Thursday, October 14, 2010

FTZ Batam [masih] Setengah Hati

Acara sosialisasi perubahan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2009 tentang perlakuan kepebeanan, perpajakan, dan cukai serta pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang di kawasan perdagangan bebas yang digelar oleh Kementerian Perekonomian pekan lalu di Batam berlangsung hambar.

Antara pengusaha dan pemerintah masih ada perbedaan seputar definisi free trade zone dalam kawasan pabean dan peran Bea dan Cukai dalam wilayah bebas. Pengusaha merasa pemerintah masih setengah hati dalam memberikan aturan baku dalam kawasan perdagangan bebas sedangkan pemerintah juga berpendapat kawasan bebas bukan berarti tidak ada aturan pabean.

Karena perbedaan yang mendasar ini, Ampuan Situmeang, praktisi hukum di Batam, menilai walaupun PP No. 2/2009 diubah sepuluh kali pun tidak akan memberikan dampak berarti bila esensi dari FTZ ini tidak dibenahi oleh pemerintah.

“FTZ itu terpisah dari daerah pabean. Kalau defenisi ini belum disepakati maka sampai kapanpun FTZ Batam Bintan Karimun akan tetap seperti ini, tidak ada perubahan,” ujarnya.

Ampuan tidak mengada-ada. Dalam UU FTZ secara terang dijelaskan kawasan perdagangan bebas terpisah dari kawasan pabean walaupun masih berada dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Namun pada sisi lain, pemerintah mengeluarkan PP yang mengatur tentang kepabeanan dan perpajakan plus pengawasan keluar masuk barang di wilayah FTZ.

Dua pemahaman yang kontraproduktif itulah yang mengakibatkan pelaksanaan FTZ di Batam belum menunjukkan keberhasilan selama kurang lebih 18 bulan pelaksanaannya sejak 1 April 2009 karena berbagai hambatan dan birokrasi dalam proses keluar masuk barang di pelabuhan.

Tapi Erlangga Mantik, Deputi Kementerian Perekonomian, punya pendapat lain. Menurut dia, tidak mungkin FTZ BBK diberikan kebebasan yang berlebihan tanpa ada satu mekanisme pengawasan yang terstruktur.

“Kalau pemerintah ingin menerapkan ketentuan FTZ yang sebenarnya maka akan ada konsekwensinya. Kami sudah mengkaji dampak untung ruginya, oleh karena itulah pemerintah memilih konsep seperti saat ini,” kata dia.

Dia mengakui PP No.2/2009 diterbitkan dengan berbagai pertimbangan dan kondisi yang ada pada saat itu dan wajar bila setelah lebih dari setahun berjalan dilakukan revisi dan evaluasi agar pelaksanannya lebih baik lagi.

“Untuk itu kami ingin menampung aspirasi dari para pengusaha importir, pabrikan, dan industri pendukung migas agar revisi PP ini bisa lebih memudahkan proses produksi dan keluar masuk barang,” paparnya.

Prinsipnya, kata Mantik, BBK tidak boleh menjadi daerah tidak bertuan karena status FTZ ini, ketentuan pencatatan harus tetap ada terutama bagi para pengusaha importir agar barang yang keluar masuk bisa tercatat.

Daniel Burhanuddin, Ketua Gabungan Pengusaha Forwarde dan Ekspedisi Batam, menilai sebenarnya pengusaha bukannya tidak ingin adanya pengawasan tapi sebaiknya Bea Cukai bisa menempatkan diri pada posisi yang tepat.

“Kami ingin agar ada ketegasan terhadap barang-barang wajib melewati pemeriksaan dan mana yang masuk jalur hijau. Kalau semua barang harus diperiksa dan dibongkar, ya percuma saja namanya kawasan perdagangan bebas,” tuturnya.

Selain masalah definisi kawasan bebas, pengusaha juga masih mendebatkan soal tata niaga impor di kawasan bebas dan perizinan yang berbelit. Sementara di sisi lain, dua institusi yang bertanggung jawab di kawasan FTZ justru tidak mampu berbuat apa-apa.

PP baru
Kadin Provinsi Kepri melihat situasi makin runyam ketika dua lembaga yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan FTZ di wilayah ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya yaitu Dewan Kawasan dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun.

“Dari sejak Keppres Nomor 9, 10, 11 tahun 2008 tentang DK BBK itu disahkan saya sudah memprediksikan bahwa lembaga tersebut tidak akan mampu bekerja efektif,” kata Johanes Kennedy, Ketua Kadin Provinsi Kepri.

Dalam Kepres tersebut, presiden menetapkan susunan pengurus Dewan Kawasan diketuai oleh Gubernur Kepri, wakil ketua dan anggotanya terdiri dari Walikota/Bupati, Kanwil Bea Cukai, Kanwil Pajak, Kanwil Depkumham, Kepala Kejaksaan Tinggi, Kapolda Kepri, Danrem Wirabuana, Danlantamal IV Tanjung Pinang, dan Kepala BP Batam.

Johanses menilai DK tidak mampu bekerja efektif karena terdiri dari para pejabat vertikal di daerah yang semestinya mereka berada di luar sistem FTZ dan menjadi pengawas dari pelaksanaan kawasan perdagangan bebas.

“Terbukti, selama dua tahun keberadaan lembaga itu, tidak mampu tampil sebagai regulator yang mengeluarkan garis kebijakan umum dalam pelaksanaan FTZ di Kepulauan Riau,” kata dia.

Tiadanya mekanisme penunjukkan struktur personalia DK dan BP serta sistem kerja di lembaga DK menjadi inti dari lemahnya daya dorong DK sebagai sebuah regulator yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kawasan perdagangan bebas.

Dalam UU FTZ pasal 6 secara jelas diatur bahwa Gubernur bersama DPRD mengusulkan nama ketua DK dan jajarannya kepada Presiden. Walaupun tidak dilarang, tapi menempatkan Gubernur sebagai Ketua DK justru menyebabkan terjadinya konflik kepentingan dalam pelaksanaan FTZ.

“Kami mengusulkan agar PP No. 2 itu bukannya direvisi tapi diganti dengan PP yang baru yang mengatur kewenangan DK di wilayah FTZ,” kata Ampuan.

Beberapa pengusaha yang ditemui usai acara sosialisasi itu memang tidak mau terlalu berharap adanya perbaikan yang berarti. Mereka berasumsi setelah 18 bulan, pemerintah masih saja disibukkan dengan revisi peraturan sementara persaingan antara wilayah tujuan investasi di regional ini semakin ketat. Belum lagi rencana pelaksanaan AFTA pada 2011 yang tinggal tiga bulan lagi.

Bagaimana Batam bisa bergerak kencang jika dari sisi aturan masih tarik ulur dan tambal sulam. Jika memang pusat tidak berniat untuk memajukan daerah FTZ, sebaiknya dibatalin saja sekalin dan disamakan dengan daerah pabean lainnya