Thursday, August 16, 2007

Bebas Pajak yang Bikin Cemburu

Bisnis Indonesia, 24 Agustus 2004

Kerinduan yang panjang atas lahirnya Undang-Undang Zona Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) Batam hari-hari ini mulai terobati. Sayangnya, masa penantian yang dipenuhi kontroversi itu justru dijawab dengan sebuah rancangan UU yang malah melahirkan polemik baru.

Polemik tersebut muncul lantaran RUU FTZ Batam yang digagas (inisiatif) Dewan Perwakilan Rakyat, dan kini sedang dalam proses pembahasan dengan pemerintah, tampak bertolak belakang dengan RUU versi pemerintah. Pemerintah sebenarnya bertekad melakukan koreksi atas kemelencengan yang telah berlangsung di Batam selama bertahun-tahun, dengan berupaya mengembalikan posisi Batam yang strategis secara ekonomi dan bisnis, ke "jalur yang benar."

Tak heran, jika rapat kerja pembahasan RUU Batam yang diketuai Surya Dharma Ali, Ketua Komisi V DPR, itu melibatkan sejumlah menteri termasuk Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra, Menperindag Rini M.S. Soewandi, dan Menteri Keuangan Boediono. Seperti pernah disinggung Menkeu Boediono, posisi Batam saat ini, yang mendapatkan banyak fasilitas perpajakan dan bea masuk, memang perlu diluruskan.

Mengapa? Batam, dengan fakta kependudukan, birokrasi dan kepabeanan seperti sekarang ini, sesungguhnya secara de facto telah menjadi free trade zone. Pasalnya, pemerintah menerapkan pembebasan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) -yang berangsur mulai dihapuskan untuk komoditas tertentu-bagi sebuah kawasan industri yang berbaur campur aduk dengan pemukiman penduduk, dan di dalamnya terdapat administrasi pemerintahan (Pemerintah Kota).

Barangkali tidak ada satu kawasan perdagangan bebas di manapun di dunia ini, yang berbaur jadi satu dengan kawasan pemukiman seperti Batam. Bahkan kawasan Pudong yang terkenal di Shanghai sekalipun, tetapi dibatasi antara zona perdagangan bebas dengan zona pemukiman dan aktivitas penduduk sehari-hari. Lazimnya, zona perdagangan bebas steril dari pemukiman penduduk, sehingga bisa meminimalkan terjadinya penyelundupan barang-barang yang mendapatkan fasilitas bebas pajak maupun bea masuk.

Dan karena itulah, jika dalam satu wilayah yang luas -seperti Batam yang berpenduduk hingga 500.000 jiwa-zona perdagangan bebas dipagari ke dalam wilayah industri yang disebut kawasan berikat (bonded zone), yang di dalamnya tidak terdapat aktivitas kependudukan maupun administrasi pemerintahan.

Bertolak belakang
Itu sebabnya, ketika pemerintah mulai membahas RUU FTZ Batam di DPR, suara sumbang langsung muncul ke permukaan. Pasalnya, dalam RUU inisiatif DPR itu, Batam 'secara keseluruhan' hendak dijadikan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Tentu saja, RUU versi DPR itu bertolak belakang dengan RUU versi pemerintah. Menurut RUU yang terakhir itu, Batam mesti dibagi-bagi ke dalam sejumlah wilayah perdagangan bebas, yang disebut enclave. RUU sandingan pemerintah memang menginginkan Kawasan Batam terdiri dari beberapa wilayah di Batam, Rempang, dan Galang. Zona tertentu di Batam dibagi dalam tujuh zona industri yaitu Batu Ampar di kecamatan Batu Ampar, Batam Centre dan Kabil di Nongsa, Muka Kuning di Sei Bedug, serta Sagulung, Tanjung Ucang, dan Sekupang di kecamatan Sekupang.

Sementara RUU dari DPR menginginkan Kawasan Batam merupakan daerah kota Batam, sesuai dengan UU No. 53/1999 yang dilaksanakan secara bertahap melalui peraturan pemerintah. Pada tahap pertama meliputi Batam, Rempang, Galang, dan Belakang Padang. Selain itu, dalam Ketentuan Peralihan RUU Batam, DPR menginginkan seluruh aset dan pengelolaan tanah yang berada di dalam wewenang Otorita Batam dialihkan menjadi aset Badan Otorita Pengusahaan Kawasan Batam (BOPKB).

Sedangkan pemerintah menginginkan aset dari Otorita Batam itu berpindah kepemilikannya menjadi aset Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BPKB), kecuali aset Jakarta dan yang telah diserahkan di bawah kendali Pemerintah Kota Batam. Menurut RUU 'versi pemerintah', aset yang menjadi milik pusat berupa pelabuhan laut dan bandar udara.

Sedangkan para pegawai Otorita Batam, sebut RUU 'bikinan' pemerintah itu, dialihkan menjadi pegawai pada BPKB. Selain itu, dari segi fasilitas perpajakan, RUU versi pemerintah memang tidak mengatur pembebasan berbagai jenis pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sementara PPN, PPnBM, bea masuk dan cukai tetap diberlakukan di luar zona-zona industri yang ditetapkan sebagai free trade zone.

Karena itulah, Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menuding RUU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang diajukan DPR bisa memicu persepsi ganda. Menurut dia, RUU 'versi DPR' itu bisa mengundang masalah baru pada saat diimplementasikan, jika tidak dipersempit atau diperjelas definisi yang melingkupinya.

Beberapa contoh istilah itu antara lain kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas atau badan otorita yang berbeda dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 1 Tahun 2000 yang akhirnya dikukuhkan menjadi UU No. 36/2000. UU No. 36/2000 tersebut memperkenankan suatu kawasan di wilayah Indonesia bisa ditetapkan kawasan perdagangan bebas yang menikmati pembebasan bea masuk, cukai, PPN, dan PPnBM, tetapi diberlakukan "di daerah kepabeanan."

Picu kecemburuan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi bahkan lebih tegas lagi. Menurut dia, beberapa materi RUU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam hasil inisiatif DPR sulit diterapkan. Jika dipaksakan, ketentuan dalam RUU itu akan memicu 'kecemburuan' antar daerah.

Rini mengatakan definisi DPR yang menginginkan Kawasan Batam secara keseluruhan menjadi zona perdagangan bebas tidak tepat dilaksanakan pada saat ini. Itulah yang mendorong Rini menjelaskan ke DPR secara berapi-api: Zona perdagangan bebas di Batam harus dibatasi (dipagari).

"Zona untuk kawasan perdagangan bebas perlu dibatasi karena perkembangan Batam kini menyimpang dari pemikiran awal [sebagai kawasan industri]...kini Batam dihuni sekitar 500.000 jiwa sehingga aktivitas industri hanya sebagian dari aktivitas industri," katanya kala itu.
Mengapa picu kecemburuan daerah lain?
Satu hal saja. Jika RUU itu dijalankan, daerah lain bisa saja meminta perlakuan yang sama seperti Batam: Diperbolehkan mengimpor barang dari luar negeri dengan murah, karena bebas pajak dan bea masuk, dan bisa diselundupkan oleh penduduk daerah itu ke daerah lain yang tidak masuk kategori zona perdagangan bebas.

Karenanya, Rini menekankan, sikap pemerintah jelas: penetapan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas hanya diperuntukkan bagi kawasan industri yang diharapkan bisa memicu ekspor nasional. Sejauh ini polemik belum menghasilkan kesimpulan akhir. Namun ujung polemik itu pada akhirnya bergantung kepada wisdom pemerintah dan anggota DPR dalam membahas RUU tersebut.

Sudikah mereka, terutama para anggota DPR, mengutamakan kepentingan nasional yang lebih besar, atau 'kalah' oleh desakan interest pribadi? Akan hal itu, seorang pelaku bisnis yang bermain di Batam mengingatkan, "Jangan salah mengambil keputusan, [karena] akan mengancam pengembangan [ekonomi] Batam ke depan."

No comments:

Post a Comment