Saturday, June 14, 2008

Nasib Batu Ampar terganjal Singapura dan status OB


Selama 34 tahun keberadaan Otorita Batam membangun Pulau Batam, hanya tiga misi yang sudah terlaksana yaitu menciptakan kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata, sedangkan misi keempat sebagai pusat alih kapal belum juga kesampaian.

Misi yang diemban oleh OB untuk menjadi pusat alih kapal di kawasan ini sebenarnya sudah tertuang dalam beberapa produk hukum pada tiga dasawarsa lalu.Ini dimulai ketika Keppres 65/1970 yang menetapkan Pulau Batam sebagai basis logistic Pertamina.

Selanjutnya, berdasarkan Keppres 41/1973 ketika Otorita Batam resmi dibentuk sekaligus mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industri dan kegiatan alih kapal.

Memang Batam belum terlambat untuk membangun sebuah pelabuhan kontainer dan transshipment port, tapi bila berkaca pada proses yang dilakukan dalam satu dekade terakhir, rasanya publik pesimistis cita-cita keempat OB itu bakal terwujud.

Isu pembangunan Pelabuhan Batu Ampar Batam menjadi terminal petikemas memang tidak pernah habis untuk diberitakan. Mulai dari pelaksanaan tender yang berulang-ulang hingga tiga kali dan terakhir ditutup dengan beauty contest.

Berbagai nama operator terminal container dan perusahaan pelayaran kelas dunia sempat menghiasi tender yang digelar Otorita Batam sejak 2003 hingga 2005 seperti Evergreen, Port of Singapore Authority, Hanjin Shipping Co., Samudera Shipping, P & O Port Ltd, dan International Container Terminal Services Inc.

Dari semua nama itu, tidak satu pun yang lolos sebagai pemenang dengan berbagai alasan hingga akhirnya dipilih opsi akhir melalui beauty contest pada 2005 dan keluarlah nama Compagnie Maritime d’Affretement – Compagnie Generale Maritime (CMA-CGM) asal Perancis.

Proses terus berlanjut, investor Perancis itu mengajukan permintaan masa operasi diperpanjang hingga 50 tahun atau naik dua kali lipat dari ketentuan 25 tahun. Pertimbangannya, investasi senilai US$250 juta untuk pelabuhan itu dirasa belum cukup bila hanya dikelola seperempat abad.

Pemerintah akhirnya mengabulkan permintaan investor tersebut untuk mengelola konsesi Pelabuhan Internasional Batu Ampar selama 50 tahun. Pertimbangan pemerintah memberikan izin pengelolaan melalui pola built operate transfer (BOT) selama 50 tahun didasari oleh besarnya nilai investasi yang ditanamkan pada pelabuhan tersebut sehingga dibutuhkan waktu pengembalian yang cukup lama.

Informasi yang berhasil dikumpulkan menyebutkan CMA-CGM akan membangun dermaga sepanjang 700 meter atau tiga kali lipat dari perencanaan semula yaitu 250 meter.

Nilai investasi untuk membangun dermaga itu dibutuhkan sekitar US$250 juta. Angka ini jauh lebih murah bila dibandingkan hasil studi semula di mana diperkirakan dengan membangun dermaga 250 meter akan menghabiskan investasi US$120 juta.

Sebagai wujud keseriusan pihak CMA-CGM dalam kelanjutan investasinya di Batu Ampar, akhirnya diinisiasi penandatangan letter of intent (LoI) antara OB dan CMA-CGM.

Mestinya, LoI sudah diteken pada Desember 2007 lalu, namun hingga memasuki Juni 2008 ini belum ada kepastian kapan kesepakatan awal itu akan ditandatangani kedua pihak.

Informasi yang diperoleh dari Kementerian Perekonomian menyebutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan akan menyaksikan penandatanganan LOI itu di Perancis pada Juni ini. Tapi, ternyata jadwal berubah.

Begitu juga Ketua OB Mustafa Widjaja yang dijadwalkan berada di Paris pada awal Juni ini, juga menunda keberangkatannya tanpa alasan yang pasti.

”Kami harus pastikan yang menandatangani LoI itu adalah CEO CMA-CGM karena ini merupakan kesepakatan yang mengikat. Untuk itu kami masih menunggu konfirmasi dari Prancis,” ujar Mustofa Widjaja, Ketua Otorita Batam kepada Bisnis pada akhir 2007 lalu.

Dia menjelaskan bila LoI itu sudah ditandatangani maka selanjutnya ada persiapan untuk melakukan studi teknis terhadap pembangunan Pelabuhan Petikemas Batu Ampar yang diperkirakan menelan investasi senilai US$250 juta.

Menurut dia, rancangan yang ada saat ini masih berupa draft dan untuk rancangan yang lebih rinci akan digarap bersama antara OB dan CMA-CGM sesuai dengan kesepakatan.

”Karena ada biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam studi teknis maka LoI ini harus ditandatangani dulu sehingga OB dan CMA-CGM sepakat dan sama-sama bekerja,” papar Mustofa waktu itu.

Tidak pasti

Kini, masa depan Batu Ampar memasuki fase yang krusial, jangan sampai investor Perancis itu batal melanjutkan investasinya di Batam. Berbagai spekulasi pun bermunculan, salah satunya adalah ketidakjelasan status OB pasca ditetapkannya Batam-Bintan-Karimun sebagai kawasan perdagangan bebas melalui PP No. 46, 47, 48 tahun 2007.

Sesuai amanat PP 46, OB harus dilebur menjadi Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) di mana bentuk badan hukum organisasi BPK itu sendiri belum jelas. Bahkan Dewan Kawasan FTZ BBK pun sampai saat ini masih pusing memikirkan proses peleburan institusi negara tersebut.

Nah, bisa saja muncul kekhawatiran dari CMA-CGM, bila kesepakatan dilakukan, jangan-jangan OB berubah status menjadi lembaga yang tidak memiliki kewenangan sebesar seperti saat ini.

Perlu diketahui, saat ini OB berwenang mengelola Bandara Hang Nadim, Pelabuhan Batu Ampar, dan rumah sakit di mana ketiganya membentuk unit pelaksana teknis (UPT) sendiri.

Apakah setelah menjadi BPK, OB masih dipercaya mengelola tiga aset strategis tersebut? Juga belum jelas, karena semua itu bergantung pada badan hukum BPK itu sendiri, apakah berbentuk BUMN, BUMD, Badan Layanan Umum (BLU), atau Badan Khusus seperti saat ini.

Puddu Razak, Koordinator Kajian Stratejik Otorita Batam, mengakui lambatnya pembangunan Batu Ampar sangat dipengaruhi oleh status kelembagaan OB yang akan diganti menjadi BPK.

“Karena alasan itu, CMA-CGM mungkin tengah menunggu masa transisi pengalihannya guna menghindari kerancuan legalitas kontrak kerjasama yang akan dilakukan dengan OB,” tuturnya.

Persoalan semakin pelik, di mana sejauh ini belum ditemukan pasal-pasal dalam Undang-Undang Free Trade Zone yang secara tegas mengatur beberapa masalah yang akan dihadapi OB ketika berubah menjadi BPK. Antara lain status kelembagaan, status kepegawaian, pengelolaan infrastruktur, pengalihan aset dan lain sebagainya.

Puddu mengharapkan DK FTZ dibawah kendali Gubernur Kepri Ismeth Abdullah segera menyikapi persoalan-persoalan tersebut karena dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak bagi investor lain dan pihak ketiga yang sedang menjalin kerjasama dengan OB.

“Jika persoalan-persoalan itu mampu diselesaikan DK, implementasi FTZ dapat berjalan maksimal termasuk pembangunan Pelabuhan Batu Ampar,” tuturnya.

Namun spekulasi itu dibantah oleh Mustofa. Menurut dia, peralihan status OB menjadi BPK tidak akan mengganggu kelancaran investasi asing ke pulau ini, apalagi terkait investasi CMA-CGM di Batam.

“Justru dengan peralihan status akan meningkatkan daya saing Batam. Pada prinsipnya tidak akan mengganggu, kalau mengganggu maka berarti kemunduran bagi kawasan FTZ Batam.

Dia mengakui rencana penandatanganan LOI dengan CMA di Perancis terpaksa ditunda hingga dua bulan ke depan sampai disahkannya semua aspek legal yang mendukung kelancaran investasi Perancis itu di Batam. Diantaranya, PP perpanjangan BOT 50 tahun.

Pihak luar

Spekulasi kedua adalah soal campur tangan Singapura dalam kelanjutan pengembangan Batu Ampar itu. Isu ini sudah santer terdengar sejak awal tender Batu Ampar dibuka pada lima tahun lalu.

Bahkan panitia tender terang-terangan menyatakan keberatannya bila nama peserta tender dipublikasikan karena khawatir akan memicu aksi lobi dari Singapura sehingga peserta urung melanjutkan penawarannya.

Negeri Singa itu tentu tidak akan rela bila Batam mengembangkan pelabuhan kontainer sendiri untuk melayani alih kapal dan sebagainya. Mereka tidak mau mengulangi kesalahan ketika Port of Tanjung Pelepas (PTP) di Johor Baru resmi dibuka pada 13 Maret 2000 yang berakibat pada berkurangnya pangsa pasar alih kapal ke Singapura.

PTP yang menggandeng Maersk Sealand merupakan ancaman bagi Port of Singapore Authority (PSA). Maersk awalnya tercatat sebagai pelanggan terbesar PSA, sebelum perusahaan pelayaran terbesar dunia itu mengalihkan transshipment hub-nya di Asia Tenggara dan jutaan TEU’s petikemas ke PTP.

Tapi itu hanya spekulasi yang sulit dibuktikan kebenarannya. Yang jelas, saat ini muncul lagi rencana dari PT Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam (PT Persero Batam) yang menggandeng investor asal Hongkong untuk mengembangkan Batu Ampar.

Terlepas dari kewajiban PT Persero Batam dalam mengembangkan infrastruktur di pulau ini, namun apakah logis dan efektif bila dalam kawasan yang sama dibangun dua pelabuhan kontainer dengan investasi masing-masing mendekati Rp3 triliun.

Nasib Batu Ampar memang menarik untuk terus dikupas. Sebagai pintu masuk utama ke kawasan bebas Batam, posisi pelabuhan itu sangat strategis. Prospek pembangunnannya ke depan dipastikan akan bersinggungan langsung dengan dua pelabuhan utama di Singapura dan Malaysia, sehingga wajar bila tarik ulur dan spekulasi banyak bermunculan.

Seperti apa klimaks dari kelanjutan pembangunan Batu Ampar berikutnya, mari sama-sama kita tunggu gebrakan dari pemerintah!

No comments:

Post a Comment