Thursday, October 22, 2009

15 Pelsus di Batam terancam ditutup

Sebanyak 15 pelabuhan / terminal khusus yang beroperasi di Kota Batam terancam mengalami penutupan operasional karena hingga kini pihak pengelola belum mengajukan perizinan ke Kantor Pelabuhan.

Rocky Achmad, Kepala Kantor Pelabuhan Batam, mengungkapkan belum semua pengelola pelabuhan / terminal khusus (pelsus) mengajukan permohonan perizinan.

“Masih ada 15 pelabuhan lagi yang belum mengajukan perizinan,” ujarnya, kemarin.

Meskipun tidak memerinci perusahaan pemilik pelsus tersebut, namun dia mengatakan mereka akan mengalami penutupan operasional karena tenggat waktu yang diberikan oleh Dephub tinggal dua hari lagi.

Pada Agustus 2009 lalu, Sunaryo, Dirjend Perhubungan Laut, menegaskan kepada para pengelola pelsus di kota itu untuk segera mengurus perizinan karena batas waktu kebijakan sunset policy berakhir hingga 22 Oktober 2009.

Kebijakan itu sendiri dikeluarkan khusus untuk Provinisi Kepri karena banyaknya pelsus yang sudah beroperasi meskipun belum mengantongi izin, khususnya di kawasan industri galangan kapal Tanjung Uncang.

Sunaryo mengancam jika sampai dengan tanggal itu masih ada pengelola pelsus yang belum mengajukan perizinan maka pelabuhannya akan ditutup.

Per September 2009, Hubla mencatat ada 37 pelsus di daerah itu belum mengantongi izin dimana hampir seluruhnya digunakan untuk penunjang industri galangan kapal dan pendukung perminyakan.

Al. pelsus milik PT Tirta Artamina, PT Sumatera Timur Indonesia, PT Hasibel Nusantara, PT Daily Express, PT Batamindo Executive, PT Batamec / Batamans Jala Nusantara, PT Batam Expressindo Ship dan PT Bandar Abadi, PT Batam Mitra Sejahtera.

Kemudian pelsus milik PT Sintai Industrial Shipyard, PT Basindo Utama Karya, PT Batam Bahari Katulistiwa, PT Balcon Teknindo, PT Cahaya Nusantara Gemilang, PT Dharma Samudra Fishing dan PT Palindo Marine, PT. CitraShipyard dan PT Karyasindo Samudra Biru,

Berikutnya pelsus milik PT Latoka Eka Prasetya, PT Natwell Shipyard, PT Kacaba Narindo Laksana, PT Karya Pribumas, PT Batam Slop & Slop Sludge, PT Bintang Develatama dan PT Cahaya Fortuna Bahari, PT Sinbat Precast dan PT Pacific Atlantic

Lalu pelsus milik PT Jasindo Utama Raya dan PT Mustika Mas Sejati, PT Shopidak Industries, PT Batam Traiding, PT Skip Hilir Shipyard, PT TJK Power, PT Jagad Energy, PT Karya Tekhnik Utama, PT S & B Investama dan PT Bandar Abadi Shipyard.

Siap eksekusi
Rocky Achmad mengatakan Kanpel Batam saat ini sudah mempersiapkan diri untuk melaksanakan instruksi penutupan dari Departemen Perhubungan.

“Kami siap melaksanakan perintah penutupan karena yang melaksanakan kebijakan itu Dephub dan kami sebagai pelaksananya,” tegas Rocky.

Menurutnya, eksekusi penutupan itu merupakan bagian dari upaya penertiban pelsus yang telah dicanangkan oleh Ditjend Hubla di daerah itu sepanjang tahun ini.

Pelsus yang sudah ditutup, katanya, tidak diperkenankan lagi untuk melakukan aktivitasnya hingga pemilik atau pihak pengelolanya mengatongi izin.

“Tapi itu sulit karena mereka tidak akan mendapat kemudahan lagi oleh sunset policy, begitu juga untuk pelsus yang baru,” imbuhnya.

Artinya, mereka tidak boleh beroperasi terlebih dahulu sebelum izinnya keluar, berbeda dengan adanya sunset policy dimana mereka diperkenankan untuk tetap mengoperasikan pelsusnya sambil mengajukan perizinan.

Karena itu dia meminta kepada para pengelola yang belum mengajukan izin untuk segera melakukannya sehingga tidak mengalami penutupan operasional.

Kanpel sendiri, katanya, sejauh ini sudah melakukan sosialisasi dan upaya persuasi yang maksimal kepada para pengelola pelsus yang belum mengantongi izin.

Upaya sosialisasi dan persuasi itu a.l dilakukan dengan membuat pemberitahuan di media-media lokal dan menggelar berbagai pertemuuan dengan para pengelola pelsus.

Apalagi kebijakan sunset policy dari Ditjend Hubla sudah berjalan selama hampir tiga bulan sehingga menurutnya tidak ada lagi alasan bagi pengelola pelsus untuk tidak mengurus izin.

HUT OB ke 38 atau HUT BP Batam pertama..

Kalo tidak ada halangan, pada Selasa pekan depan akan dilaksanakan upacara peringatan hari ulang tahun oleh Otorita Batam/Badan Pengusahaan Kawasan Batam. Tapi masih belum jelas, apakah upacara itu memperingati HUT OB Ke 38 atau HUT BP Batam ke-1??

Oktober tahun lalu saat peringatan HUT OB ke 37, memang belum ada kepastian apakah saat itu merupakan upacara HUT OB yang terakhir karena institusi itu harus beralih menjadi badan pengusahaan kawasan bebas.

Tapi bila peringatan HUT dilakukan setiap Oktober maka itu berarti upacara HUT OB, karena konon OB ini lahir pada Oktober 1971 tepatnya pada tanggal 26 Oktober 1971 saat keluarnya Keppres No.74/1971 yang menetapkan Batu Ampar sebagai daerah industri berstatus entreport partikulir, sekaligus pembentukan Badan Pimpinan Daerah Industri Pulau Batam yang bertugas merencanakan dan mengembangkan pembangunan industri dan prasarananya, menampung, dan meneliti permohonan izin usaha untuk diajukan ke pejabat terkait, dan mengawasi proyek industri.

Bila HUT nya masih diperingati berarti OB masih ada donk dan belum bertransformasi menjadi BP Batam. Lalu, kapan ultah BP Batam akan dilaksanakan?

Jika melihat pengesahan PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam, maka bisa diasumsikan BP Batam memperingati ultah pada 20 Agustus 2007 bertepatan dengan saat disahkannya PP tersebut.

Atau HUT BP Batam bertepatan dengan keluarnya SK Dewan Kawasan bernomor: KPTS/6/DK/IX/2008 tentang Susunan BP Batam pada September 2008 lalu. Atau, bertepatan dengan pengesahan status FTZ Batam, Bintan, Karimun oleh Presiden SBY pada 19 Januari 2009 lalu?

Ga jelas, tidak ada momentum yg jelas untuk dijadikan sebagai hari jadinya BP Batam. Toh, proses peralihan dari OB ke BP Batam pun juga tidak jelas kapan terjadinya.

Jadi, pada 26 Oktober 2009 mendatang, yang pasti OB akan melakukan upacara peringatan ulang tahunnya ke 38. Mengapa? Ya karena lembaga itu masih ada dan belum beralih menjadi BP Batam.

Seperti kata Mustofa Widjaja, Ketua OB plus Kepala BP Batam. "Saat ini ada dua lembaga, yaitu OB dan BP Batam. Jadi OB belum bubar." OB juga masih dapat APBN untuk pembiayaan proyek fisik, begitu juga BP Batam juga ada alokasi APBN untuk pembiayaan proyek.

Nah, kita tunggu aja..kira2 apa yang jadi tema HUT tahun ini..Kalo tahun lalu, OB mengusung profesionalisme pegawainya melalui implementasi e-gov. Walaupun tema ini masih diperdebatkan karena tidak ada peningkatan kualitas profesionalisme pegawainya walaupun sudah e-gov.

Mungkin tahun ini, temanya kira2: "Melalui pembangunan Pusat Teknologi Informasi Batam, kita kurangi anggaran jalan-jalan dan perjalanan dinas pejabat ke luar kota karena rapat cukup melalui teleconference."

Ini bukan becanda lho, negara ini sudah menghabiskan dana Rp250 miliar untuk membangun proyek e-gov di Batam yang artinya seluruh aktivitas pekerjaan di institusi itu sudah paperless, e-office, e-procurement, dan tentu saja e-meeting alias teleconference.

Kalo ngakunya sudah e-gov, ga ada lagi yg namanya meeting rame-rame ke jakarta plus main golep. Semua cukup dilakukan di gedung TI yang dibanggakan itu. Tidak ada lagi biaya perjalanan dinas atau apapun namanya sepanjang masih bisa dilakukan via internet. Semoga semangat e-gov ini bukan ngecap doank!!

Wednesday, October 21, 2009

Otorita Batam dan BP Batam, apa bedanya???

barusan ada seorang pengunjung blog saya bernama Rahayu mengirimkan sebuah pertanyaan, sbb:
"pak, saya mau tanya.
apa perbedaan Otorita Batam dengan Badan Pengusahaan Kawasan Batam?
apakah otorita batam masih ada sekarang? atau sudah digantikan keseluruhan tugas dan wewenangnya oleh Badan Pengusahaan Kawasan?
terima kasih pak."

Terima kasih atas pertanyaannya bu Rahayu..
Secara fungsi, tidak ada perbedaan antara Otorita Batam (OB) dengan Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam). Kedua lembaga itu bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pembangunan pulau ini.

Namun secara kelembagaan, OB dan BP Batam jelas berbeda. OB dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden pada era Presiden Suharto. Perjalanan panjang selama tiga dasawarsa di Batam dimulai dengan keluarnya Keppres No.65/1970 ketika Ibnu Sutowo selaku dirut Pertamina pada era 1970-an diperintahkan untuk mendirikan basis operasi dan logistic Pertamina di Batam.

Kemudian, pada 26 Oktober 1971 keluar Keppres No.74/1971 yang menetapkan Batu Ampar sebagai daerah industri berstatus entreport partikulir, sekaligus pembentukan Badan Pimpinan Daerah Industri Pulau Batam yang bertugas merencanakan dan mengembangkan pembangunan industri dan prasarananya, menampung, dan meneliti permohonan izin usaha untuk diajukan ke pejabat terkait, dan mengawasi proyek industri.

Selanjutnya berdasarkan pada kajian Nissho Iwai Co. Ltd dari Jepang dan Pacific Bethel Inc. dari Amerika merekomendasikan Batam sebagai pusat industri petroleum dan petrokimia dengan pertimbangan pada awal dasawarsa 70-an, minyak dan gas adalah komoditi unggulan ekonomi Indonesia.

Kajian dua lembaga asing itu diperkuat dengan Keppres No.41/1973 yang menetapkan seluruh pulau Batam sebagai daerah industri dan membentuk Otorita Daerah Industri Pulau Batam (Otorita Batam).

Tugas yang diemban Otorita Batam antara lain mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industry dan kegiatan alih kapal, merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha dan menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus investasi asing di Batam.

Sejalan dengan keluarnya PP No.20/1972 tentang aturan Bonded warehouse, maka diterbitkanlah Keppres No.33/1974 tentang penetapan kawasan Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil sebagai gudang berikat atau bonded warehouse.

Ketika minyak dan gas tidak lagi menjadi produk unggulan ekonomi Indonesia, maka diusulkanlah rencana induk Pulau Batam sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional dalam sector industri berdasarkan kajian Crux Co. dari Amerika pada 1977. Sekaligus penugasan Otorita Batam sebagai penguasa pulau ini sejak 1977.

Pembangunan Batam memasuki decade ke dua ditentukan dengan keluarnya Keppres No.41/1978 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse. Pada tahun itu ditandai dengan munculnya Teori Balon yang dicetuskan oleh BJ Habibie setelah bertemu dengan PM Singapura Lee Kuan Yew.

Semangat teori Balon itu adalah menjadikan Batam sebagai basis pertumbuhan ekonomi baru dengan memanfaatkan tumpahan industri dari Singapura. Diibaratkan Singapura sebagai sebuah balon besar yang terus menggelembung maka di siapkan daerah-daerah di sekitarnya sebagai balon-balon kecil yang mendapatkan suntikan angin dari balon induk.

Keppres 41/1978 itu semakin diperkuat oleh Keppres No56/1981 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse ditambah dengan lima pulau sekitarnya meliputi Kasem, Moi-Moi, Ngenang, Tanjung Sauh, dan Janda Berias.

Pada masa penugasan Otorita Batam tahun 1979, disusunlah sebuah master plan oleh Departemen Pekerjaan Umum yang menetapkan empat fungsi utama pulau Batam yakni sebagai kawasan industri, free trade zone, alih kapal, dan pariwisata.

Nah dari sekian banyak Keppres itu, Keppres No.41/1973 dianggap sebagai pondasi awal terbentuknya Otorita Batam hingga Keppres terakhir yang terbit pada 2005 untuk memperpanjang keberadaan lembaga OB di Batam.

Lalu, apa itu BP Kawasan Batam? Sejak diterbitkannya Perppu No. 1 Tahun 2007 yang dilanjutkan dengan UU No. 44 Tahun 2007 tentang FTZ, maka ditegaskan dalam salah satu pasalnya bahwa pengelolaan kawasan bebas akan menjadi tanggung jawab sebuah lembaga bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas.

Sejalan dengan diterbitkannya PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam, maka otomatis lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan ini adalah Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Batam.

Dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa seluruh pegawai dan aset Otorita Batam akan beralih menjadi pegawai dan aset BP Kawasan Batam, walaupun dalam PP itu tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses peralihan pegawai dan aset kepada lembaga baru tersebut.

Jadi, secara hukum kelembagaan, maka OB dan BP Kawasan adalah dua lembaga yang berbeda karena produk hukum yang menjadi dasar pembentukannya juga berbeda. OB dibentuk oleh Keppres sedangkan BP Batam dibentuk oleh UU.

Apakah OB masih ada? Apakah tugasnya sudah diambil alih oleh BP Batam?
Ini pertanyaan yang gampang-gampang susah menjawabnya. Berdasarkan PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam, batas waktu pembentukan BP Batam adalah 31 Desember 2008 atau kurang lebih setahun yang lalu walaupun pembentukan kepala dan deputi BP Batam lebih cepat dari batas waktu yang ada.

Mestinya, dengan terbentuknya BP Batam itu maka seluruh aset dan pegawai OB menjadi milik BP Batam, tapi kenyataannya yang menjadi karyawan BP Batam baru 5 orang yaitu Kepala BP Batam plus empat deputi. Sedangkan pegawainya masih berstatus pegawai OB.

Beruntung kelima pegawai BP itu adalah para pimpinan OB sehingga mereka tidak pusing memikirkan kantor dan kendaraan dinas untuk mendukung operasionalnya. Coba lihat struktur BP Bintan dan Karimun, mereka masih berkantor ala kadarnya di daerah masing-masing.

Memang, yang masih mengganjal adalah proses peralihan pegawai OB menjadi BP Batam. Sebab ada aturan lain yang harus dipatuhi terkait dengan proses peralihan tersebut, tapi untuk tugas dan wewenang OB dalam pembangunan dan perdagangan di pulau ini sudah efektif beralih digantikan oleh BP Batam.

Mari kita berpikir positif, semua proses terus berjalan. Kita berharap BP Batam bisa terus bekerja dan cepat beradaptasi dengan peraturan baru di era FTZ ini. Kita juga berharap proses peralihan status pegawai OB ke BP Batam bisa berjalan lancar demi kebaikan semua pihak.

So, bu Rahayu, saya harap anda sudah cukup jelas. Kalo masih ada yang kurang, ya silahkan tanya lagi. Salam..

Tuesday, October 20, 2009

Timbangan di Bandara Hang Nadim belum dikalibrasi?

Barusan dapat informasi berharga dari seorang teman. Konon, timbangan yang berada di counter check in Bandara Hang Nadim sudah lima tahun ini tidak dilakukan kalibrasi, atau dengan kata lain, akurasi timbangan saat kita menimbang bagasi masih diragukan.

Kenapa selama lima tahun timbangan itu tidak dikalibrasi? Alasan pihak bandara karena tidak ada anggaran untuk mengundang petugas kalibrasi setiap tahunnya.

Emang dasar gila!!! Jadi pengelola bandara lebih memilih kehilangan nyawa ratusan penumpang ketimbang kehilangan uang Rp6 juta setahun untuk kalibrasi.

Apa hubungannya timbangan dengan keselamatan penumpang pesawat? Coba anda pikirkan, jika timbangan bagasi itu tidak akurat, berarti barang-barang yang masuk bisa lebih ringan atau lebih berat.

Kalo timbangan itu salah menimbang barang yang berat maka bisa-bisa terjadi kelebihan beban di pesawat yang bisa-bisa mengakibatkan pesawat oleng dan jatuh deh..its so simple i guess..hehehehehehe

Tapi yang dirugikan adalah penumpang yang terpaksa harus membayar excess bagage dari timbangan yang belum dikalibrasi. Semestinya, jita kita mau, kita boleh tidak membayar kelebihan bagasi itu karena memang akurasi timbangannya diragukan.

Bagaimana caranya? Ini ada trik bagi yang sering bepergian membawa barang banyak. Ketika petugas counter check in men-declare bahwa barang anda kelebihan, maka kami sarankan anda tidak membayar langsung biaya kelebihana barang tersebut.

Pertama yang harus anda lakukan, minta bukti otentik bahwa timbangan tersebut sudah dikalibrasi dengan bukti sertifikat dan stiker kalibrasi yang ditempel di timbangan tersebut. Kalo petugas tadi tidak bisa menunjukkan sertifikat dan stiker dimaksud, maka bisa dipastikan timbangan tersebut belum dikalibrasi.

Kedua, jika kita sudah mendapatkan konfirmasi bahwa itu timbangan belum dikalibrasi, maka anda disarankan jangan membayar kelebihan bagasi karena belum tentu berat barang bawaan anda seperti yang tertera di timbangan. Biarlah itu menjadi tanggung jawab pihak maskapai kepada pengelola bandara.

Ketiga, jika petugas bandara bersikukuh bahwa timbangannya sudah dikalibrasi dan memaksa anda membayar kelebihan bagasi, segera laporkan kepada petugas meterologi di Dinas Perindag Provinsi Kepri atau anda panggil wartawan supaya masalah ini diblow up di koran..hihihhihihihihihi

So, sarannya kepada pihak pengelola bandara. Marilah kita berpikir sehat. Hang Nadim itu khan bandara internasional, masak timbangannya belum dikalibrasi sih. Malu donk ama status internasional yang selalu dibangga-banggakan itu..

Untung selama lima tahun ini belum ada kecelakaan pesawat akibat kelebihan beban, atau mungkin itu pula yang menjadi pertimbangan pengelola bandara..Lha wong ga perlu kalibrasi aja pesawat ga pernah jatuh, jadi mengapa harus dikalibrasi...wakakakakakakakaka

Hati-hati beli mobil baru di Batam

Himbauan ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi sekedar sharing aja bagi yang masih ragu mau beli mobil baru (brand new) di dealer resmi atau mobil bekas Singapura. Kenapa??

Saya ingin menceritakan pengalaman saya ketika membeli satu unit mobil baru di sebuah dealer besar di Batam. Pada pertengahan Maret 2009 lalu, saya memutuskan untuk membeli sebuah mobil merek Nissan Livina. Saat itu, si dealer memang belum mengeluarkan kebijakan bebas PPN dan PPnBM bagi konsumen mobil baru.

Nah, ketika mobil saya sampai di Batam pada minggu pertama April, si dealer tiba-tiba mengeluarkan kebijakan bebas PPN dan PPn BM dari harga mobil. Alhasil, mobil yang saya bayar berkurang dari harga resminya.

Kebetulan, pada 1 April lalu, pemerintah secara resmi memberlakukan status FTZ di Batam, Bintan, dan Karimun, dan itu berarti setiap barang yang masuk ke pulau ini wajib bebas PPN, Bea masuk, dan PPn BM.

Lantas apa yang menjadi dasar perhitungan dealer? Nah jangan coba tanya itu, karena ga jelas dasar perhitungannya. Yang jelas, harga mobil jadi lebih murah dari harga sebelumnya. Bukan dari harga Jakarta lho ya.

Masalahnya kini, apakah ada perbedaan antara mobil yang dibeli sebelum April dengan sesudah April, antara mobil yang bayar PPN dan mobil yang bebas PPN? Tidak ada bedanya. Di BPKB, tidak ada cap atau endorsment yang menegaskan bahwa mobil yang kita beli terutang PPN.

Saat masalah ini saya konfirmasi ke pihak dealer, mereka pun mengaku masih bingung dengan kebijakan bebas PPN ini. Alasannya, pihak BP Kawasan masih membahas mekanisme pembebasan PPN bagi mobil baru.

Trus bagaimana jika mobil bebas PPN ini ingin keluar dari Batam, sperti pindah ke Jakarta atau Sumatra misalnya? Sekali lagi, pihak dealer tidak bisa menjawabnya dengan lugas.

Jika sudah demikian, apa solusinya? Cuma satu, yaitu jika ingin pindah ke luar Batam, anda jual saja mobilnya dan beli mobil baru di daerah tujuan. Aman toh..dari pada pusing-pusing..

Konon, BP Kawasan Batam masih mengkaji masalah ini. Lembaga itu akan mengeluarkan kebijakan soal mekanisme importasi mobil baru. Semoga mekanisme itu semakin mempertegas dan memperjelas..bukan berlarut seperti nasib mereka yang masih belum jelas mau jadi apa..

Nasibmu Otorita Batam

Sudah berulangkali pengelola blog ini menulis artikel soal nasib Otorita Batam pasca pengesahan FTZ melalui UU No. 44/2007 dan PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam. Dalam artikel terdahulu yang bertajuk "Menanti Kejelasan Nasib Otorita Batam" sudah diulas dengan gamblang berbagai potensi konflik yang bakal muncul bila OB harus bubar dan beralih menjadi Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam.

Kini isu itu bergulir kembali. Ada wacana yang berkembang bahwa OB akan dilikuidasi, karyawannya diberi pesangon, dan akhirnya bertransformasi menjadi BP Kawasan. Apakah bisa demikian?

Saya perlu hati-hati mengulas masalah ini. Karena memang persoalan transformasi OB ke BP Kawasan merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan sensitif. Bayangkan saja, walaupun Ketua Dewan Kawasan FTZ sudah menetapkan lima orang karyawan BP Kawasan, tapi tidak otomatis ribuan pegawai OB akan menjadi karyawan BP Kawasan.

Proses peralihan pejabat OB yang notabene memiliki eselonisasi dan ribuan pegawai yang tercatat sebagai PNS, ternyata tidak berlangsung mudah sebagaimana yang dibayangkan. Konon, Ketua OB a.k.a Kepala BP Kawasan masih bingung mencari jalan keluarnya.

Memang harus diakui, tidak gampang. Otorita Batam yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) ternyata harus gugur dengan sendirinya setelah Peraturan Pemerintah (PP) diterbitkan oleh Presiden SBY pada 2007 lalu. Oke, tidak ada masalah dengan itu. Secara kelembagaan, OB kini sudah menjadi BP Kawasan. Lambang pulau Batam dalam bundaran pun sudah berganti dengan kepala burung elang. Tapi apakah cukup sampai disitu?? Mari kita coba petakan beberapa potensi masalah dalam transformasi OB ke BP Kawasan.

1. Aset. Dalam PP No. 46/2007 pasal 3 ayat 1, dibunyikan "semua aset Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi aset Badan Pengusahaan
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, kecuali aset yang telah diserahkan kepada Pemerintah Kota Batam, sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan."

Tapi pasal itu tidak menjelaskan bagaimana proses peralihannya. Sebab, aset OB adalah aset milik pemerintah pusat yang tentu saja proses peralihannya harus mengacu pada undang-undang. Apalagi status BP Kawasan sampai saat ini belum jelas, apakah institusi daerah atau pusat.

Kalau mengacu pada UU FTZ, BP Kawasan adalah institusi daerah karena pimpinannya ditetapkan berdasarkan SK Ketua Dewan Kawasan, bukan lagi SK Presiden seperti halnya penetapan Ketua OB. Jadi, harus didudukkan dulu nih, BP Kawasan itu selevel BUMD, dinas teknis, atau apa?

Kalau BP Kawasan itu adalah institusi daerah, apakah masih layak Kepala BP Kawasan menggunakan mobil plat merah dan menggunakan standard eselonisasi. Begitu juga dengan jajaran pimpinannya. Sekali lagi, masalah ini juga tidak jelas penyelesaiannya.

2. Pegawai. Dalam PP No. 46/2007 pasal 3 ayat 2, dibunyikan: "Pegawai pada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dialihkan menjadi pegawai pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam."

Sekali lagi, pasal itu tidak menjelaskan secara rinci proses pengalihan pegawai OB menjadi pegawai BP Kawasan. Bahkan peraturan Menteri PAN sebagai turunan dari PP itu juga belum keluar sampai akhir jabatan si Taufik Effendy, sang Menneg PAN.

Untuk masalah ini sangat rumit karena semua pegawai OB adalah PNS yang nyantol di departemen di Jakarta, ada yang di Depag, Deptan, dll. Bagaimana ribuan pegawai itu mau beralih sementara status BP Kawasan sendiri belum jelas mau jadi apa dan setingkat apa.

Jika melihat hirarki organisasi dalam UU 44, maka BP Kawasan berada di bawah koordinasi DK FTZ. Sebab SK Kepala BP diterbitkan oleh Ketua DK. Nah, karena DK merupakan institusi daerah maka BP Kawasan pasti institusi daerah juga, karena berada dalam satu garis komando.

So, menurut hemat kami, BP Kawasan itu adalah institusi daerah yang mestinya ditanggung anggaran operasionalnya oleh DK a.k.a Gubernur Kepulauan Riau melalui APBD Kepri. Untuk masalah ini, juga tidak jelas. Karena BP Kawasan tetap mendapatkan anggaran dari APBN.

Tidak jelas, apakah nomenklatur OB dalam APBN telah diubah menjadi BP Kawasan, kalo memang benar, maka BP Karimun dan Bintan mestinya bisa mendapatkan fasilitas serupa.

3. Esolonisasi. Nah ini masalah yang paling krusial yang menjadi mimpi buruk para pimpinan setingkat Kepala, Deputi, dan Direktur di BP Kawasan. Anda bayangkan, apa jadinya para bos-bos tingkat tinggi ini jika peralihan terjadi. Mau ditempatkan dimana mereka? dan ikut standar gaji siapa?

Saat ini, mereka masih menikmati fasilitas gaji dan tunjangan Otorita Batam walaupun nama lembaga dan logo sudah berganti menjadi BP Kawasan. Mereka adalah pejabat eselon yang selevel dengan Sekretaris Daerah Provinsi Kepri. Tidak bisa saya gambarkan bagaimana nanti mereka bisa jadi pegawai rendah setingkat dibawah Dinas Teknis jika proses peralihan berlangsung.

Konon, berlarut-larutnya proses peralihan ini karena belum ditemui titik temu bagaimana menempatkan para pejabat tinggi OB dalam struktur BP Kawasan. Apakah mungkin, BP yang merupakan lembaga daerah tapi pimpinannya digaji dengan standar eselon pejabat pusat? Wah..wah..bisa-bisa Kepala BP Karimun dan Bintan akan demonstrasi ke Dewan Kawasan menuntut hal serupa.

Kesimpulan yang bisa kita ambil dari tiga poin diatas adalah ketidak jelasan. Jika institusinya tidak jelas, bagaimana kebijakan yang dihasilkan bisa memberikan pencerahan bagi pembangunan pulau ini ke depan.

Coba saja lihat, apa yang sudah dibuat lembaga ini sejak disahkan jadi BP Kawasan? Membangun gedung Pusat Teknologi Informasi. Apa relevansinya FTZ Batam dengan penguatan bidang TI? Maaf ini akan kita bahas tersendiri, karena banyak sekali masalah dan pemborosan dalam pembangunan fasilitas ini.

Ditengah kesimpang siuran, muncul wacana membayarkan pesangon ribuan pegawai OB dan kemudian merekrut kembali untuk masuk dalam strutktur organisasi BP Kawasan. Apakah nanti ada penurunan gaji, atau tetap seperti sedia kala? Rasanya saya perlu melakukan investigasi lebih lanjut.

Yang pasti, nasib OB a.k.a BP Kawasan berada dipersimpangan jalan atau bahkan dibibir jurang. Memang sih, kita tidak berharap yang terburuk. Bagaimanapun juga, kita berharap Mustofa Widjaja bisa menjadi pemimpin sejati yang mampu membawa gerbong perubahan yang membahagiakan semua pihak.

Nasibmu FTZ Batam...

Beberapa waktu lalu, seorang pengunjung blog tercinta kita ini menyampaikan komentar sebagai berikut: "Penulis yang terhormat, bolehkah membuat tulisan mengenai PP FTZ 01? Membahas mengenai PDKB/Kawasan Berikat dan pengurusannya di bea cukai. Sejak berlakunya FTZ, PDKB sudah tidak berlaku lagi. Tapi pada kenyataannya di lapangan, masih saja dibedakan antara PDKB dan non PDKB, dimana perusahaan yang mengantongi ijin PDKB, bisa mengurus impor dengan PPSAD/BC23, dan dengan BC23 ini, barang bisa keluar saat itu juga.

Sementara yang tidak mengantungi PDKB, harus menunggu Surat Perintah Pemeriksaan dari BC dan sebagainya, akibatnya barang baru bisa keluar setelah cek fisik 2-3 hari.Dan tidak ada bedanya bagi perusahaan industri walaupun perusahaan tersebut berada di kawasan berikat. Bagaimana jalan keluarnya? Lalu apa gunanya mengurus APIT dan IU Industri, jika dalam implementasinya barang tidak bisa keluar secepat BC23?dan industri di kawasan berikat tidak bisa lagi mengurus PDKB karena sudah tidak ada dasar hukumnya? Bagaimana ini? Masak industri juga harus menunggu 2-3 hari baru barangnya bisa keluar?


Apa yang menjadi keluhan dari sodara kita ini memang telah menjadi concern kami yang tergabung dalam tim evaluasi implementasi FTZ Batam yang bekerja maraton menyusun matrix permasalahan yang dihadapi oleh dunia usaha (importir) pasca disahkannya FTZ BBK pada 1 April 2009 lalu.

Mestinya, sesuai dengan status Batam sebagai kawasan perdagangan bebas, maka status perusahaan dalam kawasan berikat (PDKB) sudah tidak berlaku lagi, sebab seluruh pulau ini merupakan wilayah FTZ baik yang berada di dalam kawasan industri maupun yang diluar kawasan.

Dokumen impor yang berlaku pun sudah ditetapkan adalah PPFTZ 01, sedangkan BC 23 sudah tidak berlaku lagi.

Terus terang, saya harus mempelajari masalah ini secara detail karena mungkin Bea Cukai punya pertimbangan tertentu sehingga BC 23 masih diperbolehkan dalam importasi barang. Padahal sesuai Permenkeu No. 47/2009 sudah dijelaskan bahwa hanya berlaku form dokumen PP FTZ 01 dan tidak ada pembedaan dalam cek fisik barang. Artinya, setiap cek fisik dilakukan setelah BC mendapatkan Nota Hasil Intelijen (NHI) dimana barang dimaksud memang diduga mengandung bahan berbahaya atau masuk dalam daftar negatif barang yang terlarang masuk ke Indonesia.

Apa yang menjadi keluhan di atas adalah bukti bahwa belum konsistennya pelaksanaan FTZ di lapangan. Selama hampir 5 bulan kami melakukan evaluasi atas implementasi FTZ Batam ini, banyak ditemukan berbagai permasalahan yang semestinya tidak terjadi. Yang paling dominan adalah masalah master list yang benar-benar menyusahkan proses importasi barang.

Memang sih, BC dan Badan Pengusahaan perlu beradaptasi dengan peraturan baru ini, tapi lebih dari itu, kedua lembaga itu harus satu visi dalam menyukseskan implementasi FTZ agar tidak menimbulkan implikasi negatif bagi perbaikan iklim investasi di wilayah ini.

Apakah masterlist memang benar-benar perlu?? Oke, jika maksudnya untuk mengantisipasi pemasukan barang ilegal, jelas masterlist dibutuhkan. Tapi, mestinya ada instrument pengawasan lain yang bisa digunakan tanpa perlu mempersulit pengusaha dan distribusi barang dari pelabuhan ke pabrik.

Pemerintah di pusat mungkin harus lebih banyak belajar praktek dari pada memperkaya diri dengan konsep-konsep yang belum teruji keandalannya. Ada banyak kawasan bebas di dunia ini yang bisa dijadikan contoh konkret betapa mengembangkan sebuah kawasan FTZ tidak mesti serumit seperti sekarang ini di Batam.

Pemerintah di daerah, apakah itu BP Kawasan atau Pemkot Batam, juga harus sadar diri untuk terus mengasah diri dan quick learning dengan perubahan peraturan yang ada. Belajar cepat dan efektif tanpa perlu menyebabkan sektor swasta menjadi kelimpungan tentunya sangat diharapkan. Bukan seperti saat ini, industri dan perdagangan harus heboh karena peraturan-peraturan yang tidak sinkron.

Kita semua memang sedang belajar. Seperti kata Ismeth Abdullah, Ketua Dewan Kawasan. "Kita harus mengakui, peraturan FTZ saat ini belum sempurna. Dan kita akan terus melakukan penyempurnaan."

Seberapa lama penyempurnaan akan dilakukan?? Hmmm..masih harus menunggu gebrakan dari Menteri Keuangan yang baru akan diambil sumpahnya besok pagi. Semoga Sri Mulyani memegang janjinya untuk segera merevisi Permenkeu yang bermasalah. Dan keluhan dari bapak di atas tadi bisa segera teratasi.