Monday, July 14, 2008

Menghadapi krisis energi (yang makin parah)-Bag. I

Tulisan ini dikutip dari www.bisnis.com, ditulis oleh Fabby Tumiwa, Pengamat Energi dan Kelistrikan serta Direktur Institute for Essenctial Services Reform (IESR)

--------------------
Apa yang akan terjadi di negeri ini jika harga minyak mentah dunia mencapai US$200 per barel? Jawabannya adalah pasok premium, solar, dan minyak tanah di seluruh Indonesia makin langka.

Selain itu, terjadi antrean panjang kendaraan bermotor di SPBU, pemadaman listrik terjadi terus-menerus setiap hari, industri gulung tikar akibat lesunya pasar, ratusan ribu orang dikenakan PHK, pemodal menunda investasinya, ekonomi mengalami stagflasi, dan terjadi kekacauan sosial (social unrest).

Saya berharap skenario itu tidak akan pernah terjadi. Namun, saya beranggapan peluang terjadinya skenario itu cukup besar jika pemerintah tidak mengambil tindakan serius, konsisten, terencana, dan terintegrasi.

Sejauh ini, pemerintah tampaknya bingung dalam mengatasi krisis energi. Hal ini tampak dari kebijakan shortcut yang diambil para menteri.

Sebagai contoh, bukannya mengambil tindakan fundamental untuk mengatasi krisis pasok listrik yang semakin akut, pemerintah malah repot dengan SKB guna mengatur hari libur bagi industri. Walaupun diharapkan kebijakan ini dapat mengurangi tekanan beban puncak tenaga listrik, kalaupun berhasil, ibarat penyakit kebijakan ini hanya mengobati gejala, bukan virus yang menjadi penyebabnya.

Tidak seimbang

Yang perlu disadari kesempatan untuk membuat dan mengimplementasikan kebijakan guna mengantisipasi meningkatnya harga energi dan berdampak pada pembangunan ekonomi dan sosial secara nasional, sangat terbatas. Kondisi energi dunia diramalkan mengalami ketidakseimbangan antara pasok dan permintaan.

Hal ini merupakan akibat dari ledakan kebutuhan energi yang akan terjadi di sejumlah negara berkembang, sementara produksi energi primer tidak cukup cepat memenuhi pertumbuhan kebutuhan.

Untuk minyak mentah, misalnya, International Energy Agency (IEA)-dalam laporannya yang dirilis pada awal Juli 2008-memperkirakan permintaannya tumbuh rata-rata 1,6% per tahun dari tingkat konsumsi sekarang sebesar 86,9 juta barel per hari (bph) menjadi 94,1 juta bph pada 2013.

Sementara itu, produksi minyak mentah negara non-OPEC hanya tumbuh 0,5%, sedangkan negara OPEC tidak serta-merta dapat menambah pasok minyak mentah. Kalaupun ada penambahan, produksi minyak mentah negara OPEC tidak akan langgeng.

Untuk menjaga pasok minyak mentah tetap konstan, diperlukan produksi baru sebanyak 3,5 juta bph. Ketatnya pasok dan permintaan juga dipengaruhi oleh berkurangnya kemampuan produksi sumur minyak non-OPEC di Laut Utara (North Sea) dan Teluk Meksiko serta stagnasi produksi dari negara-negara bekas Uni Soviet.

Sebelum IEA merilis laporannya, pada akhir April 2008 Chief Economist CBIC World Markets, Jeff Rubin, memprediksikan harga minyak mentah akan mencapai US$150 per barel pada 2010 dan US$200 per barel pada 2012. Dengan laporan IEA terbaru dan kecenderungan harga minyak mentah saat ini, prediksi Rubin bisa terjadi lebih awal dari yang diperkirakan.

Dengan tingkat produksi minyak mentah Indonesia yang kurang dari 0,9 juta bph, sedangkan konsumsi mencapai 1,3 juta-1,4 juta bph, volume impor sumber energi itu dipastikan menjadi lebih besar. Konsekuensinya, risiko terganggunya stabilitas anggaran, fiskal, dan moneter, akibat volatilitas harga minyak mentah, menjadi sangat tinggi.

Pemerintah perlu waspada terhadap kemungkinan membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang dapat mengganggu kesetimbangan fiskal dan mengorbankan belanja sosial. Hal ini terutama karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla telah menebar janji berupa tidak menaikkan harga BBM, walaupun harga minyak mentah dunia melonjak lebih tinggi dari prediksi.

Sementara itu, sejumlah analis memperkirakan harga batu bara untuk pembangkit listrik (thermal coal) di pasar spot dapat naik 25%-50% akibat meningkatnya permintaan di China, India, Rusia, Korea, dan Brasil. Namun, pasok batu bara menghadapi kendala produksi dan infrastruktur transportasi.

Yang perlu diwaspadai juga adalah kemungkinan tambahan lonjakan permintaan batu bara seiring dengan berkembangnya teknologi coal to liquid (CTL) yang hasilnya dapat dipakai sebagai substitusi BBM. Tingginya harga batu bara di pasar spot akan berdampak pada harga jual kontrak batu bara lainnya, termasuk kontrak di pasar domestik untuk industri dan pembangkit listrik. Juga kesempatan untuk pasar ekspor pun terbuka luas bagi produsen batu bara.




No comments:

Post a Comment