Monday, November 17, 2008

Meredam 'isu panas' di sektor perbankan

Jelang akhir pekan lalu, tersiar e-mail dan sms gelap mengenai sejumlah bank publik yang sakit, sehingga akan terjadi rush menyusul kabar kalah (telat) kliring Bank Century. Kabar itu membuat pelaku pasar, Bank Indonesia, otoritas pasar modal (Bapepam-Lembaga Keuangan dan Bursa Efek Indonesia), dan kepolisian pun sibuk.
Polisi kemudian menangkap Erick Adriansjah pada Sabtu malam. Analis PT Bahana Sekuritas ini diketahui sebagai pengirim e-mail ke sejumlah investor mengenai analisisnya terhadap beberapa bank yang kesulitan likuiditas.
Namun, analisis itu dibantah pemilik dan pengelola bank.
Situasi panik tampaknya mulai melanda masyarakat. Namun, syukur Alhamdulillah, masyarakat sudah makin terdidik dan tidak serta-merta memercayai isu tersebut. Bahkan tidak sedikit warga masyarakat yang melaporkan ke otoritas perbankan dan polisi ketika menerima e-mail dan SMS tentang isu rush di perbankan.
Pemerintah dan otoritas perbankan kemudian meminta masyarakat agar tidak panik, karena kondisi perbankan nasional cukup solid dan telah dilakukan berbagai penyesuaian tata atur pengelolaan bank.
Hingga Agustus 2008, kondisi kecukupan modal perbankan nasional mencapai 16%. Bahkan hingga September 2008, terdapat kenaikan dana pihak ketiga sedikitnya Rp30 triliun dan kredit sebesar Rp13 triliun dengan angka kredit bermasalah sebesar 4%.
Sikap panik masyarakat yang berlebihan justru akan menyeret menjadi kenyataan. Oleh karena itu, saat ini pemerintah, otoritas perbankan, serta pemilik dan manajemen bank perlu duduk bersama jika satu bank mengalami persoalan.
Diperlukan pula pemikiran jernih untuk membedakan persoalan yang dihadapi perbankan, apakah berupa masalah likuiditas atau solvabilitas. Jika masalah solvabilitas, penutupan bank tentu akan terjadi.
Namun, penutupan bank tampaknya akan dihindari, mengingat kondisi saat ini tidak menguntungkan dan memungkinkan munculnya efek negatif yang dapat merembet ke situasi perekonomian nasional.
Kabar mengenai penutupan satu bank pun akan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan pelosok desa. Oleh karena itu, upaya penyelamatan ekstra perlu dilakukan.
Untuk menghindari agar satu bank ditutup, diperlukan penguatan modal lewat pencarian investor baru, baik melalui merger maupun akuisisi. Namun, jika satu bank mengalami masalah likuiditas karena dana tidak mencukupi akibat rush, masih ada beberapa solusi yang dapat ditawarkan lewat berbagai kebijakan yang responsif, bahkan pre-emptive.
Terjadinya kalah kliring pada satu bank belum tentu semata-mata disebabkan oleh kondisi likuiditas perbankan nasional yang kering. Ini karena likuiditas pada dasarnya cukup, tetapi tidak merata ke seluruh bank, sehingga suku bunga antarbank meningkat pesat.
Bank yang memiliki likuiditas berlebih malas memberikan pinjaman ke bank lain, karena ia khawatir peminjam tidak mampu melunasi akibat krisis kepercayaan. Akibat lanjutannya, pasar uang antarbank (PUAB) menjadi tersegmentasi, sehingga kemungkinan satu bank kalah kliring akan terjadi.
Antisipasi BI
Upaya yang dilakukan BI guna memberikan sedikit kelonggaran ruang gerak kepada perbankan diberlakukan secara bertahap dan cukup responsif terhadap kejadian global dan lokal. Bahkan langkah pengaturan yang diambil mungkin dilakukan dalam hitungan harian, bahkan jam.
Penerapan crisis management protocol begitu penting dengan adanya pertemuan yang cukup intensif tanpa kenal waktu di kantor bank sentral guna menerapkan kebijakan yang bersifat responsif, tetapi dengan skala jangka panjang (pre-emptive). Untuk itu, ada beberapa penyesuaian kebijakan yang dilakukan bank sentral.
Pertama, menjaga ketersediaan fasilitas likuiditas di pasar uang (standing facility). Tidak dipungkiri bahwa selama ini bank kecil sulit mendapatkan fasilitas pinjaman antarbank.
Dengan kata lain, PUAB tersegmentasi, sehingga belum tentu bank yang memiliki likuiditas berlebih bersedia memberi pinjaman kepada bank yang kekurangan likuiditas jangka pendek. Oleh karena itu, ditempuh dengan fasilitas pinjaman jangka pendek dari BI. Bahkan tercetus ide pooling fund dalam PUAB.
Kedua, dilakukan pula kegiatan operasi pasar melalui lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) repo dalam jangka waktu dari 14 hari menjadi 3 bulan. Langkah ini akan memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi manajemen likuiditas.
Bank pun diperbolehkan memindahkan portofolio SUN dari kategori diperdagangkan (SUN trading) dan ketersediaan dijual (SUN available for sale) hingga jatuh tempo. Hal ini pun sesuai dengan Peraturan Standar Akuntansi No. 55.
Ketiga, pengaktifan transaksi forex swap (repo atau gadai rupiah dan valas dari BI) dalam operasi pasar di pasar valas paling lama dari 7 hari menjadi 1 bulan. Langkah ini untuk memenuhi permintaan valas yang sifatnya temporer, sehingga memberikan waktu penyesuaian yang cukup bagi bank sebelum benar-benar merealisasikan penyesuaian portofolionya.
Suku bunga repo juga mengalami penyesuaian dari semula BI Rate +300 bps menjadi BI Rate +100 bps dan menyesuaian dengan suku bunga FASBI dari semula BI Rate -200 bps menjadi BI Rate -100 bps.
Keempat, pengetatan pasokan valas, baik bagi individu maupun perusahaan, lewat berbagai persyaratan di antaranya nomor pokok wajib pajak (NPWP), surat tanda jatuh tempo suatu kewajiban, dan sebagainya. Selain itu, batas saldo pinjaman luar negeri diperlonggar menjadi maksimum 30% dari modal.
Juga dilakukan pencabutan batasan posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek dengan meniadakan batasan posisi saldo harian guna mengurangi tekanan pembelian valas, karena adanya pengalihan rekening dari mata uang lokal ke valas.
Kelima, menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) valas dari 3% menjadi hanya 1%. Penyederhanaan perhitungan GWM rupiah menjadi 7,5% berupa GWM utama dalam bentuk simpanan giro di BI sebesar 5% dan GWM sekunder dalam bentuk SBI dan atau SUN dan atau simpanan giro di BI sebesar 2,5%.
Keenam, mengubah peraturan agunan yang dapat digunakan bank untuk memperoleh fasilitas pinjaman dari semula hanya SBI menjadi ditambah dengan kredit kolektibilitas lancar.
Langkah pemerintah
Tidak kalah menariknya, pemerintah juga sangat tanggap sasmita terhadap kemungkinan dampak negatif dari krisis global dalam pasar finansial lokal dan akhirnya kondisi perekonomian nasional, dengan menerapkan sejumlah jurus.
Pertama, Bapepam-LK menghentikan perdagangan bursa saham setelah indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 20% dalam tiga hari berurut-turut.
Kedua, menerapkan pembebasan kewajiban mark to market untuk efek yang dimiliki perbankan dan produk baru Reksadana Terproteksi guna memberi keleluasaan kepada bank dalam menilai efek yang dimiliki. Misalnya dengan metode discounted cash flow.
Ketiga, menaikkan penjaminan dana simpanan dari Rp100 juta menjadi maksimal Rp2 miliar per nasabah.
Keempat, menetapkan peraturan Jaring Pengaman Sistem Keuangan guna mengantisipasi gejolak perekonomian.
Sebagaimana diketahui, krisis keuangan di AS membawa implikasi luas, termasuk kepada Indonesia. Dampaknya diyakini memang tidak begitu signifikan bagi perbankan nasional, karena hanya segelintir bank yang memiliki eksposure surat utang di perusahaan finansial AS.
Namun, dalam perkembangannya setelah pasar modal terkena gejolak, pada gilirannya perbankan ikut mengalami kontraksi. Apa yang kita lihat sekarang adalah dampak dari gelembung pasar uang yang pecah. Dimulai dari AS yang merembet ke Eropa, Asia, dan ke hampir semua negara.
Langkah lanjutan
Beberapa penyesuaian kebijakan responsif pun dilakukan untuk menangkal kemungkinan kontraksi yang lebih dalam. Bagaimanapun persoalan ketersediaan likuiditas dan kredit, terutama devisa, masih akan terkontraksi sekitar 6 bulan sampai 1 tahun ke depan.
Selain itu, persoalan likuiditas dapat memengaruhi akses dan beban bagi pembiayaan APBN. Maka diperlukan beberapa langkah.
Pertama, pengawasan yang lebih ketat dan ekstra hati-hati secara intensif terhadap individual bank, terutama menyangkut kondisi likuiditas perbankan global, regional dan nasional, kualitas kredit, dan ketersediaan likuiditas yang cukup untuk operasi sehari-hari perbankan.
Kedua, adanya kepuguhan kebijakan manajemen likuiditas guna mengatur kecukupan likuiditas dalam jangka pendek, baik untuk denominasi mata uang lokal maupun valuta asing, terutama dolar AS.
Ketiga, perlu realisasi yang kontinu atas ketersediaan valas di pasar uang dan menjaga kondisi PUAB tetap berfungsi dan mendistorsi segmentasi yang terjadi.
Keempat, adanya pengejawantahan penerimaan yang jernih atas kondisi terakhir dan upaya penyesuaian bersama pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Diperlukan kejelian dan kejituan dalam mengelola ekspektasi sekaligus manajemen rumors atau isu negatif.
Kelima, koordinasi yang nyata agar bisa selamat dari krisis finansial dan krisis ekonomi, sehingga perekonomian nasional menjadi lebih kuat.
Kita tentu tidak ingin krisis ekonomi terulang. Kita justru mengharapkan masyarakat makin dewasa untuk tidak panik.
Pengusaha dan pejabat pun sudah tidak menjadi tren lagi bila melakukan tunneling dalam menjalankan usaha mereka. Pada akhirnya kita semua harus menjaga momentum.
---------------------------------------------------------
Penulis: Rofikoh Rokhim, ekonom Bisnis Indonesia

No comments:

Post a Comment