Wednesday, August 15, 2007

FTZ Batam, siapa diuntungkan?

Harapan para pengusaha dan pemerintah daerah di Kepulauan Riau akan hadirnya produk hukum bagi status Kawasan Ekonomi Khusus Batam-Bintan-Karimun (KEK BBK) menjadi kenyataan.

Tetapi anehnya saat semua mata tertuju pada KEK BBK, yang disahkan pemerintah justru Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 36/2000 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas atau biasa disebut free trade zone (FTZ).

Mendadak sontak, semua analisis dan prediksi berbagai kalangan di Batam pudar. Kenapa yang disahkan justru Perppu tentang FTZ yang berlaku umum bagi seluruh wilayah di Indonesia, bukan peraturan tersendiri mengenai KEK BBK? Selain itu, perubahan yang dilakukan terhadap Perppu No. 1 Tahun 2007 itu pun hanya meliputi tiga pasal yang tidak substansial.

Artinya, perubahan pasal dalam UU itu sama sekali tidak mengatur secara khusus mengenai wilayah Batam-Bintan-Karimun.Pemerintah mencoba berapologi. Untuk tahap awal, perppu itu akan dijadikan dasar hukum bagi BBK menjadi wilayah ekonomi khusus, karena proses pembahasan sebuah undang-undang relatif lama.

Pemerintah selanjutnya akan menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) yang berlaku umum dan diperkirakan selesai pada November 2007. Rapat koordinasi terbatas pun digelar. Isu baru kembali merebak, pemerintah menilai khusus wilayah BBK akan ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas mengacu pada Perppu No. 1/2007.

Sementara itu, KEK tampaknya tidak akan disematkan kepada BBK melainkan bagi wilayah potensial lainnya di Indonesia.Rakortas ini pun menghangat, karena menteri ekonomi terpecah menjadi dua kubu, yang pro-FTZ menyeluruh dan yang pro-enclave. Kubu pro-enclave dimotori oleh Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan dibantu oleh Menteri Perdagangan.

Kubu yang kontra digawangi oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M. Lutfi dan Menteri Perindustrian dengan didukung oleh Wapres Jusuf Kalla.Alhasil, tolak-menolak pun berakhir dengan kemenangan Tim Lutfi. Maka Batam pun secara resmi menjadi kawasan perdagangan bebas (FTZ) seluruh pulau plus Rempang dan Galang, sedangkan Bintan dan Karimun sebagai kawasan enclave.KEK BBK, Perppu FTZ, dan akhirnya FTZ menyeluruh untuk Batam.

Apa benang merah dari ketiga isu itu? Inilah pertanyaan yang makin menggantung di benak para pemimpin daerah dan pengusaha. Awalnya KEK, kemudian yang disahkan adalah Perppu FTZ, dan akhirnya justru FTZ Batam yang bergulir. Keputusan ini seakan-akan mengembalikan ingatan para pejuang FTZ yang sempat bertungkus lumus selama periode 2000-2004 sebelum akhirnya pemerintah mementahkan UU FTZ Batam yang disahkan sepihak oleh DPR pada September 2004.Pro-kontraKendati disambut gembira dan penuh optimistis, tidak sedikit pengusaha yang menyikapi keputusan itu dengan saja dan pesimistis.

"Momentumnya sudah lewat, karena pemerintah terlalu lama memberikan kepastian status FTZ menyeluruh ini," tutur Eddy Hussy, Ketua DPD REI Khusus Batam.Sepakat atau tidak, Batam sudah berstatus kawasan bebas. Kini, masyarakat masih menunggu gebrakan pemerintah selanjutnya berupa peraturan pemerintah yang memperkuat posisi kawasan bebas menyeluruh tersebut.

Ada setidaknya tiga poin penting yang akan menjadi perdebatan maupun tarik ulur bagi para penguasa di daerah FTZ. Pertama, posisi Dewan Kawasan. Kedua, posisi Badan Pengelolaan Kawasan. Ketiga, insentif yang ditawarkan.Tanpa tendensi apa pun, tulisan ini mencoba mengurai potensi konflik yang mungkin saja akan terjadi saat PP FTZ diberlakukan. Pertama, Dewan Kawasan.

Dalam Pasal 3 mengenai Kelembagaan pad Perppu No. 1/2007 dijelaskan bahwa posisi Dewan Kawasan ditetapkan oleh Presiden atas usul gubernur dan DPRD, sedangkan Ketua Badan Pengusahaan Kawasan ditetapkan oleh gubernur.Walaupun posisi Dewan Kawasan tidak langsung bisa dijabat oleh Gubernur Kepulauan Riau, semua mata tampaknya tertuju pada Ismeth Abdullah, sang gubernur.

Ismeth, jelas, tidak akan melepaskan posisi Ketua Dewan Kawasan kepada birokrat titipan dari Jakarta.Ketua Dewan Kawasan pasti sangat strategis sebagai penentu arah kebijakan pengelolaan kawasan bebas Batam, Rempang, Galang, Bintan, dan Karimun. Gubernur yang sudah memiliki kekuasaan wilayah otonom akan bertambah kuat dengan cengkraman kekuasaan di wilayah FTZ.

Pemerintah provinsi memang tidak memiliki wilayah, sebab wilayah sebenarnya berada dalam genggaman pemerintah kabupaten/kota. Tetapi, melalui Dewan Kawasan, para bupati/wali kota harus merelakan kepingan kawasan bebas itu dicampuri oleh pengurus Dewan tersebut. Tetapi dari awal Ismeth sudah membantah skenario ini. "Tidak benar posisi [Ketua Dewan Kawasan] itu akan dipimpin oleh gubernur. Ada mekanisme yang harus dilalui dan harus berdasarkan ketetapan Presiden," ujarnya berkelit.

Kedua, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (BPKPPB). Mungkinkah posisi Badan Pengusahaan Kawasan secara otomatis akan diisi oleh Badan Otorita Batam. Dengan kata lain, instansi yang sudah berusia 33 tahun itu akan mereposisi diri.Namun, Sekretaris Timnas Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) Bambang Susantono mengatakan dalam RPP mengenai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas akan ditentukan lokasi FTZ di BBK, periode transisi di mana Otoritas Batam (OB) tetap menjalankan fungsinya sebagai Badan Pengusahaan (BP) sementara, sampai terbentuk BP yang ditetapkan oleh Dewan Kawasan.

Dalam RPP itu juga diberikan batas waktu masa transisi paling lambat satu tahun, selain transfer aset dari OB ke BP, termasuk pegawainya. Tetapi apakah segampang itu proses reposisi akan dilakukan? Sehari setelah Batam ditetapkan sebagai FTZ menyeluruh, Pemkot Batam sudah lebih awal mengklaim posisi BPKPPBSyamsul Bahrum, Asisten Bidang Perekonomian Pemkot Batam, memaparkan implementasi FTZ di pulau ini tentu harus dilaksanakan dalam kerangka otonomi daerah di mana ada wali kota sebagai pemimpin wilayah.

"Dengan demikian, wali kota juga harus menjadi Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Batam dan Gubernur Kepri sebagai Ketua Dewan Kawasan."Dalam konteks ekonomi, menurut Syamsul, posisi Batam memang berbeda dari wilayah pabean Indonesia lainnya. Tetapi dalam konteks geopolitik dan teritorial, Batam justru merupakan wilayah otonomi daerah yang dipimpin oleh wali kota.

"Untuk mendukung pelaksanaan FTZ ini, peran wali kota menjadi lebih besar, karena bertanggung jawab di dalam dan di luar wilayah FTZ."Terbit pekan depanSyamsul boleh saja berteori dan berspekulasi. Namun, keputusan paripurna akan diatur dalam PP yang akan diterbitkan pekan depan.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi mengatakan rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang FTZ BBK sudah rampung dan Senin pekan depan diserahkan ke Departemen Hukum dan HAM."Rancangan PP tersebut selanjutnya segera dikirim ke Sekneg untuk disahkan oleh Presiden. PP tentang FTZ Batam, Bintan, Karimun akan diselesaikan secara ekspres," tuturnya kepada Bisnis.

Sikap lebih bijak disampaikan oleh Mustofa Widjaja, Ketua Otorita Batam. "Masalah ini akan diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang sebentar lagi disahkan presiden. Jadi, kita lihat saja nanti bentuknya seperti apa."

Sejauh ini, menurut dia, antara Otorita Batam dan Pemkot Batam sudah sepakat bersinergi dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan di pulau itu. Bentuk kesepakatan itu sudah dituangkan dalam nota kesepahaman antara dua institusi plus DPRD Batam. Tarik-menarik ini memang belum memanas, dan pemicunya ada dalam RPP yang masih digodok. Institusi mana yang akan menjadi penguasa, Otorita Batam-kah, Pemkot Batam-kah, atau malah PP mengamanatkan pembentukan institusi baru? Sangat menarik untuk ditunggu.

No comments:

Post a Comment