Monday, July 21, 2008

Aspek Hukum Pengusahaan Sabang


(Artikel berikut dikutip dari Serambi Online, tanggal 22 September 2004. Ditulis oleh Taqwaddin, dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Tulisan yang menarik, untuk menambah wawasan para blogger terkait tema kita soal Badan Pengusahaan Kawasan Batam)

------------------------------------

Sebagai pulau paling ujung barat Indonesia, Sabang sering disebut-sebut memiliki arti penting dan strategis, baik dari segi pertahanan keamanan nasional maupun dari aspek ekonomi.

Letak kawasan Sabang yang sedemikian itu dapat dijadikan sebagai pintu gerbang bagi arus masuk investasi, barang dan jasa dari luar negeri dan sekaligus dapat juga difungsikan sebagai tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dalam negeri untuk di ekspor ke manca negara.

Diundangkannya UU No 37 Tahun 2000 jo Perpu No.2 Tabun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (UU Sabang), idealnya, akan semakin mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Namun masalahnya, dampak dari tataran ideal tersebut belum mewujud dalam aras empirik yang realistis.

Sabang Kini masih belum memberikan manfaat apa-apa bagi rakyat Aceh. Sehubungan dengan goal pengusahaan Kawasan Sabang oleh BPKS, saya menyampaikan beberapa pemikiran dari perspektif hukum, yaitu : Pertama, Keberadaan Sabang sebagai pelabuhan bebas sudah pernah ada dan sukses sejak pemerintah kolonial Hindia Belanda menduduki Pulau Weh pada tahun 1839. Banyak bukti sejarah dan catatan-catatan penting yang masih dapat ditelusuri mengenai kesuksesan ini.

Semua itu menjadi pelajaran penting bagi generasi Aceh masa kini. Persoalannya adalah, kalau dulu Sabang bisa begitu maju lebih seratus tahun di bawah rezim kolonial, kenapa sekarang di bawah kekuasaan anak nanggroe dan di bawah payung undang-undang tersendiri, tetapi ia masih tertatih-tatih, belum memberikan manfaat nyata bagi sebagian besar warga nanggroe. Apakah ini persoalan hukum atau perihal manajemen?

Kedua, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang yang meliputi Kota Sabang, Pulau Breuh, Pulau Nasi, dan Pulau Tenom adalah kawasan yang terpisah dari pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak penjualan atas barang mewah dan cukai untukjangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun, hingga tabun 2070. Untuk mengimplimentasikan Undang-Undang tentang Kawasan Bebas Sabang tersebut telah pula dikeluarkan berbagai atribusi hukum pendukungnya, mulai dari Kepres, Qanun, Keprnen, Kepgub hingga KepBPKS, yang jumlah lebih dari dua puluh macam keputusan.

Persoalan kurang lancarnya atmosfir bisnis di Sabang, hemat saya bukan karena kekurangan kuantitas dan kualitas hukum sehingga tak ada kepastian hukum berusaha, sebagaimana dilansir oleh beberapa anggota DPRD NAD (Serambi, Sabtu 11 September 2004). Tetapi barangkali, lebih karena persoalan manajerial dan problema eksternal ekonomi lainnya.

Kalau dicermati berbagai kebijakan yang tertuang dalam keputusan-keputusan tersebut, seakan-akan mimi kemajuan dan kejayaan Aceh akan segera bangkit kembali melalui Sabang. Tetapi nyatanya, sekalipun Kawasan Bebas Sabang telah memasuki tahun keempat, masih belum tampak ada peruabahan yang cukup siginifikan, terutama bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks tersebut, pertanyaannya adalah: kapankah mimpi tersebut akan segera berubah menjadi kenyataan? Kapankah barang-barang impor yang berkualitas tinggi dengan harga murah membanjiri lagi Pasar Jengek kita? Atau kapankah hasil bumi Aceh yang dulu cukup mendunia, dapat diekspor lagi melalui Sabang? Bukankah dengan majunya aktivitas industri dan perdagangan di Kawasan Sabang akan dapat menyerap begitu banyak tenaga kerja bagi anak nanggroe? Inilah pertanyaan harapan yang menggayuti rakyat Aceh.

Tentu saja Gubernur pun memiliki pertanyaan dan harapan yang sama, sehingga karena ketidak sabarannya, seperti juga ketidaksabaran rakyat Aceh lainnya, maka pergantian pucuk pimpinan BPKS (Ir Drs Zubir Sahim, MM) terpaksa harus dilakukan. Ketiga, harus kita akui bahwa Zubir Sahim (mantan Kepala BPKS) dan kawan-kawannya telah berbuat banyak untuk Sabang. Mulai persiapan mendapatkan kembali status kawasan bebas hingga mengurus dan membuat berbagai perangkat hukum untuk rnengoperasionalkan Kawasan Sabang. Dan diduga ia tidak gagal di Sabang. Hanya saja untuk Pengusahaan Kawasan Sabang dibutuhkan figur-figur usahawan, yang telah terbiasa mencermati dan menangkap peluang-peluang bisnis secara cepat dan tepat untuk mendatangkan keuntungan.

Sesuai nama “pengusahaan” Kawasan Sabang, maka yang paling pas memang adalah para pengusaha, bukan person birokrat.
Keempat, Perlu dimaklumi bahwa BPKS adalah Badan Pengusahaan Kawasan Sabang, bukan Badan Penguasaan Kawasan Sabang. Istilah “pengusahaan” dan “penguasaan” memiliki kemiripin redaksional, tetapi memiliki makna yang jauh berbeda. Dalam terminologi hukum, penguasaan sering diartikan dengan adanya kewenangan menetapkan kebijakan dan mengatur.


Sedangkan pengusahaan adalah upaya terus menerus untuk mendapatkan keuntungan (pendapatan). Konsekuensi dari terminologi tersebut, sehingga istilah “kepala” untuk nama jabatan yang bemuansa birokratik menurut saya perlu diganti dengan istilah “direktur” agar lebih berkesan corporate.
Sebagai badan pengusahaan tentu saja ia harus seoptimal mungkin memikirkan dan berkarya dengan penuh kreatifitas untuk mendapatkan keuntungan bagi daerah dan bagi rakyatnya. Karena kalau tidak, berarti apa yang dilakukannya belum menampakkan hasil yang menggembirakan sebagaimana diharapkan rakyat.

Kedudukan lembaga penguasaan harus lebih tinggi daripada lembaga pengusahaan. Dan karenanya, lembaga pengusahaan harus bertanggungjawab kepada lembaga penguasaan. Dalam konteks Sabang, maka lembaga Dewan Kawasan Sabang (DKS) adalah lembaga penguasaan, sedangkan BPKS adalah lembaga pengusahaan yang harus melakukan aktivitas atas dasar motiv profit oriented. Dalam Pasal 4 UU Sabang (UU 37/2000) disebutkan bahwa Dewan Kawasan Sabang diketuai oleh Gubernur Provo D.I. Aceh yang beranggotakan Bupati Aceh Besar dan Walikota Sabang, dengan masa kerja 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan oleh Presiden.


Pengaturan ketentuan seperti ini, mengindikasikan bahwa kedudukan Gubernur sebagai Ketua DKS adalah posisi yang ex officio, yaitu posisi yang karena jabatannya. Oleh karena itu, siapa pun yang jadi gubernur di nanggroe ini maka otomatis ia pun sekaligus menjadi Ketua DKS. Begitu pula dengan Bupati Aceh Besar dan Walikota Sabang sebagai anggota DKS.

DKS menurut Pasal 5 undang-undang tersebut, membentuk BPKS yang dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang wakil kepala dan a
nggota-anggota. Pimpinan dan anggota BPKS diangkat dan diberhentikan oleh DKS setelah mendengar pertimbangan DPRD Provinsi NAD. Mereka bekerja untuk masa 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masajabatan. Karena BPKS diangkat oleh DKS, maka adalah logis dan begitu pula aturannya, jika BPKS bertanggungjawab kepada DKS. Bahkan ketentuan mengenai struktur organisasi, tugas clan wewenang personalia BPKS pun diatur oleh Dewan Kawasan Sabang (DKS).

Konsekuensi dari adanya ketentuan pertanggungjawaban BPKS terhadap DKS, maka adalah wajar jika DKS memiliki kewenangan untuk menilai kinerja, dedikasi, loyalitas dan keberhasilan BPKS. Sehingga apabila Ketua DKS beranggapan bahwa BPKS sudah layak diganti maka itu adalah sesuatu kewajaran, apalagi jauh hari telah pula diiklankan dalam berbagai media tentang hal tersebut. Presiden dan Gubernur saja telah pernah diturunkan oleh yang mengangkatnya, dan tidak berhasil melakukan perlawanan. Sehingga dengan logika ini, adanya ancaman gugatan dari mantan Kepala BPKS terhadap Gubernur selaku Ketua DKS (Serambi, Rabu 15 September 2005) adalah sesuatu yang patut dipertimbangkan lagi kemanfaatannya. Apalagi kenyataan proses hukum tak dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat.

Berkait dengan pemberhentian Zubir Sahim dan pengangkatan Syahrul Sauta selaku Kepala BPKS, Gubernur telah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan dari DPRD NAD sebagaimana tertuang dalam Suratnya No. 821.2/1.706 Tanggal 1 Agustus 2004 dan bahkan pengangkatan pejabat baru yang profesional itupun telah pula melalui uji kelayakan oleh sebuah tim yang terdiri dari orang-orang kredibel (Serambi, Sabtu 18 September 2004). Sehingga, kalaulah apa yang dikemukakan oleh Karo Hukum dan Humas Sekda Provinsi NAD itu benar, maka pernyataan Almanar dan T Bustami Puteh, anggota Komisi A dan Komisi B DPRD NAD bahwa, pergantian Kepala BPKS tidak sesuai prosedur (Serambi, Selasa 21 September 2004) adalah sesuatu yang membingungkan rakyat. Manakah yang harus dapat dipercayai; pernyataan eksekutif ataukah pernyataan legislatif?



No comments:

Post a Comment