Thursday, December 23, 2010

FTZ BBK tanpa greget

“Saya tidak melihat ada pencapaian yang membanggakan di kawasan FTZ Batam Bintan Karimun. Dengan tingkat pertumbuhan hanya 6% itu sama saja dengan daerah lain yang tidak ada status khusus”, ujar M. Ichlas El Qudsi, anggota Komisi XI DPR RI saat melakukan kunjungan kerja spesifik bersama jajaran institusi pelaksana FTZ di Kepulauan Riau pada awal pertengahan Desember lalu.

Seluruh jajaran anggota Dewan Kawasan FTZ BBK yang terdiri dari aparat keamanan, perpajakan, dan bea cukai hadir kecuali Ketua yang merangkap Gubernur Kepri M. Sani. Begitu juga Kepala Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam, Bintan, dan Karimun juga terlihat hadir dalam acara itu.

Paparan mengenai pencapaian kinerja selama hampir dua tahun terakhir sejak FTZ diluncurkan pada 1 April 2009 oleh masing – masing Badan Pengusahaan sama sekali tidak menarik minat para wakil rakyat.

Indikator pencapaian yang disampaikan berupa data perizinan rencana investasi, dan proyeksi perolehan tenaga kerja belum cukup menyakinkan para anggota Komisi XI mengenai prospek kawasan ini pada masa mendatang.

Apa yang disampaikan M. Ichlas bukan sekedar celoteh wakil rakyat. Itulah fakta yang terjadi di wilayah ini bahwa tidak ada sesuatu yang istimewa ketika BBK ditetapkan sebagai FTZ oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46, 47, 48 tahun 2007.

Kamaruddin Sjam, anggota Komisi XI dari Fraksi Golkar, menilai pola perencanaan dan pencapaian kinerja DK dan BP belum jelas karena dalam paparan yang disampaikan tidak memaparkan hal tersebut.

“Mestinya sudah ada mekanisme penilaian kinerja atas perencanaan dan pencapaian. Apa saja indikator utama yang terukur sehingga dapat dibuat kesimpulan bahwa selama 2007 – 2010 itu ada perbaikan kinerja atau tidak,” kata dia.

Kondisi yang terjadi saat ini merupakan dampak dari ketidakseriusan pemerintah pusat dalam mengeluarkan berbagai aturan yang relevan dengan pengembangan kawasan bebas. Peraturan Pemerintah No. 2/2009 tentang aturan kepabeanan dan perpajakan merupakan titik pangkal kemunduran bagi pembangunan FTZ di Kepri.

Sebenarnya Dewan Nasional sudah menyadari penolakan pelaku industri atas pemberlakuan PP tersebut, bahkan dalam paparan yang disampaikan Asisten Deputi Menko Perekonomian bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah sudah tertera rencana ke depan untuk merevisi PP No. 2 dan menerbitkan peraturan – peraturan lainnya.

Hanya saja, rencana tersebut belum dapat dipastikan kapan terealisasi sehingga akibatnya calon investor mulai resisten terhadap aturan tersebut dan menunda rencana investasinya ke wilayah ini.

“Permasalahan FTZ saat ini ada di kebijakan dan aturan. Mestinya Menko serius untuk mempercepat proses revisi ini agar tidak ada lagi hambatan,” ujar Arif Budimanta, anggota dari F- PDIP.

Akhirnya, acara kunjungan kerja Komisi XI DPR RI itu berakhir tanpa ada tanya jawab berarti kepada institusi pelaksana FTZ di provinsi ini. Mungkin mereka sadar, pertanyaan yang disampaikan tidak akan mendapatkan jawaban memuaskan.

Paparan yang disampaikan masing - masing institusi pelaksana pun hanya normatif saja tidak ada sesuatu yang membanggakan yang membuktikan bahwa kawasan FTZ BBK memang pantas untuk menjadi daerah tujuan investasi potensial di regional ini.

Kalau ekonomi hanya sanggup tumbuh 6% saja, trus buat apa ada FTZ. Selain tidak berdampak apapun terhadap pertumbuhan ekonomi malahan arus keluar masuk barang juga semakin rumit, ribet, dan kacau. Justru lebih gampang memasukkan dan keluarkan barang dari Tanjung Perak, Semarang, yang notabene bukan kawasan FTZ.

Negeri yang aneh..

No comments:

Post a Comment