Wednesday, September 5, 2007

DPR bakal berdebat soal FTZ BBK

Ketua Komisi VI DPR-RI Didik J. Rachbini mengakui adanya perdebatan oleh legislative mengenai aspek legal dalam pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Dia menegaskan pada prinsipnya ide dasar pembentukan kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) oleh pemerintah didukung penuh oleh legislative karena ini diatur dalam UU Penanaman Modal.
“Hanya saja masalah aspek legal dan procedural dalam penerbitan Perppu itu tidak bisa grasa-grusu, mestinya ada konsultasi sebelum disahkan” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Komisi VI mendapat tugas untuk membahas kelayakan Perppu No. 1/2007 ini menjadi undang-undang. Dan selanjutnya, Didik menyerahkan kepada para fraksi untuk menyatakan pendapatnya terkait pengesahan perppu tersebut pada 4 Juli 2007 lalu.
Namun demikian dia mengajak masyarakat dan pengusaha untuk terus optimistis selama pembahasan perppu ini berlangsung di DPR yang akan digelar selama satu bulan ke depan.
“Jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa perppu ini akan dibatalkan, perdebatan bisa saja terjadi dan proses negosiasi masih terus berlangsung,” papar Didik.
Informasi terakhir yang diperoleh Bisnis mengungkapkan empat fraksi di DPR sudah menyatakan penolakannya terhadap perppu ini yaitu Fraksi PDI-Perjuangan, PKB, PKS, dan fraksi gabungan.
Perppu No. 1 Tahun 2007 berisi tentang perubahan atas UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang. Disahkan pada 4 Juni 2007.
Sedangkan PP No. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun disahkan pada 20 Agustus 2007.
Irmady Lubis, anggota Komisi VI DPR-RI, menyesalkan penerbitan perppu dan PP ini karena itu sama saja pemerintah memberikan ketidakpastian hukum kepada para calon investor di Pulau Batam, Bintan, dan Karimun.
“Perppu ini masih berpeluang untuk dibatalkan dan belum tentu DPR menyetujui. Apabila DPR sepakat untuk batal maka status hukum FTZ BBK akan dicabut kembali,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Dalam pasal 22 UUD 1945 disebutkan (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Walaupun nanti disetujui, kata Irmady, Fraksi PDI-Perjuangan akan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi atas pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2007 itu karena melanggar konstitusi.
Irmady menilai ada banyak kerancuan dan pelanggaran system ketatanegaraan dalam penerbitan Perppu No.1 Tahun 2007 dan PP 46, 47, dan 48 sebagai turunannya.
“PP itu tidak sah menurut hukum, sebab PP harus berdasarkan UU bukan Perppu. Bagaimana bisa presiden mengesahkan PP sedangkan Perppu yang menjadi dasarnya belum menjadi UU. Ini sudah pelanggaran terhadap konstitusi,” tuturnya.
Begitu juga, kata dia, dalam penerbitan Perppu itu sendiri sudah menyalahi aturan karena DPR tidak melihat adanya kegentingan atau keadaan darurat sehingga perlu diterbitkan sebuah Perppu.

No comments:

Post a Comment