Friday, September 7, 2007

Nasib FTZ-BBK terancam September 'kelabu'


Pada 14 September 2004, semestinya menjadi hari bersejarah bagi Pulau Batam, karena saat itu DPR nekat mengesahkan UU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam walaupun tanpa persetujuan Presiden Megawati.

Karena disahkan sepihak, maka sudah pasti, nasib UU itu pun terkatung-katung alias tidak diakui. Sembilan fraksi DPR punya kesimpulan yang sama dalam pengesahan RUU FTZ Batam menjadi UU saat itu.

Padahal hingga pembahasan terakhir pada 10 September, masih terjadi tarik ulur antara pemerintah dan DPR terhadap tiga pasal, yaitu pasal 2 mengenai pembagian wilayah FTZ, pasal 16 mengenai tata ruang, dan pasal 18 mengenai pengalihan asset.

Tepat tiga tahun sejak UU FTZ Batam disahkan dan di bulan yang sama, kini DPR kembali ke meja perundingan untuk membahas kelayakan Perppu No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UU.

Namun kali ini posisi berbalik. Pemerintah sebagai pihak yang mengesahkan perppu tersebut berada dalam posisi terancam karena di kalangan legislatif muncul spekulasi untuk menolak perppu menjadi UU.
DPR di atas angin, pemerintah tersudut. Kedua pihak saling ngotot dengan argumentasi masing-masing mengenai keabsahan perppu ini.

Yang menarik adalah mengapa legislatif ngotot mempertanyakan keabsahan perppu tersebut. Apakah ada prosedur yang dilanggar atau ada pihak-pihak yang merasa dilangkahi?
Padahal, bila merunut pada kejadian tiga tahun lalu saat pengesahan RUU FTZ Batam, semestinya anggota legislatif masih memiliki semangat dan visi yang sama terhadap pengembangan Pulau Batam.

Pada pembahasan kali ini, kedua pihak bisa menyatukan pandangan dan bukan lagi saling mempertanyakan. Tapi kenyataan berkata lain, beberapa fraksi masih belum bisa menerima alasan pemerintah menerbitkan perppu tersebut.

Melanggar konstitusi
Mengapa DPR terkesan garang dalam pembahasan perppu ini? Ketua Komisi VI DPR-RI Didik J. Rachbini mengakui adanya silang pendapat antar anggota terhadap pemberlakuan perppu tersebut.

Dia menegaskan pada prinsipnya ide dasar pembentukan kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) oleh pemerintah didukung penuh oleh legislatif karena ini diatur dalam UU Penanaman Modal.
"Hanya saja masalah aspek legal dan prosedural dalam penerbitan Perppu itu tidak bisa grasa-grusu, mestinya ada konsultasi sebelum disahkan" ujarnya kepada Bisnis.

Komisi VI mendapat tugas untuk membahas kelayakan Perppu No. 1/2007 ini menjadi undang-undang. Dan selanjutnya, Didik menyerahkan kepada para fraksi untuk menyatakan pendapatnya terkait pengesahan perppu tersebut pada 4 Juli 2007 lalu.

Namun demikian dia mengajak masyarakat dan pengusaha untuk terus optimistis selama pembahasan perppu ini berlangsung di DPR yang akan digelar selama satu bulan ke depan.
Proses perundingan masih berlangsung sejak 5 September lalu. Awalnya ada empat fraksi yang menyatakan penolakannya terhadap pengesahan perppu tersebut, namun informasi terakhir menyebutkan hanya Fraksi PDI-Perjuangan yang masih belum setuju.

Irmady Lubis, anggota Komisi VI DPR-RI dan anggota Fraksi PDI-P, menyesalkan penerbitan perppu dan PP ini karena itu sama saja pemerintah memberikan ketidakpastian hukum kepada para calon investor di Batam, Bintan, dan Karimun.

"Perppu ini masih berpeluang untuk dibatalkan dan belum tentu DPR menyetujui. Apabila DPR sepakat untuk batal maka status hukum FTZ BBK akan dicabut kembali," ujarnya.

Dalam Pasal 22 UUD 1945 disebutkan (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Walaupun nanti disetujui, kata Irmady, Fraksi PDI-Perjuangan akan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi atas pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2007 itu karena melanggar konstitusi.

Rancu
Irmady menilai ada banyak kerancuan dan pelanggaran system ketatanegaraan dalam penerbitan Perppu No.1 Tahun 2007 dan PP 46, 47, dan 48 sebagai turunannya.
"PP itu tidak sah menurut hukum, sebab PP harus berdasarkan UU bukan Perppu. Bagaimana bisa presiden mengesahkan PP sedangkan Perppu yang menjadi dasarnya belum menjadi UU. Ini sudah pelanggaran terhadap konstitusi," tuturnya.

Begitu juga, kata dia, dalam penerbitan Perppu itu sendiri sudah menyalahi aturan karena DPR tidak melihat adanya kegentingan atau keadaan darurat sehingga perlu diterbitkan sebuah Perppu.

Apalagi, lanjutnya, ternyata dalam perppu itu hanya mengubah Pasal 2, 3, 4, dan ketentuan peralihan di mana dalam pasal 4 menyebutkan pembentukan kawasan FTZ ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Perppu No. 1/2007 berisi tentang perubahan atas UU No. 36/2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang. Disahkan pada 4 Juni 2007.
Sedangkan PP No. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun disahkan pada 20 Agustus 2007.

Kendati perppu ini nanti akan disahkan juga oleh mayoritas fraksi, namun itu bukan berarti persoalan akan selesai dengan sendirinya. Penolakan fraksi PDI-P tidak bisa dinafikkan begitu saja.

Ancaman judicial review dari Fraksi PDI-P patut menjadi perhatian dan bukan tidak mungkin Mahkamah Konstitusi akan membatalkan peraturan itu.
Tidak mudah memang membangun sebuah kawasan khusus dalam sistem perpolitikan seperti sekarang ini. Harus ada sinkronisasi dan kesatuan visi antara legislatif dan eksekutif, bila satu pihak saja menolak maka sia-sia semua upaya.

Seharusnya kejadian tiga tahun lalu bisa menjadi pelajaran. Saat itu pemerintah ngotot menolak UU yang disahkan sepihak, dan kini DPR-lah yang mencoba membalas perlakuan pemerintah.
Semoga saja aksi tolak menolak ini bukan didasari politik balas dendam. Seperti yang sudah disampaikan Didik, semangat FTZ-nya sudah sama, tinggal bagaimana pemerintah mengkomunikasikan pembahasan perppu ini menjadi UU.

Ismeth Abdullah, Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, mengharapkan ada pemahaman yang mendalam dari seluruh tim DPR yang membahas perppu tersebut. "Dengan demikian semua pihak bisa menerima perppu itu menjadi UU."

Pembahasan masih terus berlangsung di Senayan. Kemarin, DPR sudah mendengarkan pandangan dari tiga pakar hukum tata Negara mengenai keabsahan perppu ini.
Apakah giliran DPR yang akan membatalkan perppu tersebut sehingga skor impas 1-1, atau dengan terpaksa legislatif manut lagi dengan keinginan pemerintah. Kita tunggu saja!

No comments:

Post a Comment