Friday, December 28, 2007

FTZ BBK, antara ada dan tiada

Mungkin sebagian orang berpikir setelah Perppu No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas disahkan menjadi UU No. 44 Tahun 2007, maka urusan mengenai kawasan perdagangan bebas/FTZ telah mencapai titik klimaks.

Tapi dugaan itu meleset, UU 44 justru jadi antiklimaks dan episode perjuangan FTZ masih terus berlanjut dan mencapai babak baru. Proses implementasinya di lapangan ternyata tidak segampang yang dibayangkan seperti termaktub dalam UU dan PP No. 46-47-48 tahun 2007 tentang FTZ Batam-Bintan-Karimun.

Tidak saja soal pembentukan Dewan Kawasan yang menuai kritikan dari berbagai kalangan mulai ahli hukum hingga LSM yang mengatasnamakan warga tempatan. Tapi juga soal peralihan Badan Otorita Batam menjadi Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam dan peralihan aset-aset pusat di kota ini menjadi aset daerah.

Dan tentu saja, yang paling krusial dan sensitif adalah pembagian kewenangan antara Pemkot Batam yang merepresentasikan otonomi daerah dengan BPK-FTZ yang memegang amanah UU sebagai penanggung jawab pembangunan di daerah bebas.

Sudahkah ini dipikirkan pemerintah? Sepertinya belum, sebab kalau sudah dipikirkan dengan matang maka episode demi episode perjuangan FTZ ini sudah mencapai titik klimaks dan implementasinya sudah terealisasi dengan mulus.

Kenyataannya, UU 44 dan PP yang menyertainya justru menimbulkan persoalan baru. DK yang berisi orang-orang yang 'pilihan' belum juga disahkan oleh presiden, embrio BPK-FTZ beserta kewenangannya belum juga disosialisasikan, dan bagaimana mekanisme peralihan aset-aset pusat ke daerah, dan antisipasi perubahan struktur pemerintahan dalam kawasan bebas ini.

Soal DK
DK yang diusulkan gubernur--seperti diduga banyak pihak--diisi oleh para birokrat dan pejabat yang menduduki posisi struktural daerah, seperti Gubernur Kepri, Ketua DPRD Kepri, Wagub, Walikota Batam, Bupati Bintan-Karimun, Kapolda Kepri, DanLantamal, Kejaksaan, dan perwakilan pengusaha.

Bila ditanyakan soal kapabilitas orang-orang yang duduk di DK itu, tentu saja masih diragukan karena penunjukkannya tanpa melalui proses uji kepatutan dan transparansi. Lalu mengapa masih ditunjuk?

Dalam satu kesempatan, Ismeth Abdullah, Gubernur Kepri pernah mengatakan bahwa komposisi DK akan diisi oleh orang-orang yang akan mendukung terselenggaranya sistem perizinan investasi yang cepat, tepat, aman, dan terkendali.

Artinya, DK inilah yang akan mengatasi berbagai hambatan yang selama ini dikeluhkan para investor seperti birokrasi berbelit, keamanan kapal dan distribusi barang, pungutan liar, dan lain sebagainya.

"Mereka inilah yang akan menjamin berbagai hambatan itu tidak terjadi lagi sehingga kenyaman berinvestasi bisa diwujudkan di kawasan bebas ini," ujar Ismeth.

Maksudnya pak Gubernur memang benar, tapi apakah sudah selayaknya menempatkan seorang polisi dan TNI dalam struktur DK, apakah bila militer dan polisi tidak ada dalam DK lantas keamanan investor tidak terjamin.

Sungguh ironis cara berpikir pejabat zaman sekarang. Sudah jelas, tugas dan fungsi pokok polisi dan TNI itu adalah menjaga keamanan dan ketertiban di darat, laut, maupun udara. Tanpa perlu duduk dalam DK pun, seorang polisi wajib mengamankan aset-aset vital milik investor dari ancaman teroris atau kelompok tertentu.

Soal BPK-FTZ
Masih terkatung-katungnya pembahasan DK oleh presiden, tentu saja berdampak terhadap pembentukan BPK-FTZ dan pada akhirnya proses peralihan dari OB ke BPK-FTZ akan terkendala termasuk peralihan aset-asetnya.

Satu hal yang mesti jadi perhatian serius adalah peralihan sebuah badan representasi pusat (OB) menjadi sebuah badan di daerah tentu tidak cukup diatur secara umum, ia memerlukan aturan khusus karena ada hal-hal khusus dan substansial yang harus dijabarkan secara detail oleh pusat.

Tidak saja soal penggantian nama dari OB menjadi BPK-FTZ tapi juga soal inventarisasi aset tidak bergerak, pegawai, dan segala hal yang menyangkut peralihan sebuah badan baru milik pusat ke daerah.

Ampuan Situmeang, Wakil Ketua Hukum dan Etika Usaha Kadin Provinsi Kepri, menilai selayaknya pemerintah menyiapkan sebuah peraturan pemerintah baru yang mengatur khusus soal peralihan status OB dari milik pusat menjadi daerah.

"Mestinya PP 46 khusus mengatus soal penetapan status FTZ Batam, tapi ini sudah melampaui kewenangan PP itu dengan menyebutkan pula peralihan OB menjadi BPK-FTZ. Pemerintah harus menyelesaikan masalah ini," tuturnya.

Masalah terpenting diantara itu semua adalah berubahnya struktur pemerintahan di daerah pasca penerbitan UU 44 dan PP 46, 47 dan 48 tahun 2007. Pertama, Pulau Batam yang selama ini dikelola secara bersama antara OB dan Pemkot Batam akan mengalami benturan kewenangan karena nantinya OB akan menjadi BPK-FTZ yang juga berwenang penuh.

Pertanyaannya, dimanakan peran Pemkot Batam pasca pembentukan badan pengelolaan kawasna bebas ini? Jawabannya hampir pasti, OB=BPK akan tetap menguasai aset-aset strategis dan perizinan usaha serta investasi. Pemkot Batam kembali ke khitahnya sebagai pengelola masalah sosial kemasyarakatan.

Kedua, Pulau Bintan yang terdiri dari dua pemerintahan kota yaitu Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan juga akan berbenturan dengan Badan Pengelola kawasan bebas Bintan sesuai amanat PP No 47. Pulau Bintan sudah terkotak-kotak menjadi beberapa kawasan bebas, dan sejauh mana kewenangan pemkot/pemkab dalam kawasan FTZ tersebut?

Ketiga, Pulau Karimun yang dikelola oleh Pemkab Karimun juga akan berhadapan dengan Badan Pengelola FTZ Karimun. Pulau Karimun Besar juga sudah terkotak-kotak menjadi kawasan bebas.

Ketiga hal tersebut menjadi potensi masalah karena beberapa alasan, pertama, UU 44 yang merupakan perbaikan dari UU 36/2000 terbukti gagal mengangkat Sabang sebagai kawasan bebas yang berhasil. Tapi mengapa kini, UU yang sama dijadikan landasan hukum bagi FTZ BBK?

Kedua, pengalaman membuktikan niat pemerintah pusat menyelesaikan konflik kewenangan antara Pemkot dan OB tidak pernah ada. Nyatanya, PP Pembagian kewenangan antara dua institusi pemerintahan itu tidak pernah dibuat setelah hampir 8 tahun Otonomi Daerah bergulir.
Bagaimana pusat bisa menyelesaikan konflik-konflik kewenangan di pulau Bintan dan Karimun, sementara pekerjaan rumah yang lama saja tidak terselesaikan.

Masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang menggantung di benak pengusaha dan pengamat di kota ini. FTZ bukan lagi pemicu bagi kebangkitan ekonomi Kepri, toh, pertumbuhan yang terjadi selama ini bukan karena FTZ secara riil melainkan secara psikologis.

Insentif yang dirasakan oleh investor di kota ini merupakan peninggalan Menteri Keuangan Jusuf Anwar ketika meluncurkan Paket Deregulasi Juli atau yang dikenal dengan Bonded Zone Plus (BZP) pada 2005 lalu. Praktis sejak itu, tidak ada lagi peraturan pemerintah atau menteri yang secara signifikan mengatur atau memberikan insentif baru kepada pemodal.

Provinsi ini nyaris tidak lagi bangga dengan statusnya sebagai FTZ, karena status itu hanya menjadi lip service bagi pejabat-pejabat dalam setiap acara-acara seremonial di pusat dan daerah, untuk mengesankan bahwa Kepri memang maju karena FTZ padahal itu semua bohong belaka karena FTZ secara riil belum dirasakan di BBK.

No comments:

Post a Comment