kesepakatan itu tentu saja bakal membantu mengurangi beban biaya bagi perusahaan otomotif Jepang seperti Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Honda dan perusahaan lainnya.
Di sektor pertanian, Indonesia memotong tarif impor apel, anggur, dan produk pertanian lainnya yang diekspor oleh Jepang. Sebaliknya Tokyo akan menurunkan secara bertahap pajak impor pisang, nanas, tekstil alas kaki dan produk kayu Indonesia. Jadi cakupan kesepakatan memang sangat luas.
Apalagi, secara historis, Indonesia-Jepang memiliki hubungan strategis. Total investasi langsung perusahaan Jepang periode 1967-2005 mencapai US$293 miliar, terbesar dibandingkan korporasi dari negara lainnya. Begitu pula di bidang perdagangan, Jepang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.

3 Isu & faktor China
Berbeda dengan kesepakatan dagang bebas atau FTA (free trade agreement), EPA memiliki cakupan lebih strategis. Dalam konteks Indonesia-Jepang, setidaknya terdapat? tiga isu besar yang melingkupi EPA itu, yakni isu investasi, energi dan akses pasar.
Ketiga isu tersebut tampaknya memang sangat mewakili kepentingan korporasi Jepang, yang? membutuhkan kontinuitas investasi dan akses pasar, sedangkan di dalam negerinya, Jepang sangat berkepentingan dengan kesinambungan pasokan energi.
Energi merupakan topik hot, karena Jepang mengimpor lebih dari 22% kebutuhan gasnya dari Indonesia. Negeri itu berkepentingan, bahkan kalau perlu, meminta garansi Jakarta untuk kelangsungan pasokan gas dari Indonesia. Sebagai imbalannya, Jepang bersedia menyediakan bantuan teknis agar produksi gas alam Indonesia lebih efisien dan terjaga.?? Di luar itu, tampaknya Jepang juga amat berkepentingan dengan isu geopolitik regional.
Berkembangnya pengaruh China di Asia mendorong Jepang kian agresif memanfaatkan skema EPA sebagai alat tangkal. Analis melihat kesepakatan itu akan membantu Jepang menangkal berkembangnya pengaruh China di kawasan. Apalagi, setelah ke Indonesia, PM Abe melanjutkan lawatannya ke India, yang pasarnya hampir menyamai China.
PM Jepang itu bahkan berpandangan satu ketika hubungan Jepang-India akan lebih penting ketimbang hubungan Jepang-AS atau Jepang-China. Di China, Jepang memiliki 4.757 perusahaan dan di India hanya 216. Korporasi Jepang di masa lalu enggan investasi di India karena kondisi infrastruktur yang buruk.
Tetapi, kini India berencana investasi senilai US$475 miliar-sekitar Rp4.000 triliun-hingga tahun 2012 untuk perbaikan infrastruktur. Itulah daya tarik baru bagi korporasi Jepang. Tak ayal, jejaring EPA dibalut kepentingan strategis korporat Jepang. Karena itu, tiada salahnya jika Indonesia pintar-pintar menunggangi kepentingan Jepang dalam soal geopolitik tersebut.
Caranya? Kembali ke prinsip bisnis: Indonesia harus mengelola daya saing dan daya tarik bagi pihak eksternal terutama Jepang. Tetapi apa yang sebenarnya mereka inginkan? Menurut Mitsuo Sakaba, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Jepang, Indonesia perlu menawarkan tak hanya iklim bisnis yang baik, "Tetapi iklim bisnis yang kompetitif."
Tuntutan pengusaha Jepang memang tidak sekadar tenaga kerja yang lebih produktif, tetapi juga rezim perpajakan yang bersaing dan ketersediaan infrastruktur yang baik.Terjemahan sederhananya: Jepang berkepentingan agar korporasi mereka mendapatkan tempat yang menguntungkan.
Sebaliknya, kepentingan Indonesia adalah mendapatkan investasi langsung yang berkualitas. Karena itu, melalui EPA, sudah saatnya Jakarta 'menunggangi' kepentingan Jepang di kawasan, dengan mewujudkan Indonesia sebagai 'rumah produksi' yang kompetitif bagi korporasi Jepang.
Jika hal itu dapat dilakukan, berarti akan kian besar kapasitas ekspor Indonesia, dan berarti kian banyak pula lapangan kerja yang tersedia. Persis seperti kebijakan besar Presiden Yudhoyono: pro-poor strategy dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, bukan sekadar grojokan uang panas. Mampukah Jakarta melaksanakannya?

Oleh Arief Budisusilo
Wartawan Bisnis Indonesia

Tuesday, August 21, 2007

PP Kawasan Perdagangan Bebas Batam, Bintan & Karimun terbit

JAKARTA: Pemerintah meminta Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) segera membentuk Dewan Badan Pengusahaan Kawasan, menyusul ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan Karimun (BBK)."Gubernur Kepri perlu segera membentuk Dewan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas BBK," kata Bambang Susantono, Wakil Ketua Timnas Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) kepada Bisnis kemarin.Dia menjelaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani PP tentang FTZ Batam, Bintan dan Karimun, sehingga di wilayah itu nantinya akan ada tiga badan pengusahaan kawasan."Namun sebelum badan itu terbentuk maka kewenangannya tetap dilaksanakan oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Batam," tambah Bambang yang juga Deputi Menko Perekonomian bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah.Otorita Batam, jelasnya, menjadi badan transisi sebelum badan pengusahaan kawasan terbentuk. "Intinya kepastian hukum bagi para investor tetap terjaga. Jangan ada kekosongan kepastian hukum dan institusi pelaksana yang dapat menimbulkan ketidakpastian bagi para investor. Kan semua ini kita lakukan untuk memperbaiki iklim investasi."
Dihubungi terpisah, Ketua Timnas KEKI Muhammad Lutfi mengakui PP tentang FTZ Batam sudah disahkan Presiden, maka ketentuan mengenai jangka waktu (70 tahun), batas dan titik koordinat Pulau Bintan dan Karimun berlaku."Khusus Batam, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas berlaku untuk semua pulau hingga Rempang dan Galang," tambahnya.Menurut Bambang, pasca ditandatanganinya PP tersebut akan semakin membawa dampak positif terhadap BBK. "Belum disahkan saja, nota kesepahaman (MOU) senilai US$2 milyar telah ditandatangani oleh 20 perusahaan yang akan menanamkan modalnya di BBK saat Wapres ke Batam awal Agustus."Dia menjelaskan, perusahaan yang akan berinvestasi di BBK bervariasi dari bidang usaha minyak dan gas, perkapalan, hingga pariwisata. "Kalau semua berjalan sesuai rencana diharapkan terbuka 100.000 lapangan kerja."

Oleh Neneng Herbawati
Bisnis Indonesia

Thursday, August 16, 2007

Bebas Pajak yang Bikin Cemburu

Bisnis Indonesia, 24 Agustus 2004

Kerinduan yang panjang atas lahirnya Undang-Undang Zona Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) Batam hari-hari ini mulai terobati. Sayangnya, masa penantian yang dipenuhi kontroversi itu justru dijawab dengan sebuah rancangan UU yang malah melahirkan polemik baru.

Polemik tersebut muncul lantaran RUU FTZ Batam yang digagas (inisiatif) Dewan Perwakilan Rakyat, dan kini sedang dalam proses pembahasan dengan pemerintah, tampak bertolak belakang dengan RUU versi pemerintah. Pemerintah sebenarnya bertekad melakukan koreksi atas kemelencengan yang telah berlangsung di Batam selama bertahun-tahun, dengan berupaya mengembalikan posisi Batam yang strategis secara ekonomi dan bisnis, ke "jalur yang benar."

Tak heran, jika rapat kerja pembahasan RUU Batam yang diketuai Surya Dharma Ali, Ketua Komisi V DPR, itu melibatkan sejumlah menteri termasuk Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra, Menperindag Rini M.S. Soewandi, dan Menteri Keuangan Boediono. Seperti pernah disinggung Menkeu Boediono, posisi Batam saat ini, yang mendapatkan banyak fasilitas perpajakan dan bea masuk, memang perlu diluruskan.

Mengapa? Batam, dengan fakta kependudukan, birokrasi dan kepabeanan seperti sekarang ini, sesungguhnya secara de facto telah menjadi free trade zone. Pasalnya, pemerintah menerapkan pembebasan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) -yang berangsur mulai dihapuskan untuk komoditas tertentu-bagi sebuah kawasan industri yang berbaur campur aduk dengan pemukiman penduduk, dan di dalamnya terdapat administrasi pemerintahan (Pemerintah Kota).

Barangkali tidak ada satu kawasan perdagangan bebas di manapun di dunia ini, yang berbaur jadi satu dengan kawasan pemukiman seperti Batam. Bahkan kawasan Pudong yang terkenal di Shanghai sekalipun, tetapi dibatasi antara zona perdagangan bebas dengan zona pemukiman dan aktivitas penduduk sehari-hari. Lazimnya, zona perdagangan bebas steril dari pemukiman penduduk, sehingga bisa meminimalkan terjadinya penyelundupan barang-barang yang mendapatkan fasilitas bebas pajak maupun bea masuk.

Dan karena itulah, jika dalam satu wilayah yang luas -seperti Batam yang berpenduduk hingga 500.000 jiwa-zona perdagangan bebas dipagari ke dalam wilayah industri yang disebut kawasan berikat (bonded zone), yang di dalamnya tidak terdapat aktivitas kependudukan maupun administrasi pemerintahan.

Bertolak belakang
Itu sebabnya, ketika pemerintah mulai membahas RUU FTZ Batam di DPR, suara sumbang langsung muncul ke permukaan. Pasalnya, dalam RUU inisiatif DPR itu, Batam 'secara keseluruhan' hendak dijadikan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Tentu saja, RUU versi DPR itu bertolak belakang dengan RUU versi pemerintah. Menurut RUU yang terakhir itu, Batam mesti dibagi-bagi ke dalam sejumlah wilayah perdagangan bebas, yang disebut enclave. RUU sandingan pemerintah memang menginginkan Kawasan Batam terdiri dari beberapa wilayah di Batam, Rempang, dan Galang. Zona tertentu di Batam dibagi dalam tujuh zona industri yaitu Batu Ampar di kecamatan Batu Ampar, Batam Centre dan Kabil di Nongsa, Muka Kuning di Sei Bedug, serta Sagulung, Tanjung Ucang, dan Sekupang di kecamatan Sekupang.

Sementara RUU dari DPR menginginkan Kawasan Batam merupakan daerah kota Batam, sesuai dengan UU No. 53/1999 yang dilaksanakan secara bertahap melalui peraturan pemerintah. Pada tahap pertama meliputi Batam, Rempang, Galang, dan Belakang Padang. Selain itu, dalam Ketentuan Peralihan RUU Batam, DPR menginginkan seluruh aset dan pengelolaan tanah yang berada di dalam wewenang Otorita Batam dialihkan menjadi aset Badan Otorita Pengusahaan Kawasan Batam (BOPKB).

Sedangkan pemerintah menginginkan aset dari Otorita Batam itu berpindah kepemilikannya menjadi aset Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BPKB), kecuali aset Jakarta dan yang telah diserahkan di bawah kendali Pemerintah Kota Batam. Menurut RUU 'versi pemerintah', aset yang menjadi milik pusat berupa pelabuhan laut dan bandar udara.

Sedangkan para pegawai Otorita Batam, sebut RUU 'bikinan' pemerintah itu, dialihkan menjadi pegawai pada BPKB. Selain itu, dari segi fasilitas perpajakan, RUU versi pemerintah memang tidak mengatur pembebasan berbagai jenis pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sementara PPN, PPnBM, bea masuk dan cukai tetap diberlakukan di luar zona-zona industri yang ditetapkan sebagai free trade zone.

Karena itulah, Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menuding RUU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang diajukan DPR bisa memicu persepsi ganda. Menurut dia, RUU 'versi DPR' itu bisa mengundang masalah baru pada saat diimplementasikan, jika tidak dipersempit atau diperjelas definisi yang melingkupinya.

Beberapa contoh istilah itu antara lain kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas atau badan otorita yang berbeda dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 1 Tahun 2000 yang akhirnya dikukuhkan menjadi UU No. 36/2000. UU No. 36/2000 tersebut memperkenankan suatu kawasan di wilayah Indonesia bisa ditetapkan kawasan perdagangan bebas yang menikmati pembebasan bea masuk, cukai, PPN, dan PPnBM, tetapi diberlakukan "di daerah kepabeanan."

Picu kecemburuan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi bahkan lebih tegas lagi. Menurut dia, beberapa materi RUU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam hasil inisiatif DPR sulit diterapkan. Jika dipaksakan, ketentuan dalam RUU itu akan memicu 'kecemburuan' antar daerah.

Rini mengatakan definisi DPR yang menginginkan Kawasan Batam secara keseluruhan menjadi zona perdagangan bebas tidak tepat dilaksanakan pada saat ini. Itulah yang mendorong Rini menjelaskan ke DPR secara berapi-api: Zona perdagangan bebas di Batam harus dibatasi (dipagari).

"Zona untuk kawasan perdagangan bebas perlu dibatasi karena perkembangan Batam kini menyimpang dari pemikiran awal [sebagai kawasan industri]...kini Batam dihuni sekitar 500.000 jiwa sehingga aktivitas industri hanya sebagian dari aktivitas industri," katanya kala itu.
Mengapa picu kecemburuan daerah lain?
Satu hal saja. Jika RUU itu dijalankan, daerah lain bisa saja meminta perlakuan yang sama seperti Batam: Diperbolehkan mengimpor barang dari luar negeri dengan murah, karena bebas pajak dan bea masuk, dan bisa diselundupkan oleh penduduk daerah itu ke daerah lain yang tidak masuk kategori zona perdagangan bebas.

Karenanya, Rini menekankan, sikap pemerintah jelas: penetapan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas hanya diperuntukkan bagi kawasan industri yang diharapkan bisa memicu ekspor nasional. Sejauh ini polemik belum menghasilkan kesimpulan akhir. Namun ujung polemik itu pada akhirnya bergantung kepada wisdom pemerintah dan anggota DPR dalam membahas RUU tersebut.

Sudikah mereka, terutama para anggota DPR, mengutamakan kepentingan nasional yang lebih besar, atau 'kalah' oleh desakan interest pribadi? Akan hal itu, seorang pelaku bisnis yang bermain di Batam mengingatkan, "Jangan salah mengambil keputusan, [karena] akan mengancam pengembangan [ekonomi] Batam ke depan."

FTZ Batam, bukan contoh yang baik..

Kendati sudah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) menyeluruh, ternyata Batam-Rempang-Galang bukanlah contoh yang baik untuk sebuah FTZ.
Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bidang Pengembangan Regional dan Hubungan Otonomi Daerah Max H. Pohan menegaskan pembangunan selama tiga decade di pulau itu belum mencerminkan keberhasilan yang diharapkan.
“Di Batam, bukannya industri yang berkembang tapi justru bisnis property dan ruko yang merajalela. Batam bukan contoh yang baik untuk sebuah FTZ,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Selain Batam-Rempang-Galang yang ditetapkan sebagai FTZ menyeluruh, pemerintah juga menetapkan Pulau Bintan dan Karimun sebagai FTZ enclave.
Dia mengemukakan pengembangan Rempang dan Galang pun belum tentu bisa terealisasi dalam waktu cepat mengingat selama ini pun kedua pulau ini masih berupa lahan kosong dan jadi sarang penyelundupan.
“Coba sebutkan satu saja keberhasilan di Rempang dan Galang, tidak ada. Padahal sudah ada jalan dan jembatan yang menghubungkan pulau di gugusan itu,” papar Max.Dia menjelaskan penetapan satu wilayah sebagai FTZ itu bukan sembarangan dan pemerintah di daerah harus memahami definisi dari FTZ tersebut. “Pemerintah daerah harus menyiapkan sarana dan prasarana pendukung di lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan bebas.”

PP Free Trade Zone segera terbit, Investasi banjiri Batam

BATAM: Puluhan perusahaan mengucurkan investasi baru senilai US$1,797 miliar (Rp17 triliun) di Batam dan sekitarnya, menyusul penerapan kawasan perdagangan bebas di wilayah itu.

Kesepakatan investasi itu diteken oleh 20 perusahaan di Batam kemarin. Penandatanganan tersebut dilakukan dengan kepala daerah di Batam, Bintan, Karimun (BBK) dan Ketua Otorita Batam yang disaksikan oleh Wapres Jusuf Kalla dan Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah.

Perusahaan besar yang ikut dalam penandatanganan itu antara lain Fabtech International Ltd.
dan Dubai Drydocks World Ltd di industri galangan kapal di Batam senilai US$500 juta. Selain itu, PT Bintan Resort Cakrawala, pengelola kawasan pariwisata Lagoi, yang mengembangkan kawasan Lagoi Bay Village Resort senilai US$200 juta di Pulau Bintan.

Total kebutuhan tenaga kerja dari 20 proyek itu mencapai 50.000 orang. "Ke-20 perusahaan ini sudah menyatakan kepastian berinvestasi. Artinya, upaya mengurangi pengangguran di Batam, Bintan, Karimun, dan wilayah lain di Indonesia bisa terwujud," kata Ismeth.

Investor yang akan menanamkan modal di Batam sebanyak enam proyek dengan nilai US$668,3 juta, di Bintan sembilan proyek senilai US$651 juta, dan Karimun empat proyek senilai US$497 juta.
Selain itu, satu perusahaan yang berinvestasi di tiga lokasi di BBK senilai US$20 juta, dan dua kerja sama perdagangan di Batam senilai US$102,5 juta. Bidang usaha yang dimasuki investor beragam, dari logistik, industri pipa besi, industri pendukung migas, peralatan listrik, manufaktur elektronik, galangan kapal, hingga kawasan wisata.

"Komitmen para investor ini menunjukkan BBK masih menjadi tujuan investasi yang menarik di Asia," ujar Ismeth. PP segera terbit Pada kesempatan itu, Wapres Jusuf Kalla menjamin tidak akan ada masalah lagi dengan regulasi soal rencana pemberlakuan status BBK sebagai kawasan perdagangan bebas.

"[PP] soal FTZ segera ditandatangani, efektif Agustus ini," ujar Kalla di sela-sela kunjungannya itu. Menurut Wapres, FTZ akan berlaku untuk seluruh wilayah Batam, tetapi tidak berlaku bagi Pulau Bintan dan Karimun. Kedua pulau itu akan diberlakukan sistem pembatasan (enclave). Perubahan status Batam diperkirakan akan memancing investasi baru senilai US$2 miliar dalam tiga tahun mendatang.

Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfi, rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang FTZ Batam, Bintan, dan Karimun sudah rampung dan Senin pekan depan diserahkan ke Departemen Hukum dan HAM. "Rancangan PP tersebut selanjutnya segera dikirim ke Sekneg untuk disahkan oleh Presiden. PP tentang FTZ Batam, Bintan, Karimun akan diselesaikan secara ekspres," tuturnya kepada Bisnis sepulang mendampingi Wapres Jusuf Kalla dalam kunjungan ke Batam kemarin.

Kendati tidak menyebutkan angka, Lutfi mengatakan nilai investasi per Juli 2007 di Batam naik 47% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan itu disebabkan makin berkurangnya kendala birokrasi yang menghambat investasi di Batam selama ini.

Lutfi menambahkan dengan perubahan status dari kawasan berikat setidaknya tiga persoalan yang ada di Batam akan bisa diselesaikan. Masalah itu adalah soal pelayanan perpajakan, bea cukai, dan layanan imigrasi.
(john.oktaveri@bisnis. co.id/suyono.saputra@bisnis.co.id/neneng. herbawati@bisnis.co.id) Oleh John Andhi Oktaveri, Suyono Saputra & Neneng Herbawati Bisnis Indonesia
Bisnis-Indonesia3 Agustus 2007,

Wednesday, August 15, 2007

Sabang & Batam tunggu kebijakan

Free Trade Zone (FTZ) Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) akankah menjadi 'saksi bisu' ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah? Ataukah FTZ hanya janji-janji surga bagi investor? Akankah FTZ BBK tidak akan jadi kenyataan, dan hanya sebatas wacana?

Sejumlah pertanyaan sekitar FTZ BBK itu kerap muncul di kalangan dunia usaha dan investor. Jawabannya sangat tergantung pada kemauan pemerintah. Batam sejatinya adalah kota yang paling siap dibenahi sebagai FTZ. Atau mungkin special economic zone (Kawasan Ekonomi Khusus), sebagaimana intens dibahas dengan Singapura.

Mengapa? Hal ini karena secara infrastruktur, pengalaman, ketenaran (catatan internasional menunjukkan bahwa Batam sebagai FTZ pioner), kelembagaan (pengalaman Otoritas Batam), dan letak geografis (baik lintasan angkutan darat maupun kedekatan dengan pusat perdagangan internasional) yang sangat mendukung.

Selain itu, sudah terbentuknya Joint Working Committee SEZ antara Indonesia dan Singapura tahun lalu, yang menyepakati empat agenda dengan rencana aksi a.l. promosi investasi dan kantor pemasaran bersama.
Ditambah lagi dengan adanya UU Kepulauan Riau yang menyebutkan bahwa Batam sebagai kawasan industri, perdagangan, alih kapal, dan pariwisata.

Kendati banyak pihak yang menganggap kalau FTZ BBK bukan contoh ideal untuk pengembangan KEK di Indonesia, 'bayi prematur' yang sudah terlanjur lahir itu mesti mendapat perhatian khusus agar cepat berkembang sebagaimana layaknya 'bayi-bayi' [SEZ] di negara lain.

Potret Sabang
Bila bercermin pada Sabang, jangan sampai Batam bernasib sama. Sabang dengan predikat kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (FTZ), tetapi namanya nyaris tidak terdengar.

Mengapa? Hal ini karena pemerintah terkesan lamban dalam menyediakan fasilitas, selain perkembangan FTZ di Sabang yang kurang mampu menarik investor. Padahal, Sabang sudah memiliki UU No. 37/2000 (menggantikan Perpu No. 2/2000) yang menetapkan kota itu sebagai FTZ.

Pemerintah bahkan telah membentuk Dewan Kawasan Sabang (DKS)-sebagai pemilik hak otonomi dan otoritas penuh-untuk menetapkan kebijakan, membina, mengawasi sekaligus mengelola perkembangan kawasan itu. Tambahan lagi, DKS sudah menunjuk Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS).

Posisi Sabang juga strategis. Kota ini menghadap ke Samudra Hindia, menjadi pintu masuk selat dengan perdagangan terpadat di dunia, yaitu Selat Malaka, serta lautnya yang dalam sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal berukuran besar.
Minimnya infrastruktur bisa jadi merupakan salah satu penyebab tidak berkembangnya Sabang sebagai FTZ. Sebut saja, ketersediaan listrik, misalnya.

Lebih menariknya lagi, dua Surat Keputusan Dirjen di Departemen Perdagangan mengenai tata niaga diketahui menjadi penghambat berkembangnya Sabang sebagai FTZ.
Akhirnya terbitlah UU No. 11/2006 tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada Agustus 2006. UU yang lahir pascapertemuan Helsinki itu semakin menegaskan bahwa Sabang adalah FTZ dalam arti yang sebenarnya.

Mengacu pada UU tersebut, pemerintah pusat mestinya sudah mengeluarkan kebijakan turunan berupa RPP mengenai Pelimpahan Kewenangan kepada Dewan Kawasan Sabang (DKS). Dewan ini selanjutnya mengeluarkan kebijakan turunan berupa penunjukan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.

Sebuah Tim Pokja diketahui sudah merampungkan RPP tersebut dan telah dikirim ke Menteri Dalam Negeri sejak Februari 2007. Pada awal Juli, RPP itu dikembalikan ke Gubernur NAD untuk mendapat masukan, setelah hampir empat bulan 'menginap' di Depdagri.
Dalam pasal 8 RPP itu disebutkan bahwa untuk mempercepat pengembangan FTZ Sabang, Menko Perekonomian membentuk Tim Asistensi yang anggotanya terdiri dari instansi terkait, seperti halnya Batam.

Konon, tidak adanya asistensi dari pusat selama ini diyakini sebagai salah satu penyebab kurang berkembangnya FTZ Sabang. Hal itu diakui oleh Edy Putra Irawady, Ketua Pokja Penyusunan RPP tentang Pelimpahan Kewenangan kepada DK Sabang.

Selain itu, pasal 7 RPP mengenai pelimpahan kewenangan itu juga membolehkan Kepala BPKS mengerjakan profesional asing sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa Sabang sesungguhnya tinggal satu langkah lagi untuk mewujudkan FTZ.
Tetapi gaungnya memang tidak sekeras Batam. Dengan terseok-seok, Kepala DKS dan BPKS terus melangkah mewujudkan FTZ Sabang.

Tanpa adanya asistensi dari pusat pun, FTZ Sabang-yang dipimpin oleh kepala DKS Teuku Syaiful Achmad-telah menyiapkan master plan dan business plan.
Bahkan investor pun mulai berdatangan, menyusul ditandatanganinya MoU dengan Dublin Port Company dari Irlandia, dan dua investor lainnya dari Malaysia untuk menggarap sektor pariwisata dan perikanan.

FTZ Batam
Kembali ke Batam, Bintan, dan Karimun. Akankah semangat FTZ BBK ini terus membara hingga bisa menjadi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas sesungguhnya seperti Sabang? Karena perjalanan untuk merealisasikan FTZ BBK masih panjang (lihat bagan).
Keinginan pemerintah paling tidak terlihat semakin jelas. Sebut saja, dari mulai menyiapkan RPP lokasi, RPP mengenai Pelimpahan Kewenangan kepada Dewan Kawasan BBK, hingga persiapan RUU Kawasan Ekonomi Khusus.

Saat ini, pemerintah pusat dan daerah, melalui tim, merampungkan koordinat di Bintan dan Karimun yang menjadi bagian dari FTZ untuk menentukan lokasi dan kesiapan fisiknya (a.l. kesediaan air dan kondisi tanah). Rencananya, akhir Juli RPP penentuan lokasi FTZ di BBK ini rampung setelah dibahas di tingkat menteri.

Menurut Ketua Timnas KEK Indonesia Muhammad Lutfi, RPP untuk menentukan lokasi FTZ, khususnya untuk Bintan dan Karimun, sudah selesai. "Akhir bulan ini Peraturan Pemerintah tentang lokasi akan keluar."

Persiapan fisik lainnya yang sudah jalan adalah one stop service (layanan izin satu atap) oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Ditambah lagi dengan pelayanan kepabeanan secara elektronik (EDI), serta komitmen politik daerah terutama kekompakan DPRD, Otoritas Batam (OB), dan Pemkot Batam.

Kesiapan dan komitmen itu lebih memudahkan lagi dalam menentukan siapa yang akan menjadi Kepala DK Batam, dan Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) di BBK. Selain itu, mengharmonisasikan perda-perda yang mubazir.
Kekompakan itu paling tidak bisa menjadi stimulus dalam menyelesaikan kemungkinan transformasi dari sekitar 2.000-an karyawan OB dalam BPK-BBK. Kendati tidak seluruhnya, karena hanya seorang profesional, yang memiliki sense of business-lah yang akan memimpin BPK-BBK.

Paling tidak sejumlah karyawan OB bisa mengawal perjalanan BBK menjadi FTZ sesungguhnya selama masa transisi. Hal ini karena kepastian layanan berinvestasi tetap harus jalan, tidak boleh berhenti.

FTZ BBK yang lahir dari Perppu No. 1/2007 dengan segala latar belakang kedaruratannya, dilanjutkan dengan PP, mendorong pemerintah segera menyiapkan penjelasan tersebut dan menyiapkan RUU Perppu untuk dijadikan undang-undang.
RUU Perppu itu rencananya diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, yaitu medio Agustus 2007. Selanjutnya diharapkan bisa segera disahkan menjadi undang-undang, walaupun hingga kini alasan darurat tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan anggota dewan.

Arahan Wapres Jusuf Kalla, dalam rapat 28 Juni 2007, seakan menjadi amunisi bagi semua menteri terkait dan pejabat pemda yang tergabung dalam tim nasional untuk menyiapkan segala sesuatu mengenai FTZ BBK.

Payung KEK
Seiring dengan itu, pemerintah kini juga menyiapkan payung hukum lainnya, seperti RUU KEK/SEZ. Dalam Inpres No. 6/2007 disebutkan bahwa RUU KEK akan diajukan ke DPR pada November 2007.
RUU KEK itu kabarnya disiapkan sebagai antisipasi bila Perppu No. 1/2007 tidak disetjui menjadi UU. Hal ini karena ketentuan FTZ ada di dalam draf RUU tersebut.

Mengapa KEK kian intens disiapkan pemerintah? Hal ini karena di negara lain KEK/SEZ terbukti menjadi jalan pintas bagi upaya menggenjot investasi, menyerap tenaga kerja, meningkatkan ekspor dan penerimaan devisa, serta meningkatkan daya saing.

Isu KEK berhembus sejak awal 2006, saat Wapres mengunjungi Bojonegara, Banten. Pasalnya, Bojonegara memiliki potensi sebagai kawasan industri terpadu untuk dikembangkan menjadi KEK yang memiliki daya saing tinggi.
Sejak itulah Bojonegara kerap diusung dalam jualan Indonesia ke berbagai pameran investasi di sejumlah negara.

Kendati KEK masih dalam persiapan, Ketua Tim Pelaksana KEKI Muhammad Lutfi pada Juni 2007, di sela-sela World Economic Forum, menawarkan Kendal sebagai KEK otomotif kepada CEO Renault-Nissan Carloss Gohsn.

Kendal yang direncanakan sebagai KEK otomotif pun akan menjadi jualan di pameran dan seminar investasi yang digelar BKPM di Korea Selatan pada awal Agustus 2007. Tawaran ini penting mengingat Korsel merupakan salah satu produsen otomotif dunia.

KEK sejatinya tidak mesti berbentuk area bukaan baru, tetapi bisa juga pengembangan dan penyempurnaan dari yang sudah ada. Sebut saja, Kawasan Industri Jababeka dan tujuh kawasan industri di sekitarnya, yang sangat potensial untuk diajukan sebagai KEK.

Hal ini, menurut Wakil Ketua Timnas KEKI Bambang Susantono, karena KEK bisa dibentuk dari daerah baru seperti halnya Bojonegara, atau up grade dari yang sudah ada seperti KI Jababeka. Bisa pula merupakan usulan pemda, karena kesiapan dan kesanggupan wilayahnya hingga akhirnya ditetapkan pemerintah pusat.

11 Wilayah
Wacana yang berkembang, saat ini ada sedikitnya 11 wilayah di Indonesia yang berpotensi dijadikan KEK. Persoalannya adalah bukan semata-mata menjadi KEK/ SEZ, FTZ, EPZ (Export Processing Zone/ kawasan berikat), industrial estate (kawasan industri/KI), dan kawasan berikat (Bonded Warehouses). Hal ini karena kuncinya adalah kemauan pemerintah untuk segera merealisasikan FTZ dan KEK, sehingga berdampak terhadap peningkatan investasi, menurunkan angka pengangguran, dan mengurangi kemiskinan.

Banyak potret sukses KEK/SEZ di negara lain. Sebut saja Shenzhen (China), Taiwan, Korea Selatan, Kuwait, Jordania, Jamaika, dan Meksiko.

Indonesia sesungguhnya sudah memiliki Sabang secara defacto dan BBK secara dejure sebagai FTZ. Mungkin tinggal satu-dua langkah lagi dikebut agar segera terwujud dalam tahun ini juga.
Pada 2008, semua pejabat terkait dan dunia usaha bisa mewujudkan KEK menjadi kenyataan, tidak hanya sebatas wacana. Langkah dan irama yang sama hendaknya menjadi modal utama (kemauan) semua yang terlibat dalam Timnas KEK, anggota DPR, dan dunia usaha tentu.

Dengan cara demikian, Indonesia memiliki daya pikat investasi tanpa harus digembar-gemborkan dan mungkin bisa lebih baik dari negara lain. Namun, dengan catatan kebijakan pendukungnya terintegrasi dan implementatif.

Kembali ke kawasan ekonomi, semangatnya adalah mencapai efisiensi yang optimal, menghilangkan beban regulasi, birokrasi, dan campur tangan dengan memberikan 'vitamin' (insentif dan fasilitas) yang cukup tanpa harus ditambah dengan suplemen lagi.

Secara sederhana, keberhasilan SEZ di berbagai negara bukan karena insentif semata, tetapi 'kepastian' layanan. Hal itu terungkap dalam pertemuan EPZ sedunia di Turki pada April 2007. Bukankah fokus pekerjaan rumah bangsa ini adalah semangat mengentaskan kemiskinan dengan cara menggenjot investasi?

Oleh Neneng HerbawatiWartawan Bisnis Indonesia

FTZ Batam, siapa diuntungkan?

Harapan para pengusaha dan pemerintah daerah di Kepulauan Riau akan hadirnya produk hukum bagi status Kawasan Ekonomi Khusus Batam-Bintan-Karimun (KEK BBK) menjadi kenyataan.

Tetapi anehnya saat semua mata tertuju pada KEK BBK, yang disahkan pemerintah justru Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 36/2000 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas atau biasa disebut free trade zone (FTZ).

Mendadak sontak, semua analisis dan prediksi berbagai kalangan di Batam pudar. Kenapa yang disahkan justru Perppu tentang FTZ yang berlaku umum bagi seluruh wilayah di Indonesia, bukan peraturan tersendiri mengenai KEK BBK? Selain itu, perubahan yang dilakukan terhadap Perppu No. 1 Tahun 2007 itu pun hanya meliputi tiga pasal yang tidak substansial.

Artinya, perubahan pasal dalam UU itu sama sekali tidak mengatur secara khusus mengenai wilayah Batam-Bintan-Karimun.Pemerintah mencoba berapologi. Untuk tahap awal, perppu itu akan dijadikan dasar hukum bagi BBK menjadi wilayah ekonomi khusus, karena proses pembahasan sebuah undang-undang relatif lama.

Pemerintah selanjutnya akan menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) yang berlaku umum dan diperkirakan selesai pada November 2007. Rapat koordinasi terbatas pun digelar. Isu baru kembali merebak, pemerintah menilai khusus wilayah BBK akan ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas mengacu pada Perppu No. 1/2007.

Sementara itu, KEK tampaknya tidak akan disematkan kepada BBK melainkan bagi wilayah potensial lainnya di Indonesia.Rakortas ini pun menghangat, karena menteri ekonomi terpecah menjadi dua kubu, yang pro-FTZ menyeluruh dan yang pro-enclave. Kubu pro-enclave dimotori oleh Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan dibantu oleh Menteri Perdagangan.

Kubu yang kontra digawangi oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M. Lutfi dan Menteri Perindustrian dengan didukung oleh Wapres Jusuf Kalla.Alhasil, tolak-menolak pun berakhir dengan kemenangan Tim Lutfi. Maka Batam pun secara resmi menjadi kawasan perdagangan bebas (FTZ) seluruh pulau plus Rempang dan Galang, sedangkan Bintan dan Karimun sebagai kawasan enclave.KEK BBK, Perppu FTZ, dan akhirnya FTZ menyeluruh untuk Batam.

Apa benang merah dari ketiga isu itu? Inilah pertanyaan yang makin menggantung di benak para pemimpin daerah dan pengusaha. Awalnya KEK, kemudian yang disahkan adalah Perppu FTZ, dan akhirnya justru FTZ Batam yang bergulir. Keputusan ini seakan-akan mengembalikan ingatan para pejuang FTZ yang sempat bertungkus lumus selama periode 2000-2004 sebelum akhirnya pemerintah mementahkan UU FTZ Batam yang disahkan sepihak oleh DPR pada September 2004.Pro-kontraKendati disambut gembira dan penuh optimistis, tidak sedikit pengusaha yang menyikapi keputusan itu dengan saja dan pesimistis.

"Momentumnya sudah lewat, karena pemerintah terlalu lama memberikan kepastian status FTZ menyeluruh ini," tutur Eddy Hussy, Ketua DPD REI Khusus Batam.Sepakat atau tidak, Batam sudah berstatus kawasan bebas. Kini, masyarakat masih menunggu gebrakan pemerintah selanjutnya berupa peraturan pemerintah yang memperkuat posisi kawasan bebas menyeluruh tersebut.

Ada setidaknya tiga poin penting yang akan menjadi perdebatan maupun tarik ulur bagi para penguasa di daerah FTZ. Pertama, posisi Dewan Kawasan. Kedua, posisi Badan Pengelolaan Kawasan. Ketiga, insentif yang ditawarkan.Tanpa tendensi apa pun, tulisan ini mencoba mengurai potensi konflik yang mungkin saja akan terjadi saat PP FTZ diberlakukan. Pertama, Dewan Kawasan.

Dalam Pasal 3 mengenai Kelembagaan pad Perppu No. 1/2007 dijelaskan bahwa posisi Dewan Kawasan ditetapkan oleh Presiden atas usul gubernur dan DPRD, sedangkan Ketua Badan Pengusahaan Kawasan ditetapkan oleh gubernur.Walaupun posisi Dewan Kawasan tidak langsung bisa dijabat oleh Gubernur Kepulauan Riau, semua mata tampaknya tertuju pada Ismeth Abdullah, sang gubernur.

Ismeth, jelas, tidak akan melepaskan posisi Ketua Dewan Kawasan kepada birokrat titipan dari Jakarta.Ketua Dewan Kawasan pasti sangat strategis sebagai penentu arah kebijakan pengelolaan kawasan bebas Batam, Rempang, Galang, Bintan, dan Karimun. Gubernur yang sudah memiliki kekuasaan wilayah otonom akan bertambah kuat dengan cengkraman kekuasaan di wilayah FTZ.

Pemerintah provinsi memang tidak memiliki wilayah, sebab wilayah sebenarnya berada dalam genggaman pemerintah kabupaten/kota. Tetapi, melalui Dewan Kawasan, para bupati/wali kota harus merelakan kepingan kawasan bebas itu dicampuri oleh pengurus Dewan tersebut. Tetapi dari awal Ismeth sudah membantah skenario ini. "Tidak benar posisi [Ketua Dewan Kawasan] itu akan dipimpin oleh gubernur. Ada mekanisme yang harus dilalui dan harus berdasarkan ketetapan Presiden," ujarnya berkelit.

Kedua, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (BPKPPB). Mungkinkah posisi Badan Pengusahaan Kawasan secara otomatis akan diisi oleh Badan Otorita Batam. Dengan kata lain, instansi yang sudah berusia 33 tahun itu akan mereposisi diri.Namun, Sekretaris Timnas Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) Bambang Susantono mengatakan dalam RPP mengenai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas akan ditentukan lokasi FTZ di BBK, periode transisi di mana Otoritas Batam (OB) tetap menjalankan fungsinya sebagai Badan Pengusahaan (BP) sementara, sampai terbentuk BP yang ditetapkan oleh Dewan Kawasan.

Dalam RPP itu juga diberikan batas waktu masa transisi paling lambat satu tahun, selain transfer aset dari OB ke BP, termasuk pegawainya. Tetapi apakah segampang itu proses reposisi akan dilakukan? Sehari setelah Batam ditetapkan sebagai FTZ menyeluruh, Pemkot Batam sudah lebih awal mengklaim posisi BPKPPBSyamsul Bahrum, Asisten Bidang Perekonomian Pemkot Batam, memaparkan implementasi FTZ di pulau ini tentu harus dilaksanakan dalam kerangka otonomi daerah di mana ada wali kota sebagai pemimpin wilayah.

"Dengan demikian, wali kota juga harus menjadi Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Batam dan Gubernur Kepri sebagai Ketua Dewan Kawasan."Dalam konteks ekonomi, menurut Syamsul, posisi Batam memang berbeda dari wilayah pabean Indonesia lainnya. Tetapi dalam konteks geopolitik dan teritorial, Batam justru merupakan wilayah otonomi daerah yang dipimpin oleh wali kota.

"Untuk mendukung pelaksanaan FTZ ini, peran wali kota menjadi lebih besar, karena bertanggung jawab di dalam dan di luar wilayah FTZ."Terbit pekan depanSyamsul boleh saja berteori dan berspekulasi. Namun, keputusan paripurna akan diatur dalam PP yang akan diterbitkan pekan depan.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi mengatakan rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang FTZ BBK sudah rampung dan Senin pekan depan diserahkan ke Departemen Hukum dan HAM."Rancangan PP tersebut selanjutnya segera dikirim ke Sekneg untuk disahkan oleh Presiden. PP tentang FTZ Batam, Bintan, Karimun akan diselesaikan secara ekspres," tuturnya kepada Bisnis.

Sikap lebih bijak disampaikan oleh Mustofa Widjaja, Ketua Otorita Batam. "Masalah ini akan diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang sebentar lagi disahkan presiden. Jadi, kita lihat saja nanti bentuknya seperti apa."

Sejauh ini, menurut dia, antara Otorita Batam dan Pemkot Batam sudah sepakat bersinergi dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan di pulau itu. Bentuk kesepakatan itu sudah dituangkan dalam nota kesepahaman antara dua institusi plus DPRD Batam. Tarik-menarik ini memang belum memanas, dan pemicunya ada dalam RPP yang masih digodok. Institusi mana yang akan menjadi penguasa, Otorita Batam-kah, Pemkot Batam-kah, atau malah PP mengamanatkan pembentukan institusi baru? Sangat menarik untuk ditunggu.

Tuesday, August 14, 2007

Badan Pengelola FTZ Batam butuh CEO

Pengelola kawasan industri di Batam mengharapkan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Batam melibatkan para pengusaha, professional, dan akademisi.
Fungsi badan ini sendiri harus berorientasi bisnis dan jauh dari pertentangan politik sektoral di daerah.

O. K. Simatupang, General Manager PT Kabil Indonusa Estate, pengelola KI Kabil, menegaskan sudah saatnya pemerintah membuat aturan tegas mengenai personil yang bakal mengisi jajaran Badan Pengusahaan FTZ Batam.

“Jangan lagi diserahkan kepada birokrat, tapi berikan porsi yang besar kepada pengusaha, professional, dan akademisi untuk mengurus FTZ Batam,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Menurut dia, untuk mengerti apa yang dibutuhkan oleh investor adalah pengusaha dan professional yang sudah berpengalaman dibidangnya. Sebab sehebat apapun peraturan yang diberikan tapi investor tidak mau masuk maka percuma saja.

Dia mengaku prihatin melihat wakil-wakil birokrat daerah yang terlibat dalam forum joint working group (JWG)-EDB sama sekali tidak bisa memberikan kontribusi berarti.
“Kami ingin agar Badan Pengusahaan ini dipimpin oleh seorang chief executive officer (CEO), memiliki visi bisnis yang jelas untuk mengembangkan badan pengusahaan yang berorientasi profit,” papar O. K.

Namun Johanes Kennedy Aritonang, Presiden Direktur PT Nusatama Properta Panbil, pengelola KI Panbil, menegaskan pengusaha tidak akan mencampuri komposisi personil dalam badan pengusahaan ini.

Menurut dia, pengusaha akan tetap berjalan sesuai kapasitasnya dan menolak untuk terlibat dalam konflik kepentingan dalam badan tersebut.
“Saya mendengar adanya usulan memasukkan wakil pengusaha dalam komposisi badan pengusahaan ini, tapi bagi saya yang penting, badan ini memiliki otoritas mutlak untuk mengembangkan FTZ Batam,” tuturnya.

Dia menjelaskan jiwa dari FTZ ini adalah memperpendek jalur birokrasi, dengan demikian badan ini—apapun namanya—harus efektif mengakomodir kepentingan pengusaha dalam menggairahkan iklim investasi di kawasan ini.

Johanes tidak ingin badan pengusahaan itu nantinya lemah dalam implementasi kebijakan karena tidak memiliki otoritas mutlak. Padahal, badan tersebut harus merupakan perpanjangan tangan pusat di daerah, sebagaimana posisi Otorita Batam sebelum era otonomi daerah.

Birokrat
Pada kesempatan terpisah, Syamsul Bahrum, Asisten Ekonomi Pemkot Batam, mengusulkan agar posisi Ketua Badan Pengusahaan FTZ Batam diserahkan kepada Walikota Batam sebagai representasi pengusaha wilayah otonom Batam.

“Saya menilai dalam konteks otonomi daerah maka sudah sewajarnya bila walikota juga menjadi pemimpin badan pengelola kawasan bebas ini,” tuturnya.

Sementara itu Abidin Hasibuan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam, mendesak para elit birokrat di daerah agar mementingkan kepentingan masyarakat dan dunia usaha dalam mempercepat penetapan status FTZ Batam.

“Saya melihat indikasi masalah FTZ mengarah pada konflik politik antar elit birokrat di daerah. Saya ingatkan agar para birokrat untuk tidak mengacaukan kondisi yang sudah mulai kondusif,” tegasnya.

Apindo Batam sendiri sudah mengusulkan dua orang calon dari kelompok pengusaha untuk duduk dalam komposisi Dewan Kawasan FTZ Batam-Bintan-Karimun.

Monday, August 13, 2007

FTZ Barelang rawan potensi konflik

Penerapan status kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) di Pulau Batam-Rempang-Galang diprediksikan rawan konflik horizontal antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Kawasan.

Irwansyah, Ketua DPD Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Provinsi Kepulauan Riau menilai potensi konflik ini harus diantisipasi oleh pemerintah karena bisa mempengaruhi roda pembangunan kawasan bebas.

“Kami berharap pemerintah pusat memusatkan perhatian pada potensi konflik ini dengan segera mengesahkan peraturan pemerintah yang mengatur hubungan kerja Otorita Batam-Pemkot Batam,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.

PP tentang FTZ Batam sendiri rencananya akan disahkan pada akhir Agustus ini, dan sepertinya Otorita Batam akan berubah menjadi Badan Pengusahaan FTZ Batam. Tapi, indikasi itu bakal ditentang oleh Pemkot Batam karena secara hokum pembentukan pemkot lebih tinggi
karena berdasarkan undang-undang.

Selain itu, otomatis akan terjadi pelimpahan wewenang dari Pemkot Batam kepada Badan Pengusahaan FTZ Batam terutama 11 kewenangan pusat yang sebelumnya sudah dilimpahkan ke daerah sesuai aturan dalam UU Otonomi Daerah.
“Bila ini terjadi ini maka implementasi FTZ tidak akan berhasil karena tarik menarik kewenangan tadi,” papar Irwansyah.

Dia melihat adanya segelintir oknum birokrat di daerah yang melakukan manuver-manuver politik di pusat agar peran Pemkot Batam dalam kawasan FTZ tidak berkurang.
Walaupun dinilai wajar, menurut dia, pemerintah pusat juga harus memperhatikan kerawanan ini agar jangan sampai demi kepentingan segelintir oknum mengakibatkan implementasi kebijakan FTZ menjadi terkendala.

“Pusat juga harus tegas, bila keputusan FTZ menyeluruh sudah ditetapkan maka segera disahkan dalam produk hokum. Jangan ragu dan ditunda-tunda lagi,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Abidin Hasibuan, Ketua Apindo Provinsi Kepulauan Riau. Dia mendapat sinyalemen oknum birokrat yang mencoba menggiring isu FTZ masuk dalam ranah politik elit pusat dan daerah.

“Saya mengimbau para oknum birokrat agar lebih mengedepankan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan kelompok dan pribadi. Batam sudah terlalu lama menunggu disahkannya status ini,” tegas dia.

Pemko-OB
Irwansyah yang juga menjabat Ketua Komisi III DPRD Batam mengingatkan pemerintah agar segera menerbitkan PP tentang harmonisasi hubungan OB-Pemko Batam. Sebab aturan tersebut merupakan amanat dari UU No. 53/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Selama delapan tahun sejak Otda bergulir dan Pemkot Batam sudah hadir di pulau ini, namun PP mengenai hubungan kerja itu belum juga disahkan.
Hubungan kedua instansi sempat memanas pada periode 2000-2004 sampai akhirnya kedua institusi—difasilitasi DPRD Batam—menandatangani nota kesepakatan mengenai pembagian tugas dan wewenang dalam pembangunan kota Batam.

Kendati sudah sepakat tapi MOU itu belum mengikat secara hokum apalagi jika akhirnya OB menjadi Badan Pengusahaan sehingga peran dan fungsinya jauh lebih kuat dibandingkan Pemkot Batam.