Wednesday, May 14, 2008

Pemkot Batam VS Otorita Batam

Gud Morning Blogger..

Ditandatanganinya Perpres DK FTZ oleh Presiden SBY senin lalu, disatu sisi memberikan kepastian mengenai arah implementasi FTZ di Batam-Bintan-Karimun, tapi di sisi lain menciptakan peluang konflik baru.
Konflik apa itu? tak lain konflik kewenangan antara Badan Otorita Batam yang akan ganti baju menjadi Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam dengan Pemkot Batam. Siapa diantara dua institusi besar itu yang akan menjadi 'raja' di Pulau Batam? Mari kita berhitung!

Badan Pengelola Pembangunan Pulau Batam dibentuk dengan Keppres Nomor 65 tahun 1970 tentang pelaksanaan Proyek Pembangunan Pulau Batam, kemudian berdasarkan perkembangan, pemerintah memandang perlu mengembangkannya menjadi Daerah Industri dengan Keppres Nomor 65/1970 diganti dengan Keppres Nomor 74 Tahun 1971 tentang pengembangan Pembangunan Pulau Batam yang statusnya sebagai enterport partikelir di bawah Departemen Keuangan.

Dalam rangka peningkatan dan memperlancar pelaksanaan pengembangan daerah industri Pulau Batam, maka Keppres No.74 tahun 1971 dicabut dan ditetapkan Keppres No.41/1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.

Tugas yang diemban Otorita Batam antara lain mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industry dan kegiatan alih kapal, merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha dan menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus investasi asing di Batam.

Sejalan dengan keluarnya PP No.20/1972 tentang aturan Bonded warehouse, maka diterbitkanlah Keppres No.33/1974 tentang penetapan kawasan Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil sebagai gudang berikat atau bonded warehouse.

Ketika minyak dan gas tidak lagi menjadi produk unggulan ekonomi Indonesia, maka diusulkanlah rencana induk Pulau Batam sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional dalam sector industri berdasarkan kajian Crux Co. dari Amerika pada 1977. Sekaligus penugasan Otorita Batam sebagai penguasa pulau ini sejak 1977. Pembangunan Batam memasuki decade ke dua ditentukan dengan keluarnya Keppres No.41/1978 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse. Pada tahun itu ditandai dengan munculnya Teori Balon yang dicetuskan oleh BJ Habibie setelah bertemu dengan PM Singapura Lee Kuan Yew.

Keppres 41/1978 itu semakin diperkuat oleh Keppres No56/1981 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse ditambah dengan lima pulau sekitarnya meliputi Kasem, Moi-Moi, Ngenang, Tanjung Sauh, dan Janda Berias. Pada masa penugasan Otorita Batam tahun 1979, disusunlah sebuah master plan oleh Departemen Pekerjaan Umum yang menetapkan empat fungsi utama pulau Batam yakni sebagai kawasan industri, perdagangan, alih kapal, dan pariwisata.

Empat fungsi utama itulah yang menjadi pegangan bagi OB dalam menjalankan roda pembangunan di Pulau Batam selama 33 tahun terakhir. Mulai dari pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, sumber air baku, bandara, objek pariwisata, pelabuhan, dan kawasan industri. Yang kesemuanya menjadi daya tarik bagi masuknya investor asing (didominasi oleh Singapura, Jepang, dan Malaysia) ke Batam.

Ratusan perusahaan asing dan domestik hadir di Batam dengan nilai investasi triliunan rupiah dan membuka lapangan pekerjaan bagi ratusan ribu tenaga kerja yang berasal dari luar pulau ini.

Namun masa keemasan OB mulai pudar ketika era otonomi daerah bergulir pada 1999. Kehadiran Pemkot Batam sebagai pemerintahan otonom di pulau ini menggerus kewenangan penuh yang dimiliki OB dalam mengelola pembangunan Batam. Tercatat 11 kewenangan pusat yang dialihkan ke daerah termasuk kewenangan mengelola lahan, perdagangan, pariwisata, yang selama ini dipegang oleh OB sebagai representasi pusat.

Konflik kedua institusi itu sudah terasa sejak tahun 2000. OB yang berpegang teguh dengan Kepres No. 41/1978 dan terus diperpanjang hingga 2005 merasa 'berhak' menjadi pengelola pulau ini. Begitu juga, Pemkot Batam dengan UU Otda No. 22/1999 juga merasa lebih tinggi dibandingkan OB yang berpegang dengan Keppres.

Bahkan ketika wacana status FTZ akan diberlakukan di Batam pun, tarik ulur kedua institusi tidak pernah pudar. Masing-masing pihak ngotot memberlakukan status FTZ yang menguntungkan institusinya. OB ingin FTZ seluruh pulau agar perannya tidak berubah, tapi Pemkot ingin FTZ enclave agar ada pengotakkan antara kawasan pabean dengan kawasan bebas.

Nah, ketika pemerintah sudah menetapkan Batam sebagai FTZ menyeluruh melalui PP No. 46 Tahun 2007, potensi konflik itu juga tidak juga berakhir. Ego sektoral masih mendominasi. Pemkot mencoba mengusulkan FTZ yang lebih berbau Otonomi, maksudnya, Ketua Badan Pengusahaan Kawasan FTZ harus diketuai oleh Walikota Batam agar koordinasi arah pembangunan pulau ini terpusat di satu pemimpin.
Maksud Pemkot sudah jelas, mereka tidak ingin ada dualisme kewenangan atau dengan kata lain, kewenangan penuh ada di tangan Walikota/Pemkot Batam. Sedangkan OB, dilebur dalam struktur Pemkot menjadi setingkat dinas.

OB jelas tidak terima dengan konsep itu. Sesuai PP 46, OB akan berganti baju menjadi BPKFTZ Batam dan posisi Ketua nya tetap dijabat oleh Ketua OB incumbent.

Pemkot tidak terima bila dalam era FTZ nanti, mereka hanya jadi tukang stempel KTP, surat kelahiran dan kematian saja. Mereka ingin peran lebih menjadi leading sector dalam mengawal pembangunan Batam ke depan. Walaupun, jujur saja, Pemkot itu tidak bisa bekerja. Tanpa kehadiran Pemkot pun, Batam masih bisa berjalan dan besar. Justru kehadiran mereka hanya menambah panjang jalur birokrasi.

Ketika DK sudah diteken, maka kewenangan untuk menunjuk Ketua BPK FTZ Batam ada ditangan Gubernur Kepri sebagai Ketua DK. Di sini peran Gubernur sangat sentral dalam menentukan hitam putihnya FTZ Batam. Tanpa restu dia, maka Ketua OB saat ini bisa saja dilengserkan dan diserahkan kepada Walikota Batam.
Begitu juga sebaliknya, bila Gubernur lebih 'sreg' dengan Ketua OB saat ini untuk menjabat sebagai Ketua BPK, maka Walikota harus rela menjadi tukang stempel dan ngurusin orang meninggal.

Jadi, perseteruan antara OB dan Pemkot hanya dapat diselesaikan oleh Gubernur Kepri sebagai Ketua DK. Pantas tak pantas, Ketua BPK akan ditentukan seberapa kuat OB dan Pemkot melobi Ketua DK.

Nah, bila sudah begini, apakah wajar bila kita sebut, FTZ Batam hanya jadi perdagangan politik antara penguasa. Jangan berharap deh, mereka akan mengedepankan kepentingan ekonomi, sebab semua ini hanya sandiwara politik di atas panggung FTZ.
Sebab, tanpa FTZ pun, Pulau Batam sudah bertabur fasilitas dan insentif yang ditelorkan melalui Paket Deregulasi Juli 2005.

So guys, welcome to FTZ Phobia..








No comments:

Post a Comment