Tuesday, February 20, 2007

Menggantung Nasib Batam...

Menggantungkan nasib segitiga BBK

Johanes Kennedy, Ketua Kadin Provinsi Kepulauan Riau, tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya karena dua pejabat pusat yaitu Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M. Lutfi batal datang ke Batam.
Kedua pejabat yang sedianya akan menjadi pembicara dalam Rapat Pimpinan I Kadin Provinsi Kepri itu batal datang karena mendadak ada rapat kabinet terbatas bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta.
Padahal, sehari sebelumnya kedua pejabat sudah dikonfirmasi bisa hadir dan menyapa para pengusaha yang tergabung dalam organisasi ini. Berbagai spekulasi pun bermunculan, ada yang bilang Mari dan Lutfi tidak jadi datang karena takut dicecar pertanyaan seputar kapan realisasi UU KEK Batam-Bintan-Karimun.
Jika benar mereka takut, tentu ini tidak relevan karena sudah sepatutnya sebagai pejabat negara berani memberikan jawaban atas setiap aspirasi bahkan keluhan dari para pengusaha di daerah.
Rapim Kadin itu pun berjalan hambar. Pejabat pemda hanya mewakilkan jajarannya kecuali Otorita Batam yang dihadiri langsung oleh ketuanya Mustofa Widjaja. Acara itu pun diisi dengan paparan dari masing-masing institusi terkait tema rapim kali ini berjudul ‘Special Economic Zone sebagai lokomotif pembangunan di Kepulauan Riau.’
“Iklim investasi di Batam sudah lampu kuning, bila status hukum tidak juga disahkan maka bukan tidak mungkin iklim investasi Batam semakin tidak kondusif,” ujar Johanes.
Sebanyak 26 penanaman modal asing (PMA) di Batam telah dicabut izinnya selama kurun waktu 14 tahun sejak 1991-2005. Pemicunya beragam, karena faktor internal perusahaan seperti kehilangan order atau mis manajemen, atau faktor eksternal seperti upah, kepastian huku, dan iklim investasi yang tidak kondusif.
Kendati sudah berhenti beroperasi dan hengkang dari Batam tapi yang bersangkutan belum mengurus surat-surat tadi maka dia masih terdaftar sebagai PMA di Batam.
Kasus terakhir adalah terhentinya operasional PT Livatech Elektronik Indonesia, PMA asal Malaysia yang menelantarkan 1.300 orang karyawannya tanpa dibayar gaji maupun pesangon.
Persoalan
Lain Batam lain pula Bintan. Kawasan yang juga ditetapkan sebagai KEK dalam gugusan BBK itu juga mengalami permasalahan yang sama. Pengelola Kawasan Industri Bintan yang berlokasi di Lobam saat ini sedang pusing memikirkan kelanjutan kawasan itu.
Pemicunya, satu persatu industri manufaktur asing di KI Bintan mulai angkat kaki menuju Vietnam dan China. Belum jelas apa penyebabnya, sebab pengelola tidak bersedia menjelaskan secara rinci. Dari 35 PMA yang ada di KI Bintan, diperkirakan saat ini sudah lima PMA yang hengkang. Kasus terakhir PT Pacific Garment Manufacturing asal Singapura sudah berhenti beroperasi dan meninggalkan derita bagi 800-an karyawan yang dipecat.
KI Bintan jelas kelimpungan, mereka adalah kawasan andalan di Bintan yang akan menjadi KEK di pulau itu. Namun pada kenyataannya, penetapan status KEK ini belum memberikan dampak positif bagi calon pemodal yang melirik kawasan itu.
Bagaimana dengan Karimun? Masalah di kabupaten ini pun lebih fundamental. Bila pengelola kawasan industri di Batam-Bintan mendesak payung hukum. Justru di Karimun masih berkutat dengan persoalan kapan pasokan listrik bisa lancar tanpa byar pet?
Karena tidak tahan dengan keadaan listrik mati-hidup itu, ratusan warga yang menamakan diri Forum Masyarakat Anti Krisis Listrik melakukan aksi unjuk rasa ke DPRD Karimun mendesak pemkab mencari solusi atas kelangkaan pasokan listrik ini.
Pemkab tidak mampu berbuat apa-apa, sementara PLN Karimun yang masuk wilayah kekuasaan PLN Wilayah Tanjung Pinang itu mengakui kekurangan daya sebesar empat mega watt setiap hari. Bila warga saja bosan dengan byar pet, lalu bagaimana PLN bisa memenuhi kebutuhan perusahaan manufaktur yang nanti akan membuka usahanya di kawasan KEK itu?
Itulah sekelumit persoalan yang dihadapi oleh KEK-BBK, sebuah kawasan yang konon menjadi andalan Lutfi dalam menyukseskan proyek percontohan KEK di negeri ini.
Nasib KEK BBK pun makin simpang siur. Enam bulan sudah status KEK disandang oleh BBK, tapi belum ada dampak signifikan terhadap percepatan pembangunan ekonomi di wilayah ini.
Pemerintah pun belum bisa memastikan kapan UU itu akan selesai walaupun Menko Perekonomian Boediono sudah menjanjikan dalam enam bulan UU KEK akan rampung.
Tapi Irmady Lubis, Anggota Komisi VI DPR-RI menjamin UU itu tidak akan selesai dalam waktu setengah tahun, paling tidak dibutuhkan satu tahun untuk pembahasannya. “Itupun jika seluruh prosesnya lancar.”
DPR pun sudah menyiapkan amunisi untuk menahan laju pembahasan UU Ini karena dinilai telah melanggar prinsip keadilan dalam konteks pemerataan pembangunan wilayah barat dan timur.
“Selain itu, para menteri yang ngurusin KEK ini pun belum satu visi mengenai kekhususan kawasan KEK disamping format payung hukum yang belum jelas,” tuturnya.
Semangat
Walau kecewa, pimpinan Kadinda Kepri memang tidak mempersalahkan alasan Mari dan Lutfi absen dalam pembukaan rapim, tapi seharusnya kedatangan kedua pejabat itu pada Rapim Kadin Provinsi Kepri bisa memiliki arti strategis. Selain memberikan dorongan semangat kepada para pengusaha, juga memberikan pencerahan dan alternative insentif yang mungkin bisa dilakukan oleh provinsi ini.
Kedua pejabat itu jelas tidak memiliki kemampuan untuk mengesahkan UU KEK seorang diri, apalagi mengingat tarik ulur kepentingan baik di eksekutif maupun legislative. Tapi paling tidak, kedua pejabat itu mau bertanggung jawab atas kebijakan yang sudah ditetapkannya di BBK.
H. M. Sani, Wakil Gubernur Kepulauan Riau, mungkin sudah membaca ketidakseriusan pemerintah terhadap kelanjutan KEK ini, sehingga dia pun tak ragu mewanti-wanti pengusaha agar jangan terpaku.
“Pengusaha jangan terlalu berharap lagi atau menangisi bila SEZ ini tidak jadi disahkan. Kita harus cari alternative insentif yang bisa memperbaiki iklim investasi daerah,” ujarnya.
Pernyataan Sani itu memiliki dua makna, semangat dan pasrah. Intinya, dia ingin agar pemda dan pengusaha bersatu padu menyusun sebuah kebijakan daerah yang tidak kalah strategisnya dengan sebuah undang-undang.
Berbagai usulan pun bermunculan. Andi Anhar Chalid, Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kepri mengusulkan agar dibuat Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Vital di Batam, Bintan, dan Karimun.
“Perda ini pernah kami buat di Bintan, dan terbukti berhasil meredam aksi unjuk rasa buruh di kawasan industri,” kata dia.
Dia menyambut baik himbauan M. Sani agar pengusaha tidak lagi berharap dengan UU KEK. Menurut dia, KEK merupakan isu yang sengaja dihembuskan pemerintah untuk mengalihkan cita-cita Batam menjadi sebuah kawasan perdagangan bebas (FTZ).
Johanes menilai usulan itu sebagai alternative solusi bila KEK hilang ditelan bumi di mana isi perda itu nanti akan mengakomodasi berbagai kemudahan yang diinginkan pemodal seperti upah yang kompetitif, harga kebutuhan pokok murah, kemudahan ekspor impor mengacu pada aturan yang ada, menghapus birokrasi karena sudah ada sistem one stop service, dan sebagainya.
“Sistem yang sudah berjalan ini akan diperkuat dengan sebuah perda, dan tentu saja sinergi pemprov, pemkot/pemkab, dan pengusaha sangat diperlukan,” ujarnya.
Pengusaha dan pemda tampaknya sudah sepakat untuk mengubur mimpi KEK dalam-dalam. Terserah pemerintah pusat maunya apa, apakah SEZ ini disempalkan dalam UU Investasi, atau dibuat UU sendiri, atau dijadikan Perppu, atau—sembari bercanda-- dibuatkan saja Perda KEK.
Bila sikap nrimo dan pasrah dari para stake holder di Kepri ini sudah menguat, lantas untuk apa lagi forum JSC atau JWG dilanjutkan. Toh, UU yang dinanti pun tak kunjung kelihatan.
Sungguh tak terbayangkan, bagaimana kawasan segitiga pertumbuhan akan mampu bersaing dengan mengandalkan sebuah perda walaupun itu lebih baik dari pada tidak ada sama sekali.

No comments:

Post a Comment