Friday, September 19, 2008

Masih Soal PP 63 [3]

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirimkan sms berisi: "lates news, Pengganti PP 63 on the way. Tinggal di Depkumdang untuk harmonisasi dg aturan lain.."
Terima kasih atas sms nya my friend, entah dari siapapun sms itu diforward, yang pasti saya agak heran, emang DK punya staf yang melototi pergerakan PP itu ya, mulai dari meja Menkeu sampai ke meja Menkumdang..hehehe..aya aya wae..

Bila memang pemerintah benar tengah mempersiapkan pengganti PP 63, maka itu sama saja makin menunjukkan kebodohan pemerintah dalam percepatan implementasi FTZ Batam, karena meladeni kebodohan orang di daerah [baca: DK].

Sekali lagi, bila dilihat dari sisi aturan hukum yang ada, antara PP 46/2007 soal FTZ Batam dengan PP 63/2003 soal pengenaan pajak untuk empat komoditi Batam, jelas sekali bertentangan, tapi keduanya sama sekali tidak saling mempengaruhi.

PP 46, mengatur soal kawasan perdagangan bebas, yang intinya memberikan kemudahan bagi pemodal atau investor yang masuk ke pulau ini.
Sedangkan PP 63, jelas sekali mengatur pajak dan bea masuk bagi barang-barang konsumsi [bukan barang modal] yang tidak bersentuhan dengan investor. Sekali lagi, SOAL BARANG KONSUMSI bagi konsumen di luar kawasan berikat alias masyarakat umum..

Karena dia dua hal yang berbeda, lantas kenapa selalu saja jadi fokus dari Dewan KAwasan??
Mengapa DK tidak berpikir yang lebih strategis dulu, seperti membenahi infrastruktur, birokrasi perizinan, hubungan antar instansi, kelancaran arus keluar masuk barang, dan kualitas buruh serta stabilitas harga.

Kalo semua itu bisa dibenahi maka itulah 'pemanis' atau insentif sebenarnya bagi investor yang masuk Batam, bukan PP 63. Investor dalam kawasan industri sudah mendapatkan semua kemudahan sebagai perusahaan dalam kawasan berikat.

Kini muncul pertanyaan, bila PP 63 benar-benar dicabut, apa yang bisa dilakukan oleh seorang Jon Arizal atau Ketua DK Ismeth Abdullah? Bisa gak mereka berdua membuat pola pengawasan yang tepat untuk menghalau aktifitas penyelundupan?
Saya yakin ga bisa, dan tidak akan pernah bisa. Bayangkan betapa panjang garis pantai wilayah Batam dan kepulauan yang ada..semua bisa jadi pintu masuk.
Bila tidak ada aturan yagn tegas mengatur maka Batam akan kembali menjadi surga penyelundupan, semua 'sampah' boleh masuk ke pulau ini. Kalo sudah demikian, apakah layak pulau ini menyandang gelar status FTZ??
Karena bukanya menarik bagi investor tapi justru bagi macan penyelundupan.

Marilah, kita kembali ke khittah. Masalah utama pulau ini bukan soal PP 63, tapi bagaimana kita menyelesaikan permasalahan yang ada di tingkat lokal seperti yg saya sebutkan di atas tadi. Fokus saja dulu di situ, nanti setelah semua lancar, barulah, PP 63 ditinjau ulang, dilihat sejauh mana dampak negatif dan positifnya. Kalo memang tidak berdampak apa-apa, ya biarkan saja dia tetap berlaku.

Pesan buat DK, cobalah serius bekerja. Pembentukan BPK Batam merupakan pertaruhan bagi DK untuk membuktikan kemampuannya mempercepat implementasi FTZ di pulau ini. Kalau gagal, maka anda tau konsekwensinya. Dan kalau bisa, no more one man show..
Walaupun FTZ BBK milik anda seorang, tapi jelas anda tidak bisa bekerja sendiri dan hanya dibantu orang sekelas kepala dinas.
Manfaatkanlah para pemikir dan pengusaha yang memang sudah ahli dibidangnya. Kalo masih juga ada kalkulasi politik dan kepentingan dalam FTZ BBK, maka kawasan ini tidak akan pernah maju berkembang. Ibarat tong kosong berbunyi nyaring. Nama BBK harum terdengar, tapi di dalamnya nothing..

No comments:

Post a Comment