Monday, July 14, 2008

Menghadapi krisis energi (yang makin parah) - Bag. II

Wacana pemerintah untuk menerapkan kewajiban pasok domestik (DMO) batu bara untuk pembangkit listrik bisa jadi bumerang jika tidak direncanakan secara matang. Mengingat karakteristik batu bara yang bervariasi, DMO batu bara seyogianya disesuaikan dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN. Artinya, perencanaan pembangkit listrik beserta kebutuhan jenis dan volume batu bara untuk jangka pendek dan menengah harus tersedia lebih dahulu sebelum kebijakan DMO diberlakukan.

Mengingat nilai strategis batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi nasional di masa depan, mempertimbangkan dampak lingkungan akibat pertambangan dan transportasi serta jumlah cadangan yang terbatas, yaitu 0,5% cadangan dunia, disarankan dilakukan pembatasan produksi dan pemberian izin pertambangan.

Pemerintah juga dapat memberlakukan pajak ekspor batu bara yang lebih agresif untuk diinvestasikan ke dalam pengembangan energi terbarukan. Sekitar 75% batu bara Indonesia diekspor ke berbagai negara. Kebijakan yang populis tetapi kalau kita peduli dengan keamanan pasok energi di masa depan, maka berbagai langkah tersebut harus diambil.

China yang merupakan produsen batu bara terbesar di dunia hingga 2006 menetapkan untuk menghentikan ekspor pada 2007. AS yang memiliki cadangan batu bara terbesar di dunia pun membatasi eksploitasi domestik.

Solusi terhadap krisis listrik tidak mudah. Krisis listrik yang kita hadapi saat ini merupakan buah dari salah kelola dan salah perencanaan sistem ketenagalistrikan oleh PLN, terutama dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini.

Selain pemadaman yang menimpa seluruh provinsi, terdapat 70 juta rakyat Indonesia, sebagian adalah penduduk miskin, yang tidak terlayani akses listrik. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi bukan saja mempertahankan kualitas pasok tenaga listrik untuk 33 juta pelanggan PLN, melainkan juga memberikan listrik kepada rakyat yang belum memiliki akses tersebut.

Dengan pertumbuhan permintaan listrik sebesar 7% per tahun, dana yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur listrik sekitar US$25 miliar-US$40 miliar pada 2006-2015.

Situasi keuangan PLN sendiri sangat tidak sehat. Hal ini karena biaya produksi yang meningkat tajam sebagai akibat kenaikan harga dan peningkatan konsumsi BBM untuk pembangkit, sedangkan pendapatan PLN dari tarif listrik hanya memenuhi separuh biaya dan setengahnya didapat dari subsidi APBN untuk volume BBM yang dialokasikan bagi BUMN itu setiap tahun.

Berdasarkan perhitungan Institute for Essential Services Reform (IESR), kenaikan harga minyak mentah hingga US$150 per barel dan kenaikan harga batu bara sebanyak 50% akan mengakibatkan biaya produksi listrik meningkat hingga 30%.

Untuk mengatasi krisis listrik, perlu diambil sejumlah langkah strategis jangka pendek. Pertama, mengoptimalkan program demand side management (DSM) pada seluruh lapisan konsumen, khususnya rumah tangga, sehingga beban puncak dapat dipangkas.

Kedua, mengamankan pasokan gas untuk pembangkit listrik, sehingga konsumsi BBM dapat dipangkas dan biaya produksi bisa dikendalikan. Ketiga, kaji ulang besaran tarif dasar listrik (TDL) melalui rasionalisasi subsidi untuk menetapkan tarif listrik yang mencerminkan cost recovery.

Keempat, pemulihan kelayakan keuangan PLN lewat efisiensi operasi dan peningkatan revenue dari penjualan tenaga listrik. Kelima, investasi pembangkit listrik, transmisi, dan distribusi oleh pemerintah.

Pemerintah perlu menyediakan dana sekitar US$1 miliar-US$1,5 miliar per tahun sebagai equity pada proyek yang diperhitungkan sebagai tambahan modal pemerintah kepada PLN.

Prasyaratnya adalah reformasi manajemen PLN agar lebih transparan dan akuntabel, memperbaiki tata kelola dan tata niaga di sektor energi, serta inovasi dan kesungguhan dalam bertindak untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

No comments:

Post a Comment