Friday, January 13, 2012

PMA hengkang bukan berarti kiamat

Selama dua minggu terakhir, pemberitaan di beberapa surat kabar di Batam dan nasional dihebohkan oleh rencana tutupnya PT Exas Batam Indonesia, satu PMA yang bergerak di bidang perakitan elektronik di Kawasan Industri Batamindo.

Berdasarkan penuturan dari serikat pekerja, PT Exas ternyata bukan satu – satunya perusahaan asing yang hendak tutup dan mengalihkan produksinya ke negara lain, ternyata ada tiga perusahaan lagi yang juga berniat untuk menghentikan aktivitasnya di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (FTZ) Batam.

Tidak berhenti di situ saja, salah satu koran nasional bahkan mengutip pernyataan satu lembaga swadaya masyarakat, yang mengungkapkan bahwa data investasi yang selama ini dirilis oleh Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam disinyalir merupakan data yang tidak akurat dan tidak sesuai fakta.

Situasi ini mendapat tanggapan serius dari BP Kawasan Batam dan menggelar jumpa pers untuk memberikan data sebenarnya tentang data realisasi investasi yang dicatat instansi tersebut selama 2010 – 2011 sekaligus membantah tudingan bahwa data yang mereka miliki tidak akurat.

Dwi Joko Wiwoho, Direktur Humas dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BP Batam, menuturkan pada 2011 untuk penanaman modal asing mencapai 91 PMA dengan total nilai realisasi investasi US$105 juta atau naik 44,8% dibandingkan pencapaian 2010 sebesar US$72,5 juta.

Dari total realisasi investasi tersebut, sektor manufaktur masih menopang pencapaian investasi dengan total realisasi investasi yang menyentuh US$34 juta pada 2011 dengan total 35 PMA. Sedangkan pada 2010 sektor ini nilai investasinya mencapai US$58 juta dengan 29 PMA.

Pada tahun 2011, sektor lainnya yakni sektor perkapalan dengan nilai investasi US$17,8 juta dengan 23 PMA, sektor developer properti US$30 juta dengan 4 PMA dan sektor perdagangan dan jasa lainnya US$22 juta dengan 29 PMA.

BP Batam juga mengakui bahwa ada tiga PMA yang sudah mengajukan pencabutan izin penanaman modal atau menghentikan operasi karena berbagai faktor, seperti order yang mulai berkurang dan dampak dari krisis ekonomi global.

Menurut Joko, perusahaan tutup merupakan hal yang wajar. Kondisi serupa juga lumrah terjadi di sejumlah kawasan industri di tanah air, bahkan di luar negeri. Umumnya, sebuah perusahaan akan tutup jika usahanya tidak lagi kompetitif.

“Di Singapura, Malaysia, Thailand juga banyak perusahaan yang tutup. Tapi tidak terlalu dibesar-besarkan karena itu hal yang wajar,” tuturnya.

Sementara itu, terkait beredarnya kabar perusahaan asal Jepang, PT Exas Batam Indonesia yang juga menghentikan beroperasi, setelah bertemu dengan manajeman perusahaan, ia mengklrafikasi PT Exas tidak tutup. Kata dia, saat ini PT Exas hanya mengurangi order dan secara otomatis akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja.

Joko ada benarnya. Perusahaan tutup atau berhenti beroperasi adalah hal yang lumrah terjadi di kawasan manapun di dunia ini. Apalagi untuk perusahaan perakitan yang masuk kategori footloose industri yang mudah berpindah tempat. Seperti mengutip judul tulisan ini, perusahaan tutup bukan berarti kiamat bagi Batam.

Sebagai sebuah kawasan FTZ, tentu saja tolak ukur keberhasilan sebuah kawasan perdagangan bebas adalah berapa besar investasi asing berhasil masuk, berapa besar lapangan kerja yang tersedia, berapa besar ekspor, dan berapa besar kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Bila indikator tersebut tidak menunjukkan angka positif di Batam, maka kita bisa mengatakan bahwa Batam sebagai kawasan FTZ telah gagal. Jadi, sebelum menyatakan bahwa FTZ di pulau ini gagal maka harus diperhatikan indikator – indikator tersebut.

Sebaiknya kita tidak terburu – buru menggunakan kata ‘gagal’ untuk menggambarkan implementasi FTZ di Batam, apalagi dengan periode pemberlakuan status FTZ masih bisa dihitung dengan jari yaitu hanya tiga tahun sejak April 2009. Memang, Pulau Batam telah berusia 38 tahun sejak dikembangkan pertama kali pada 1974 tapi harus diingat ada masa – masa dimana peralihan status yang mengiringi perjalanan pembangunan pulau ini.

FTZ adalah status terakhir yang diberikan pemerintah pusat melalui PP 46/2007 tentang FTZ Batam setelah sebelumnya Batam berstatus bonded zone, bonded island, dan bonded zone plus.

Jika kita perhatikan indikator ekonomi di Batam, sebenarnya pulau ini masih cukup prospektif dilihat dari realisasi investasi sebagaimana yang dirilis oleh BP Batam, pertumbuhan ekonomi yang masih berada di level 7%, inflasi pada 2011 lalu yang masih rendah sebesar 3,76%, dan ekspor yang juga masih positif.

Hanya saja, bila dibandingkan dengan daerah lain yang tidak memiliki status FTZ, jelas pencapaian Batam bisa dibilang biasa – biasa saja, tidak ada yang istimewa. Ada banyak kota lain di Indonesia yang mengalami pertumbuhan ekonomi di atas 7%.

Dua kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Batam saat ini, yaitu tidak optimal. Status FTZ yang dimilikinya belum dapat memacu investasi asing untuk masuk dalam jumlah yang masif. Birokrasi perizinan juga belum sepenuhnya baik, dan infrastruktur yang dimiliki terutama pelabuhan masih jauh dari layak.

“Kami mengkhawatirkan jika kondisi ini tidak dibenahi maka Batam akan semakin tenggelam dan kalah dibandingkan dengan Iskandar Development Region di Malaysia,” ujar Johanes Kennedy, Ketua Kadin Provinsi Kepulauan Riau.

Kekhawatiran Johanes tentunya bukan tanpa alasan. Dilihat dari kinerja investasi IDR selama lima tahun pertama pengembangan, tercatat sebesar RM47 miliar atau setara US$14 miliar dari total RM72 miliar komitmen yang sudah ditandatangani.

Angka US$14 miliar itu ternyata setara dengan pencapaian kumulatif investasi di Batam selama 38 tahun pengembangan daerah ini sebagai daerah industri dan tujuan investasi asing.

Jika pemerintah tidak segera bergerak cepat membenahi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pulau ini maka bukan tidak mungkin akan semakin banyak lagi perusahaan yang berhenti beroperasi.

Kalau hanya berhenti atau tutup operasi mungkin masih bisa dikatakan wajar, tapi yang tidak wajar jika PMA tersebut berhenti operasi di Batam dan membuka pabrik yang lebih besar di Malaysia. Berarti ada yang tidak beres di Batam!

Tentunya ini menjadi tugas semua pihak, baik pemerintah pusat, daerah, pengelola FTZ, masyarakat, dan tentu saja media massa untuk memberikan pemahaman dan informasi yang berimbang mengenai kondisi riil di Batam.

Mustofa Widjaja, Ketua BP Batam, menegaskan perbaikan peringkat Indonesia menjadi investment grade ini harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menjual FTZ Batam sebagai destinasi investasi utama di regional.

“Jika kita terus – terusan memberitakan wacana yang jelek maka bukan tidak mungkin situasi yang jelek akan benar – benar jadi kenyataan. Kalau itu terjadi maka yang rugi adalah masyarakat juga,” tandasnya.

Semua pihak harus proporsional melihat suatu isu atau kejadian. Terlepas dari rencana tutupnya sebuah perusahaan, yang lebih penting adalah bagaimana agar investor asing bisa tetap tertarik untuk masuk ke Batam dengan dukungan semua stakeholders.

Tanpa adanya gebrakan dan inovasi dari pemerintah berupa pemberian insentif, perizinan yang mudah, menghapus pungli, dan infrastruktur yang layak, maka jangan berharap terlalu tinggi iklim investasi akan semakin membaik.

Kita iri melihat pemerintah di negara lain sangat serius mengurus daerah FTZ nya sehingga bisa menjadi lokomotif pembangunan. Masih banyak persoalan yang menanti untuk diselesaikan di FTZ Batam, Bintan, dan Karimun, tapi terkesan pemerintah tidak berkomitmen untuk mengatasinya.

Berkali – kali Kadin Kepri berteriak untuk mendesak agar ada pembenahan regulasi di kawasan FTZ, tapi selama itu pula pemerintah terdiam seperti tidak mengerjakan apapun. Tarik ulur kewenangan di pelabuhan dibiarkan terjadi yang membuat pelaku industri bingung dan resah.

Pengusaha tetap berharap kiamat di FTZ Batam tidak benar – benar terjadi, dan hanya keseriusan pemerintah yang bisa menyelamatkan Batam dari aksi hengkang PMA – PMA yang ada.