Friday, May 23, 2008

Kawasan Bebas BBK dilanda darurat listrik

Kawasan Perdagangan Bebas Batam,Bintan,Karimun (FTZ BBK) kini berada dalam status siaga satu alias darurat listrik, dan berpotensi menurunkan daya tarik investasi di kawasan tersebut.

Pulau Batam di ambang gelap gulita menyusul semakin sulitnya PT PLN Batam memproduksi listrik setelah pengurangan pasokan gas oleh PT PGN. Pemadaman bergilir kini berlangsung hingga tiga kali sehari merata di seluruh kawasan di Batam, termasuk di perumahan dan komplek perkantoran. Diduga, krisis ini akan terus berlangsung hingga tiga bulan mendatang.

Sayangnya, PT PLN (persero), PLN Batam, dan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) semakin tidak berdaya mengatasi krisis listrik yang bermula sejak akhir April lalu di Batam.

Pemprov Kepri hanya sebatas ketar-ketir dengan krisis listrik di Batam itu karena kini merembet ke Pulau Bintan dan Karimun.

Apalagi, ketiga pulau itu baru saja ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas oleh pemerintah. Informasi yang dihimpun sejak krisis terjadi, PT PLN Batam harus menanggung kerugian Rp900 juta per hari. Hal ini karena pengoperasian mesin pembangkit mengandalkan bahan bakar solar.

"Saya prihatin dengan masalah krisis ini. Sebaiknya jangan terlalu diekspos berlebihan. Justru yang penting bagaimana PLN Batam bisa mengatasi krisis listrik ini agar tidak menimbulkan citra negatif bagi pemodal asing," ujar Jadi Rajagukguk, Wakil Ketua Bidang Promosi, Investasi, dan Pariwisata Kadin Provinsi Kepri, kemarin.

Krisis listrik di Batam terjadi karena jatah pasokan gas kepada PLN Batam berkurang. Semula PLN mendapat pasokan sebesar 40,7 mmBtu, kini hanya 17,2 mmBtu.

Krisis ini semakin diperparah oleh rencana Conoco Phillips yang akan melakukan perbaikan di lokasi penambangan, sehingga pasokan gas untuk pembangkit gas di Batam akan dihentikan pada 29 Mei mendatang.

Di Bintan dan Karimun, dua kawasan FTZ lainnya, krisis listrik sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. PT PLN Persero Cabang Tanjung Pinang tidak punya pilihan selain melakukan pemadaman bergilir karena kapasitas terpasang tidak mampu menampung beban puncak.

Kendati Pemkab Karimun sudah membantu subsidi pembangkit diesel di beberapa kecamatan, tetapi upaya itu tidak cukup ampuh mengatasi krisis listrik di wilayah tersebut.

Hemat listrik


Rencana PLN Batam untuk mengeluarkan imbauan pembatasan jam operasional pusat perbelanjaan, dan gerakan hemat listrik bagi pelanggan rumah tangga guna mengurangi beban puncak disambut dingin oleh pelaku usaha.

Mereka menilai imbauan itu justru merugikan karena pembatasan jam operasional berpotensi menyebabkan pengelola pusat perbelanjaan mengalami penurunan omzet.

"PLN Batam mestinya menyiapkan strategi untuk mengatasi krisis listrik tanpa merugikan pelanggan dan pengusaha," tegas Jadi Rajagukguk.

Thursday, May 22, 2008

Otorita Batam bisa jadi BPK sementara waktu

Otorita Batam (OB) dinilai perlu melaksanakan fungsi sebagai Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) untuk sementara waktu, dan melaporkannya kepada Dewan Kawasan serta Dewan Nasional, menyusul belum adanya ketentuan peralihan pasca UU No. 44/2007 dan PP No. 46/2007.

"Rekomendasi Tim Teknis dalam penyesuaian peraturan dan pengawasan keluar masuk barang di KPBPB memerlukan kehati-hatian, termasuk dalam peralihan kewenangan OB ke Badan Pengusahaan. Oleh sebab itu, untuk sementara OB bisa menjalankan fungsi itu," ungkap Edy Putra Irawady Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan, kemarin.

Hasil tindak lanjut Rakortas akhir pekan lalu, menugaskan Tim Teknis segera menyelesaikan kebijkan yang diperlukan untuk implementasi UU No. 44/2007 dan peraturan pelaksanaan tentang Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas (KPBPB) setelah adanya Dewan Nasional dan Dewan Kawasan."

Edy menjelaskan, Rakortas meminta penyelesaian masalah preaktik dengan fokus yang terjadi di Batam karena setelah UU No. 44/2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2007 terkait Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), dan pemberlakuan Batam, Bintan, Karimun (BBK) sejak 1 November 2007, serta PP 46/2007 tentang KPBPB Batam, tidak ketentuan peralihannya.

"Padahal banyak hal yang harus diawasi. Misalnya, dari mulai kelancaran pemasukan dan pengeluaran barang, perizinan, pengeluaran, pelimpahan ke BP, dokumen (surat keterangan asal/ SKA), dan point kewajiban lainnya," jelasnya.

Edy menambahkan masalah fasilitas pajak seperti yang dituangkan dalam PP No. 63 dan SK Menteri Keuangan No. 60/2003 juga masih berlaku, kendati sudah ada UU No. 44/2007 dan sejumlah PP lainnya yang terbit pada 7 Mei 2008.

Kejelasan status

Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tidak akan mengucurkan dana operasional bagi OB untuk 2009 sebelum ada kejelasan status bagi badan itu.

"BPK dan Bappenas, sudah menegaskan OB hanya bisa menggunakan anggaran negara sampai 31 Desember 2008. Tahun depan sudah tidak bisa lagi, selama OB belum menjadi badan yang jelas."

Edy menegaskan tim teknis masih mengkaji badan seperti apa yang layak menggantikan organisasi OB dalam menjalankan fungsi sebagai badan pengelolaan kawasan bebas.

Tahun ini, OB menerima alokasi dana APBN sebesar Rp160 miliar. Biaya rutin yang diperoleh dari unit usaha pelabuhan laut, bandara, rumah sakit, dan pengelolaan lahan sebesar Rp300-an miliar sehingga total anggaran belanja dan pendapatan OB mencapai Rp460-an miliar.

Pada 31 Desember merupakan tenggat bagi OB menjadi badan pengusahaan kawasan sesuai amanat PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam. Proses pengalihan badan itu menjadi badan pengelolaan tidak segampang yang diperkirakan.

Menurut Edy, ada beberapa peraturan perundangan yang harus diperhatikan oleh Dewan Kawasan sebelum membentuk BP KPBPB Batam terutama soal peralihan aset dan pegawai seperti diatur dalam UU Perbendaharaan, UU Kepegawaian, dan UU Kekayaan Negara.

Friday, May 16, 2008

Dewan Kawasan atau Dewan Keamanan?

Melihat struktur personel yang duduk dalam Keppres No. 9, 10, 11 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun, sepertinya wajar bila publik mempertanyakan, apakah ini Dewan Kawasan atau Dewan Keamanan?

Lihat saja, di sana ada Kapolda Kepri, DanRem 033 Wirapratama, Dan Guskamla Armabar TNI AL, Dan Lantamal IV Tanjung Pinang, Kanwil Depkumham RI Kepri, Kanwil Ditjen BC Kepri, dan Kejaksaan Tinggi Kepri. Dari 12 personel yang ada, didominasi oleh aparat keamanan dan hukum.

Memang, maksud didudukkannya para elit militer dan polisi dalam DK FTZ agar ada jaminan keamanan bagi para investor yang ingin masuk ke BBK. Lantas pertanyaan, bila aparat keamanan tidak masuk DK, apakah keamanan bagi investor tidak terjamin?

Pernyataan Brigjen Pol Sutarman, Kapolda Kepri berikut ini patut dicermati. "Kami akan menyiapkan pedoman pengamanan bagi investor di Kepri, baik apakah kami duduk dalam DK ataupun tidak."
Sebuah pernyataan yang bijak, tanpa ada tendensi apapun. Memang sudah demikianlah tugas aparat keamanan, karena sejatinya, mereka punya tupoksi yang mengamankan wilayah kedaulatan RI.

Yang tidak bijak justru pihak yang menyusun DK itu sendiri. Mengapa lebih memilih aparat keamanan ketimbang praktisi bisnis untuk duduk dalam struktur DK yang bertugas membuat regulasi bagi suksesnya pembangunan dalam wilayah FTZ?

Apakah ada jaminan, bila aparat keamanan hukum yang duduk dalam DK maka penyelundupan akan teratasi, praktek bisnis ilegal akan diberantas, dan para koruptor akan ditangkap? Rasanya tidak mungkin. Toh, tanpa duduk dalam DK pun, praktek ilegal masih banyak terjadi. Penyelundupan semakin marak, penimbunan sembako makin menjadi-jadi, dan kecurangan dalam proyek pembangunan tidak pernah habis.

Tapi, kita tentunya tidak boleh pesimis dengan DK yang baru saja terbentuk ini. Kalo bisa optimis ya optimis aja. Namun kita realistis aja dengan kondisi ini, bila birokrat yang duduk dalam DK maka sama saja mengembalikan fungsi pokok pengelolaan FTZ ke tangan aparatur yang sudah terkenal birokrasi kompleks.

Lantas mau dibawa kemana FTZ BBK ini? Semoga saja, Sang Ketua DK mampu membawa biduk DK ini menjadi nakhoda bagi pembangunan kawasan bebas di BBK. Dan contoh bagi pembentukan FTZ-FTZ lainnya di Indonesia.

Selamat berjuang...

Thursday, May 15, 2008

Ismeth Sukses Lobi SBY

Apa maksud judul di atas? Tak lain adalah wujud kekaguman atas kehebatan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah melobi Presiden SBY guna mempertahankan usulannya atas struktur Dewan Kawasan FTZ BBK.

Lewat Keppres No. 9, 10, 11 Tahun 2008 tentang DK FTZ BBK, susunan komposisi pejabat dalam DK tidak jauh berbeda dengan susunan yang diusulkan Ismeth beberapa bulan sebelumnya. Disitu ada Kepolisian Daerah, Kejaksaan Tinggi, Bea Cukai, Korem, Guskamla TNI AL, Lantamal TNI AL, dan sebagainya.

Padahal, tiga bulan lalu ketika Wapres Jusuf Kalla datang ke Batam, sudah ditegaskan bahwa pemerintah sedang menggodok usulan Gubernur mengenai struktur DK, dan dipastikan ada pengurangan atau bahkan penggantian personel dari yang diusulkan.
Tapi siapa menyangka, setelah perpres itu terbit, ternyata isinya sama saja alias persis dengan yang diusulkan. Yang dicoret hanya pejabat setingkat dinas dan wakil gubernur serta Ketua DPRD saja.

Hebat...sekali lagi selamat buat pak Gubernur..
Rombongan 'lenong' yang masuk dalam struktur DK itu jelas tidak pro pasar. Bukan pada tempatnya memposisikan aparat keamanan sebagai anggota Dewan Kawasan FTZ yang fungsinya menjadi badan regulator dan pengawas dalam implementasi FTZ di Batam-Bintan-Karimun.

Aparat keamanan baik polisi dan TNI, sejatinya memiliki tugas, pokok, fungsi (tupoksi) sebagai penjaga keamanan di darat, laut, dan udara. Tanpa perlu duduk dalam DK pun, mereka wajib menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah RI baik dari serangan perampok, penyelundup, dan koruptor. Begitu juga, aparat Bea Cukai.
Memang sih, maksud Ismeth menempatkan aparat keamanan dalam DK supaya investor mendapatkan jaminan keamanan dan kenyamanan dalam menjalan operasi usahanya di Batam Bintan Karimun.

Dalam dokumen Perpres yang saya terima, disebutkan untuk DK Batam sebanyak 12 orang pejabat struktural masuk dalam komposisi, DK Bintan sebanyak 13 orang, dan DK Karimun 12 orang. Gubernur Kepri menjad Ketua merangkap Anggota. Kemudian, di masing-masing wilayah FTZ, walikota dan bupati menjabat wakil ketua merangkap anggota, diikuti oleh pejabat struktural (Muspida) di daerah masing-masing.
Khusus FTZ Bintan, Bupati Bintan dan Walikota Tanjung Pinang mendapatkan tempat sebagai wakil ketua merangkap anggota.

Bisa dikatakan, struktur DK FTZ BBK terlalu 'gemuk' atau bisa dibilang kegemukan. Mengapa harus semua unsur Muspida dimasukkan dalam struktur? Ya, itulah Ismeth, sang gubernur yang punya politik akomodatif. Dengan begitu, dia bisa memberikan pekerjaan baru bagi para birokrat di luar aktivitas rutinnya.

Coba, kita lihat Dewan Kawasan Sabang (DKS). Kawasan FTZ yang pertama kali dibentuk di republik ini. Hanya ada tiga pejabat, Ketua DKS dijabat Gubernur NAD, Wakil Ketua: Walikota Sabang dan Bupati Aceh Besar. Sudah, cukup...tidak ada anggota dan aparat keamanan di dalamnya.
Memang, dibandingkan dengan Batam, Sabang masih kalah. Tapi setidaknya efektifitas struktur organisasi di DKS bisa jadi bahan bagi DK Batam. Publik bukanlah anak sekolah yang bodoh dan bisa dibohongi. Masyarakat akhirnya bisa mengerti betapa penguasa hanya menginginkan lahan kekuasaan dari pada niat membangun negeri.

Kita tunggu saja, mau dibawa kemana pulau ini oleh DK Yang Terhormat.

Wednesday, May 14, 2008

Pemkot Batam VS Otorita Batam

Gud Morning Blogger..

Ditandatanganinya Perpres DK FTZ oleh Presiden SBY senin lalu, disatu sisi memberikan kepastian mengenai arah implementasi FTZ di Batam-Bintan-Karimun, tapi di sisi lain menciptakan peluang konflik baru.
Konflik apa itu? tak lain konflik kewenangan antara Badan Otorita Batam yang akan ganti baju menjadi Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam dengan Pemkot Batam. Siapa diantara dua institusi besar itu yang akan menjadi 'raja' di Pulau Batam? Mari kita berhitung!

Badan Pengelola Pembangunan Pulau Batam dibentuk dengan Keppres Nomor 65 tahun 1970 tentang pelaksanaan Proyek Pembangunan Pulau Batam, kemudian berdasarkan perkembangan, pemerintah memandang perlu mengembangkannya menjadi Daerah Industri dengan Keppres Nomor 65/1970 diganti dengan Keppres Nomor 74 Tahun 1971 tentang pengembangan Pembangunan Pulau Batam yang statusnya sebagai enterport partikelir di bawah Departemen Keuangan.

Dalam rangka peningkatan dan memperlancar pelaksanaan pengembangan daerah industri Pulau Batam, maka Keppres No.74 tahun 1971 dicabut dan ditetapkan Keppres No.41/1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.

Tugas yang diemban Otorita Batam antara lain mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industry dan kegiatan alih kapal, merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha dan menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus investasi asing di Batam.

Sejalan dengan keluarnya PP No.20/1972 tentang aturan Bonded warehouse, maka diterbitkanlah Keppres No.33/1974 tentang penetapan kawasan Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil sebagai gudang berikat atau bonded warehouse.

Ketika minyak dan gas tidak lagi menjadi produk unggulan ekonomi Indonesia, maka diusulkanlah rencana induk Pulau Batam sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional dalam sector industri berdasarkan kajian Crux Co. dari Amerika pada 1977. Sekaligus penugasan Otorita Batam sebagai penguasa pulau ini sejak 1977. Pembangunan Batam memasuki decade ke dua ditentukan dengan keluarnya Keppres No.41/1978 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse. Pada tahun itu ditandai dengan munculnya Teori Balon yang dicetuskan oleh BJ Habibie setelah bertemu dengan PM Singapura Lee Kuan Yew.

Keppres 41/1978 itu semakin diperkuat oleh Keppres No56/1981 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse ditambah dengan lima pulau sekitarnya meliputi Kasem, Moi-Moi, Ngenang, Tanjung Sauh, dan Janda Berias. Pada masa penugasan Otorita Batam tahun 1979, disusunlah sebuah master plan oleh Departemen Pekerjaan Umum yang menetapkan empat fungsi utama pulau Batam yakni sebagai kawasan industri, perdagangan, alih kapal, dan pariwisata.

Empat fungsi utama itulah yang menjadi pegangan bagi OB dalam menjalankan roda pembangunan di Pulau Batam selama 33 tahun terakhir. Mulai dari pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, sumber air baku, bandara, objek pariwisata, pelabuhan, dan kawasan industri. Yang kesemuanya menjadi daya tarik bagi masuknya investor asing (didominasi oleh Singapura, Jepang, dan Malaysia) ke Batam.

Ratusan perusahaan asing dan domestik hadir di Batam dengan nilai investasi triliunan rupiah dan membuka lapangan pekerjaan bagi ratusan ribu tenaga kerja yang berasal dari luar pulau ini.

Namun masa keemasan OB mulai pudar ketika era otonomi daerah bergulir pada 1999. Kehadiran Pemkot Batam sebagai pemerintahan otonom di pulau ini menggerus kewenangan penuh yang dimiliki OB dalam mengelola pembangunan Batam. Tercatat 11 kewenangan pusat yang dialihkan ke daerah termasuk kewenangan mengelola lahan, perdagangan, pariwisata, yang selama ini dipegang oleh OB sebagai representasi pusat.

Konflik kedua institusi itu sudah terasa sejak tahun 2000. OB yang berpegang teguh dengan Kepres No. 41/1978 dan terus diperpanjang hingga 2005 merasa 'berhak' menjadi pengelola pulau ini. Begitu juga, Pemkot Batam dengan UU Otda No. 22/1999 juga merasa lebih tinggi dibandingkan OB yang berpegang dengan Keppres.

Bahkan ketika wacana status FTZ akan diberlakukan di Batam pun, tarik ulur kedua institusi tidak pernah pudar. Masing-masing pihak ngotot memberlakukan status FTZ yang menguntungkan institusinya. OB ingin FTZ seluruh pulau agar perannya tidak berubah, tapi Pemkot ingin FTZ enclave agar ada pengotakkan antara kawasan pabean dengan kawasan bebas.

Nah, ketika pemerintah sudah menetapkan Batam sebagai FTZ menyeluruh melalui PP No. 46 Tahun 2007, potensi konflik itu juga tidak juga berakhir. Ego sektoral masih mendominasi. Pemkot mencoba mengusulkan FTZ yang lebih berbau Otonomi, maksudnya, Ketua Badan Pengusahaan Kawasan FTZ harus diketuai oleh Walikota Batam agar koordinasi arah pembangunan pulau ini terpusat di satu pemimpin.
Maksud Pemkot sudah jelas, mereka tidak ingin ada dualisme kewenangan atau dengan kata lain, kewenangan penuh ada di tangan Walikota/Pemkot Batam. Sedangkan OB, dilebur dalam struktur Pemkot menjadi setingkat dinas.

OB jelas tidak terima dengan konsep itu. Sesuai PP 46, OB akan berganti baju menjadi BPKFTZ Batam dan posisi Ketua nya tetap dijabat oleh Ketua OB incumbent.

Pemkot tidak terima bila dalam era FTZ nanti, mereka hanya jadi tukang stempel KTP, surat kelahiran dan kematian saja. Mereka ingin peran lebih menjadi leading sector dalam mengawal pembangunan Batam ke depan. Walaupun, jujur saja, Pemkot itu tidak bisa bekerja. Tanpa kehadiran Pemkot pun, Batam masih bisa berjalan dan besar. Justru kehadiran mereka hanya menambah panjang jalur birokrasi.

Ketika DK sudah diteken, maka kewenangan untuk menunjuk Ketua BPK FTZ Batam ada ditangan Gubernur Kepri sebagai Ketua DK. Di sini peran Gubernur sangat sentral dalam menentukan hitam putihnya FTZ Batam. Tanpa restu dia, maka Ketua OB saat ini bisa saja dilengserkan dan diserahkan kepada Walikota Batam.
Begitu juga sebaliknya, bila Gubernur lebih 'sreg' dengan Ketua OB saat ini untuk menjabat sebagai Ketua BPK, maka Walikota harus rela menjadi tukang stempel dan ngurusin orang meninggal.

Jadi, perseteruan antara OB dan Pemkot hanya dapat diselesaikan oleh Gubernur Kepri sebagai Ketua DK. Pantas tak pantas, Ketua BPK akan ditentukan seberapa kuat OB dan Pemkot melobi Ketua DK.

Nah, bila sudah begini, apakah wajar bila kita sebut, FTZ Batam hanya jadi perdagangan politik antara penguasa. Jangan berharap deh, mereka akan mengedepankan kepentingan ekonomi, sebab semua ini hanya sandiwara politik di atas panggung FTZ.
Sebab, tanpa FTZ pun, Pulau Batam sudah bertabur fasilitas dan insentif yang ditelorkan melalui Paket Deregulasi Juli 2005.

So guys, welcome to FTZ Phobia..








Tuesday, May 13, 2008

Bupati Bintan minta jadi Ketua Badan Pengusahaan Kawasan

Ini kabar terbaru dari Pulau Bintan.
Kawasan yang ditetapkan sebagai FTZ melalui PP No. 47/2007 itu dari awal sudah menegaskan menolak calon ketua Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Bintan dari kalangan profesional atau di luar dari birokrasi.

Bupati Bintan Ansar Ahmad memiliki konsep sebagai berikut. "Ketua BPKFTZ harus dijabat oleh Bupati Bintan. Soalnya, pelaksanaan program pembangunan oleh Ketua BPKFTZ harus sejalan dengan program pembangunan Bupati."

Kok bisa?? Ya bisa saja, apa yang tidak bisa di dunia ini. Bupati merupakan pemimpin tertinggi di kabupaten, jadi berhak untuk mengklaim pengembangan wilayahnya merupakan tanggung jawab bupati bersangkutan.

Hanya saja, apakah cukup relevan dengan iklim saat ini, dimana kerja birokrat sudah terkenal lamban, birokratif, dan sarat pungutan liar. Apakah tidak mungkin, nantinya terjadi konflik kepentingan antara jabatan Ansar sebagai bupati dengan jabatannya sebagai Ketua BPKFTZ?
Ya itu bisa saja terjadi.
Disatu sisi, Ketua BPK FTZ Bintan harus memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi investor melalui insentif dan peraturan daerah yang mendukung, tapi di sisi lain, Ansar sebagai bupati justru punya program pungutan daerah atas nama PAD yang merongrong kenyamaan berusaha. Belum lagi, pungli dari birokrasi yang lazim terjadi.

Yang jelas Ansar tak rela bila kursi Ketua BPKFTZ diserahkan kepada pihak swasta atau profesional yang kapabel dibidangnya. Entahlah, sepertinya, pak Bupati masih terpaku dengan metoda lama gaya birokrat. Sebab, bila ada Ketua BPKFTZ baru, maka levelnya setingkat dengan Bupati, ini artinya, pak Ansar ada saingannya donk..!!

Kita tunggu saja, apakah benar niat Bupati Bintan itu akan terwujud. Setelah DK Bintan terbentuk maka tugas selanjutnya adalah membentuk BPKFTZ Bintan. Apakah Gubernur akan menyetujui niat Bupati menjadi Ketua BPKFTZ. Nah, disini menariknya. Peran sentral Gubernur Kepri justru akan menjadi ajang kongkalikong untuk menggolkan kepentingan kelompok tertentu.

Semoga dugaan itu salah..!!!

Perpres Dewan Kawasan diteken SBY

dear blogger,

Kemarin pagi (Senin, 13 Mei 2008) Presiden SBY menandatangani Peraturan Presiden tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas untuk wilayah Batam, Bintan, dan Karimun, plus Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas.
Mungkin sebelum bertolak ke Surabaya, pak presiden menyempatkan diri menandatangani perpres yang dinanti oleh pejabat di Batam, Bintan, dan Karimun.

Oke, fokus kita kali ini bukan soal kapan perpres itu diteken, tapi komposisi siapa saja pejabat yang 'beruntung' duduk dalam struktur DK. Rumors yang beredar, para pejabat yang duduk tidak jauh beda dengan usulan pak Gubernur Kepri Ismeth Abdullah.

Hmmm...kalo memang demikian, maka tidak ada perubahan signifikan yang dilakukan Menteri Perekonomian terhadap usulan pak Gubernur, kecuali hanya ingin mengulur-ulur waktu pengesahan perpres itu. Semoga dugaan itu salah ya..!

Yang jelas, hingga hari kedua sejak perpres DK diteken, belum ada yang mengetahui komposisi real DK FTZ. Alasannya, perpres belum diberi nomor oleh Sekretariat Negara, kemungkinan baru pagi ini perpres akan diberi nomer dan menjadi lembaran negara yang sah.

Jadi, belum banyak yang bisa dikomentari. Tapi para pejabat di daerah sudah senang bukan kepalang. Mereka berasumsi, pengesahan DK menjadi klimaks atas perjuangan FTZ selama ini. Dengan kata lain, makin tingginya arus investasi asing sudah didepan mata. Benar kah???
Semoga harapan itu benar adanya. Pengesahan DK ini bisa menjadi stimulan bagi investor asing untuk mempercepat realisasi investasinya di Batam-Bintan-Karimun.

Hanya saja, para pejabat di Kepri harus ingat, status FTZ bukan satu-satunya faktor penentu investor mau menanamkan modalnya di kawasan ini. Lebih dari itu, komitmen dari para birokrat untuk memberikan iklim investasi yang kondusif jauh lebih penting dari pada larut dalam euforia dan khayalan semu.

Iklim yang kondusif itu bisa dalam bentuk membenahi mental para aparat penegak hukum, birokrat perizinan, dan pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan. Apakah itu semua sudah dibenahi? Entahlah...Kalo ditanya pasti jawab pak Gubernur sudah, tapi kenyataannya, masih ada pungutan liar di kantor pemkot Batam.
Masih banyak jalan berlubang dan tidak terselesaikan oleh pemkot dan OB. Pelabuhan Batu Ampar masih semrawut, masih ada pelabuhan khusus yang beroperasi di luar ketentuan, masih banyak aparat yang bermain mata dengan para penyelundup.

Dan yang paling utama, masih terbukanya peluang bisnis penyelundupan di Pulau Batam-Rempang-Galang sehingga dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif bagi penguatan citra Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan tujuan investasi asing.

Kapan OB, Pemkot, dan Pemprov akan memperbaiki ini semua??
Saya tidak yakin akan dilakukan dalam waktu dekat, karena ya kita semua tahu, perjuangan FTZ hanya untuk kepentingan politik semata. Esensi dari FTZ itu sendiri, tidak banyak yang memahaminya. Sayang..seribu kali sayang..!!!