Friday, December 28, 2007

The Long Road to Heaven..

Pagi tadi, saat saya mau berangkat kerja dari tempat tinggal di seputaran Kabil-Batam, saya melewati jalan rusak yang kini sedang dibangun gorong-gorong. Sungguh sebuah pemandangan yang menyedihkan, ketika saya melihat puluhan kendaraan berbaris antri saat hendak melewati jalan rusak itu.

Kemacetan itu disebabkan oleh sebuah truk kontainer yang terperosok dalam lubang sehingga mengakibatkan kendaraan yang berada di belakang truk tersebut harus rela memperlambat jalannya. Of course, karena di depan melambat maka yang dibelakang pun melambat dan terjadilah antrian panjang mulai dari lokasi jalan rusak hingga ke simpang KDA.

Tak bosan-bosannya saya melalui forum blogger tercinta ini menyampaikan uneg-uneg terkait kinerja Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam yang tidak becus mengurus pulau tercinta ini.

Kenapa gorong-gorong itu tak kunjung selesai? Kenapa jalan alternatif tidak diperbaiki dulu? Kenapa jalan akses menuju Bandara Hang Nadim yang melewati jalan baru juga mengalami nasib yang sama alias rusak parah. Kenapa semua jalan di Batam ini rusak parah, kenapa..oh kenapa..

Kalau dibilang Pemda dan OB tidak punya duit, rasanya mustahil karena Walikota masih bisa menaikkan tunjangan pejabat yang sama sekali tidak ada kerja. Jangan marah pak cik, kalau anda bekerja pasti Batam sudah nyaman. Tapi ini, sama sekali tidak ada kenyamanan berkendara di pulau tercinta.

Seorang teman pernah berkata, seandainya Pemkot Batam tidak ada, saya yakin Pulau Batam akan tetap berjalan alias tidak terpengaruh sedikitpun. Paling-paling, tidak ada lagi pak Camat yang meneken KTP dan akte kelahiran.

Sebenarnya posisi OB sudah sangat strategis. Karena dia yang membangun pulau ini dari awal sehingga mengerti betul konsep awal pengembangannya. Tapi sayang, OB pun terdegradasi. Konsep cantik yang disusun tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya.

Kawasan asri hanya bisa dijumpai di wilayah Sekupang, sisanya, ibarat lokasi habis diterpa badai topan dan tsunami. Hutan gundul, gersang, jalanan kotor, tiada pohon di jalanan, tiada trotoar buat pejalan kaki, rumah liar berserakan di mana-mana, dan sebagainya.

Dear blogger, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan Batam, tapi memang begitulah adanya. Apa hebatnya Pulau Batam? itulah pertanyaan seorang teman dari Manokwari, ketika berkunjung ke pulau ini.
Memang betul, apa hebatnya sih pulau ini, lha wong penyelenggara pemerintahannya saja tidak mampu membangun jalan. Jalan berlobang dibiarin, dia biarkan rakyat menyumpah serapah, dia habiskan ratusan uang rakyat untuk program yang tidak jelas.

Sambil menulis blog ini, saya membayangkan bakal kembali melewati jalan rusak dekat gorong-gorong. Rutinitas yang sama sekali tidak mengenakkan dan menyedot energi serta dosa karena terus menerus menyumpah.

Tak tau, apakah sumpah kami pengguna jalan ini didengar Tuhan seperti kata para kiyai, doa kaum terzolimi akan mendapat prioritas. Tapi kembali lagi, siapa yang menzolimi dan terzolimi, tak jelas. Yang pasti, jalan pulang ke rumah bakal melelahkan..

FTZ BBK, antara ada dan tiada

Mungkin sebagian orang berpikir setelah Perppu No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas disahkan menjadi UU No. 44 Tahun 2007, maka urusan mengenai kawasan perdagangan bebas/FTZ telah mencapai titik klimaks.

Tapi dugaan itu meleset, UU 44 justru jadi antiklimaks dan episode perjuangan FTZ masih terus berlanjut dan mencapai babak baru. Proses implementasinya di lapangan ternyata tidak segampang yang dibayangkan seperti termaktub dalam UU dan PP No. 46-47-48 tahun 2007 tentang FTZ Batam-Bintan-Karimun.

Tidak saja soal pembentukan Dewan Kawasan yang menuai kritikan dari berbagai kalangan mulai ahli hukum hingga LSM yang mengatasnamakan warga tempatan. Tapi juga soal peralihan Badan Otorita Batam menjadi Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam dan peralihan aset-aset pusat di kota ini menjadi aset daerah.

Dan tentu saja, yang paling krusial dan sensitif adalah pembagian kewenangan antara Pemkot Batam yang merepresentasikan otonomi daerah dengan BPK-FTZ yang memegang amanah UU sebagai penanggung jawab pembangunan di daerah bebas.

Sudahkah ini dipikirkan pemerintah? Sepertinya belum, sebab kalau sudah dipikirkan dengan matang maka episode demi episode perjuangan FTZ ini sudah mencapai titik klimaks dan implementasinya sudah terealisasi dengan mulus.

Kenyataannya, UU 44 dan PP yang menyertainya justru menimbulkan persoalan baru. DK yang berisi orang-orang yang 'pilihan' belum juga disahkan oleh presiden, embrio BPK-FTZ beserta kewenangannya belum juga disosialisasikan, dan bagaimana mekanisme peralihan aset-aset pusat ke daerah, dan antisipasi perubahan struktur pemerintahan dalam kawasan bebas ini.

Soal DK
DK yang diusulkan gubernur--seperti diduga banyak pihak--diisi oleh para birokrat dan pejabat yang menduduki posisi struktural daerah, seperti Gubernur Kepri, Ketua DPRD Kepri, Wagub, Walikota Batam, Bupati Bintan-Karimun, Kapolda Kepri, DanLantamal, Kejaksaan, dan perwakilan pengusaha.

Bila ditanyakan soal kapabilitas orang-orang yang duduk di DK itu, tentu saja masih diragukan karena penunjukkannya tanpa melalui proses uji kepatutan dan transparansi. Lalu mengapa masih ditunjuk?

Dalam satu kesempatan, Ismeth Abdullah, Gubernur Kepri pernah mengatakan bahwa komposisi DK akan diisi oleh orang-orang yang akan mendukung terselenggaranya sistem perizinan investasi yang cepat, tepat, aman, dan terkendali.

Artinya, DK inilah yang akan mengatasi berbagai hambatan yang selama ini dikeluhkan para investor seperti birokrasi berbelit, keamanan kapal dan distribusi barang, pungutan liar, dan lain sebagainya.

"Mereka inilah yang akan menjamin berbagai hambatan itu tidak terjadi lagi sehingga kenyaman berinvestasi bisa diwujudkan di kawasan bebas ini," ujar Ismeth.

Maksudnya pak Gubernur memang benar, tapi apakah sudah selayaknya menempatkan seorang polisi dan TNI dalam struktur DK, apakah bila militer dan polisi tidak ada dalam DK lantas keamanan investor tidak terjamin.

Sungguh ironis cara berpikir pejabat zaman sekarang. Sudah jelas, tugas dan fungsi pokok polisi dan TNI itu adalah menjaga keamanan dan ketertiban di darat, laut, maupun udara. Tanpa perlu duduk dalam DK pun, seorang polisi wajib mengamankan aset-aset vital milik investor dari ancaman teroris atau kelompok tertentu.

Soal BPK-FTZ
Masih terkatung-katungnya pembahasan DK oleh presiden, tentu saja berdampak terhadap pembentukan BPK-FTZ dan pada akhirnya proses peralihan dari OB ke BPK-FTZ akan terkendala termasuk peralihan aset-asetnya.

Satu hal yang mesti jadi perhatian serius adalah peralihan sebuah badan representasi pusat (OB) menjadi sebuah badan di daerah tentu tidak cukup diatur secara umum, ia memerlukan aturan khusus karena ada hal-hal khusus dan substansial yang harus dijabarkan secara detail oleh pusat.

Tidak saja soal penggantian nama dari OB menjadi BPK-FTZ tapi juga soal inventarisasi aset tidak bergerak, pegawai, dan segala hal yang menyangkut peralihan sebuah badan baru milik pusat ke daerah.

Ampuan Situmeang, Wakil Ketua Hukum dan Etika Usaha Kadin Provinsi Kepri, menilai selayaknya pemerintah menyiapkan sebuah peraturan pemerintah baru yang mengatur khusus soal peralihan status OB dari milik pusat menjadi daerah.

"Mestinya PP 46 khusus mengatus soal penetapan status FTZ Batam, tapi ini sudah melampaui kewenangan PP itu dengan menyebutkan pula peralihan OB menjadi BPK-FTZ. Pemerintah harus menyelesaikan masalah ini," tuturnya.

Masalah terpenting diantara itu semua adalah berubahnya struktur pemerintahan di daerah pasca penerbitan UU 44 dan PP 46, 47 dan 48 tahun 2007. Pertama, Pulau Batam yang selama ini dikelola secara bersama antara OB dan Pemkot Batam akan mengalami benturan kewenangan karena nantinya OB akan menjadi BPK-FTZ yang juga berwenang penuh.

Pertanyaannya, dimanakan peran Pemkot Batam pasca pembentukan badan pengelolaan kawasna bebas ini? Jawabannya hampir pasti, OB=BPK akan tetap menguasai aset-aset strategis dan perizinan usaha serta investasi. Pemkot Batam kembali ke khitahnya sebagai pengelola masalah sosial kemasyarakatan.

Kedua, Pulau Bintan yang terdiri dari dua pemerintahan kota yaitu Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan juga akan berbenturan dengan Badan Pengelola kawasan bebas Bintan sesuai amanat PP No 47. Pulau Bintan sudah terkotak-kotak menjadi beberapa kawasan bebas, dan sejauh mana kewenangan pemkot/pemkab dalam kawasan FTZ tersebut?

Ketiga, Pulau Karimun yang dikelola oleh Pemkab Karimun juga akan berhadapan dengan Badan Pengelola FTZ Karimun. Pulau Karimun Besar juga sudah terkotak-kotak menjadi kawasan bebas.

Ketiga hal tersebut menjadi potensi masalah karena beberapa alasan, pertama, UU 44 yang merupakan perbaikan dari UU 36/2000 terbukti gagal mengangkat Sabang sebagai kawasan bebas yang berhasil. Tapi mengapa kini, UU yang sama dijadikan landasan hukum bagi FTZ BBK?

Kedua, pengalaman membuktikan niat pemerintah pusat menyelesaikan konflik kewenangan antara Pemkot dan OB tidak pernah ada. Nyatanya, PP Pembagian kewenangan antara dua institusi pemerintahan itu tidak pernah dibuat setelah hampir 8 tahun Otonomi Daerah bergulir.
Bagaimana pusat bisa menyelesaikan konflik-konflik kewenangan di pulau Bintan dan Karimun, sementara pekerjaan rumah yang lama saja tidak terselesaikan.

Masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang menggantung di benak pengusaha dan pengamat di kota ini. FTZ bukan lagi pemicu bagi kebangkitan ekonomi Kepri, toh, pertumbuhan yang terjadi selama ini bukan karena FTZ secara riil melainkan secara psikologis.

Insentif yang dirasakan oleh investor di kota ini merupakan peninggalan Menteri Keuangan Jusuf Anwar ketika meluncurkan Paket Deregulasi Juli atau yang dikenal dengan Bonded Zone Plus (BZP) pada 2005 lalu. Praktis sejak itu, tidak ada lagi peraturan pemerintah atau menteri yang secara signifikan mengatur atau memberikan insentif baru kepada pemodal.

Provinsi ini nyaris tidak lagi bangga dengan statusnya sebagai FTZ, karena status itu hanya menjadi lip service bagi pejabat-pejabat dalam setiap acara-acara seremonial di pusat dan daerah, untuk mengesankan bahwa Kepri memang maju karena FTZ padahal itu semua bohong belaka karena FTZ secara riil belum dirasakan di BBK.

Thursday, December 27, 2007

Wake Up..and Make it Up..!!

Penyelenggara Kota Batam ini benar-benar sudah parah, benar-benar tidak punya sense of crisis sedikitpun. Apakah memang seperti ini karakter sebuah pemerintah kota??
Saya rasa tidak, toh pemerintah kota di wilayah lain mampu memberikan layanan publik terbaik bagi rakyatnya walaupun di tengah keterbatasan anggaran.

Mentang-mentang dapat banyak Dana Bagi Hasil (DBH), eh bukannya dibuat mensejahterakan rakyat malah dibagi-bagi untuk pegawainya. Pak Walikota, coba lihat donk ke lapangan, apakah sudah berhasil anda membangun kota ini??

Lupakan dulu deh segala mimpi menjadikan Batam Bandar Dunia Madani, benahi dulu infrastruktur kota. Kami, rakyat kecil, hanya bisa menilai keberhasilan anda dari seberapa mampu anda memuluskan jalan-jalan umum. Tak perlu anda buktikan dengan memberikan banyak bantuan kepada fakir miskin atau sektor pendidikan, karena pasti itu juga tidak akan bisa anda selesaikan.

Mengurus benda mati seperti jalan dan infrastruktur saja anda kesulitan, apalagi mengurus manusia yang lebih kompleks.

Wajar bila kami gregetan dengan pemerintahan kota ini. Katanya mau mencanangkan Visit Batam Years 2010, tapi apa yang sudah dilakukan oleh staf anda di Dinas Pariwisata untuk mendukung pencanangan itu. Apakah cukup dengan menggelar lomba membuat logo Visit Batam Year lantas itu dibilang program kerja?

Mengapa tidak dibuat program yang konkrit, yang benar-benar mendukung pencanangan itu? Tidak usah jauh-jauh, benahi dulu jalan umum dan infrastruktur pelabuhan/bandara sebagai tempat keluar masuk wisatawan domestik dan mancanegara. Sudahkah Pak Wali melihat ke lapangan, bagaimana crowded nya kondisi di Pelabuhan Telaga Punggur, Terminal Batam Centre, atau sudahkah anda melihat kondisi jalanan menuju ke pelabuhan?

Lupakanlah Visit Batam Years 2010 bila dari sekarang tidak ada program yang konkrit. Kalo tidak mampu, libatkan para praktisi pariwisata yang dijamin sudah berpengalaman, janganlah anda mengandalkan staf anda di Dinas Pariwisata yang bercakap-cakap dalam bahasa inggris saja tidak mampu.

Tapi kalo kami rakyat kecil ini bisa mengusulkan, anda tegur juga anak buah anda di Dinas Kimpraswil. Tanyakan, apa saja yang sudah mereka kerjakan? Kalo mereka tak sanggup kerja, ya diganti aja.

Jangan maunya meraup uang pendapatan daerah dari retribusi dan pajak daerah tapi realisasi pembangunan tidak tercapai. Kami rakyat kecil dan dunia usaha bukan sapi perahan untuk menumpuk pundi-pundi gaji para pegawai negeri. Kalian digaji untuk mengabdi bukan untuk menumpuk pundi.

Sekali lagi, bangunlah hai penyelenggara negeri..
Mumpung masih ada waktu libur nasional, cobalah jalan-jalan dengan mobil dinas anda yang mengkilap itu. Lihatlah kondisi jalanan, mulai dari Batu Ampar hingga Bandara Hang Nadim, mulai dari Tanjung Uncang hingga Batam Center..

Setelah itu anda baca blog saya ini, maka anda pasti akan berpikir, wajar saja rakyatku muak dan menyumpah serapah, karena kenyataan di lapangan memang demikian.

so, wake up...and make it up..

Wednesday, December 26, 2007

Johor Port set to serve IDR


JOHOR Port Bhd is beefing up its operations to serve as import and export maritime gateway for the Iskandar Development Region (IDR).
Chief operating officer Abdul Wahab Abdull Majeed said the port, located within the IDR, played a strategic role as a logistics hub in that region.
“We want to increase the efficiency of terminal operations, ship turnaround time and yard operations as well as terminal capacity,” he told StarBiz.
In the second half of this year, the port took the delivery of one post-panamax quay crane and three rubber-tyred gantry (RTGs) for its container terminal.
“With this delivery, there will be a total of six post-panamax gantry cranes, one panamax gantry crane (for feeder operations) and 19 RTGs,” he said.
On the ICT infrastructure, Abdul Wahab said the port launched an upgraded terminal management system, the Johor Port Container Terminal System (JCTS), last year.
“The terminal also uses radio frequency identification (RFID) technology for tracking of containers with RFID tags. It is currently under trial run and will be fully implemented by the middle of next year,” he said.
He added that the port used a web-based container terminal system that facilitated real time, integrated and paperless transactions.
In terms of performance, Abdul Wahab said, the container terminal handled 453,626 20-ft equivalent units (TEUs) in the first half of this year, a 10% increase against the same period last year.
The container terminal has three berths with the total length of 760m, depth of 14m and yard area of 250,000 sq m.
According to Abdul Wahab, the existing warehouse space at its bulk and break bulk terminal is also being expanded by 10,935 sq m.
“Johor Port will further open up an area of about 20,175 sq m with 66,200-tonne storage tanks capacity for edible, biodiesel and biochemical products.
“The terminal, which is capable of handling heavy lift cargo, also recently introduced the service of floating crane with capacity ranging between 25 and 500 tonnes.
“Last June, the terminal took delivery of one dry bulk-handling crane, T-Rex 1. It is presently procuring another dry bulk handling-crane, T-Rex 2, which is scheduled to be in operation by August next year,” he said.
The bulk and break bulk terminal has berth length of 2.4km, with maximum draught of 13.5m and storage facility of 230,000 sq m.
It handles dry bulk cargo such as grains, cereals, palm kernel expellers, fertilisers, cement clinkers, iron ore and others. Meanwhile, under its break bulk facility, the terminal handles timber products, wood pulp, plate and coils, bagged cargo, scrap iron and ingots plus others.
The terminal also handles liquid bulk such as fuel oil, petrochemicals, gas, palm oil, soybean oil, corn oil, sunflower oil and coconut oil.
Abdul Wahab said its edible liquid terminal was the world’s largest tank farms for edible oil, with a storage capacity of over 460,000 tonnes at any time.
“Currently, the terminal is developing a new multipurpose terminal system for the management of activities in the terminal operation.
“The system will be ready by the third quarter of next year,” he said.
For the first half of this year, Abdul Wahab said, the terminal handled 7.7 million freight weight tonnes (fwt), contributed by an increase in throughput in the break bulk sector of 33% against the same period last year.
“Its liquid and dry bulk sectors experienced temporary slowdown in that period but are picking up in the second half of the year,” he said.
The terminal's total throughput last year was 16.7 million fwt.
To further support IDR development in terms of logistics, Abdul Wahab said, the port had teamed up with logistics subsidiary JP Logistics to provide supply chain management.
Johor Port has been facilitating the trading activities of the hinterland since its establishment 31 years ago.
“The Pasir Gudang industrial estate houses at least 300 companies from different industries, and some 90% of the cargo handled by the port originated from the hinterland.
“Not limiting itself to the Pasir Gudang industrial estate, it reaches customers well beyond Johor, penetrating into other industrial estates and economic zones to help facilitate trades,” he said.
Abdul Wahab added that the port was supported by multi-modal connectivity and served as a gateway for movement of trade through its direct links to rail system, road network and sea connectivity.
“Some of the container shipping liners are PIL, PACC, Wan Hai and Evergreen. For bulk sector, we have Stolt Neilsen, Jo Tanker BV, Norgas, MISC, Gearbulk, Swire, Thoresen and Rickmers,” he said.
On the proposal to hand over Johor Port's container operation the Port of Tanjung Pelepas, Abdul Wahab said the parent company of both ports, MMC Corp Bhd, was looking into the matter.
“Currently, the container business at Johor Port will operate as usual as long as there is demand from the shipping community,” he said.
The Johor Port container terminal now has 33 weekly strings served by 22 international main liners. It also has 17 weekly string services for feeder operations.

Malaysia sees economic zone booms in 2007


KUALA LUMPUR, Dec. 17 (Xinhua) -- Malaysia seemed very hectic in the elapsing year as various activities were launched nationwide to celebrate its tourism year and its 50th anniversary of independence. But it could not overshadow another landscape in the country -- pop-ups of new economic development zones.
Throughout the year, the current Malaysian government led by Prime Minister Abdullah Ahmad Badawi unrolled or launched three economic development zones one after another in a bid to seek a balanced development of the country and enhance the life of every Malaysian.
The idea to establish economic development zones in the country might trace back to about two years ago and it came to reality when Badawi officially launched the country's first economic zone in November last year in the south most state of Johor.
The South Johor Economic Region (SJER) covers a land area of 2,217 square km in southern Johor, which borders Singapore over a strait. It is also called "Iskandar Development Region", named after Johor Sultan Iskandar who attended the launching ceremony.
The SJER aims to develop the region into a strong and sustainable international metropolis through attracting foreign investment.
Under the plan, the SJER would strengthen the region's role as a logistic hub, develop new service-based industries, upgrade human capital development through building education and entertainment satellite cities.
To that end, the Malaysian federal government had initially allocated 4.3 billion ringgit (1.3 billion U.S. dollars) to start up work on security, infrastructure and traffic improvement for 1.35 million people in the SJER.
The government also had set up some management bodies, like the South Johor Development Authority and South Johor Investment Corporation, to strengthen specific services and investment for the economic zone.
From the beginning of this year, the Malaysian government led by Badawi, has been sparing no efforts to promote the SJER and seizing every opportunity to encourage investors, both local and foreign, to go to the country's new leading economic zone to seek for business opportunities.
In August this year, the efforts apparently bore fruits as investors from Jordan, Kuwait and the United Arab Emirates signed a series of deals with Malaysia on real estate and infrastructure development for the SJER, initially with a total value of 1.2 billion U.S. dollars.
The deals represented the single largest foreign real estate development in Malaysia, and one of the largest single foreign investments in Malaysia.
Yet, it was not the only economic zone in the country as Badawi said when he launched it.
At the end of July this year, Badawi took a journey to northern Malaysia, announcing the country introduced another economic development zone -- the Northern Corridor Economic Region (NCER).
The NCER was the Malaysian government's initiative to accelerate economic growth and elevate income levels in the north of Peninsular Malaysia, encompassing the states of Perlis, Kedah, Pinang and the north of Perak.
Under the NCER development plan, the state of Pinang will be the logistics and transportation hub for the region with several major projects to be implemented, including the expansion of Pinang Port and the Pinang International Airport as well as an integrated terminal for rail, road and sea travel.
The hub also is aimed at serving for the Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle. The Malaysian prime minister has set up a committee led by himself to oversee the progress of the construction of the zone.
At the end of October this year, Badawi went to the east coastal states on Peninsular Malaysia and unveiled the country's third economic corridor plan -- East Coast Economic Region (ECER), which covers the states of Kelantan, Terengganu, Pahang and the Johor northern district of Mersing.
The ECER, which embraces nearly four million people or 15 percent of population in the country, is aimed at raising incomes of people and generate economic growth there.
According to the development plan, the ECER is expected to 560,000 jobs, attract 112 billion ringgit (33.9 billion U.S. dollars) worth of investment over the next 12 years.
The ECER will involve 227 projects in transportation, infrastructure, tourism, education, manufacturing, the oil and gas industries, and agriculture. It is also aimed at addressing the development imbalance between the east and west coasts of Peninsular Malaysia.
However, it is still not the end of the story. The country is still planning to establish another economic development region in East Malaysia's states of Sarawak and Sabah, which is expected to be launched next year.
Analysts said that these economic development zones planned by the government are expected to boost the overall economic growth of the country and pave the way for the National Front which forms the current coalition government to win the next general election

Kuwait company eyes partners to develop Malaysian IDR project

KUALA LUMPUR, Nov. 6 (Xinhua) -- Kuwait Finance House (KFH), one of the largest Islamic banks in the world, is looking for partners to develop the 249.6-hectare cultural and heritage zone in the Malaysian southern economic corridor, Iskandar Development Region (IDR).

"We are eyeing partners from Singapore, Japan, Middle East, Australia and China, in addition to the companies in this country to develop the site which was brought for 300 million U.S. dollars," said K. Salman Younis, managing director of KFH (Malaysia) Bhd, after the launch of its awareness campaign in Johor Baharu, capital city of southern Johor state on Tuesday.

The IDR which spreads over an area of 2,240 square kilometers lies on the southern tip of Johor and is touted as the new growth corridor where multi-billion ringgit investments are expected.
"We will also work closely with 2 consortiums from the Middle East to develop the entertainment industry, education, healthcare and financial products in the region," Malaysian national news agency Bernama quoted Younis as saying.

The development of the zone would be its initial project in the IDR before participating in the subsequent programs in the region, Younis said.
The details on the partnerships would be unveiled in 3 months, he said.

KFH would work closely with the federal and state governments to ensure the success of IDR which would benefit the economy and people, Younis said.
Earlier, in his speech, Younis said the campaign aimed to introduce the bank to the people.
KFH would set up a branch in Johor Baharu, its first outside Kuala Lumpur, by the first quarter next year, he said.

Headquartered in Kuwait, KFH's business covers corporate, investment, commercial and retail banking. Kuwait Finance House (Malaysia) Bhd is part of its expansion program.

Belajarlah ke Johor (2)

Saat ini pemerintah Malaysia dan Johor Bahru tengah mengembangkan sebuah kawasan baru bernama Iskandar Development Region (IDR). Konon, Malaysia mengalokasikan dana investasi sebesar lebih dari Rp50 triliun untuk membangun kawasan IDR tersebut. Sebuah nilai yang fantastis dari pemerintah Jiran.

Untuk apa saja dana sebesar itu? ya macam-macam, yang pasti buat membangun infrastruktur berkelas dunia. Karena nantinya, perusahaan jasa keuangan dunia akan berkantor di kawasan itu.

Seorang temen yang bekerja di JB menuturkan saat ini sedang dibangun jalan tol akses ke IDR yang tak lama lagi akan selesai. Jalan akses ini tidak menghubungkan IDR dari satu titik tapi dari berbagai titik sehingga dari manapun masyarakat bisa langsung bisa menuju IDR, tanpa hambatan.

Selain diproyeksikan sebagai pusat jasa keuangan, IDR juga bakal menjadi kawasan industri, dan hiburan dunia. Kabar terakhir menyebutkan Walt Disney memastikan membuka wahana hiburannya di kawasan tersebut. Ini artinya, IDR bakal menjadi cabang Disney ke tiga di Asia setelah Hongkong dan Tokyo.

So, anda bisa bayangkan...arus wisatawan bakal semakin ramai lagi ke Malaysia. Mereka tidak butuh lagi lagu Rasa Sayange atau Reog Ponorogo, sebab dengan maskot Mickey Mouse and Donald Duck sudah cukup untuk menyedot wisman ke negeri itu.

Tapi dibalik itu, ada peluang besar yang bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. Apalagi kalau bukan suplai TKI. IDR dipastikan membutuhkan ribuan buruh kasar sektor konstruksi dan pengamanan.
Menurut teman saya itu, Pemerintah JB lebih memilih buruh asal Indonesia untuk bekerja di kontruksi karena terbukti lebih rapi dibandingkan buruh dari negara lain. Untuk tenaga pengamanan, mereka memilih buruh asal Nepal atau Bangladesh. (mungkin karena mereka tinggi besar dan hitam tentunya..)
Untuk tenaga operator, buruh asal Filipina dan Vietnam menjadi pilihan karena produktif dan dibayar murah.

So, bagi anda yang punya bisnis penyalur TKI ke Malaysia, segeralah manfaatkan peluang ini. Hubungi mitra-mitra anda di Malaysia. Mumpung Indonesia masih kesulitan menyediakan lapangan kerja di tengah membludaknya pengangguran di negeri ini. Semoga, IDR banyak memberikan manfaat bagi kita..

Belajarlah ke Johor..

Seorang teman yang bekerja di Johor Bahru pulang ke Batam saat Hari Raya Idul Adha tanggal 20 Desember lalu. Tak terasa, selama tiga jam tanpa bosan dia menceritakan keberhasilan pemerintah JB dan Malaysia dalam mengembangkan dan membangun kawasan industri di negara bagian itu.

Mulai dari komitmen pemerintah dalam mengangkat derajat ekonomi masyarakat lokal (bumiputera) hingga penyediaan sarana infrastruktur yang saya yakin tidak akan mampu diikuti oleh Indonesia. Jalan mulus mulai dari pelabuhan hingga kawasan industri dan pusat-pusat perdagangan.

Bahkan pemerintah menyediakan nomor hotline khusus bagi masyarakat yang menemukan ada lubang atau jalan rusak. Sekali lagi, hal ini tidak akan pernah bisa ditiru oleh Indonesia.

Harus diakui, Indonesia masih terbelakang dalam penyediaan infrastruktur yang memadai. Jangan bicara wilayah lain yang ada di Papua atau Nusa Tenggara, toh Batam saja yang sudah jadi kawasan perdagangan bebas sekalipun masih berkutat dalam jalanan berkubang.

Pemerintah pusat dan lokal seolah lupa, urusan penciptaan daya tarik investasi bukan saja soal insentif dan penyediaan upah murah, tapi lebih dari itu, infrastruktur dan kenyamanan berkendara bagi kendaraan pengangkut barang ke pelabuhan jauh lebih penting.

Boro-boro mau mengadukan jalanan berlubang yang ada disudut pulau, lha wong jalan berlubang di depan hidung Pemkot Batam saja tidak dibenahi. Kenapa sulit sekali, kita di pulau ini menciptakan jalan yang layak dan nyaman? Apakah keterbatasan anggaran selalu jadi kambing hitam?

Kembali ke cerita teman saya soal JB, rasanya tidak cukup waktu bagi dia menceritakan keunggulan kawasan yang katanya menjadi saingan Batam sebagai kawasan tujuan investasi asing. Tapi, menurut saya, JB bukan saingan Batam, masih jauuuuhhh...Dibandingkan Pekanbaru saja, Batam masih ketinggalan dalam penyediaan jalan yang rapi, bersih dan minus lubang.

Jadi bagaimana? Ya banyak belajar, belajar, dan belajar. Tapi belajar saja tidak cukup tanpa komitmen dari legislatif dan eksekutif. Anggaran besar jangan dihabiskan untuk studi-studi bandng dan tunjangan yang tidak perlu. Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) diberikan oleh pusat bukan untuk mensejahterakan pegawai negeri, tapi menyediakan sarana publik yang nyaman dan mendukung percepatan ekonomi.

PNS yang bergaji tinggi tidak menjamin pekerjaannya akan semakin baik dan efisien. PNS bergaji besar juga tidak menjamin yang bersangkutan akan berhenti melakukan praktek korupsi dan kolusi.

So, berubahlah hai penyelenggara negeri..
Kami masih menanti komitmen kalian untuk memberikan yang terbaik bagi pulau ini.

Monday, December 24, 2007

Hidup di Batam mulai membosankan..!!

Emang bener sih..makin lama hidup di Batam semakin membosankan. Penyebabnya tak lain adalah kondisi jalan umum yang kian memprihatinkan tanpa ada tindakan konkrit yang cepat dari pemerintah setempat.

Mulai dari berangkat kerja pagi hari, pergi makan siang, hingga pulang lagi ke rumah, PASTI kita jumpa jalanan berlubang. Oke, kita maafkan jalanan rusak karena ada perbaikan gorong-gorong, tapi bagaimana dengan jalan yang rusak tapi tidak ada perbaikan apapun di sana.

Batam kini sudah jadi KOTA SEJUTA LUBANG, tak ada lagi jalan mulus di kota ini. Kemana saja kalian para pemegang kebijakan di kota ini. Tidakkah kalian lihat fakta di lapangan?

Mereka melihat tapi pura-pura tidak tahu. Biarkanlah jalan berlubang, yang penting gua khan tetap nyaman, naik mobil mewah dengan suspensi anti jalan berlubang. Emang gw pikirin..!!

Ironisnya, Pemkot Batam sebagai institusi yang katanya bertanggung jawab terhadap pembangunan kota ini tidak punya anggaran yang cukup untuk memperbaiki jalan baru. Jangankan membangun jalan baru, memperbaiki saja pun mereka tidak sanggup.
Dikemanakan uang rakyat ratusan miliar itu, hai para pejabat.
Mengapa uang rakyat kalian habiskan untuk mensejahterakan para pegawai? Mengapa kalian korbankan kesejahteraan rakyat yang ratusan ribu jiwa ini.

Tidak ada gunanya menjerit..toh tidak didengar juga..

Dalam APBD 2008 yang baru disahkan itu tercatat anggaran pendapatan Batam sebesar Rp870 miliar namun sayang..60% dari jumlah itu habis untuk gaji, tunjangan, dan kesejahteraan para pegawainya baik di Pemkot maupun di DPRD.

Hanya tersisa 40% saja untuk pembangunan proyek-proyek. Itu pun harus dibagi-bagi lagi per instansi yang mengusulkan. Bagaimana mau memikirkan kemulusan jalan, lha wong untuk memperbaiki infrastruktur sekolah dan kesehatan saja masih kembang kempis.

Lengkaplah sudah, kota ini memang berjalan tanpa pola, tak tau mau dibawa kemana. Tata kota yang tidak beraturan, tanah gersang di mana-mana, air mampet, banjir, jalan berlubang, reklame bertebaran tak beraturan, ketidakdisiplinan pengendara, kejahatan meningkat dan sebagainya.

Kapan kota ini mau belajar..
Kapan kota ini mau tersadar bahwa ia sudah jadi kawasan bebas..

Atau memang penyelenggara kota ini sudah bosan belajar dan tidak mau tersadar..

its getting bored living in this city..

Mau Jadi Apa Pulau Batam??

UU No. 44 Tahun 2007 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sudah disahkan oleh pemerintah. Ini artinya, selama satu tahun ke depan atau hingga akhir 2008 ini, FTZ di Batam, Bintan, dan Karimun sudah harus diimplementasikan.

Sesuai amanat dalam PP No. 46, 47 dan 48 tahun 2007, setelah status FTZ disahkan maka presiden harus mengesahkan struktur Dewan Kawasan FTZ BBK setelah mendapatkan usulan dari Gubernur dan DPRD Provinsi Kepri.

Gubernur Kepri Ismeth Abdullah pun sudah paham dengan hal itu, beberapa nama pun diusulkan untuk menduduki posisi strategis dalam DK FTZ BBK. Walaupun beliau malu-malu menyebutkan siapa saja pejabat birokrat yang duduk dalam DK, namun publik sepertinya sudah bisa menerka-nerka.

Tanpa perlu menunggu bocoran pun, beberapa pengamat sudah bisa memperkirakan siapa saja yang akan duduk dalam DK. Perkiraan sementara menyebutkan posisi Ketua DK akan diduduki oleh sang gubernur sendiri, Wakil Ketua DK oleh Ketua DPRD Kepri. Selanjutnya, anggota dirangkap secara ex-officio oleh Wakil Gubernur, Walikota Batam, Bupati Bintan, Karimun, Dinas terkait, Kapolda Kepri, Kepala Kejaksaan Tinggi, Bea Cukai, dan tiga orang wakil pengusaha yaitu Kadin Kepri, Apindo Kepri, dan pengusaha kawakan Kris Wiluan.

Beberapa pejabat yang dihubungi Bisnis mengaku belum tahu kalau dirinya diusulkan duduk dalam DK BBK. Seperti Jon Arizal, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepri. Dia baru tahu kalau ternyata namanya ikut diusulkan oleh Gubernur kepada presiden.

"Saya ndak tau kalau ternyata saya ikut diusulkan. Tapi itu khan baru sekedar usulan, dan bisa saja usulan itu berubah dalam artian bertambah jumlahnya atau berkurang,"

Namun demikian, tidak sedikit yang bersuara mengkritisi kebijakan Ismeth Abdullah dalam menentukan nama-nama pejabat yang duduk dalam DK.

Ampuan Situmeang, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Etika Usaha Kadin Kepri, menilai tolak ukur penunjukkan seorang pejabat untuk duduk dalam DK tidak jelas sehingga diragukan kapabilitasnya dalam menjalankan roda organisasi DK nantinya.

Ampuan benar, layaknya sebuah organisasi profesional yang akan menentukan arah pembangunan Batam-Bintan-Karimun ke depan, sudah selayaknya personel yang duduk dalam DK diisi oleh kalangan profesional baik birokrat atau pengusaha.

"Artinya, orang yang duduk dalam DK memiliki visi pembangunan yang jelas dan bukan sekedar duduk karena jabatannya," ujar seorang pengusaha.

Memang harus diakui, langkah Ismeth mengusulkan struktur DK dinilai gegabah dan tanpa melalui prosedur perekrutan personel yang lazim digunakan seperti mekanisme fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan.

Padahal, melalui mekanisme ini bisa diperoleh para personel yang benar-benar mumpuni dan memiliki kapasitas terbaik di bidangnya. Bukannya personel yang ditunjuk berdasarkan jabatan yang disandangnya saat ini.

Tidak jelas
Satu hal yang harus mendapat perhatian dari pemerintah adalah mengenai struktur personel yang didominasi oleh pejabat. Mengapa harus birokrat? Apakah negeri ini sudah kekurangan orang pintar?

Faktor birokrat dan pejabat ini harus jadi perhatian karena dengan posisi mereka saat ini saja sudah disibukkan oleh tugas-tugas daerahnya apalagi bila mereka juga duduk di DK BBK, bisa dibayangkan berapa besar lagi tanggung jawab yang harus dipikulnya.

Bukan itu saja, kinerja mereka seperti Gubernur Kepri, Walikota Batam, Bupati Bintan dan Karimun belum terbukti berhasil dalam mengangkat derajat ekonomi masyarakat setempat, trus mereka dipaksa untuk berpikir mengembangkan kawasan bebas yang jauh lebih rumit.
Adakah hal ini jadi perhatian???

Mestinya, mereka yang ditunjuk dan diusulkan itu bisa legowo dan mawas diri serta mengukur kemampuan diri. Apakah mereka sudah layak duduk dalam DK? Kalau belum layak, berikan tempat kepada yang layak.

Gubernur juga harus bertindak bijak sebagai orang yang bertanggung jawab dalam penunjukkan ini. BBK sudah lama terlantarkan, sudah saatnya kawasan ini bangkit membangun dan membangun agar tidak semakin jauh tertinggal.

Pesan buat pak Ismeth, kita masih saja meributkan soal DK dan orang, sementara Johor Bahru sedang giat-giatnya membangun sebuah kawasan baru lengkap dengan infrastruktur dan insentif menarik.

Terlalu jauh kita membandingkan diri dengan Johor, Batam tidak ada apa-apanya. lha wong ngurus jalan aja masih gak becus apalagi mau bersaing dengan luar negeri.
Kita harus berkaca dan introspeksi diri. Jangan buruk muka cermin dibelah.

Atau jangan-jangan, para pejabat di sini memang doyan berleha-leha. Terserah mau ngomong apa, yang penting korupsi masih bisa jalan, dan persetan dengan segala perbaikan.

Waduh-waduh...mau jadi apa Batam ini???