Tuesday, September 16, 2008

Badan Layanan Umum (BLU) merupakan pengakuan dosa dari Pemerintah

Benarkah kebijakan pemerintah menerbitkan aturan soal Badan Layanan Umum (BLU) merupakan kebijakan salah kaprah dan keblinger?? Dimana saja letak kesalahan itu?? Ada baiknya anda baca tulisan dari blog tetangga berikut ini. Penulis aslinya bernama Wirawan Purwa Yuwana. Berikut opininya yang dikutip dari www.civitas-stan.com

Tulisan ini merupakan pengantar bagi para blogger, pemerhati blog BatamFTZPhobia sebelum kita memulai wacana pemilihan opsi BLU bagi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas (BPK) Batam-Bintan-Karimun (BBK) .. Selamat menikmati..!!!

Pendahuluan

Reformasi keuangan negara telah membawa angin segar perubahan basis penganggaran dari penganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja. Penggunaan basis kinerja ini menunjukkan upaya pemerintah untuk memperjelas arah penggunaan dana. Penggunaan dana lebih diarahkan ke pembayaran terhadap apa yang dihasilkan (outputs). Jadi bukan lagi sekedar membiayai masukan (inputs) atau proses belaka.

Perubahan ini juga dipicu bahwa tingkat kebutuhan yang harus dipenuhi pemerintah semakin tinggi, sementara sumber dana yang tersedia terbatas. Katalisator yang lain adalah kenyataan bahwa pemerintah dituntut untuk mengurangi pembiayaan yang berasal dari hutang demi keadilan antar generasi. Dengan latar belakang tersebut, pemerintah menciptakan paradigma baru dalam keuangan sektor publik, yaitu mewiraswastakan pemerintah (enterprising government). Lagipula praktik ini telah berkembang di manca negara berupa upaya pengagenan (agencification) aktivitas yang harus dilakukan birokrat murni, tetapi dilakukan oleh instansi yang dikelola seperti bisnis (business like).

Upaya mewiraswastakan pemerintah tersebut dapat diketahui melalui pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) sesuai pasal 68 dan 69 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Walaupun BLU dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak enterprising-nya dapat dilihat pada pasal 69 ayat (6) bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan.
Sebagaimana amanat pasal 69 Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bahwa BLU akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, pada tanggal 13 Juni 2005 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum. Peraturan tersebut mengatur lebih rinci mengenai tujuan, asas, persyaratan, penetapan, pencabutan, standar layanan, tarif layanan, pengelolaan keuangan, dan tata kelola BLU.

Indulgensia

Max Weber menyatakan bahwa pemerintah memiliki dua tinjauan peranan penting. Pemerintah mempunyai fungsi sebagai regulator dan administrator jika ditinjau dari mechanic view. Jika ditinjau dari organic view pemerintah juga berfungsi sebagai public service agency dan investor yang harus dinamis. Idealnya kedua tinjauan itu dapat terlaksana secara simultan.
Namun rupanya untuk mencapai kondisi ideal tersebut di Indonesia bagaikan menegakkan benang basah.

Masyarakat sudah terlanjur memiliki persepsi bahwa pemerintah merupakan organisasi birokratis, tidak efisien, tidak efektif, dan lambat. Pada kenyataannya masyarakat memang sering dihadapkan pada birokrasi komplek pemerintah. Bahkan birokrasi komplek tersebut pada beberapa instansi telah melahirkan mata pencaharian baru, yaitu sebagai calo. Praktek percaloan ini tak jauh beda dengan praktek suap menyuap, kolusi, korupsi, dan extraordinary crime lainnya.

Dalam penjelasan PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pembentukan BLU diharapkan menjadi contoh konkrit penerapan manajemen keuangan berbasis kinerja sehingga mampu menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Hal ini sebenarnya pemerintah secara tidak langsung mengakui adanya persepsi masyarakat tersebut. Dengan dibentuknya BLU, pemerintah mengakui tidak bisa menjalankan perannya sebagai mecanic view dan organic view secara simultan. Jadi PP 23 tahun 2005 tak ubahnya seperti surat indulgensia, surat pengakuan dosa, dari pemerintah kepada rakyatnya.Rencana Dosa

Rakyat mungkin akan memaafkan pengakuan dosa-dosa pemerintah itu. Namun apa jadinya jika BLU dimanfaatkan untuk merencanakan dosa-dosa lain yang justru menjadi legal karena keberadaan BLU yang diakui pemerintah. Pada kesempatan kali ini setidaknya penulis menemukan tiga rencana dosa dalam kaitan keberadaan BLU.

Pertama, pola pengelolaan kas BLU sebenarnya menghambat proses pembentukan Treasury Single Account sebagai mana diamanatkan UU Perbendaharaan Negara. Sesuai dengan pasal 16 PP 23 tahun 2005 BLU menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Kegiatan itu antara lain: merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas, melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan, menyimpan kan dan mengelola rekening bank, melakukan pembayaran, mendapatkan sumber dana untuk menutp defisit jangka pendek, dan memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan. Aturan ini menjadi kelihatan tidak beres setelah dibandingkan dengan pasal 12 ayat (2) dan pasal 13 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara. Ketentuan perbendaharaan negara menyebutkan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran negara/daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara/Daerah.

Permasalahan ini mungkin saja diperdebatkan, karena BLU membuat rencana kerja dan anggaran dalam menyelenggarakan kegiatannya. Namun juga harus diketahui bahwa rencana kerja dan anggaran merupakan fungsi planning dalam manajemen yang pada kenyataannya bisa menimbulkan varians. Demikian juga dengan BLU yang diberi kewenangan untuk memperoleh pendapatan selain dari APBN/APBD yaitu sehubungan dengan jasa layanan, hibah dan sumbangan. Dengan kondisi tersebut, penulis kira BLU tidak mungkin menjalankan anggaran secara mutlak, atau bisa dikatakan hampir pasti terjadi varians antara anggaran dengan realisasi kerja BLU. Lantas bagaimana jika varians yang terjadi bukan bagian dari fungsi planning? Kondisi ini yang dikhawatirkan penulis akan menjadi dana non budgeter atau dana taktis. Suryohadi Djulianto, penasehat KPK, dengan tegas menyatakan bahwa apapun alasannya perbuatan menghimpun dana non budgeter adalah perbuatan melawan hukum. Demikian juga BLU yang menghimpun dana di luar APBN dan APBD serta tidak mencantumkan dalam rencana kerja telah melanggar UU Perbendaharaan Negara.[1]

Kedua, BLU dapat menggunakan surplus anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut. Hal ini dengan gamblang disebutkan dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005
yaitu “Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU”. Jika dibandingkan dengan pasal 3 UU Keuangan Negara, maka aturan mengenai surplus BLU tersebut telah menganakemaskan BLU sehingga tidak tercermin adanya keadilan.

Pasal 3 ayat (7) UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa “Surplus penerimaan/negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya”. Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan “Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD”. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus angaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.

Ketiga, keberadaan BLU sebagai bukan subjek pajak telah melanggar Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 stdtd Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Pada pasal 14 PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa pendapatan BLU dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementrian/lembaga atau pendapatan negara bukan pajak pemerintah daerah. Beberapa penggagas BLU juga menyatakan bahwa BLU dibebaskan dari kewajiban membayar PPh Badan atas sisa anggaran atau hasil usaha/nilai tambah karena BLU bukan subjek pajak.

Apabila keberadaan BLU memang demikian adanya, maka telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 2 UU PPh. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa subjek pajak adalah orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan, menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap. Selanjutnya terminologi badan jelaskan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.

PPh merupakan pajak subjektif sehingga yang diperhatikan terlebih dahulu adalah kewajiban subjektifnya. Sebagaiman dijelaskan diatas bahwa badan merupakan salah satu subjek pajak, maka seharusnya BLU juga merupakan subjek pajak. Apabila BLU dikatakan bukan subjek pajak maka hal ini perlu dikonfrontir dengan pasal 3 UU PPh. Pada akhirnya juga diketahui bahwa BLU tidak termasuk golongan yang dikecualikan dari subjek pajak. Jadi berdasarkan aturan PPh BLU secara mutlak adalah subjek pajak.

Penutup
Ketiga rencana dosa yang dibuat PP 23 tahun 2005 tersebut sebenarnya telah menunjukkan bahwa peraturan yang mengatur tentang BLU ini adalah peraturan keblinger. Peraturan keblinger karena telah menentang kaidah hukum bahwa peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Berdasarkan pembahasan di atas telah diketahui bahwa substansi peraturan BLU tidak sesuai dengan undang-undang.

Lantas bagaimana solusi terhadap permasalahan BLU ini? Menurut hemat penulis, aturan-aturan mengenai BLU mulai terdistorsi pada tingkatan Peraturan Pemerintah. Oleh sebab itu seyogyanya PP 23 tahun 2005 tersebut dicabut dan direvisi substansinya. Substansi penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah mengenai BLU harus sesuai dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara yang baik. Asas-asas sesuai dengan amanat UU Keuangan Negara antara lain : akuntabilitas berorientasi pada hasil; profesionalitas; proporsionalitas; keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Dengan berbekal asas-asas itulah kemudian disusun suatu aturan yang mencerminkan penganggaran berbasis kinerja tanpa melanggar ketentuan hukum lainnya. Setidaknya revisi terhadap PP 23 tahun 2005 agar lebih sesuai dengan ketentuan hukum lainnya bisa menunjukkan bahwa pemerintah menyadari kelemahan aturan ini. Untuk selanjutnya dibentuk BLU sebagai public service agency berdasarkan regulasi pemerintah yang tidak saling bertentangan dan sesuai dengan filosofi pengelolaan keuangan negara. Substansi filosofis yang terkandung dalam paket undang-undang keuangan negara dan ketentuan yang terkait harus di jabarkan secara teknis melalui aturan pembentukan BLU. Substansi filosofis tersebut harus menyentuh akar rumput. Jika tidak maka ia hanyalah seperti dewa yang melayang-layang di langit sambil menikmati pemandangan di bumi.
(sumber http://civitas-stan.com)

No comments:

Post a Comment