Friday, June 11, 2010

BP Batam gagap dengan tugas sendiri..

Dalam rapat gabungan membahas soal gula pasir di Graha Kepri kemarin siang, Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam (BP Batam) mencoba berdalih atau kalo boleh dibilang buang badan soal meroketnya harga jual gula pasir di pasaran padahal harga jual di pasar dunia sudah lama turun.

I Wayan Subawa, anggota BP Batam, yang hadir mewakili institusinya tetap bergeming bahwa tanpa instruksi langsung dari Dewan Kawasan FTZ Batam, maka pihaknya tidak bisa melakukan pengawasan ataupun intervensi atas instabilitas harga gula pasar di tingkat distributor.

Kontan saja, argumentasi ini mendapatkan reaksi keras dari Cahya, Ketua Apindo Kepri, dan anggota DPRD Provinsi Kepri yang juga turut hadir. Sebab, mereka –khususnya asosiasi pengusaha—menilai BP seperti kehilangan nyali dan ibarat macan ompong untuk membenahi harga gula di pasaran Batam.

Argumentasi bahwa BP Batam tidak punya kewenangan untuk mengawasi harga gula atau bahkan mengintervensi distributor jelas sebuah pemikiran konyol untuk ukuran institusi yang sudah berumur tiga dasawarsa.

Mari kita buka kembali aturan hukum yang mendasarinya. Dalam Perppu No. 1/2000 jo. UU No. 36/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Bab IV Tugas dan Wewenang pasal 8 ayat 3, secara jelas disebutkan Dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Pengusahaan MEMPUNYAI WEWENANG untuk membuat ketentuan-ketentuan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Coba kita lihat kata yang ditulis dalam huruf besar, ‘MEMPUNYAI WEWENANG’ untuk membuat ketentuan.... ini artinya, BP punya kewenangan untuk melakukan kegiatan seperti pengawasan ataupun intervensi kepada distributor gula apabila dalam pelaksanaannya dinilai merugikan masyarakat.

Tidak ada satupun lembaga di dunia ini yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin kepada pihak ketiga tapi tidak punya kewenangan untuk mengawasi. Bagaimanapun mungkin satu perusahaan distributor gula yang sudah mendapatkan izin dari BP tapi BP tidak mengawasi perusahaan yang sudah diberikan izin.

Jika BP merasa tidak mendapatkan instruksi dari DK, ini malah lebih aneh lagi dan semakin mempertegas BP tidak bisa memahami undang-undang. DK hanya punya wewenang menetapkan kebijakan umum, tapi urusan pengelolaan kawasan diserahkan kepada BP.

BP lah yang mesti agresif menetapkan batasan-batasan di kawasannya agar lalu lintas perdagangan dan kehidupan masyarakat di dalamnya bisa berjalan lancar tanpa dirusak oleh praktek kartel perdagangan gula pasir.

Bila sudah seperti ini, publik pasti akan berprasangka, bahwa ada ‘main’ antara DK, BP, dan distributor gula. Sebab baik DK dan BP seperti banci yang tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi lonjakan harga gula, padahal kunci kekuasaan ada di tangan mereka.

Argumentasi apapun yang disampaikan tidak akan bisa diterima publik, sebab pada tataran ini mestinya tangan kekuasaan sudah bertindak mengatasi harga gula yang kian tidak terkendali.

Seperti diilustrasikan oleh Apindo Kepri, marjin yang diambil oleh distributor sudah sangat besar. Saat ini harga gula dunia berada pada posisi US$480 per ton atau Rp4.300 per kg, tapi harga jual di tingkat pengecer sudah mencapai Rp9.000 – Rp10.000 per kg sedangkan harga pokok impor oleh distributor Rp5.800 per kg.

Dengan selisih sebesar itu, diasumsikan importir telah meraup untung sekitar Rp3.000 per kg. Jika satu distributor mendapat jatah impor 6.000 ton (6 juta kilogram) maka total keuntungannya Rp18 miliar. Marjin tersebut tidak selayanya diterima importir mengingat keuntungan sebesar itu diperoleh bukan atas kegiatan usaha tetapi lebih karena mendapat keistimewaan berupa izin pemasukan gula impor dari BP Batam.

So, terbayangkan betapa lezatnya bisnis gula ini. Jadi semakin ditekan marjin, maka makin kecil keuntungan. Atau bisa-bisa makin kecil pula ‘setoran’ nya.

No comments:

Post a Comment