Friday, June 11, 2010

Pada akhirnya, DK dan Gubernur akan dipisah juga..!

Konstalasi politik di Provinsi Kepulauan Riau diperkirakan akan semakin panas dalam beberapa bulan ke depan. Mulai dari perebutan kursi Ketua Golkas Kepri yang akan memilih ketua baru, pelantikan Gubernur Kepri terpilih, hingga perebutan kursi Ketua Dewan Kawasan FTZ Batam.

Tapi penulis tidak akan masuk dalam pusaran politik perebutan kursi partai Kuning, penulis lebih sreg membahas soal posisi Gubernur dan Ketua Dewan Kawasan ini. Isu ini lebih seksi ketimbang ngurusin kursi ketua Partai Golkar walaupun nanti dalam postingan selanjutnya kita akan bahas lagi.

Diperkirakan pada bulan Agustus mendatang, Menteri Dalam Negeri akan melantik pasangan Gubernur - Wakil Gubernur Provinsi Kepri yang terpilih dalam Pilkadagub tanggal 26 Mei lalu. Pasangan M. Sani - Soerya Respationo berhasil mengungguli dua pasangan lainnya dengan perolehan total suara berdasarkan hasil pleno KPUD Kepri pada 9 Juni lalu sebesar 37%.

Setelah M. Sani duduk sebagai Gubernur, maka pertanyaan kita kini adalah siapakah yang akan duduk sebagai Ketua Dewan Kawasan FTZ? Sebagaimana telah kita kupas dalam postingan terdahulu, posisi Ketua DK bukanlah ex-offico Gub Kepri, yang mana artinya sang gubernur tidak otomatis duduk sebagai Ketua DK.

Sebelum kita lanjutkan, mari kita bercerita sedikit tentang sang Ketua DK yaitu Ismeth Abdullah yang kini masih duduk sebagai pesakitan dalam persidangan Tipikor dugaan korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran.

Saksi kunci dalam kasus ini Hengky Samuel Daud sudah mati di penjara akibat serangan jantung sehingga semestinya kematian sang terpidana ini maka berakhirlah kasus ini karena mata rantai kasus ini terputus.

Dalam beberapa kali persidangan pun, mulai terlihat bahwa indikasi kerugian negara dan penunjukan langsung yang disangkakan kepada Ismeth tidak sepenuhnya terbukti. Sepertinya, sang "invisible hand" tidak akan melanjutkan kasus ini atau kemungkinan Ismeth bisa bebas dari segala tuntutan.

Nah, bila IA bebas...sudah pasti dia akan kembali ke Kepri untuk paling tidak mengurus dulu kursi Ketua DK yang sudah ditinggalkannya beberapa bulan. Kini pertanyaannya, apakah dia akan tetap duduk sebagai ketua DK atau menyerahkannya kepada M. Sani sebagai gubernur, atau tetap mempertahankan posisinya?

Mari kita berandai-andai...
Ketika M. Sani sudah dilantik sebagai gubernur, dan Ismeth sudah bebas dari segala tuntutan, besar kemungkinan kedua orang ini akan bertemu kembali untuk menyelesaikan soal Dewan Kawasan.

Jelas, posisi Ketua DK belum tentu bisa diserahkan begitu saja kepada gubernur baru karena dua pertimbangan:
1. Pengangkatan Ketua DK ditetapkan oleh presiden berdasarkan usulan Gubernur dan DPRD. Sehingga, jika M. Sani mau mencopot posisi IA, maka dia harus mengusulkan dulu kepada presiden calon ketua yang baru.
2. Masa jabatan Ketua DK sebagaimana tercantum dalam UU FTZ adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali. Walaupun tidak dijelaskan dalam Keppres No. 9, 10, 11/2008 mengenai masa tugas pengurus DK ini, namun pasti acuannya tetap UU. Berarti, Ismeth akan tetap sebagai Ketua DK sampai tahun 2013.

Dengan dua pertimbangan diatas, posisi Ketua DK akan menjadi perebutan, kecuali, ada deal antara M. Sani dan Ismeth. Walaupun mereka tidak berpasangan lagi dalam pemerintahan, namun dalam urusan pengembangan FTZ BBK, mereka berdua bisa bermitra kembali.

Bagi M. Sani, tentu bisa menutupi kelemahannya dengan memanfaatkan figur Ismeth untuk menjalin kepercayaan investor, sehingga FTZ BBK bisa tetap menarik bagi pemodal. Selain itu, figur Ismeth juga masih tokcer untuk menembus dinding birokrasi pusat untuk memperjuangkan anggaran FTZ BBK.

Sedangkan bagi Ismeth sendiri, comeback-nya dia memimpin FTZ di Kepri justru memberikan implikasi dalam konteks hubungan DK dan BP Batam.

Ini terkait ‘dendam’ pribadi antara Ismeth dengan para pejabat lingkungan BP Batam ketika memberikan kesaksian saat persidangan Ismeth di pengadilan Tipikor. Siapa – siapa yang telah memberikan kesaksian yang memberatkan siap-siap untuk dilengserkan.

Kembalinya Ismeth jelas akan memberikan ketakutan berkepanjangan atau PHOBIA bagi para pejabat BP yang secara pribadi memang pernah bermasalah. Kelompok sakit hati akan semakin terpinggirkan, sebaliknya pejabat yang mencoba mbalelo, siap-siap akan diturunkan.

Hmmmm....kalo skenario ini memang terjadi, kita patut angkat jempol tangan dan kaki buat ‘bapak’....

BP Batam gagap dengan tugas sendiri..

Dalam rapat gabungan membahas soal gula pasir di Graha Kepri kemarin siang, Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam (BP Batam) mencoba berdalih atau kalo boleh dibilang buang badan soal meroketnya harga jual gula pasir di pasaran padahal harga jual di pasar dunia sudah lama turun.

I Wayan Subawa, anggota BP Batam, yang hadir mewakili institusinya tetap bergeming bahwa tanpa instruksi langsung dari Dewan Kawasan FTZ Batam, maka pihaknya tidak bisa melakukan pengawasan ataupun intervensi atas instabilitas harga gula pasar di tingkat distributor.

Kontan saja, argumentasi ini mendapatkan reaksi keras dari Cahya, Ketua Apindo Kepri, dan anggota DPRD Provinsi Kepri yang juga turut hadir. Sebab, mereka –khususnya asosiasi pengusaha—menilai BP seperti kehilangan nyali dan ibarat macan ompong untuk membenahi harga gula di pasaran Batam.

Argumentasi bahwa BP Batam tidak punya kewenangan untuk mengawasi harga gula atau bahkan mengintervensi distributor jelas sebuah pemikiran konyol untuk ukuran institusi yang sudah berumur tiga dasawarsa.

Mari kita buka kembali aturan hukum yang mendasarinya. Dalam Perppu No. 1/2000 jo. UU No. 36/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Bab IV Tugas dan Wewenang pasal 8 ayat 3, secara jelas disebutkan Dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Pengusahaan MEMPUNYAI WEWENANG untuk membuat ketentuan-ketentuan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Coba kita lihat kata yang ditulis dalam huruf besar, ‘MEMPUNYAI WEWENANG’ untuk membuat ketentuan.... ini artinya, BP punya kewenangan untuk melakukan kegiatan seperti pengawasan ataupun intervensi kepada distributor gula apabila dalam pelaksanaannya dinilai merugikan masyarakat.

Tidak ada satupun lembaga di dunia ini yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin kepada pihak ketiga tapi tidak punya kewenangan untuk mengawasi. Bagaimanapun mungkin satu perusahaan distributor gula yang sudah mendapatkan izin dari BP tapi BP tidak mengawasi perusahaan yang sudah diberikan izin.

Jika BP merasa tidak mendapatkan instruksi dari DK, ini malah lebih aneh lagi dan semakin mempertegas BP tidak bisa memahami undang-undang. DK hanya punya wewenang menetapkan kebijakan umum, tapi urusan pengelolaan kawasan diserahkan kepada BP.

BP lah yang mesti agresif menetapkan batasan-batasan di kawasannya agar lalu lintas perdagangan dan kehidupan masyarakat di dalamnya bisa berjalan lancar tanpa dirusak oleh praktek kartel perdagangan gula pasir.

Bila sudah seperti ini, publik pasti akan berprasangka, bahwa ada ‘main’ antara DK, BP, dan distributor gula. Sebab baik DK dan BP seperti banci yang tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi lonjakan harga gula, padahal kunci kekuasaan ada di tangan mereka.

Argumentasi apapun yang disampaikan tidak akan bisa diterima publik, sebab pada tataran ini mestinya tangan kekuasaan sudah bertindak mengatasi harga gula yang kian tidak terkendali.

Seperti diilustrasikan oleh Apindo Kepri, marjin yang diambil oleh distributor sudah sangat besar. Saat ini harga gula dunia berada pada posisi US$480 per ton atau Rp4.300 per kg, tapi harga jual di tingkat pengecer sudah mencapai Rp9.000 – Rp10.000 per kg sedangkan harga pokok impor oleh distributor Rp5.800 per kg.

Dengan selisih sebesar itu, diasumsikan importir telah meraup untung sekitar Rp3.000 per kg. Jika satu distributor mendapat jatah impor 6.000 ton (6 juta kilogram) maka total keuntungannya Rp18 miliar. Marjin tersebut tidak selayanya diterima importir mengingat keuntungan sebesar itu diperoleh bukan atas kegiatan usaha tetapi lebih karena mendapat keistimewaan berupa izin pemasukan gula impor dari BP Batam.

So, terbayangkan betapa lezatnya bisnis gula ini. Jadi semakin ditekan marjin, maka makin kecil keuntungan. Atau bisa-bisa makin kecil pula ‘setoran’ nya.

Sunday, June 6, 2010

Karyawan OB siap-siap dipensiunkan!

Nasib ribuan karyawan Otorita Batam perlahan namun pasti mulai mendapat kepastian. Selama beberapa waktu belakangan ini ternyata sedang digarap sebuah opsi untuk memensiunkan 3.000 karyawan OB sebelum merekrut mereka kembali masuk dalam struktur Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam (BP Batam).

Opsi pensiun ini merupakan sebuah konsekwensi dari pelaksanaan amanah PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam dimana dalam salah satu pasalnya disebutkan seluruh aset dan pegawai OB menjadi aset dan pegawai BP Batam.

Sayangnya, PP itu tidak mengatur mekanisme peralihan aset dan pegawai itu. Apakah peralihan secara langsung ibarat orang ganti baju atau melalui mekanisme pensiun dulu dari OB kemudian jadi pegawai BP. Inilah bukti pemerintahan yang tidak jelas visinya, buat PP kok kayak orang dikejar setan. Main teken tapi bikin orang puyeng bagaimana menerapkannya.

Dalam beberapa postingan terdahulu sudah dijelaskan bahwa masih ada beberapa persoalan mendasar yang dihadapi OB sebelum beralih menjadi BP terutama bagi para pejabat yang masuk eselonisasi. Para pejabat yang selama ini merupakan PNS pusat dan masuk eselonisasi pusat, masih bingung –atau bisa dibilang ketakutan (phobia)—jika nanti pindah ke BP, maka eselon mereka otomatis hilang karena apa..karena BP itu makhluk jadi-jadian dengan status yang tidak jelas.

Alhasil, SK penetapan dari Ketua DK mengenai struktur BP Batam hanya menetapkan enam pejabat saja sebagai pegawai BP, dan itupun kini mereka masih rangkap jabatan dengan OB.

Bagaimana bila opsi pensiun itu dijalankan? Itu jalan tengah yang win-win solution, tapi butuh ongkos yang sangat besar. Bayangkan, 2.500 PNS di OB dengan berbagai tingkatan masa kerja harus dipensiunkan. Untuk yang masa tugas 10 - 20 tahun saja, paling tidak harus dibayarkan Rp80 juta – Rp100 juta per orang. Belum lagi untuk pejabat eselon 1 – 4 dengan kisaran uang pensiun Rp200 juta – Rp400 juta.

Mari kita itung-itungan bodoh saja..bila kita asumsikan 2.500 PNS itu rata-rata per orang dapat Rp80 juta saja maka total dana yang dibutuhkan untuk pembayaran pensiun sebesar Rp200 miliar.
Emang sih, dibandingkan dengan anggaran untuk membangun gedung miring DPR-RI yang Rp1,8 triliun masih sangat kecil atau hanya 15% saja.
Tapi persoalannya apakah pemerintah mau mengalokasikan dana Rp200 miliar itu dalam APBN dan dikucurkan dalam operasional tahunan OB? Nah ini dia masalahnya, mesti ada dasar hukum yang kuat untuk itu.

Oleh karena itulah, kini sedang digodok draft Peraturan Pemerintah (PP) revisi dari PP No. 46/2007. Di mana, mungkin salah satu butir isinya mengatur mengenai mekanisme peralihan karyawan dan aset OB ke BP termasuk dasar hukum untuk mengeluarkan dana pensiun dini bagi ribuan karyawan OB.

Mari kita berdoa bersama-sama, semoga PP revisi itu cepat diteken oleh Presiden SBY.
Makin cepat makin mantap..
Ini menyangkut asap dapur juga bung! Jiaaaahahahahhahahaha...

Antara Dewan Kawasan dan BP Batam

Apa yang membedakan antara Dewan Kawasan FTZ Batam (DK) dengan Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam (BP Batam)? DK adalah lembaga yang menetapkan kebijakan umum, membina, mengawasi dan mengkoordinasikan BP Batam, sedangkan BP Batam berwenang mengelola, mengembangkan, dan membangun kawasan perdagangan bebas Batam sesuai dengan fungsi-fungsi FTZ.

Dalam Perppu No. 1/2000 jo UU No. 36/2000 tentang FTZ memang telah diatur tugas dan wewenang kedua lembaga tersebut termasuk juga kewenangan bagi Gubernur di daerah terkait dalam mengusulkan siapa saja personel yang layak duduk dalam struktur DK dan BP.

Namun ada yang sedikit aneh dan menggugah naluri kewartawanan saya untuk mengupas lebih lanjut, mengapa ketika mengusulkan personel yang akan duduk dalam struktur DK, Gubernur Kepri Ismeth Abdullah cenderung menunjuk nama jabatan sedangkan ketika menetapkan personel BP Batam, Bintan, dan Karimun justru menunjuk nama individu atau pejabat terkait di masing-masing daerah?

Dalam Keppres No. 9, 10, dan 11 Tahun 2008 telah ditetapkan struktur DK FTZ BBK yang diketuai oleh Gubernur Kepri, wakil ketua adalah masing-masing walikota dan bupati, dan anggotanya Kanwil BC, Pajak, Hukum dan HAM, Danlanal, Danrem, Kapolda, dan ketua BP di BBK.

Keppres itu tidak menetapkan nama personel yang duduk di DK tapi nama jabatannya yang berarti siapapun pejabatnya maka dia lah yang akan duduk di DK. Tapi mengapa ketika Ketua DK Ismeth Abdullah menetapkan struktur BP, dia menunjuk nama pejabatnya?

Apa yang membuat kedua lembaga yang mengacu pada UU yang sama tapi dalam implementasinya berbeda interpretasi. Apakah presiden menilai personel DK hanya diisi oleh jajaran muspida saja sehingga tidak perlu sebut nama, dan Ketua DK sebagai pihak yang berwenang menetapkan personel BP justru merasa lebih penting untuk menetapkan nama pejabat.

Apa motif dibalik ini semua? Jelas ada keanehan. Sebab, DK sebagai lembaga mirip regulator yang menetapkan kebijakan dalam wilayah FTZ mestinya diisi oleh pejabat atau kalangan profesional yang paham dan mengerti bagaimana mendisain kebijakan umum di wilayah FTZ untuk selanjutnya dilaksanakan oleh BP. Demikianlah kira-kira hierarki tugasnya.

Tapi dengan melihat struktur DK saat ini, apa yang bisa dibuat? Terbukti, selama dua tahun terakhir, DK ibarat macan ompong yang enggan menunjukkan superioritasnya sebagai lembaga tertinggi dalam wilayah FTZ. Penyebabnya, karena dia diisi oleh institusi bukan oleh personel yang profesional dibidangnya.

Dan disamping itu, DK memang sengaja dibuat ompong dan tidak bertaring. Baik dari struktur personelnya maupun dalam kewenangannya. Sudah jelas dalam UU, DK itu menetapkan kebijakan umum, membina, dan mengawasi, tapi dalam kenyataannya tiga fungsi itu tidak berjalan. Di lapangan, kebijakan umum masih menunggu dari pusat, pembinaan juga, pengawasan pun masih ditangan Bea Cukai. So, tugas DK hanya administratif aja. Rapat ke sana kemari, isi absen, terima anggaran, dan entah untuk apa!

Friday, June 4, 2010

Jabatan Ketua DK tanpa batas waktu...

Tampaknya diskursus tentang posisi Ketua Dewan Kawasan FTZ Batam Bintan Karimun ini semakin menarik untuk dikupas lebih lanjut.

Pada postingan sebelumnya kita sudah mendapatkan pencerahan mengenai posisi Gubernur Kepri dan Ketua Dewan Kawasan, maka pada postingan ini kita akan mencoba mengurai isi dari Surat Keputusan Presiden No. 9/2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang disahkan tanggal 7 Mei 2008.

Pertimbangan penerbitan keppres itu disebutkan dalam poin c bahwa Gubernur Kepulauan Riau bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kepulauan Riau sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang, telah mengusulkan susunan Organisasi Dewan Kawasan pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, dan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun kepada Presiden.

Jadi sudah jelas disini bahwa struktur DK itu diusulkan oleh Gubernur dan DPRD untuk ditetapkan oleh presiden melalui Keppres, dalam hal ini tentu saja Gubernur dan DPRD Kepri.

Semestinya, gubernur bisa saja mengusulkan nama lain sebagai pengurus DK tapi tampaknya pada waktu itu Ismeth Abdullah mengusulkan dirinya atas nama gubernur aktif bersama walikota/bupati dan jajaran muspida. Berikut susunannya;

Ketua merangkap anggota: Gubernur Kepri
Wakil Ketua merangkap anggota: Walikota Batam
Anggota:
1. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Provinsi Kepulauan Riau;
2. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Pajak Provinsi Kepulauan Riau;
3. Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Kepulauan Riau;
4. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kepulauan Riau;
5. Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau;
6. Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Kepulauan Riau;
7. Komandan Pangkalan Utama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut IV;
8. Komandan Gugus Keamanan Laut Wilayah Barat;
9. Komandan Komando Resort Militer 033/WIRAPRATAMA;
10. Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

Ada yang rancu disini: Pertama: Keppres ini tidak mencantumkan nama sebagai pengurus Dewan Kawasan melainkan hanya nama jabatan. Berarti, siapapun orangnya sepanjang jabatannya masih tercantum dalam keppres ini maka dia berhak menjadi pengurus DK.

Kedua: Keppres ini dibuat tanpa ada batas waktu masa tugas para pengurus DK padahal sesuai ketentuan dalam pasal 6 ayat 3 UU No. 36/2000 secara jelas disebutkan masa tugas DK adalah lima tahun dan bisa diangkat kembali. Penjelasan mengenai jangka waktu ini tertera dalam ketentuan Kelima disebutkan Dewan Kawasan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu bila diperlukan.

Bisa diasumsikan, kepengurusan DK tidak memiliki batas waktu alias selamanya selama masih ada gubernur dan jajaran pimpinan horizontal di daerah. Ini aneh dan bisa dikatakan tidak mengacu pada undang-undang.

Dari dua kerancuan itu bisa disimpulkan bahwa presiden seolah tidak ingin repot gonta-ganti keppres. Karena jika pengurus DK ditetapkan menggunakan nama pejabatnya maka bisa dipastikan terjadi pergantian keppres setiap saat, tapi dengan format keppres seperti ini maka ia bisa kekal sepanjang masa.

Kerancuan ketiga adalah keppres ini tidak mengatur mekanisme penggantian pengurus DK bilamana ada salah satu anggotanya berhalangan. Contoh kasus, setelah Ismeth Abdullah tidak menjabat lagi sebagai gubernur, apakah otomatis dia tidak lagi menjabat sebagai Ketua DK? Padahal, posisi Ketua DK ini diusulkan oleh gubernur dan tidak mengangkat dirinya secara otomatis.
Apakah perlu ada keppres baru lagi yang menetapkan bahwa kepengurusan DK periode ini tidak berlaku lagi? Sementara dalam keppres sebelumnya tidak menjelaskan jangka waktu masa tugas.

Karena posisi Ketua DK bukan ex-officio, berarti M. Sani, sang gubernur terpilih tidak otomatis jadi Ketua DK. Dengan kewenangannya, mestinya M. Sani bisa mengusulkan struktur DK yang baru kepada presiden. Tapi dengan kerancuan diatas, saya rasa bakal banyak muncul kebingungan dalam penerapannya di lapangan.

Atau justru saya saja yang membuatnya jadi rancu dan membingungkan???
Hmmm..entahlah..saya pun bingung nih..hihihihihihi

Gubernur Kepri ex-officio Ketua Dewan Kawasan?

Pemilihan kepala daerah Provinsi Kepulauan Riau sudah berakhir dan walaupun KPUD Kepri baru akan melakukan pleno hasil pemilihan namun sudah bisa diprediksikan bahwa pasangan M. Sani dan Soerya Respationo akan keluar sebagai pemenang menjadi Gubernur Kepri periode 2010 - 2015.

Artikel berikut tidak akan membahas soal kemenangan dan keberatan dari pasangan calon yang lain, tapi kita akan coba mengupas soal peran M. Sani sebagai Gubernur yang baru dan nasib Dewan Kawasan FTZ Batam, Bintan, dan Karimun.

Mungkin selama ini ada persepsi yang salah atau mungkin sengaja dibuat salah oleh gubernur terdahulu bahwa jabatan Ketua DK FTZ merupakan ex-officio Gubernur Kepri sebagai penguasa wilayah.

Ternyata kalo kita tinjau kembali amanah UU No. 36/2000 terutama pada BAB III mengenai Kelembagaan pasal 6 ayat 1, 2, dan 3 yang berbunyi:
(1) Presiden menetapkan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di
daerah, yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan.
(2) Ketua dan anggota Dewan Kawasan ditetapkan oleh Presiden atas usul Gubernur
bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Masa kerja Ketua dan Anggota Dewan Kawasan selama 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

Coba kita lihat ayat 2 tersebut, secara jelas disebutkan bahwa Ketua dan anggota Dewan Kawasan ditetapkan Presiden atas usul Gubernur bersama DPRD. Tidak satupun ayat yang menjelaskan bahwa Ketua DK wajib diisi atau ex-officio oleh Gubernur yang menjabat.

Ini artinya, jika kita merunut kembali Keppres No. 9, 10, 11/2008 tentang Dewan Kawasan FTZ BBK, maka bisa dipastikan bahwa Ismeth Abdullah, selaku Gubernur Kepri aktif pada waktu itu telah mengusulkan dirinya sendiri sebagai Ketua DK.

Apakah usulan Gubernur yang mengusulkan dirinya sendiri sebagai Ketua DK ini salah? tentu saja tidak, sebab Gubernur mempunyai hak berdasarkan UU untuk mengusulkan siapapun yang dinilai layak memimpin DK termasuk mengusulkan dirinya sendiri.

Hanya saja, yang patut menjadi perhatian kita disini adalah ternyata struktur DK itu justru diisi oleh pejabat daerah yang seolah menjadi representasi pimpinan di daerah mulai dari Kapolda, Danrem, Dan lanal, Kanwil Hukum dan HAM, Kanwil BC, Kanwil Pajak, dan Walikota/Bupati setempat.

Mungkin maksud Ismeth, agar DK menjadi lembaga yang kuat karena diisi oleh aparat keamanan dan instansi terkait, tapi justru DK ini malah bisa diplesetkan menjadi Dewan Keamanan karena ternyata tidak efektif menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Telalu banyak pejabat yang duduk di dalamnya justru menyulitkan Ismeth sendiri dalam pengambilan keputusan, dan akhirnya misi utama DK menjadi kabur karena ketidakjelasan arah.

Nah, dari penjelasan diatas, kita kembali ke judul dari artikel ini, Apakah Ketua Dewan Kawasan adalah Ex-officio Gubernur Kepri? Jawabannya adalah tidak. Karena tidak ada satu pun pasal dan ayat yang menegaskan bahwa Gubernur berhak menduduki posisi Ketua DK.

Gubernur hanya dibolehkan mengusulkan Ketua dan anggota DK untuk ditetapkan oleh Presiden. Soal usulan itu termasuk juga mengusulkan dirinya ya itu sah-sah saja, sepanjang memang dia mampu untuk mengemban amanah untuk mengembangkan kawasan perdagangan bebas ini.

Lalu bagaimana dengan posisi Ketua DK saat ini yang masih dipegang oleh Ismeth Abdullah?
Walaupun sebentar lagi dia sudah tidak menjabat sebagai Gubernur Kepri karena sudah ada M. Sani yang menang pada Pilkadagub tanggal 26 Mei lalu, tapi sesuai dengan UU 36 tersebut, maka jabatan Ketua DK itu selama lima tahun atau bila Keppres itu disahkan pada 2008 maka Ismeth tetap menjadi Ketua DK hingga tahun 2013.

Akan muncul kerancuan, bila M. Sani merasa berhak untuk menduduki posisi Ketua DK padahal berdasarkan UU tidak mewajibkannya. Dan apabila Sani tidak membaca isi UU dan Keppres maka bisa jadi posisi Ismeth akan dipertanyakan di DK. Atas dasar apa dia duduk sebagai Ketua DK sementara dia tidak menjabat sebagai Gubernur lagi!

Yang pasti, selama beberapa bulan ke depan, akan semakin ramai saja pertarungan memperebutkan posisi Ketua DK ini...
hehehehehehe

Thursday, June 3, 2010

Pemekaran Batam, apa urgensinya??

Dalam beberapa minggu belakangan ini anda pasti pernah membaca wacana memekarkan pulau Batam dan pulau sekitarnya menjadi beberapa kabupaten/kota sekaligus menjadikan wilayah ini sebagai Provinsi Batam Kepulauan.

Menurut saya ini wacana yang aneh bin ajaib dan terkesan dipaksakan untuk melampiaskan birahi politik dan kekuasaan segelintir oknum. Apa perlunya Kota Batam ini dimekarkan menjadi beberapa kabupaten baru dan menjadikan provinsi baru, dimana letak urgensinya sehingga wacana ini perlu direalisasikan?

Kalau pertimbangannya karena penduduk di wilayah ini yang sudah sangat padat dan faktor pertumbuhan ekonomi, saya rasa itu bukan alasan yang tepat dan terlalu dibuat-buat.

Bisa gak sih, para pemimpin di legislatif dan eksekutif daerah punya pemikiran yang cemerlang dan aplikatif dalam konteks pembangunan wilayah dan mensejahterakan masyarakat daripada sibuk berwacana yang tidak produktif, ya seperti wacana pemekaran Batam ini.

Perbincangan mengenai daerah khusus Batam menjadi sebuah provinsi pernah saya lakukan dengan seorang teman. Salah satu pertimbangan menjadikan Batam sebagai daerah khusus seperti Jakarta karena pulau ini yang dikelola oleh dua institusi yaitu Otorita Batam dan Pemerintah Kota Batam.

Dualisme kepemimpinan dan kewenangan ini disinyalir memicu kebingungan bagi masyarakat dan investor karena masing-masing institusi berwenang mengeluarkan perizinan dan kebijakan. Apalagi sejak disahkannya PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam yang mempertegas posisi OB menjadi Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam.

Pemkot Batam yang merasa berwenang penuh dalam pembangunan Batam berdasarkan otonomi daerah dan UU 51/1999 tentang pembentukan Kota Batam. Begitu juga OB/BP juga merasa berwenang karena dibentuk berdasarkan UU No. 44/2007 ttg FTZ dan PP No. 46/2007.

Atas pertimbangan itulah, mungkin kawan saya itu berasumsi, layak jika diwacanakan untuk membentuk daerah khusus Batam yang menggabungkan dua institusi ini sekaligus memekarkan beberapa wilayah baru, seperti daerah pesisir, rempang - galang, dan beberapa kecamatan di Pulau Batam.

Oke lah, kalau untuk sebuah daerah khusus mungkin masih bisa diterima akal sehat jika alasannya untuk mensinergikan dua institusi ini menjadi satu institusi utama yang lebih kuat. Tapi kalo dibarengi dengan pemekaran wilayah baru, ini namanya gila..

Coba lihat apa yang sudah diperoleh dari pemekaran wilayah kabupaten di Provinsi Kepri ini? Karimun, Lingga, Natuna, dan Anambas. Selama 10 tahun terakhir ini, apakah ada perubahan yang signifikan di keempat daerah itu?

Apa jadinya bila Batam yang seluas 165 km2 ini dipecah-pecah lagi menjadi tiga atau empat kabupaten/kota baru? Selain hanya menambah ribet sistem pemerintahan, justru tujuan awal untuk mensinergikan OB dan Pemkot Batam tidak tercapai.

Jadi ujung-ujungnya, secara nalar dan akal sehat saya sebagai manusia, wacana ini-- baik untuk menggabungkan OB-Pemkot dan memekarkan wilayah baru sama sekali tidak bisa diterima. Saya tidak melihat urgensi dan kebutuhan yang mendesak untuk memekarkan pulau ini apalagi membentuknya menjadi sebuah provinsi baru.

Saya khawatir, wacana ini sengaja dihembuskan agar birahi politik kekuasaan oknum tertentu untuk merebut kursi Gubernur Batam Kepulauan bisa tercapai. Tidak ada yang lain selain kekuasaan dan kepentingan kelompok semata.

Pesan saya, dari pada berwacana yang tidak produktif, alangkah baiknya pejabat-pejabat yang sering muncul dikoran ngomong soal pemekaran Batam ini berkaca kembali. Apakah sudah berbuat maksimal untuk membangun pulau ini? Kalau belum, mestinya malu sama diri sendiri, lha belum berbuat optimal kok sudah mikir yang aneh-aneh.

Malu donk sama rakyat yang memilih anda..
Kalo ga punya malu, ya terserah anda...

Wednesday, June 2, 2010

Penduduk Batam tembus 1 juta jiwa, so what you can do?

Pagi ini bagi yang membaca koran pagi Batam Pos pasti tidak menyangka ternyata penduduk Pulau Batam sudah menembus angka 1 juta jiwa. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, penduduk yang mendiami pulau ini terus bertambah. Mulai dari 527.151 jiwa pada tahun 2001 menjadi 1.006.063 jiwa pada 2010 (s.d kwartal pertama 2010).

Yang menarik dari data yang dirilis oleh Dinas Kependudukan Kota Batam itu adalah ternyata 51,8% dari total 1 juta jiwa penduduk itu adalah kaum laki-laki dan sisanya sekitar 48% adalah perempuan.

Dibandingkan tahun 2009 yang sebanyak 988.555 jiwa, terjadi penambahan 17.508 jiwa sehingga menjadi 1,006 juta pada kuartal pertama tahun ini. Lonjakan tertinggi terjadi pada tahun 2008 dimana jumlah penduduk menjadi 899.944 jiwa atau bertambah 175.000 jiwa dibandingkan tahun 2007 sebanyak 724.315 jiwa.

Sungguh, pulau Batam belum kehilangan magnetnya bagi kaum pendatang. Orang-orang dari daerah tetap berbondong-bondong memadati pulau ini dengan satu harapan bisa merengkuh kehidupan yang lebih baik.

Walaupun tengah dilanda krisis global, tapi bukan berarti lowongan kerja tertutup di pulau ini. Sebagian perusahaan manufaktur tetap menawarkan lowongan kerja bagi pendatang tamatan SMA. Belum lagi sebagai daerah pemekaran, Pemprov Kepri, dan enam kabupaten kota di wilayah ini membuka kesempatan bagi pencari kerja untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Tapi tentu saja, angka 1 juta jiwa itu juga harus disikapi dengan bijaksana. Bahwa tugas pemerintah daerah semakin berat untuk mengurus kebutuhan masyarakat yang sudah enam digit ini. Mulai kebutuhan papan, sandang, pangan, pekerjaan, rekreasi, dan layanan publik seperti ketersediaan air bersih dan listrik.

Angka satu juta jangan diartikan bahwa pulau ini telah sukses menjadi surga kaum pendatang atau pencari kerja, justru dengan pertambahan penduduk ini, pemda dalam hal ini Pemkot Batam lebih efektif dalam merealisasikan program kerja pembangunannya, jangan hanya mengejar keuntungan kelompok semata.

Harus diwaspadai, dari angka itu, berapa banyak pengangguran yang masih berada di Batam karena ini memiliki implikasi pada tingkat kejahatan di Batam, apalagi komposisi pria lebih banyak dibandingkan wanita. Jangan heran, jika kejahatan seksual seperti pelecehan, pemerkosaan, dan pencabulan semakin marak karena lelaki pengangguran kesulitan cari kerja, tapi kebutuhan 'arus bawah' sudah mendesak maka tiada jalan lain selain memperkosa.

Begitu juga dengan perampokan dan penjambretan, penipuan dan sebagainya. Semua dilandasi oleh keinginan untuk tetap hidup tapi memperoleh harta dari cara kekerasan. Itu semua dampak negatif dari bertambahnya penduduk dan masuknya pendatang un-skill.

Itu satu sisi, bagaimana dengan kesiapan pemkot dalam penyediaan sarana perumahan dan layanan publik. Apakah waduk atau produksi air saat ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan satu juta orang? Apakah lahan yang ada cukup untuk membangun rumah bagi satu juta warga? apakah distribusi sembako yang ada cukup memenuhi kebutuhan masyarakat? Apakah sekolah yang ada siap menampung anak-anak yang terus tumbuh setiap tahun? apakah jalan yang ada siap menampung pertumbuhan kendaraan bermotor?

Pertanyaan demi pertanyaan terus menggantung bilamana pemkot tidak siap dari awal. Pulau ini akan semakin tenggelam dan tidak mampu melayani masyarakatnya jika tidak dipimpin oleh walikota yang jeli melihat perubahan struktur sosial di tengah masyarakatnya.

Pulau ini butuh walikota yang memiliki visi pembangunan ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Bukan walikota yang hanya mengejar kekuasaan atau menumpuk kekayaan dengan memakan harta anak yatim.

Alamatlah kapal Batam ini akan tenggelam jika punya pemimpin seperti itu. Kami yang hidup disini hanya butuh kenyamanan. Seperti ungkapan hati seorang kawan, "kami hanya ingin hidup nyaman, nyaman bekerja, nyaman di jalan, nyaman sekolah, nyaman belanja, nyaman rekreasi, dan nyaman di hari tua."

Kalo seorang walikota gagal atau tidak mampu mewujudkan ini, maka lebih baik jangan dipilih lagi dia jadi walikota, lebih baik dia jadi wakil rakyat saja..duduk ongkang-ongkang kaki di gedung dewan. Ga perlu mikir berat bagaimana mensejahterakan rakyat.

Menjadi walikota adalah tugas berat. Hanya orang dengan kemampuan lebih yang bisa menjadi pemimpin bagi sejuta rakyat di pulau ini.

Mari kita merenungkan kembali..bagaimana nasib pulau ini 10 tahun lagi..yang pasti penduduknya bakal bertambah menjadi 2 juta jiwa. Dan apa yang akan terjadi dengan penduduk sebanyak itu, ditengah ketidaksiapan aparatur pemerintahannya.
Hanya Tuhan lah yang tahu!!

Pejabat Baru di BP Batam

Walaupun masih terbelit kasus dugaan korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran yang masih dalam persidangan di pengadilan tipikor di Jakarta, namun bukan halangan bagi Ismeth Abdullah, Gubernur Kepri merangkap sebagai Ketua Dewan Kawasan FTZ Batam untuk mengeluarkan keputusan strategis.

Melalui Surat Keputusan DK No. Kpts 16/DK-BTM/V/2010 tanggal 10 Mei 2010, Ketua DK menetapkan pengangkatan Asyari Abbas sebagai wakil kepala BP Batam mendampingi Kepala BP Mustofa Widjaja. Dalam SK itu juga dijelaskan struktur baru BP Batam yang berganggotakan empat orang, yakni I wayan Subawa, Fitrah Kamaruddin, Moch Prijanto, dan Asroni Harahap.

Selain Asyari, SK itu juga mengangkat Fitrah Kamaruddin sebagai deputi BP Batam yang baru dimana saat ini Fitrah merupakan Direktur Pemukiman, Tenaga Kerja, dan Sosial (Kimnakersos) Otorita Batam.

Pejabat yang digantikan oleh Asyari adalah Manan Sasmita yang kini sudah masuk masa pensiun. Asyari adalah Asisten I Bid. Pemerintahan Pemkot Batam dimana penunjukkannya sebagai wakil kepala BP sudah diperkirakan sejak lama. Mestinya namanya masuk dalam struktur pertama, namun entah kenapa Ketua DK lebih memilih Manan sebagai wakil.

Sekilas tentang Asyari, dia merupakan pejabat yang sejak lama selalu memberikan komentar pedas mengenai keberadaan Otorita Batam, apalagi sejak Otonomi Daerah diterapkan di pulau ini pada awal 2000-2001.

Pertarungan kewenangan antara OB dan Pemkot Batam pada periode 2000-2005 memang sempat menjadi berita hangat di surat kabar, karena para pejabat di Pemkot begitu semangat melontarkan pernyataan-pernyataan yang merendahkan lembaga OB tersebut.
Tapi seiring berjalannya waktu, OB dan Pemkot sudah mulai seiring sejalan apalagi sejak Kabiro OB terpilih menjadi Walikota Batam periode 2006-2011.

Bagaimana nasib BP kedepan pasca pengurusan baru ini? mari kita tunggu..
Yang pasti, masuknya pejabat Pemkot dalam struktur BP memberikan sinyal bahwa BP bersiap menjadi lembaga daerah. Dan yang pasti, baik BP dan Pemkot akan semakin kuat untuk bersinergi menuju pembangunan Batam yang lebih baik.

Cuma satu pesan kepada pak Kepala BP, tolong jangan buat alokasi dana untuk bantuan sosial ya, karena tugas BP adalah menjadi lokomotif pembangunan di Batam melalui pembangunan infrastruktur dan mempermudah perizinan. Biarlah dana bansos menjadi domain Pemkot dan biar mereka juga yang masuk penjara bila menggelapkannya..

lho..kok jadi ngomong bansos sih..
ya udah deh, selamat bekerja buat BP..

Otorita Batam a.k.a BP Batam

Membaca judul diatas, mungkin kita semua masih bertanya-tanya, apakah Otorita Batam sudah beralih jadi BP Batam? Kalo pertanyaan ini kita tanyakan ke pejabat OB, dengan lantang pasti mereka jawab, "sudah donk, kita sudah beralih menjadi BP Batam!"

Emang bener sih, secara perlahan namun pasti, lambat laun OB sudah mulai bertransformasi menjadi Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam sebagaimana amanah dalam PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam. Dalam PP itu disebutkan paling lambat tanggal 31 Desember 2008, OB (aset dan pegawainya) beralih menjadi aset dan karyawan BP.

Tapi masih ada ganjalan, saat ini yang sudah pasti jadi karyawan BP adalah enam pejabatnya saja yaitu Kepala BP, wakil kepala, dan empat deputi, plus pegawai pindahan OB yang kini menjadi karyawan BP di bawah Deputi III, Wayan Subawa yang mengurus perizinan.

Bagaimana dengan karyawan OB yang lain? belum ada kepastian yang jelas. Berbagai wacana sempat beredar di lingkungan institusi itu yaitu rencana untuk mempensiunkan seluruh PNS OB dan membayarkan pesangonnya dan selanjutnya mengangkat mereka kembali ke dalam struktur BP Kawasan Batam.

Kalo opsi ini diambil, maka bisa dibayangkan berapa ratus miliar dana yang dibutuhkan untuk membayarkan pesangon 2.300 PNS di institusi tersebut. Dari mana dana itu diambilkan? nah ini pertanyaan baru lagi dan tak kalah peliknya. Mau ambil dari APBN, berarti harus bertarung dulu di DPR karena jelas memasukkan usulan mata anggaran baru butuh pertarungan tidak ringan di Senayan, apalagi mengingat betapa rakusnya para wakil kita itu.

Mau ambil alokasi dana dari APBD, wah wah wah..kalo ini terjadi bisa-bisa PNS dan pejabat di lingkup Pemprov Kepri bisa tidak makan selama setahun. Jadi, besar kemungkinan opsi ini bakal ditolak, tapi ya belum tau juga, tergantung upaya pemerintah untuk memperjuangkan nasib lembaga yang sudah berusia hampir empat dasawarsa ini.

Lalu, bagaimana peralihan itu akan berjalan dengan lancar dan smooth? hmmmm..berkali-kali saya sudah bahas masalah ini di postingan sebelumnya. Persoalan mendasar di BP Batam adalah belum jelasnya status dari lembaga ini, apakah jadi lembaga pusat yang dibiayai APBN seperti halnya OB atau lembaga daerah yang dibiayai APBD dan berada di bawah kewenangan Ketua Dewan Kawasan.

Jika kita merujuk pada surat keputusan Ketua DK mengenai pembentukan BP Batam, maka semestinya BP Batam adalah lembaga daerah yang berada di bawah naungan DK FTZ Batam dan berhak mendapat alokasi pembiayaan dari APBD.
Tapi masalahnya, pejabat yang ditunjuk dan duduk di struktur pimpinan BP adalah pejabat eselon OB yang merupakan PNS pusat. Bagaimana menyesuaikan eselonisasi keenam pejabat itu dengan sistem kepangkatan di daerah? Beraaat jenderal!

Karena problematikanya hanya berputar disitu-situ saja, akhirnya tak ada penyelesaian kecuali ya menunggu para pejabat itu pensiun.

Anggaran
Oke kita biarkan dulu masalah itu menggantung, sekarang ada masalah baru lagi yaitu mengenai anggaran operasional OB dan BP Batam. Selama ini, OB selalu menikmati suntikan dana dari pusat melalui APBN yang diajukan setiap tahun, nilainya kurang lebih Rp400 miliar - Rp500 miliar, belum termasuk pendapatan lain dari pengoperasian pelabuhan laut, bandara, rumah sakit, dan pengelolaan lahan. (tolong dikoreksi kalo kurang tepat!) yang semua digunakan untuk pembayaran gaji pegawai dan pembangunan insfrastruktur.

Setelah BP terbentuk, saya melihat saat ini ada dua lembaga yang berbeda yang dipimpin oleh pejabat yang sama, Otorita Batam dan BP Batam. Sampai hari ini, OB masih berdiri walaupun tidak gagah lagi, dan BP Batam yang baru terbentuk.

Bisik-bisik tetangga menyebutkan selain tetap mendapatkan kucuran dari APBN (konon tahun 2010 ini merupakan tahun terakhir OB mendapat jatah APBN), OB dengan mengatasnamakan BP juga mengajukan anggaran kepada Dewan Kawasan FTZ. Konon, DK juga mendapatkan alokasi pengembangan kawasan dari APBN yang nilainya kurang lebih Rp200 miliar pertahun. Alokasi itu untuk dibagikan kepada BP Bintan, BP Karimun, dan BP Batam.

Dan bisik-bisik lagi, rupanya tidak gampang bagi BP untuk mendapatkan persetujuan penggunaan anggaran kepada DK. Terbukti, Daftar Usulan Rencana Kegiatan yang mereka ajukan kepada DK tidak mudah diteken oleh sang Ketua DK. Ntah apa alasannya memperlambat, tapi yang jelas ada motif politik dibalik itu semua.

Bila nanti BP Batam benar-benar beralih jadi lembaga daerah dibawah DK, maka tiada lagi alokasi APBN untuk mereka, sepenuhnya mereka mengandalkan kucuran dari DK. Sebuah perjuangan yang tidak gampang yang harus diemban oleh Mustofa Widjaja, sang Kepala BP. Tidak hanya membawa gerbong pegawainya menjadi karyawan BP dan mengelola aset yang ada, tapi juga harus mencari kucuran dana operasional agar lembaga itu bisa tetap berjalan..

Pak Mus, tetap semangat, kami akan mendukung anda..
(kalo tak didukung, dapur bisa tak mengepul nih..)

Welcome to my blog

dear all my dear friends and bloggers..

salam jumpa kembali ya..
cukup lama sudah kita tlah berpisah..terakhir saya posting di blog ini pada bulan Oktober 2009 dan sudah masuk Juni 2010 ini, baru kembali saya mengunjungi blog tercinta ini..

Sekian banyak isu bertebaran di jagad berita dan tak satupun yang nyangkut di blog ini..tak lain karena kesibukan saya meng-update status di facebook sehingga lupa sama blog ini..

Menjadi jamaah facebookiyah bersama puluhan juta pengguna situs jejaring sosial ini memang ada asyiknya tapi kadang ada bosennya juga..dan atas desakan beberapa pengunjung setia batamftzphobia, akhirnya saya harus back to blogging dan share all the info to you all..

Bulan Juni ini akan jadi momentum bagi saya untuk kembali meramaikan blog tercinta ini dan menghapus dahaga para pemburu informasi atas isu/wacana/informasi yang berkembang terkait free trade zonk dan lainnya..

sekali lagi, welcome to my blog..
let us share each others..