Monday, November 17, 2008

Batam, the island of alcohol??

dear all blogger on earth..

long time no see ya..hampir dua minggu halaman blog ini kosong ga pernah diupdate lagi..
maklum lah, lagi sibuk mencari sesuap nasi dan segenggam berlian..
Tapi itu bukan berarti perhatian saya terhadap isu FTZ di kota ini berkurang lho..bukan berarti saya expert, tapi memang isu ini sangat menarik untuk dikupas dan dikomentari..

Dalam posting terdahulu mengenai Otorita Batam belum bubar, saya kok merasa lega ya, karena media di Batam sudah mulai paham dan mengerti mengenai posisi OB dan Badan Pengusahaan Kawasan Batam. Tidak ada diantara dua institusi itu yang saling menghilangkan, artinya, dua-duanya tetap beroperasi hingga kini.
Well done..!!! finally, they [the journalist] are back on track..

Nah, kini isu hangat yang jadi pemberitaan media adalah membanjirnya minuman beralkohol ilegal di Pulau Batam. Saya bersyukur isu ini diangkat dan di blow up besar-besaran di koran, agar publik mengerti, bahwa pulau ini bukan sarang minuman keras. Batam was not the island of alcohol.

Bisa kita bayangkan, dengan masih berlakunya PP No 63 Tahun 2003 yang mengatur pengenaan pajak bagi minuman beralkohol saja distribusi minuman beralkohol (mikol) sudah seperti ini, apalagi bila PP itu dihilangkan??

Jadi jelas sudah, kepada siapa pemerintah daerah [baca: Dewan Kawasan] berpihak dengan diusulkannya pencabutan PP 63 ini. Ya, para pengusaha mikol dan para penyelundup yang enggan membayar cukai yang mestinya jadi penerimaan negara.

Ketua DK FTZ Batam berulang kali mengatakan, pencabutan PP 63 akan dibarengi dengan mengatur tata niaga minuman beralkohol, mobil, elektronik, dan rokok di Pulau Batam. Hmmm..bagaimana caranya ya pak.??
Ngomong-ngomong soal tata niaga atau pembatasan impor kok terdengar seperti sebuah retorika dan pemanis bibir saja ya..Dalam konteks negara saja, Indonesia belum berhasil menggelar tata niaga komoditi yang baik, apalagi dalam konteks pulau Batam.

Jadi, sekali lagi, mau dibawa kemana FTZ Batam ini bila importasi [baca: konsumsi produk yang tidak relevan dengna kebutuhan masyarakat] masih selalu diperdebatkan. Apakah Batam mau dijadikan sarang mikol, rokok, dan elektronik bajakan dari China?? Atau kita ingin Batam kembali dibanjiri mobil bekas asal Singapura dan Malaysia?

Mengapa ya para pemangku kebijakan itu tidak pernah mau maju pola berpikirnya. Keinginan untuk kembali pada romantisme masa silam sebelum PP 63 diberlakukan sama saja dengan langkah mundur yang tidak baik bagi pembelajaran dan proses pembangunan ke depan. Mengapa tidak kita jual saja manfaat dan keunggulan kompetitif yang dimiliki pulau ini tanpa embel-embel PP 63.

We must step forward,
Jangan lagi lihat ke belakang karena masih banyak tantangan yang harus diselesaikan di depan kita. Sebab masa silam adalah sejarah yang tidak perlu diulang tapi dijadikan pengalaman.
Saya yakin, Batam tetap lebih baik dan menarik tanpa perlu mempersoalkan PP 63.

1 comment: