Monday, June 16, 2008

Surat Sakti Ketua Dewan Kawasan FTZ BBK

Dear blogger,

Beberapa waktu lalu, Ismeth Abdullah, Ketua Dewan Kawasan (DK) FTZ Batam menegaskan pihaknya sudah menyurati pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan agar membatalkan PP No. 63 Tahun 2003 tentang Pengenaan PPN dan Bea Masuk terhadap empat komoditi mobil, rokok, minuman beralkohol dan elektronik.

Ismeth beralasan, PP 63 sudah tidak relevan lagi dengan semangat FTZ yang disahkan melalui PP No. 46 tahun 2007 dan UU No. 44 Tahun 2007. Jadi, sudah selayaknya PP 63 dicabut demi peningkatan daya saing Batam ke depan.

Memang, persoalan PP 63 menjadi pokok bahasan tersendiri bagi para pengusaha dan aparat dilapangan. Pengusaha merasa, PP tersebut sangat memberatkan karena menyebabkan ekonomi biaya tinggi sehingga layak dibatalkan.
Di sisi lain, aparat menilai selama belum ada aturan yang membatalkan keberadaan PP 63 berarti ia terus berlaku.

Kondisi ini lah yang menjadi concern dari Ketua DK. Walaupun sudah ada PP 46, tapi tidak ditegaskan mengenai pencabutan PP 63. Walaupun secara de-jure mestinya PP 63 tidak berlaku lagi. Tapi apakah aparat Bea Cukai dan Pajak mau mengambil resiko berdasarkan interpretasi saja? Rasanya tidak mungkin, itu pula yang menyebabkan mereka tetap menjalankan amanah PP 63 sampai ada peraturan pencabutan.

Maka Ketua DK pun mengirimkan surat ke para pejabat terkait agar pencabutan PP 63 bisa dipercepat. Alasannya, demi kenyamanan para pengusaha dan industri yang ada di Pulau Batam. Tapi apakah benar pengusaha manufaktur akan diuntungkan dengan pencabutan PP 63 tersebut?

Ada beberapa pendapat yang pro dan kontra terkait rencana pencabutan PP 63. Kubu yang pro, menilai PP 63 hanya memberatkan dan membuat daya saing Batam jadi lemah karena pemberlakuan PPN, PPn BM dan BM terhadap empat komoditi tersebut terasa memberatkan dan menyebabkan ongkos produksi menjadi tinggi.

Kubu yang kontra, menilai PP 63 tidak ada relevansinya dengan daya saing Batam. Toh, empat komoditi itu tidak menyentuh langsung kepada pola konsumsi masyarakat. Apakah pengenaan PPN dan PPn BM untuk mobil akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat golongan menengah bawah yang mendominasi struktur masyarakat Batam?
Begitu juga dengan elektronik, rokok, dan minuman beralkohol. Apakah relevan bila komoditi tersebut dibebaskan dari pungutan pajak sementara kontribusinya terhadap perbaikan pola konsumsi dan daya saing Batam belum tentu besar?

Sebelum surat Ketua DK itu dikirimkan apakah tidak sebaiknya dikaji terlebih dahulu, baik buruk dari PP 63. Mestinya dilakukan evaluasi atas pemberlakuan PP 63 selama empat tahun terakhir apakah merugikan atau justru tidak ada dampak sama sekali terhadap arus investasi asing ke pulau ini. Apalagi, industri yang berada di dalam kawasan industri sama sekali tidak tersentuh oleh PP ini, karena mereka dilindungi oleh insentif sebagaimana dijanjikan dalam Paket Deregulasi Juli 2005.

Tapi itulah Ketua DK kita. Doyannya berkirim surat melulu. Biar dibilang ada kerjaan dan DK sudah melakukan langkah konkrit dalam menindaklanjuti keluhan pengusaha, maka dikirimlah surat ke Jakarta.
Mengapa DK tidak melakukan langkah evaluasi terlebih dahulu, kemudian hasil evaluasi dan kajian PP 63 itu diekspose agar masyarakat awam, pengusaha, dan industri bisa tahu, bahwa PP 63 tidak berdampak apapun terhadap iklim investasi di pulau ini.

Kalaupun ternyata ada dampaknya, juga disampaikan apakah dampak itu bisa mengancam kelancaran arus keluar masuk barang serta iklim investasi atau dampak itu hanya sesaat yang ditimbulkan oleh para spekulan atau pun penyelundup barang seperti mobil dan elektronik.

Ismeth mestinya sadar, betapa bisnis otomotif di pulau ini sudah mulai berjalan di jalur yang benar. Para pengusaha otomotif mulai menjajakan mobil brand new, dan beralih untuk menjual mobil baru saja. Walau demikian aksi penyelundupan mobil, walaupun tidak seramai dulu, tapi paling tidak sudah ada pengurangan.

Begitu juga bisnis elektronik. Sebelum PP 63 berlaku, barang elektronik asal China membanjiri pasaran, tapi kini, barang elektronik buatan dalam negeri justru mendominasi. Merek-merek ternama seperti Samsung, Sony, LG, Sharp, Panasonic, berlomba-lomba membuka kantor perwakilannya di Batam sebagai bentuk pelayanan kepada pelanggan.
Ini artinya, masyarakat mulai terbiasa untuk mengkonsumsi barang elektronik produksi dalam negeri dan melupakan barang selundupan asal China yang kurang berkualitas.

Yang paling ironis adalah rokok dan minuman beralkohol. Apakah wajar bila kedua komoditi itu dibebaskan dari pungutan pajak dan BM. Kemana logika pengurus DK?
Apakah tidak sebaiknya, sebelum buru-buru mengirim surat, dikaji dulu, relevansi dari usulan pencabutan PP 63 itu. Maksudnya adalah agar pusat tidak semakin sinis dengan DK FTZ Batam. Seolah-olah, kita tidak tahu apa yang kita kerjakan.

Semoga saja, DK sadar dengan apa yang diperjuangkannya!!!

1 comment:

  1. di dunia yang serba egoistis ini, saya setuju PP63 dicabut, biar bisa beli mobil dengan harga murah. soalnya, tarif taksi di Batam sudah selangit. situ enak punya alphard.... sini,... naik turun taksi

    ReplyDelete