Friday, July 4, 2008

Menanti Kejelasan Nasib Otorita Batam


(this article has been published on Bisnis Indonesia economic daily newspaper..)

Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas Batam Bintan Karimun masih merahasiakan kapan pembentukan Badan Pengelola FTZ BBK bisa direalisasikan. Tidak saja soal waktu, Sang Maha Ketua juga masih merahasiakan siapa saja yang akan duduk di badan pengelola termasuk status dari badan tersebut.

Terlepas dari masalah waktu dan personel yang duduk di BPK, sebenarnya proses pembentukan BPK di Bintan dan Karimun sedikit lebih gampang dibandingkan pembentukan BPK FTZ Batam. Pasalnya, di Batam sudah ada PP No. 46/2008 yang menegaskan peralihan Otorita Batam menjadi badan pengelola.

Sebuah tugas yang tidak gampang, baik bagi Otorita Batam sendiri yang akan beralih, dan terutama sekali bagi Ketua DK yang bertanggung jawab dalam pengalihan status tersebut. Masalah status aset dan pegawai di Otorita Batam dinilai menjadi batu sandungan yang harus dicarikan penyelesaian tanpa perlu melangkahi undang-undang yang lain.

Dalam PP 46 itu disebutkan seluruh aset dan pegawai OB akan menjadi aset dan karyawan BPK, padahal dalam implementasinya, tidak mudah bagi DK mengeluarkan kebijakan seketika untuk mengalihkan aset dan karyawan negara menjadi milik BPK. Butuh kajian mendalam agar tidak UU yang dilanggar, yaitu UU Kepegawaian, UU Perbendaharaan Negara.

Proses pembentukan BPK terutama peralihan status Otorita Batam sekarang menjadi badan pengelola tidak semudah yang dibayangkan karena banyak peraturan perundang-undangan yang akan berbenturan. Oleh karena itu, kata dia, dibutuhkan kajian yang mendalam terhadap semua aspek yang kemungkinan tidak bisa bersinergi dengan UU yang membawahi status kawasan perdagangan bebas ini.

Edy Putra Irawady, Deputi Menteri Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan, menegaskan ada beberapa peraturan perundangan yang harus diperhatikan oleh Dewan Kawasan sebelum membentuk BPK FTZ Batam terutama menyangkut peralihan asset dan pegawai sebagaimana diatur dalam UU Perbendaharaaan, UU Kepegawaian, dan UU Kekayaan Negara.

“DK harus hati-hati dalam membentuk BPK FTZ ini. Masalah pelimpahan kewenangan perizinan, asset dan pegawai harus diperhatkan. Jadi, jangan gembira dulu, ada banyak masalah yang harus diselesaikan dengan cermat,” paparnya.

Yang harus diperhatikan oleh DK adalah status badan yang akan menggantikan OB nantinya sebagai pengelola, apakah BUMN, BUMD, Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Khusus. Masing-masing bentuk hukum badan pengelola ini memiliki implikasinya sendiri-sendiri. Bila BP berbentuk BUMD, apakah nanti badan itu bisa menerima dana APBN. Begitu juga bila jadi BUMN, maka akan berlaku UU BUMN.

Bila BP jadi sebuah Badan Khusus, maka Menpan harus menetapkan ketentuan sebagai badan khusus agar status pegawainya jelas, dan bila Otorita Batam menjadi BLU maka dia bisa menerima dana daerah dan pusat serta berwenang mengelola dananya sendiri tanpa perlu menyetor ke Negara.

“Intinya jangan sampai pembentukan badan baru itu bertentangan dengan UU yang ada,” tuturnya.

Penetapan

Tapi ada satu jalan pintas yang bisa mulai diperjuangkan oleh Ketua DK dari pada sibuk ngurusin PP 63/2003 yang tidak jelas urgensinya. Yaitu, meminta Presiden SBY supaya mengeluarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang baru tentang Penetapan Otorita Batam sebagai badan pengelola, tanpa perlu ada peralihan.

Dengan penetapan ini, maka otomatis, Otorita Batam akan menjadi badan pengelola. Ketua Otorita Batam Mustofa Widjaja tinggal mengganti plang nama gedungnya dari Otorita Batam menjadi Badan Pengelola FTZ Batam.

PP itu juga mengatur soal status aset dan karyawannya serta status hukum BPK FTZ Batam. Sehingga tidak perlu ada pelanggaran terhadap aturan yang lebih tinggi.

Apakah itu mungkin direalisasikan dalam waktu enam bulan ke depan menjelang tenggat waktu 31 Desember 2008? Mungkin saja, asalkan presiden memang punya political will untuk itu, dibantu oleh para menteri dalam Dewan Nasional dan pejabat dalam Dewan Kawasan Batam yang sangat intens membahas soal ini.

Selain itu, jelas, komitmen Ketua DK juga harus dibuktikan kembali, apakah dia serius mempercepat pembentukan badan pengelola FTZ BBK, atau cuma dijadikan ajang tawar menawar demi kepentingan kelompok tertentu?

Apapun pilihan yang akan dibuat, apakah peralihan atau penetapan melalui PP, jelas memiliki konsekwensi. Tapi, tentunya, sudah menjadi tugas DK FTZ untuk mengkaji dampak positif negatif bila Otorita Batam langsung di tetapkan dengan PP.

Secara awam, dampak positif dari penetapan itu adalah tidak perlu peralihan yang berpotensi melanggar ketentuan, tapi negatifnya, akan terjadi benturan kewenangan badan pengelola dengan pemkot Batam.

Tapi tanpa ada kajian komprehensif, tidak mungkin bisa dibuat kebijakan yang benar-benar bisa memberikan manfaat bagi daerah bebas ini. Kecuali hanya hasrat kekuasaan yang tidak relevan dengan semangat free trade zone yang telah lama diperjuangkan.

Penetapan ini jelas akan mengurangi potensi masalah yang kemungkinan bisa timbul bila melalui proses peralihan, tidak saja dari soal status badan hukum, tapi juga soal asset dan pegawai.

Harus diingat, ragam persoalan pelik siap menanti bilama proses peralihan yang dipilih oleh Ketua DK dalam pembentukan badan pengelola, mulai dari eselonisasi para pejabat structural Otorita Batam, asset barang bergerak, pegawai, dan kontrak kerjasama dengan pihak ketiga.

Ketua Otorita Batam dan para deputinya merupakan pejabat Negara eselon I atau selevel dengan Direktur Jenderal departemen di Jakarta. Apakah mungkin, setelah beralih dari badan pengelola, mereka selevel dengan kepala dinas di lingkup Pemkot Batam?

Ini harus jadi perhatian karena dalam Perpres No. 9 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas Batam, disebutkan Ketua Badan Pengelola FTZ menjadi salah satu anggota bersama para kepala kantor wilayah departemen yang nota bene masih eselon II dan berada dibawah Walikota Batam yang menjadi wakil ketua.

Artinya, bila Otorita Batam beralih menjadi badan pengelola maka otomatis berada satu tingkat dibawah kendali Walikota Batam. Disinilah, persoalan eselonisasi para pejabat Otorita Batam akan berbenturan dengan kepangkatan dalam badan pengelola FTZ di daerah.

Subsidi

Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, gonjang ganjing bakal ditutupnya Otorita Batam sudah sangat marak terutama ketika Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dibentuk dan Ketua Otorita Batam waktu itu Ismeth Abdullah terpilih menjadi gubernur pertama di wilayah ini.

Isu itu semakin deras ketika Batam ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan mekanisme peralihan Otorita Batam menjadi badan pengelola. Para pegawai yang masih setia dengan badan bentukan orde baru itu memilih tetap bertahan kendati ada beberapa rekan mereka yang pindah ke Pemkot Batam atau Pemprov.

Kondisi kesimpangsiuran dan ketidakpastian itu jelas memberikan efek negative bagi para pegawai Otorita Batam tapi memberikan keuntungan bagi Pemkot Batam. Bermodalkan UU Otonomi Daerah, Pemkot Batam justru beranggapan kondisi ketidakpastian ini menjadi pintu masuk untuk menguasai asset-aset produktif milik OB seperti rumah sakit, bandara, pelabuhan laut, dan hak pengelolaan lahan.

Keresahan itu tidak saja melanda pegawai tingkat bawah, bahkan pada tingkat deputi dan ketua pun merasakan kegelisahan ini. Para pegawai terkesan dibiarkan menganalisa perkembangan yang terjadi tanpa ada sosialisasi intensif dari jajaran pemimpinnya.

Kini status Otorita Batam berada pada fase kritis. Ketidakpastian status itu dikhawatirkan akan mengganggu program kerjasama pembangunan dengan pihak ketiga, seperti proyek pelabuhan Batu Ampar bersama investor Perancis, pengelolaan terminal feri, proyek e-government, dan lainnya.

Apa jadinya nanti, bila otorita beralih menjadi badan pengelola dan statusnya lebih rendah dari status otorita saat ini dengan kewenangan yang tidak lagi sebesar sekarang?

Mau tidak mau, tenggat waktu 31 Desember 2008 harus dikejar dengan menyelesaikan berbagai potensi masalah itu melalui rapat intensif antara DK, otorita, pemkot, dan tentu saja difasilitasi oleh Dewan Nasional.

Bila sampai batas akhir itu terlewati dan Otorita Batam belum mendapatkan status yang jelas, maka pada 2009 mendatang otorita tidak lagi menerima suntikan subsidi dari pemerintah yang besarnya kurang lebih Rp160 – 200 miliar per tahun.

Jika itu terjadi maka dipastikan akan terjadi ketidakseimbangan neraca keuangan otorita. Walaupun badan itu masih mendapat pendapatan dari hak pengelolaan tanah, bandara, pelabuhan, dan rumah sakit, namun pengerjaan proyek dan perawatan sarana infrastruktur kemungkinan tidak ada anggaran lagi.

Otorita Batam jelas tidak bisa memecahkan persoalan ini sendirian, perlu tangan bijaksana dari Ketua Dewan Kawasan yang merangkap sebagai Gubernur Kepri Kawasan yang juga mantan Ketua Otorita Batam periode 1998-2004.

Disamping itu, peran Walikota Batam yang pernah menjabat sebagai Kepala Biro Kepegawaian OB, sangat diperlukan agar peralihan status ini bisa memberikan solusi terbaik bagi kelanjutan nasib Otorita Batam ke depan, bukannya malah memanfaatkan keadaan yang tidak jelas.

Bagaimanapun juga, Otorita Batam tidak layak dihapus dari panggung sejarah panjang pembangunan Pulau Batam selama 34 tahun terakhir. “Perubahan statusnya nanti mestinya semakin memperkuat dan menciptakan daya saing yang lebih baik bagi Pulau Batam. Bukannya semakin menurun,” tandas Mustofa Widjaja, Ketua Otorita Batam.

No comments:

Post a Comment