Monday, December 27, 2010

The Same Old Song!!

Semua sudah mengetahui bahwa dampak dari pemberlakuan PP No. 2/2009 tentang aturan kepabeanan, perpajakan, dan bea masuk di kawasan bebas telah menimbulkan permasalahan dalam proses keluar masuk barang terutama sejak munculnya ketentuan masterlist.

Berharap akan datangnya perubahan terhadap PP itu sama saja seperti pungguk merindukan bulan. Tak tau kapan perubahan itu datang. Rapat sosialisasi yang digelar dua kali di Batam mengenai revisi PP itu pun tidak jelas lagi kelanjutannya, konon pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengganti saja PP itu karena substansi perubahan sudah melebihi 50%.

Semua pelaku industri dari berbagai sektor yang saya jumpai mengaku tidak lagi menaruh harapan terhadap FTZ ini. Pemerintah sepertinya tidak punya visi yang jelas mau dibawa kemana FTZ ini. Perangkat hukum yang diterbitkan seolah untuk trial and error saja, bahkan institusi pelaksana FTZ di BBK tidak dibekali dengan aturan teknis yang cukup untuk mempercepat kinerjanya.

Tentunya, ditengah kondisi yang tidak jelas itu, industri harus tetap berputar dengan peraturan yang ada. Namun konsekwensinya adalah industri harus menyediakan lebih banyak waktu dan biaya untuk sekeder mengurus perizinan masterlist yang seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu cepat.

Belum lagi, berbagai keruwetan di lapangan memicu munculnya oknum - oknum yang memanfaatkan celah tersebut yang akhirnya membuat high cost economy dan pungutan liar. (ini fakta berdasarkan survey dan dialami oleh beberapa perusahaan)

Persoalan-persoalan itu muncul ketika Bank Indonesia melakukan sebuah kajian mengenai Prospek FTZ BBK dalam konteks Kesiapan Institusi Pelaksana dan Respon Dunia Usaha.

Jelas sekali terlihat, bahwa dari aspek regulasi, FTZ BBK belum siap sepenuhnya. Begitu juga dari aspek institusi, FTZ belum dikawal oleh institusi yang mapan dalam konteks kesiapan anggaran dan personel yang kapabel di bidangnya. Terbukti, sudah dua tahun berjalan tapi pertumbuhan yang diharapkan belum terjadi.

Dari dua aspek itu saja sudah bisa disimpulkan FTZ BBK masih butuh banyak sekali pembenahan yang KONKRET bukan lagi sekedar konsep atau wacana tanpa aksi karena wilayah ini harus segera berlari mengejar ketertinggalan sebagai sebuah daerah tujuan investasi.

Bagaimana kita mau bersaing dengan kawasan sejenis di regional ini bila kawasan ini belum siap?

Industri yang ada di Batam saat ini hanya bisa bertahan hidup, mau mengembangkan atau ekspansi usaha mereka pasti berpikir dua kali. Lebih baik, pabrik pertama tetap di Batam dan ekspansi di lakukan di Vietnam atau Malaysia, mengingat kondisi yang tidak kondusif di kawasan ini.

Batam tidak bisa lagi berbangga hati dengan slogan 'the best investment destination in the region'. Apa lagi yang bisa dibanggakan di pulau ini? Pelabuhan lautnya sangat jauh tertinggal, bandaranya biasa - biasa saja, jalan raya nya tambal sulam, tata kotanya semrawut.

Pembenahan hanya akan terjadi bila pemimpin di pulau ini punya visi. Lebih baik mencari pemimpin yang baru yang lebih maju dalam berpikir dari pada melanjutkan pemimpin yang tidak bisa kerja dan tidak berguna. Fakta lima tahun terakhir ini tidak ada sesuatu yang baru di Batam, tidak ada perubahan, tidak ada perbaikan yang berarti.

Thursday, December 23, 2010

FTZ BBK tanpa greget

“Saya tidak melihat ada pencapaian yang membanggakan di kawasan FTZ Batam Bintan Karimun. Dengan tingkat pertumbuhan hanya 6% itu sama saja dengan daerah lain yang tidak ada status khusus”, ujar M. Ichlas El Qudsi, anggota Komisi XI DPR RI saat melakukan kunjungan kerja spesifik bersama jajaran institusi pelaksana FTZ di Kepulauan Riau pada awal pertengahan Desember lalu.

Seluruh jajaran anggota Dewan Kawasan FTZ BBK yang terdiri dari aparat keamanan, perpajakan, dan bea cukai hadir kecuali Ketua yang merangkap Gubernur Kepri M. Sani. Begitu juga Kepala Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam, Bintan, dan Karimun juga terlihat hadir dalam acara itu.

Paparan mengenai pencapaian kinerja selama hampir dua tahun terakhir sejak FTZ diluncurkan pada 1 April 2009 oleh masing – masing Badan Pengusahaan sama sekali tidak menarik minat para wakil rakyat.

Indikator pencapaian yang disampaikan berupa data perizinan rencana investasi, dan proyeksi perolehan tenaga kerja belum cukup menyakinkan para anggota Komisi XI mengenai prospek kawasan ini pada masa mendatang.

Apa yang disampaikan M. Ichlas bukan sekedar celoteh wakil rakyat. Itulah fakta yang terjadi di wilayah ini bahwa tidak ada sesuatu yang istimewa ketika BBK ditetapkan sebagai FTZ oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46, 47, 48 tahun 2007.

Kamaruddin Sjam, anggota Komisi XI dari Fraksi Golkar, menilai pola perencanaan dan pencapaian kinerja DK dan BP belum jelas karena dalam paparan yang disampaikan tidak memaparkan hal tersebut.

“Mestinya sudah ada mekanisme penilaian kinerja atas perencanaan dan pencapaian. Apa saja indikator utama yang terukur sehingga dapat dibuat kesimpulan bahwa selama 2007 – 2010 itu ada perbaikan kinerja atau tidak,” kata dia.

Kondisi yang terjadi saat ini merupakan dampak dari ketidakseriusan pemerintah pusat dalam mengeluarkan berbagai aturan yang relevan dengan pengembangan kawasan bebas. Peraturan Pemerintah No. 2/2009 tentang aturan kepabeanan dan perpajakan merupakan titik pangkal kemunduran bagi pembangunan FTZ di Kepri.

Sebenarnya Dewan Nasional sudah menyadari penolakan pelaku industri atas pemberlakuan PP tersebut, bahkan dalam paparan yang disampaikan Asisten Deputi Menko Perekonomian bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah sudah tertera rencana ke depan untuk merevisi PP No. 2 dan menerbitkan peraturan – peraturan lainnya.

Hanya saja, rencana tersebut belum dapat dipastikan kapan terealisasi sehingga akibatnya calon investor mulai resisten terhadap aturan tersebut dan menunda rencana investasinya ke wilayah ini.

“Permasalahan FTZ saat ini ada di kebijakan dan aturan. Mestinya Menko serius untuk mempercepat proses revisi ini agar tidak ada lagi hambatan,” ujar Arif Budimanta, anggota dari F- PDIP.

Akhirnya, acara kunjungan kerja Komisi XI DPR RI itu berakhir tanpa ada tanya jawab berarti kepada institusi pelaksana FTZ di provinsi ini. Mungkin mereka sadar, pertanyaan yang disampaikan tidak akan mendapatkan jawaban memuaskan.

Paparan yang disampaikan masing - masing institusi pelaksana pun hanya normatif saja tidak ada sesuatu yang membanggakan yang membuktikan bahwa kawasan FTZ BBK memang pantas untuk menjadi daerah tujuan investasi potensial di regional ini.

Kalau ekonomi hanya sanggup tumbuh 6% saja, trus buat apa ada FTZ. Selain tidak berdampak apapun terhadap pertumbuhan ekonomi malahan arus keluar masuk barang juga semakin rumit, ribet, dan kacau. Justru lebih gampang memasukkan dan keluarkan barang dari Tanjung Perak, Semarang, yang notabene bukan kawasan FTZ.

Negeri yang aneh..

Friday, December 10, 2010

Kunjungan Komisi XI DPR ke Kepulauan Riau

Selama 12 - 14 Desember 2010 nanti, Kepulauan Riau akan kedatangan rombongan Komisi XI DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketuanya Dr Harry Azhar Azis. Mereka akan mengumpulkan informasi mengenai implementasi FTZ dari seluruh stake holder mulai dari pemerintah daerah, institusi pelaksana FTZ (DK dan BP), perbankan, dan pelaku industri (dalam hal ini diwakili oleh Kadin Kepri).

Pertemuan akan digelar pada 13 Desember di Gedung Graha Kepri Batam Centre dan akan dihadiri oleh seluruh pejabat dilingkungan Pemprov Kepri dan para petinggi daerah lainnya.

Postingan kali ini akan mencoba meraba-raba, kira-kira apa sih yang ingin mereka cari dalam kunjungan ke Kepri ini? Apalagi, mereka sebagai anggota legislatif tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam mengintervensi pengesahan produk hukum oleh pemerintah (kecuali Undang - Undang dan Perppu).

Publik dan pelaku industri di sini sudah sangat paham bahwa Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2009 jelas bermasalah sehingga layak untuk diganti dengan PP baru yang mengakmodasi kepentingan pelaku industri ini. PP itu sendiri sedang digodok oleh tim dari kementerian perekonomian.

Apakah cukup relevan jika pelaku industri mengeluhkan masalah implementasi FTZ ini kepada legislatif (dalam hal ini Komisi XI) sementara mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengubah keadaan?

Apalagi jika melihat pada daftar pertanyaan yang mereka ajukan kepada Kadin Kepri seputar penerapan FTZ, sama sekali tidak ada hal yang substansial yang dipertanyakan. Sepertinya, Komisi XI sudah paham bahwa PP No. 02/2009 plus ketentuan masterlist nya memang sudah bermasalah sehingga mereka ingin tahu lebih dalam apa lagi kendala yang dihadapi.

Kemudian soal koordinasi antara pelaku usaha dan institusi pelaksana FTZ dan pola hubungan antara pengusaha dan institusi FTZ. Dua pertanyaan ini sebenarnya tidak perlu ditanyakan lagi karena mereka sudah tahu jawabannya.

Lantas apa yang mereka bisa lakukan untuk mengatasi masalah tersebut? Bila pengusaha inginnya mengganti PP apakah Komisi XI mampu melakukannya? Jika pelaku usaha ingin agar Dewan Kawasan dirombak, apakah DPR mampu memenuhinya? Jika pengusaha ingin agar Badan Pengusahaan Kawasan Batam direstrukturisasi dan dirasionalisasi, apakah DPR mampu untuk itu?

Yang bisa dilakukan DPR hanya memanggil Menteri Perekonomian dan Menteri Keuangan agar memperhatikan keluhan dari pengusaha di daerah FTZ ini. Dan hanya sebatas itu, sebab dalam perumusan PP atau Kepres, sama sekali DPR tidak akan diajak serta.

Okelah, kita jangan pesimistis. Paling tidak, kedatangan mereka bisa dimanfaatkan bagi pengusaha untuk menyampaikan uneg-unegnya mengenai kondisi yang terjadi. Perkara apakah nanti didengar atau ditindaklanjuti, itu terserah DPR.

Namun satu hal yang bisa diambil momentum ini adalah soal pengajuan anggaran operasional Badan Pengusahaan FTZ agar dialokasikan dari APBN. Nah, dengan hak budget yang dimilikinya, semoga DPR bisa mendengarkan keluhan BP FTZ BBK yang belum mendapatkan kucuran bantuan biaya operasional.

Semoga kedatangan mereka bisa mmeberikan perubahan!!