Wednesday, August 15, 2007

Sabang & Batam tunggu kebijakan

Free Trade Zone (FTZ) Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) akankah menjadi 'saksi bisu' ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah? Ataukah FTZ hanya janji-janji surga bagi investor? Akankah FTZ BBK tidak akan jadi kenyataan, dan hanya sebatas wacana?

Sejumlah pertanyaan sekitar FTZ BBK itu kerap muncul di kalangan dunia usaha dan investor. Jawabannya sangat tergantung pada kemauan pemerintah. Batam sejatinya adalah kota yang paling siap dibenahi sebagai FTZ. Atau mungkin special economic zone (Kawasan Ekonomi Khusus), sebagaimana intens dibahas dengan Singapura.

Mengapa? Hal ini karena secara infrastruktur, pengalaman, ketenaran (catatan internasional menunjukkan bahwa Batam sebagai FTZ pioner), kelembagaan (pengalaman Otoritas Batam), dan letak geografis (baik lintasan angkutan darat maupun kedekatan dengan pusat perdagangan internasional) yang sangat mendukung.

Selain itu, sudah terbentuknya Joint Working Committee SEZ antara Indonesia dan Singapura tahun lalu, yang menyepakati empat agenda dengan rencana aksi a.l. promosi investasi dan kantor pemasaran bersama.
Ditambah lagi dengan adanya UU Kepulauan Riau yang menyebutkan bahwa Batam sebagai kawasan industri, perdagangan, alih kapal, dan pariwisata.

Kendati banyak pihak yang menganggap kalau FTZ BBK bukan contoh ideal untuk pengembangan KEK di Indonesia, 'bayi prematur' yang sudah terlanjur lahir itu mesti mendapat perhatian khusus agar cepat berkembang sebagaimana layaknya 'bayi-bayi' [SEZ] di negara lain.

Potret Sabang
Bila bercermin pada Sabang, jangan sampai Batam bernasib sama. Sabang dengan predikat kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (FTZ), tetapi namanya nyaris tidak terdengar.

Mengapa? Hal ini karena pemerintah terkesan lamban dalam menyediakan fasilitas, selain perkembangan FTZ di Sabang yang kurang mampu menarik investor. Padahal, Sabang sudah memiliki UU No. 37/2000 (menggantikan Perpu No. 2/2000) yang menetapkan kota itu sebagai FTZ.

Pemerintah bahkan telah membentuk Dewan Kawasan Sabang (DKS)-sebagai pemilik hak otonomi dan otoritas penuh-untuk menetapkan kebijakan, membina, mengawasi sekaligus mengelola perkembangan kawasan itu. Tambahan lagi, DKS sudah menunjuk Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS).

Posisi Sabang juga strategis. Kota ini menghadap ke Samudra Hindia, menjadi pintu masuk selat dengan perdagangan terpadat di dunia, yaitu Selat Malaka, serta lautnya yang dalam sebagai tempat bersandarnya kapal-kapal berukuran besar.
Minimnya infrastruktur bisa jadi merupakan salah satu penyebab tidak berkembangnya Sabang sebagai FTZ. Sebut saja, ketersediaan listrik, misalnya.

Lebih menariknya lagi, dua Surat Keputusan Dirjen di Departemen Perdagangan mengenai tata niaga diketahui menjadi penghambat berkembangnya Sabang sebagai FTZ.
Akhirnya terbitlah UU No. 11/2006 tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada Agustus 2006. UU yang lahir pascapertemuan Helsinki itu semakin menegaskan bahwa Sabang adalah FTZ dalam arti yang sebenarnya.

Mengacu pada UU tersebut, pemerintah pusat mestinya sudah mengeluarkan kebijakan turunan berupa RPP mengenai Pelimpahan Kewenangan kepada Dewan Kawasan Sabang (DKS). Dewan ini selanjutnya mengeluarkan kebijakan turunan berupa penunjukan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.

Sebuah Tim Pokja diketahui sudah merampungkan RPP tersebut dan telah dikirim ke Menteri Dalam Negeri sejak Februari 2007. Pada awal Juli, RPP itu dikembalikan ke Gubernur NAD untuk mendapat masukan, setelah hampir empat bulan 'menginap' di Depdagri.
Dalam pasal 8 RPP itu disebutkan bahwa untuk mempercepat pengembangan FTZ Sabang, Menko Perekonomian membentuk Tim Asistensi yang anggotanya terdiri dari instansi terkait, seperti halnya Batam.

Konon, tidak adanya asistensi dari pusat selama ini diyakini sebagai salah satu penyebab kurang berkembangnya FTZ Sabang. Hal itu diakui oleh Edy Putra Irawady, Ketua Pokja Penyusunan RPP tentang Pelimpahan Kewenangan kepada DK Sabang.

Selain itu, pasal 7 RPP mengenai pelimpahan kewenangan itu juga membolehkan Kepala BPKS mengerjakan profesional asing sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa Sabang sesungguhnya tinggal satu langkah lagi untuk mewujudkan FTZ.
Tetapi gaungnya memang tidak sekeras Batam. Dengan terseok-seok, Kepala DKS dan BPKS terus melangkah mewujudkan FTZ Sabang.

Tanpa adanya asistensi dari pusat pun, FTZ Sabang-yang dipimpin oleh kepala DKS Teuku Syaiful Achmad-telah menyiapkan master plan dan business plan.
Bahkan investor pun mulai berdatangan, menyusul ditandatanganinya MoU dengan Dublin Port Company dari Irlandia, dan dua investor lainnya dari Malaysia untuk menggarap sektor pariwisata dan perikanan.

FTZ Batam
Kembali ke Batam, Bintan, dan Karimun. Akankah semangat FTZ BBK ini terus membara hingga bisa menjadi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas sesungguhnya seperti Sabang? Karena perjalanan untuk merealisasikan FTZ BBK masih panjang (lihat bagan).
Keinginan pemerintah paling tidak terlihat semakin jelas. Sebut saja, dari mulai menyiapkan RPP lokasi, RPP mengenai Pelimpahan Kewenangan kepada Dewan Kawasan BBK, hingga persiapan RUU Kawasan Ekonomi Khusus.

Saat ini, pemerintah pusat dan daerah, melalui tim, merampungkan koordinat di Bintan dan Karimun yang menjadi bagian dari FTZ untuk menentukan lokasi dan kesiapan fisiknya (a.l. kesediaan air dan kondisi tanah). Rencananya, akhir Juli RPP penentuan lokasi FTZ di BBK ini rampung setelah dibahas di tingkat menteri.

Menurut Ketua Timnas KEK Indonesia Muhammad Lutfi, RPP untuk menentukan lokasi FTZ, khususnya untuk Bintan dan Karimun, sudah selesai. "Akhir bulan ini Peraturan Pemerintah tentang lokasi akan keluar."

Persiapan fisik lainnya yang sudah jalan adalah one stop service (layanan izin satu atap) oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Ditambah lagi dengan pelayanan kepabeanan secara elektronik (EDI), serta komitmen politik daerah terutama kekompakan DPRD, Otoritas Batam (OB), dan Pemkot Batam.

Kesiapan dan komitmen itu lebih memudahkan lagi dalam menentukan siapa yang akan menjadi Kepala DK Batam, dan Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) di BBK. Selain itu, mengharmonisasikan perda-perda yang mubazir.
Kekompakan itu paling tidak bisa menjadi stimulus dalam menyelesaikan kemungkinan transformasi dari sekitar 2.000-an karyawan OB dalam BPK-BBK. Kendati tidak seluruhnya, karena hanya seorang profesional, yang memiliki sense of business-lah yang akan memimpin BPK-BBK.

Paling tidak sejumlah karyawan OB bisa mengawal perjalanan BBK menjadi FTZ sesungguhnya selama masa transisi. Hal ini karena kepastian layanan berinvestasi tetap harus jalan, tidak boleh berhenti.

FTZ BBK yang lahir dari Perppu No. 1/2007 dengan segala latar belakang kedaruratannya, dilanjutkan dengan PP, mendorong pemerintah segera menyiapkan penjelasan tersebut dan menyiapkan RUU Perppu untuk dijadikan undang-undang.
RUU Perppu itu rencananya diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, yaitu medio Agustus 2007. Selanjutnya diharapkan bisa segera disahkan menjadi undang-undang, walaupun hingga kini alasan darurat tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan anggota dewan.

Arahan Wapres Jusuf Kalla, dalam rapat 28 Juni 2007, seakan menjadi amunisi bagi semua menteri terkait dan pejabat pemda yang tergabung dalam tim nasional untuk menyiapkan segala sesuatu mengenai FTZ BBK.

Payung KEK
Seiring dengan itu, pemerintah kini juga menyiapkan payung hukum lainnya, seperti RUU KEK/SEZ. Dalam Inpres No. 6/2007 disebutkan bahwa RUU KEK akan diajukan ke DPR pada November 2007.
RUU KEK itu kabarnya disiapkan sebagai antisipasi bila Perppu No. 1/2007 tidak disetjui menjadi UU. Hal ini karena ketentuan FTZ ada di dalam draf RUU tersebut.

Mengapa KEK kian intens disiapkan pemerintah? Hal ini karena di negara lain KEK/SEZ terbukti menjadi jalan pintas bagi upaya menggenjot investasi, menyerap tenaga kerja, meningkatkan ekspor dan penerimaan devisa, serta meningkatkan daya saing.

Isu KEK berhembus sejak awal 2006, saat Wapres mengunjungi Bojonegara, Banten. Pasalnya, Bojonegara memiliki potensi sebagai kawasan industri terpadu untuk dikembangkan menjadi KEK yang memiliki daya saing tinggi.
Sejak itulah Bojonegara kerap diusung dalam jualan Indonesia ke berbagai pameran investasi di sejumlah negara.

Kendati KEK masih dalam persiapan, Ketua Tim Pelaksana KEKI Muhammad Lutfi pada Juni 2007, di sela-sela World Economic Forum, menawarkan Kendal sebagai KEK otomotif kepada CEO Renault-Nissan Carloss Gohsn.

Kendal yang direncanakan sebagai KEK otomotif pun akan menjadi jualan di pameran dan seminar investasi yang digelar BKPM di Korea Selatan pada awal Agustus 2007. Tawaran ini penting mengingat Korsel merupakan salah satu produsen otomotif dunia.

KEK sejatinya tidak mesti berbentuk area bukaan baru, tetapi bisa juga pengembangan dan penyempurnaan dari yang sudah ada. Sebut saja, Kawasan Industri Jababeka dan tujuh kawasan industri di sekitarnya, yang sangat potensial untuk diajukan sebagai KEK.

Hal ini, menurut Wakil Ketua Timnas KEKI Bambang Susantono, karena KEK bisa dibentuk dari daerah baru seperti halnya Bojonegara, atau up grade dari yang sudah ada seperti KI Jababeka. Bisa pula merupakan usulan pemda, karena kesiapan dan kesanggupan wilayahnya hingga akhirnya ditetapkan pemerintah pusat.

11 Wilayah
Wacana yang berkembang, saat ini ada sedikitnya 11 wilayah di Indonesia yang berpotensi dijadikan KEK. Persoalannya adalah bukan semata-mata menjadi KEK/ SEZ, FTZ, EPZ (Export Processing Zone/ kawasan berikat), industrial estate (kawasan industri/KI), dan kawasan berikat (Bonded Warehouses). Hal ini karena kuncinya adalah kemauan pemerintah untuk segera merealisasikan FTZ dan KEK, sehingga berdampak terhadap peningkatan investasi, menurunkan angka pengangguran, dan mengurangi kemiskinan.

Banyak potret sukses KEK/SEZ di negara lain. Sebut saja Shenzhen (China), Taiwan, Korea Selatan, Kuwait, Jordania, Jamaika, dan Meksiko.

Indonesia sesungguhnya sudah memiliki Sabang secara defacto dan BBK secara dejure sebagai FTZ. Mungkin tinggal satu-dua langkah lagi dikebut agar segera terwujud dalam tahun ini juga.
Pada 2008, semua pejabat terkait dan dunia usaha bisa mewujudkan KEK menjadi kenyataan, tidak hanya sebatas wacana. Langkah dan irama yang sama hendaknya menjadi modal utama (kemauan) semua yang terlibat dalam Timnas KEK, anggota DPR, dan dunia usaha tentu.

Dengan cara demikian, Indonesia memiliki daya pikat investasi tanpa harus digembar-gemborkan dan mungkin bisa lebih baik dari negara lain. Namun, dengan catatan kebijakan pendukungnya terintegrasi dan implementatif.

Kembali ke kawasan ekonomi, semangatnya adalah mencapai efisiensi yang optimal, menghilangkan beban regulasi, birokrasi, dan campur tangan dengan memberikan 'vitamin' (insentif dan fasilitas) yang cukup tanpa harus ditambah dengan suplemen lagi.

Secara sederhana, keberhasilan SEZ di berbagai negara bukan karena insentif semata, tetapi 'kepastian' layanan. Hal itu terungkap dalam pertemuan EPZ sedunia di Turki pada April 2007. Bukankah fokus pekerjaan rumah bangsa ini adalah semangat mengentaskan kemiskinan dengan cara menggenjot investasi?

Oleh Neneng HerbawatiWartawan Bisnis Indonesia

No comments:

Post a Comment