Thursday, October 23, 2008

Bintan Industrial Estate: FTZ di Bintan masih gelap..!

Senyap, demikian gambaran pertama ketika saya menginjakkan kaki ke kawasan industri Bintan yang dikelola oleh PT Bintan Inti Industrial Estate di Lobam, Kabupaten Bintan. Apalagi ketika saya berkesempatan berkeliling kawasan, suasana semakin sunyi.

Terlihat deretan bangunan pabrik yang kosong ditinggal penghuninya. Dari 30-an tenant yang sempat beroperasi dalam kawasan itu, kini hanya tinggal separuhnya saja. Puluhan ribu tenaga kerja dulu sempat meramaikan BIIE, tapi kini pekerja pabrik berangsur-angsur berkurang seiring tutupnya pabrik.

Ada banyak faktor yang memicu tutupnya pabrik itu dari BIIE, mulai dari krisis ekonomi global, penurunan order, kondisi internal perusahaan, hingga masalah birokrasi perizinan, peraturan, dan dinamika buruh yang tidak bersahabat.

Kondisi BIIE memang terus merosot, selain tenant yang terus berkurang, manajemen pengelola kawasan industri itu pun dihadapkan oleh beban operasional perusahaan dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia.

Bintan Industrial bisa dikatakan sebagai kawasan industri satu-satunya di Indonesia yang paling lengkap fasilitasnya. Mulai dari pelabuhan khusus ekspor, pembangkit listrik independen, pengolah air bersih, telekomunikasi, dormitory, dan expatriat complex. Termasuk juga, sarana jalan dan drainase yang kualitas dunia.

Namun, berkurangnya jumlah tenant tentunya memicu berkurangnya aktivitas ekspor di pelabuhan khusus Bintan itu. Ini mengakibatkan biaya operasional pelabuhan tetap harus dikeluarkan sementara penggunaannya tidak maksimal.
Begitu juga dengan pembangkit listrik. Dengan kapasitas terpasang 30 megawatt, BIIE bisa dikatakan memiliki kemampuan menerangi seluruh kota Tanjung Uban. Kota yang paling dekat dengan kawasan itu.

Lagi-lagi, kapasitas sebesar itu tidak lagi bisa diproduksi karena pemakaian dalam kawasan masih sedikit dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memproduksi listrik juga semakin tinggi akibat harga minyak solar melonjak naik.
Kesimpulannya, BIIE berusaha untuk terus berjalan memberikan pelayanan terbaik walaupun iklim investasi dalam kawasan itu belum sepenuhnya sehat. Arus investasi masuk tidak sekencang arus pemodal yang hengkang.

Harapan kembali muncul ketika Bintan disahkan sebagai kawasan perdagangan bebas (FTZ) termasuk juga Lobam, Lagoi dan beberapa wilayah lainnya di pulau Bintan. Tapi, berbulan-bulan sejak status itu diberikan, belum ada perubahan signifikan terutama dari pemerintah daerah.

Pengelola BIIE masih bingung dan gelap, insentif seperti apa yang akan diberikan dan perubahan apa yang akan dilakukan oleh pemangku kebijakan FTZ di wilayah itu dalam hal ini BPK Bintan??

Jangankan pengelola kawasan industri, BPK Bintan pun juga masih gelap harus ngapain dan melakukan apa untuk mempercepat FTZ di wilayah itu. Memang belum ada rancangan kebijakan strategis yang bisa dijalankan oleh BPK baik di Bintan dan Tanjung Pinang untuk menarik investor dalam waktu dekat.

Padahal, pengelola kawasan sudah menjerit menanti adanya insentif yang bisa membawa perubahan bagi kawasan. Manajemen BIIE tentu berharap investor semakin ramai masuk ke Lobam agar wilayah itu bisa dikembangkan. Bayangkan saja, dari 4.000 hektar lahan yang dialokasikan untuk BIIE, hingga kini baru 100-an hektar yang tergarap.

Bila pengelola saja masih binggung, lantas bagaimana mereka bisa menjelaskan kondisi riil yang ada di FTZ Bintan kepada calon investor di luar negeri. Apakah cukup dengan PP 47 saja, tanpa ada tindak lanjut kebijakan yang lebih konkret untuk menarik minat mereka masuk ke dalam kawasan??

Masih butuh waktu lebih lama lagi untuk menunggu beresnya kantor Badan Pengelola Kawasan FTZ Bintan..

No comments:

Post a Comment