Monday, August 11, 2008

FTZ yang bikin keki..(2)

Setahun berlalu sejak 'Tragedi UU FTZ Batam', pada Juli 2005, Menteri Keuangan Jusuf Anwar mengeluarkan dua Permenkeu No. 60 dan 61 Tahun 2005 dan satu Permendag oleh Mendag Mari Pangestu. Tiga surat keputusan itu dikenal dengan Paket Deregulasi Juli tentang Tempat Penimbunan Berikat Batam-Bintan-Karimun.

Paket Deregulasi Juli itu mengeluarkan satu istilah baru bagi Batam, yaitu Bonded Zone Plus (BZP). Embel-embel 'plus' itu berarti tidak ada lagi pemeriksaan Bea Cukai di dalam kawasan industri, pemeriksaan hanya pada satu pintu keluar di Pelabuhan Batu Ampar.
Plus yang lain, bagi perusahaan yang ingin dapat fasilitas pajak dan fiskal, maka dia harus terdaftar sebagai Perusahaan Dalam Kawasan Berikat.

"Inilah rohnya FTZ," demikian promosi Dirjen BC Eddy Abdurrahman waktu sosialisasi BZP di Gedung OB pada 2005.

Praktis sejak itu hingga tahun ini, tidak ada lagi peraturan soal pajak yang dikeluarkan pemerintah. Ini artinya, ketika UU FTZ No. 44/2007 disahkan, kemudian keluarnya PP no. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 soal FTZ Batam, Bintan, Karimun, masih mengacu pada insentif pajak yang berlaku pada Paket Juli itu.

Bahkan PP 63 yang kontroversial pun direvisi melalui PP No. 30 Tahun 2005 dengan mencabut satu pasal soal pajak barang tidak berwujud atau PPN jasa luar negeri.

Ketika BZP diresmikan adakah investor yang hengkang rame-rame atau eksodus? Tidak ada, kalaupun ada itu juga karena masalah internal ketimbang masalah insentif dalam kawasan industri. Apakah ada investor yang komplain? Tidak ada, kalaupun ada itu komplain karena pungutan liar di instansi perizinan, di pelabuhan, dan diimigrasi, dan di dinas tenaga kerja.

So, kesimpulannya, investor masih nyaman di Batam terutama dengan berbagai insentif dalam kawasan industri yang mereka dapatkan sebagai PDKB. Tinggal bagaimana stake holder di luar kawasan untuk mereformasi diri agar tidak lagi memperburuk keadaan dengan pungli yang semakin menjadi-jadi.

Adakah status FTZ ini memberikan banyak perubahan bagi perbaikan mentalitas birokrat di Batam? Tidak ada, yang ada hanyalah salah pengertian mengenai tugas pokok dan fungsi dari para birokrat itu dalam menempatkan diri dalam status FTZ.

Bagaimana mungkin seorang Asisten Bidang Ekonomi Pemkot Batam memberikan usulan soal pencabutan PP No. 63 Tahun 2003 soal pengenaan pajak terhadap empat komoditi yakni kendaraan bermotor, rokok, mikol, dan elektronik di Batam. Apa urgensinya, dia mengusulkan hal itu? Apakah Pemkot Batam dirugikan oleh pemberlakuan PP 63 itu?
Okelah, kalo dia berpikiran investor terganggu, investor yang mana?

Jadi kalo bisa kita menarik benang merah dari sikap pesimisme dan phobia itu sebenarnya dimunculkan dari dalam diri Batam sendiri, bukan dari kebijakan.
Memang harus diakui, dari kacamata hukum, rentetan produk hukum yang dikeluarkan presiden sejak Agustus 2007 hingga 2008 ini, sangat tidak lazim dan memperkosa norma kewajaran tatanan hukum sebuah negara.

Tapi itulah kualitas pemerintah kita dengan segala keterbatasannya. Seharusnya, dengan kelemahan pemerintah itu, pemerintah daerah lah yang tampil menjadi ujung tombak untuk membuat keadaan semakin baik. Salah satunya, bersama-sama menyusun strategi di tingkat lokal untuk memberikan kenyamanan bagi investor.

Adakah itu dilakukan? Tidak ada. Pemprov Kepri dalam hal ini Ismeth Abdullah masih kebingungan dengan Dewan Kawasannya. Mau dikemanakan DK yang berisi para birokrat dan pejabat struktural. Bagaimana mungkin seorang Komandan TNI AL memikirkan FTZ yang sama sekali tidak pernah dia jumpai selama berkarir di angkatannya.

Pemkot Batam juga sama. Pak Walikota sibuk ngurusi Visit Batam Year yang tak jelas urgensinya. Pak Wakil Walikota sibuk nge-blog untuk membuktikan diri sebagai Bapak Digital Batam. FTZ, hanya dipikirkan oleh Bung Syamsul Bahrum, karena kebetulan tidak ada lagi pejabat di pemkot yang mau memikirkan isu FTZ itu dan kebetulan SyB berminat untuk selalu mengemban jabatan biar dibilang sibuk.

Otorita Batam, tak jauh beda. Institusi itu digoncang ketidakpastian. Pimpinannya pun mulai resah apakah masih dipakai atau tidak setelah DK membentuk Badan Pengusahaan. Tugas OB yang utama pun sebenarnya tinggal satu, yaitu ngurusin lahan-lahan di pulau ini [rebutan dengan para mafia yang berkeliaran di dalam tubuh OB sendiri]. Tugas lain sudah diserahkan ke Pemkot Batam, dan tugas perizinan sudah ditarik oleh pusat melalui kantor bersama BKPM di Gedung Sumatera Centre.

Tugas promosi, masih dilakukan secara periodik. Ini masih perlu, agar muncul kesan OB masih terus berupaya menarik minat investor asing walaupun negara tujuan promosinya tidak signifikan seperti kasus Polandia.

Jadi, apakah masih relevan bila DK, pemkot Batam, dan seluruh stake holder di Batam menyalahkan pemerintah pusat??
Saya kok melihat ada indikasi pulau ini dilanda syndrome 'buruk muka cermin dibelah'. Persoalan utama ada di dalam pulau ini, kok malah menyalahkan pusat.

Sayangnya, diskusi FTZ dengan Lembaga Demografi -UI itu tidak mendapatkan benang merah yang diinginkan, tidak saja oleh saya selaku jurnalis, tapi juga oleh periset itu. Ada beberapa topik yang tidak dijawab oleh peserta diskusi. Moderatornya pun tidak tegas, entah karena tidak paham dengan tema FTZ Batam ini atau apa, sehingga peserta rebutan ngomong ngalor ngidul lompat sana sini tapi tidak fokus.

Nah, pada Rabu mendatang, satu lembaga riset lagi Management Research Centre UI akan menggelar diskusi FTZ yang sama. Kebetulan saya juga diundang lagi. Saya akan pastikan untuk hadir, agar jelas, kira-kira apa sih maunya kedua lembaga riset ini terhadap isu FTZ Batam.

Apakah murni riset intelektual atau hanya sebatas proyek semata? Karena apapun hasil yang disimpulkan oleh dua riset itu, saya yakin tidak akan memberikan perubahan berarti bagi perbaikan kondisi Batam pasca FTZ.
Ia hanya akan jadi bahan bacaan di perpustaan UI, LIPI dan Bappenas, tanpa pernah jadi bahan rekomendasi dalam menyusun kebijakan oleh pemerintah.

Terakhir saya ingin mengulang sindiran dari seorang teman praktisi hukum. "Coba lihat, negara tetangga saza sudah berlari kencang, eh kita masih sebatas studi. Mau zadi apa pulau ini..?" ujarnya disertai tawa ngakak kami berdua.

No comments:

Post a Comment