Tuesday, February 20, 2007

KEK yang simpang siur

Perjuangan Otorita Batam, pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Pemerintah Kota Batam untuk menjadikan daerah ini sebagai surga investasi tidak pernah surut. Berbagai cara ditempuh para pejabat dan pelaku usaha untuk menjadikan pulau ini mendapat hak istimewa di bidang perpajakan dan kepabeanan.
Usaha tersebut tak pernah surut dan setiap peluang selalu mereka rebut. Setelah gagal menggolkan RUU Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas, dan hanya mendapat status sebagai Kawasan Berikat Plus, Batam kini berjuang untuk menjadi KEK (kawasan ekonomi khusus).
Perjuangan ini 99% sudah berhasil. Sebab Presiden RI dan PM Singapura sudah meneken nota kesepahaman tentang KEK Juni lalu. Pertemuan para menteri kedua negara untuk membahas detail KEK juga sudah digelar di Jakarta Sabtu dua pekan lalu. Melihat progres tersebut, wajar jika semua pihak menilai pembentukan KEK yang pertama di Batam tinggal menghitung hari.
Namun siapa sangka, ternyata di antara menteri bidang ekonomi masih beda pandangan tentang KEK. Menurut Ketua Panitia Khusus DPR untuk pembahasan RUU Kepabeanan Irmadi Lubis, Menteri Keuangan menginginkan pemasukan barang dari KEK ke daerah pabean lainnya bebas bea masuk. Usul tersebut disisipkan ke dalam RUU Kepabeanan, yang tengah dibahas di DPR.
Menurut Lubis, Menkeu tidak jadi memasukkan usulan tersebut ke dalam RUU Kepabeanan dan berencana mengatur KEK dalam RUU tersendiri. Meski belum jelas kapan RUU tersebut akan diajukan ke DPR.
Sementara Menko Perekonomian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan justru mengusulkan hal sebaliknya. Mereka menghendaki penjualan barang dari KEK ke daerah pabean lainnya tetap dikenakan bea masuk.
Jika apa yang dipaparkan anggota DPR tersebut benar, ini menambah panjang daftar ketidakjelasan sikap pemerintah. Sehari sebelumnya, DPR juga mempertanyakan sikap pemerintah mengenai pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) atas komoditas primer (pertanian).
Sesuai janji pemerintah saat mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) 20 Oktober tahun lalu, komoditas pertanian yang belum melalui proses produksi akan bebas PPN per 1 Januari 2006. Namun hingga kini, jangankan terbit peraturan pemerintah-nya, sikap para menteri sendiri terhadap kebijakan tersebut belum jelas.
Lepas dari lemahnya koordinasi antarmenteri, keinginan Menkeu agar aliran barang dari KEK ke kawasan pabean lainnya di Indonesia bebas bea masuk, perlu mendapat catatan sendiri.
Sebab jika kebijakan ini yang diambil, hampir dapat dipastikan semua importasi akan melalui KEK, dalam hal ini Batam. Ini sama saja dengan Indonesia membebaskan bea masuk untuk semua pos tarif.
Padahal untuk pemasukan barang dari Sabang-yang merupakan daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas-ke daerah pabean lainnya di Indonesia juga diperlakukan sebagai impor sehingga terutang bea masuk sesuai tarif yang berlaku.
Apakah ini berarti KEK mempunyai status yang lebih tinggi dibandingkan daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas? Apalagi, seorang pejabat Depkeu bahkan menginformasikan adanya keinginan Indonesia untuk memberikan fasilitas bebas pajak (tax holiday) bagi investor di kawasan ekonomi khusus itu.

***
Agar tujuan KEK dapat tercapai, maka ada sejumlah hal yang harus dilakukan secepatnya oleh pemerintah, yakni pertama membuat kepastian hukum dalam kerangka otonomi daerah (regulatory framework). Kedua, siapa yang seharusnya memegang otoritas KEK.
Ketiga yang terpenting adalah pemerintah harus menyediakan lahan. Keempat adanya ketersediaan infrastruktur, seperti ketersediaan listrik yang memadai, adanya transportasi darat, laut, udara, telekomunikasi dan fasilitas dasar lainnya.
Syarat tersebut ternyata sama dengan yang diajukan Pemerintah Singapura untuk membangun KEKI, yakni Indonesia harus memperbaiki kerangka institusional, konsistensi kebijakan, ada kerangka regulasi untuk mejalankan kebijakan, perbaikan infrastruktur, dan pemberian insentif kepada investor.
Untuk kerangka peraturan KEK seperti yang dipersyaratkan pihak Singapura, menurut Kepala BKPM M.Lutfi Pemerintah juga akan melihat apakah perlu ada undang-undang tersendiri tentang KEK atau cukup merevisi undang-undang tentang kawasan perdagangan bebas (free trade zone).
“Untuk sementara ini, pemerintah akan menyelesaikan masalah-masalah pajak atau cukai, yang akan dikerjakan kasus demi kasus,” kata Kepala BKPM M. Lutfi.
Sedangkan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menuturkan, payung hukum zona ekonomi khusus tersebut akan memakai undang-undang. Namun, untuk tahap awal, terlebih dulu menggunakan peraturan pemerintah.
”Dengan peraturan yang ada, kita akan menciptakan kebebasan bea masuk dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk produksi di kawasan tersebut. Kalau produksinya diekspor, dia tidak dikenakan PPN dan bea masuk. Tapi, kalau dijual di daerah pabeanan yang lain, dia akan kena bea masuk dan PPN,” kata Mari.
Sementara itu pendapat lain mengatakan para investor tidak mempermasalahkan besar insentif pajak yang akan diberikan. Namun, yang diinginkan dalam bisnis adalah kepastian usaha. Tarif pajak atau fiskal besar tidak dipermasalahkan, tapi bagaimana potensi daerah dan kepastian bisnisnya terjamin.
Selain insentif pajak, investor mempertanyakan insentif lain yang ditawarkan di KEK itu, diantaranya kepastian daftar sektor tertutup dan sektor terbuka dengan syarat serta tidak terbatasnya tenaga kerja asing yang boleh bekerja di kawasan itu.

No comments:

Post a Comment