Wednesday, August 22, 2007

EPA Jepang-RI: Siapa 'menunggangi' siapa?

Pesta ijab kabul kesepakatan kemitraan ekonomi (ecomomic partnership agreement/EPA) antara Indonesia dan Jepang baru saja berlalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Perdana Menteri Shinzo Abe ibarat sepasang 'pengantin' yang berhasil menarik perhatian luas saat menandatangani EPA itu, Senin silam.
Apalagi PM Abe disertai lebih dari 200 pengusaha dan eksekutif perusahaan Jepang. Bukanlah suatu kelaziman Pemimpin Jepang melakukan kunjungan kenegaraan disertai rombongan korporasi dan sogososha dalam jumlah besar.
Padahal, bagi Jepang penandatanganan kesepakatan kali ini bukanlah EPA yang pertama dengan mitra dagang. Sebelum menggandeng Indonesia, Jepang telah menandatangani EPA dengan tujuh negara, yakni Singapura, Meksiko, Malaysia, Filipina, Cile, Thailand dan Brunei.
Di Asean, Indonesia adalah negara ketujuh yang meneken EPA dengan Jepang.Tetapi bagi Indonesia, ini merupakan penandatanganan EPA pertama dengan mitra dagang.
Tentu, pesta yang 'berbiaya' mahal tersebut diharapkan memberikan manfaat ekonomi dan bisnis yang sepadan. Apalagi cakupan kesepakatan itu sangat luas, mulai dari akses pasar dalam bentuk penurunan dan penghapusan tarif, national treatment dalam investasi, hingga bantuan teknis. Fakta tersebut menyatakan Jepang akan secepatnya menghapuskan tarif hampir seluruh produk industri yang berasal dari Indonesia.
Sebaliknya, Indonesia akan menghapuskan tarif komponen otomotif Jepang pada 2016, selain menghapus bea masuk barang elektronik pada 2010. Berdasarkan kesepakatan itu pula, Indonesia akan memangkas 15% tarif baja Jepang yang dipakai untuk industri otomotif, elektronik dan industri alat berat. Kesepakatan itu tentu saja bakal membantu mengurangi beban biaya bagi perusahaan otomotif Jepang seperti Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Honda dan perusahaan lainnya.
Di sektor pertanian, Indonesia memotong tarif impor apel, anggur, dan produk pertanian lainnya yang diekspor oleh Jepang. Sebaliknya Tokyo akan menurunkan secara bertahap pajak impor pisang, nanas, tekstil alas kaki dan produk kayu Indonesia. Jadi cakupan kesepakatan memang sangat luas.
Apalagi, secara historis, Indonesia-Jepang memiliki hubungan strategis. Total investasi langsung perusahaan Jepang periode 1967-2005 mencapai US$293 miliar, terbesar dibandingkan korporasi dari negara lainnya. Begitu pula di bidang perdagangan, Jepang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.

3 Isu & faktor China
Berbeda dengan kesepakatan dagang bebas atau FTA (free trade agreement), EPA memiliki cakupan lebih strategis. Dalam konteks Indonesia-Jepang, setidaknya terdapat? tiga isu besar yang melingkupi EPA itu, yakni isu investasi, energi dan akses pasar.
Ketiga isu tersebut tampaknya memang sangat mewakili kepentingan korporasi Jepang, yang? membutuhkan kontinuitas investasi dan akses pasar, sedangkan di dalam negerinya, Jepang sangat berkepentingan dengan kesinambungan pasokan energi.
Energi merupakan topik hot, karena Jepang mengimpor lebih dari 22% kebutuhan gasnya dari Indonesia. Negeri itu berkepentingan, bahkan kalau perlu, meminta garansi Jakarta untuk kelangsungan pasokan gas dari Indonesia. Sebagai imbalannya, Jepang bersedia menyediakan bantuan teknis agar produksi gas alam Indonesia lebih efisien dan terjaga.?? Di luar itu, tampaknya Jepang juga amat berkepentingan dengan isu geopolitik regional.
Berkembangnya pengaruh China di Asia mendorong Jepang kian agresif memanfaatkan skema EPA sebagai alat tangkal. Analis melihat kesepakatan itu akan membantu Jepang menangkal berkembangnya pengaruh China di kawasan. Apalagi, setelah ke Indonesia, PM Abe melanjutkan lawatannya ke India, yang pasarnya hampir menyamai China.
PM Jepang itu bahkan berpandangan satu ketika hubungan Jepang-India akan lebih penting ketimbang hubungan Jepang-AS atau Jepang-China. Di China, Jepang memiliki 4.757 perusahaan dan di India hanya 216. Korporasi Jepang di masa lalu enggan investasi di India karena kondisi infrastruktur yang buruk.
Tetapi, kini India berencana investasi senilai US$475 miliar-sekitar Rp4.000 triliun-hingga tahun 2012 untuk perbaikan infrastruktur. Itulah daya tarik baru bagi korporasi Jepang. Tak ayal, jejaring EPA dibalut kepentingan strategis korporat Jepang. Karena itu, tiada salahnya jika Indonesia pintar-pintar menunggangi kepentingan Jepang dalam soal geopolitik tersebut.
Caranya? Kembali ke prinsip bisnis: Indonesia harus mengelola daya saing dan daya tarik bagi pihak eksternal terutama Jepang. Tetapi apa yang sebenarnya mereka inginkan? Menurut Mitsuo Sakaba, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Jepang, Indonesia perlu menawarkan tak hanya iklim bisnis yang baik, "Tetapi iklim bisnis yang kompetitif."
Tuntutan pengusaha Jepang memang tidak sekadar tenaga kerja yang lebih produktif, tetapi juga rezim perpajakan yang bersaing dan ketersediaan infrastruktur yang baik.Terjemahan sederhananya: Jepang berkepentingan agar korporasi mereka mendapatkan tempat yang menguntungkan.
Sebaliknya, kepentingan Indonesia adalah mendapatkan investasi langsung yang berkualitas. Karena itu, melalui EPA, sudah saatnya Jakarta 'menunggangi' kepentingan Jepang di kawasan, dengan mewujudkan Indonesia sebagai 'rumah produksi' yang kompetitif bagi korporasi Jepang.
Jika hal itu dapat dilakukan, berarti akan kian besar kapasitas ekspor Indonesia, dan berarti kian banyak pula lapangan kerja yang tersedia. Persis seperti kebijakan besar Presiden Yudhoyono: pro-poor strategy dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, bukan sekadar grojokan uang panas. Mampukah Jakarta melaksanakannya?

Oleh Arief Budisusilo
Wartawan Bisnis Indonesia

No comments:

Post a Comment