Friday, May 29, 2009

Pelindo II siap ambil alih Batu Ampar

Sejumlah investor lokal, termasuk PT Pelabuhan Indonesia II, berminat membangun dan mengelola Pelabuhan Batu Ampar, Batam, menggantikan perusahaan asal Prancis Compagnie Maritime d'Affretement-Compagnie Generale Maritime (CMA-CGM).

Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Ditjen Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Suwandi Saputro mengatakan minat itu disampaikan setelah CMA-CGM memutuskan menunda proyek Batu Ampar akibat resesi ekonomi global.

”Ada beberapa investor lokal yang berminat, Pelindo II kemungkinan juga berminat,” katanya kemarin.

CMA-CGM semula berencana mengembangkan Batu Ampar dengan investasi US$425 juta melalui pola bangun, operasikan, dan transfer selama 50 tahun.

Menurut Suwandi, pemerintah menetapkan Batu Ampar sebagai salah satu pelabuhan utama di Indonesia dalam rencana jangka panjang karena berdekatan dengan alur pelayaran internasional.

Pelabuhan Batu Ampar sebagai pintu masuk ekspor impor juga akan mendukung implementasi asas cabotage (komoditas domestik wajib diangkut oleh kapal berbendera Indonesia) sehingga menghidupkan pelayaran antarpulau. ”Dengan Batu Ampar sebagai pelabuhan utama, asas cabotage tak ada masalah lagi karena pelayaran domestik akan hidup.”

Dia menambahkan minat investor lokal itu sejalan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang pemodal dalam negeri untuk mengembangkan Batu Ampar.

Dirut PT Pelindo II Richard Jose Lino menyatakan BUMN itu siap mengembangkan Pelabuhan Batu Ampar jika ditawarkan pemerintah pusat dan Pemprov Kepulauan Riau.

“Kami akan senang hati apabila ditawarkan membangun dan mengelola Batu Ampar karena kami punya kemampuan untuk mengembangkan pelabuhan itu,” katanya ketika diminta konfirmasi mengenai minat Pelindo II tersebut.

Dia menilai Batu Ampar memiliki prospek sangat cerah untuk dikembangkan dan bisa bersaing dengan Port of Singapore Authority serta Pelabuhan Tanjung Pelepas dan Port Klang, Malaysia.

“Tentu kami akan mengevaluasi dulu proyek itu, tetapi kami yakin mampu menjadikan Batu Ampar pelabuhan besar dan menguntungkan karena posisinya berada di Selat Malaka, jalur pelayaran internasional terpadat di Asia.”

Tuesday, May 5, 2009

Pelabuhan FTZ diusulkan bertambah

Dewan Kawasan (DK) FTZ Batam, Bintan, dan Karimun mengusulkan kepada Departemen Perhubungan agar segera menambah pelabuhan resmi (strategis) di kawasan perdagangan bebas.

"Kami sudah meminta Dephub untuk segera meresmikan Pelabuhan Sri Bayintan Kijang sebagai satu lagi pelabuhan resmi FTZ di Bintan," ujar Sekretaris DK FTZ BBK John Arizal, kemarin.

Dia menjelaskan bulan lalu DK sudah melayangkan surat kepada Dephub agar departemen itu mengkaji kelayakan Pelabuhan Sri Bayintan dan meminta agar pelabuhan itu ditetapkan sebagai pelabuhan resmi FTZ di Bintan.

Namun, hingga kini Dephub katanya belum memberikan kepastian, padahal pelabuhan itu sangat dibutuhkan dalam implementasi FTZ di daerah tersebut.

Saat ini aktivitas ekspor impor di Bintan masih melalui Pelabuhan Sri Wedana Lobam yang terletak di Bintan Utara sedangkan industri manufaktur dan galangan kapal sebagian besar beroperasi di Bintan Timur yang berjarak puluhan kilometer dari pelabuhan.

Menurut John, rentang jarak itu kurang memudahkan aktivitas ekspor impor apalagi Pelabuhan Sri Wedana Lobam dinilai relatif masih kurang memadai untuk menampung pemasukan barang dalam jumlah besar.

Karena itu, lanjutnya, DK meminta kepada Dephub untuk menambah satu lagi pelabuhan resmi FTZ di daerah itu yakni Pelabuhan Sri Bayintan Kijang yang terletak di kawasan Galang Batang, hanya beberapa kilometer dari kawasan industri di Bintan Timur.

Ketua Badan Pengusahaan (BP) kawasan FTZ Bintan Mardiah mengungkapkan hal serupa bahwa BP Bintan dan DK saat ini tengah mengupayakan penambahan pelabuhan resmi FTZ di daerah tersebut.

"Pelaksanaan FTZ tidak akan efisien bagi industri kalau pelabuhan resmi hanya ada di Bintan Utara," ujarnya.

Empat pelabuhan

Mardiah mengatakan sebelum FTZ efektif diberlakukan, BP Bintan sebenarnya sudah mengajukan empat pelabuhan sebagai pelabuhan resmi FTZ, yakni Pelabuhan Sri Wedana Lobam, Bintan Pelani, Sri Bayintan Kijang dan Pelabuhan Bulan Ringgi.

Namun lanjutnya, ternyata Pemprov Kepulauan Riau hanya mengajukan Pelabuhan Sri Wedana Lobam dan Sri Bayintan Kijang kepada Pemerintah Pusat dan Dephub kemudian hanya menyetujui Sri Wedana Lobam.

Akibatnya, aktivitas keluar masuk barang di kawasan FTZ Bintan belum berjalan lancar dalam hal efektivitas dan efesiensi waktu pengiriman barang karena jarak yang jauh antara pelabuhan dan kawasan industri.

Sementara itu Johanes Kenedy, Ketua Kadin Provinsi Kepri, yang juga Ketua Advisory Council DK FTZ Batam, mengusulkan kepada pemerintah agar menambah jumlah pelabuhan bebas dalam kawasan tersebut.

"Sesuai Keputusan Menhub, hanya ada tiga pelabuhan bebas di Batam yaitu Batu Ampar, Kabil, dan Sekupang. Kami usul terminal feri internasional ditetapkan sebagai pelabuhan FTZ."

Dia beralasan penunjukan terminal feri sebagai pelabuhan bebas yang baru karena banyak terjadi arus lalu lintas barang impor melalui pelabuhan ini sehingga perlu ditetapkan agar berlaku ketentuan dalam kawasan bebas.

Monday, May 4, 2009

Antisipasi Pungli, Biro Jasa Dilarang Urus Izin Usaha FTZ

Badan Pengusahaan Kawasan FTZ Batam (BP Batam) melarang perusahaan biro jasa untuk mengurus izin impor barang di kawasan ekonomi khusus tersebut.

Anggota BP Batam I Wayan Subawa menyatakan kebijakan itu diambil guna menghindari terjadinya praktik percaloan dan pungli dalam pengurusan izin."Pengurusan izin usaha harus dilakukan perusahaan bersangkutan, tidak boleh pakai pihak ketiga," ujarnya kemarin.

Wayan menjelaskan sejak FTZ efektif diberlakukan 1 April 2009, BP Batam sebenarnya sudah melarang importir atau industri yang menggunakan bahan baku impor memanfaatkan jasa perantara dalam pengurusan izin usaha.

Namun, hal ini kembali ditegaskan guna mengantisipasi terjadinya praktik percaloan dan pungutan liar dalam pengurusan izin usaha sebagai dokumen utama perizinan impor barang ke FTZ Batam.

Pengurusan izin usaha, lanjutnya, harus dilakukan langsung oleh perusahaan calon pemilik izin baik oleh manajemen perusahaan maupun oleh karyawan yang bekerja di perusahaan bersangkutan.

"Petugas kita di lapangan juga akan meminta fotokopi kartu identitas orang yang mengurus izin usaha. Kalau orang itu tidak membawa atau memiliki kartu identitas itu bisa juga menggunakan surat kuasa dari perusahaan," jelasnya.

Petugas di BP Batam, lanjutnya, sudah diinstruksikan untuk tidak melayani pihak ketiga yang melakukan pengurusan izin usaha suatu perusahaan. BP Batam sendiri akan memberi teguran jika ada perusahaan menggunakan jasa pihak ketiga.

Di sejumlah bagian dinding ruangan pengurusan dokumen, BP Batam juga sudah melekatkan pengumuman tata cara pengurusan izin, yang menyebut pengurusan dokumen tidak dipungut biaya dan pengurusannya memakan waktu 4 hari.

Pungli dan percaloan

Seorang pengusaha jasa kepabeanan yang yang meminta identitasnya dilindungi mengatakan praktik pungli dan percaloan sebetulnya sudah terjadi di BP Batam ketika kisruh master list dalam importasi barang kian ramai diperbincangkan di kalangan pengusaha.

Para importir yang tidak mengurus dan melengkapi dokumen master list atau daftar rencana barang yang akan dimpor perusahaan selama setahun tersebut, tidak diperbolehkan untuk memasukkan barang.

"Masalah master list ini sebenarnya bisa diselesaikan lewat jalan damai, bila dokumen master list yang kami ajukan bermasalah, maka kami cukup membayar beberapa ratus ribu rupiah, dan barang pun aman," ujarnya.

Hal yang sama juga diungkapkan Harun, seorang konsultan yang membantu mengurus izin di BP Batam. Dia mengatakan ada investor yang dihubungi staf BP Batam dan dimintai uang Rp25 juta untuk menyelesaikan seluruh dokumen perizinan yang dibutuhkan.

"Namun, ketika kami konfirmasi kepada pihak BP Batam, si penelepon itu tidak terdaftar di instansi tersebut. Begitu pun nomor ponsel yang diberikan kepada kami juga tidak aktif lagi," ujarnya.

Menanggapi ini, Wayan mengatakan praktik percaloan dan pungli dalam pengurusan izin importasi barang itu diantisipasi dengan memasang empat unit kamera CCTV (closed circuid television) guna memantau aktivitas pengurusan dokumen dan mengawasi petugas.

"Kamera-kamera itu sudah kita pasang 1 minggu setelah FTZ berlaku efektif. Monitor pengendalinya ada di ruangan saya ini dan di ruangan Pak Mustofa [Ketua BP Batam]. Ini untuk mengawasi petugas kami juga," katanya.

Sejauh ini, keempat CCTV itu dinilainya masih cukup efektif dalam mengawasi aktivitas pengurusan dokumen dan kinerja para petugas BP mengingat keempat CCTV tersebut ditempatkan di titik-titik ruangan yang vital.

Dari pengamatan, keempat CCTV tersebut dipasang antara lain di ruang administrasi dan pengolahan data, ruang tunggu pengurusan dokumen, pintu masuk ruang utama dan di depan loket penyerahan dokumen.

Sejauh ini, monitor pengendali belum menemukan tayangan CCTV yang menunjukkan terjadinya praktik percaloan dan pungli baik yang dilakukan oleh pihak ketiga maupun oleh para petugas BP Batam.

Sunday, May 3, 2009

Gara-gara Masterlist, implementasi FTZ Batam tercoreng

Rapat hari Kamis 16 April 2009 lalu di Sekretariat Kadin Kepulauan Riau berlangsung riuh, saat belasan pengusaha dari berbagai bidang usaha mulai manufaktur, galangan kapal, ritel, dan perhotelan mengeluarkan uneg-unegnya terkait evaluasi pelaksanaan FTZ yang telah memasuki pekan kedua.

Hanya satu permasalahan yang dapat disimpulkan dari rapat selama tiga jam itu yakni ketentuan master list. Ketentuan master list sebagaimana diatur dalam PP No. 2 Tahun 2009 tentang ketentuan keluar masuk barang di wilayah FTZ, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 47 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Barang Dari dan Ke Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, bagi pengusaha dinilai telah merepotkan.

Satu contoh, sebuah perusahaan pendukung industri migas di Batu Ampar terpaksa menyusun daftar induk atau master list yang mencapai ribuan item dalam tiga tumpukan kotak kardus. Jangankan memeriksa daftarnya, melihat tumpukan list itu saja sudah membuat merinding.

Karena dalam tataran implementasi, tidak seindah yang dibayangkan. Puluhan peti kemas tertahan di pelabuhan menunggu proses verifikasi dan pemeriksaan fisik oleh Bea Cukai. Kondisi ini terekam pada 1 April saat pertama kali ketentuan FTZ ini diimplementasikan.

Ratusan perusahaan yang lupa mengurus izin, dibuat kelimpungan mondar mandir ke kantor BP Batam untuk mendapatkan izin sementara. Demi mengantisipasi tumpukan yang lebih banyak, akhirnya BP Batam menyepakati proses keluar barang hanya berbekal dokumen packing list.

Tapi itu juga belum cukup. Untuk beberapa kasus, BC masih tetap ngotot agar perusahaan memiliki izin impor dan master list walaupun BP Batam membolehkan dokumen packing list sebagai izin sementara. Alhasil, tangan kekuasaan berbicara. Sebagaimana dialami oleh pengusaha dalam kawasan industri Kabil dan Batamindo.

Seperti yang diceritakan kembali oleh OK Simatupang, pengelola KI Kabil, ketika barang milik perusahaan tenant-nya tertahan di pelabuhan. Dia terpaksa menelpon Ismeth Abdullah, Ketua Dewan Kawasan FTZ Batam dan Mustofa Widjaja, Kepala BP Batam, agar ada dispensasi untuk barang milik tenan-nya itu.
Cara itu berhasil, atas instruksi Ketua DK, barang-barang bisa dikeluarkan tanpa perlu membuat master list, cukup dengan list per shipment. Namun, otoritas setempat menolak kebijakan khusus ini dibuat menjadi ketentuan tertulis.

Sia-sia

Sebenarnya apa yang menjadi keberatan pengusaha atas ketentuan master list itu? Dalam rapat dua hari di Kadin Kepri terungkap berbagai kerumitan yang dihadapi pengusaha akibat ketentuan ini.

Satu pengusaha di sektor pendukung migas mengungkapkan bila tujuan dari pembuatan daftar induk adalah sebagai alat kontrol oleh BP Kawasan, maka ini akan sangatlah mustahil. Karena BP Kawasan juga tidak akan bisa meneliti semua daftar barang yang tercantum dalam masterlist yang ada sebelum menerbitkan persetujuannya.

“Pertimbangannya, pertama, karena jumlah pemohon yang begitu banyak dan juga item yg begitu banyak pula; kedua, BP Kawasan juga tidak dapat meneliti kebenaran angka yg diajukan oleh pemohon. Pemohon akan memasukan angka yang aman, misalnya tahun lalu memasukkan 10.000 item, maka tahun ini mereka akan mengajukan 50.000 dalam Masterlist untuk menjaga keamanan pasokan. Penggelembungan ini sama sekali tidak ada artinya dalam justifikasi dan pertimbangan bagi BP Batam untuk menyetujui atau menolak Masterlist tersebut,” tuturnya.

Penggelembungan angka dalam quota demi menjaga keamanan pasokan dari si pemohon juga tidak dapat dipakai sebagai patokan / pentunjuk. Itu hanyalah angka tanpa arti sama sekali. BP Kawasan juga tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran angka, kecuali melihat hystorical transaction untuk perusahaan tersebut.

Sebenarnya pengusaha berharap agar ketentuan master list untuk jangka waktu satu tahun bisa dipangkas hanya tiga bulan saja dan diberikan kemudahan membuat perubahan master list minimal tiga hari sebelum barang-barang diimpor ke Batam.
Namun demikian, satu tahun atau tiga bulan ternyata tidak ada perbedaan. Waktu satu tahun atau tiga bulan sangat relatif tergantung jenis usahanya.

Johanes Kennedy, Ketua Kadin Kepri, yang sejak awal tahun lalu cukup intensif memantau perkembangan FTZ di pulau ini sudah memprediksikan bakal munculnya permasalahan saat implementasi FTZ 1 April lalu.

“Pada Februari lalu, kami sudah menyurati Menteri Keuangan agar meninjau kembali ketentuan master list dan menggantinya dengan negative list, karena di wilayah FTZ lain di dunia, tidak ada lagi yang memberlakukan ketentuan master list itu,” paparnya.

Dia mengusulkan agar ketentuan daftar induk dihapus dan pengusaha diwajibkan mengisi form PP FTZ 01 atau lebih dikenal dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB), sebagai laporan setiap pemasukan barang bagi data base BC maupun BP Batam. Data base pada tahun berjalan ini dapat dijadikan patokan untuk pemasukan tahun berikutnya, dan selanjutnya dibuatkan negative list.

Pertimbangan lain, dengan ribuan items dari ribuan pemohon, apakah pengurangan quota oleh pihak bea cukai dapat dilaksanakan dengan baik? Di lapangan, untuk pengurangan quota dari master list, misalnya untuk 4.000 items dari satu perusahaan, seharusnya untuk pengurangan yang benar, maka pihak Bea Cukai seyogyanya mempunyai 4.000 item dalam stock card untuk pengurangan yang benar.

Bila tidak, maka pengurangan yang akurat juga akan tidak terpenuhi. Bila hari itu perusahaan memasukkan 300 items maka, seharusnya juga pihak bea cukai mengurangi quota dari 300 items itu dalam stock card yang ada, artinya mencari dan mendata kembali 300 items itu juga pada masterlist yg ada.
“Ini satu hal yang akan sangat memakan waktu. Untuk updating record dalam rangka pengawasan, ketentuan ini akan justru sia-sia dan sangat tidak mungkin,” papar Jhon.

Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap ketentuan master list tersebut? Menteri Perdagangan Mari Pangestu dalam satu kesempatan di Jakarta menyatakan ketentuan tersebut ditetapkan setelah pemerintah menggelar diskusi dengan pengusaha Batam beberapa bulan lalu sebelum serangkaian peraturan Menteri Keuangan dan Perdagangan diterbitkan.

Bahkan Diah Maulida, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Depdag menegaskan pengusaha hanya butuh waktu untuk beradaptasi dengan peraturan baru tersebut, jadi wajar bila pada saat-saat awal ini terjadi kesulitan.

BP Batam sendiri terus berbenah memperbaiki sistem administrasi instansinya. Setelah 20 hari memberikan keringanan kepada pengusaha berupa izin sementara impor barang, maka pada 21 April lalu, instansi itu mencabut ketentuan tersebut.

"Sesuai keputusan BP FTZ Batam, mulai 21 April 2009 [hari ini] seluruh aturan izin usaha berlaku efektif, jadi kami tidak akan mengeluarkan izin sementara pengeluaran barang," ujar Kepala Biro Humas Otorita Batam/ BP FTZ Batam Rustam H. Hutapea, di Batam, kemarin.

Dia menegaskan BP Batam tidak akan lagi memberikan toleransi dan akan menahan pengeluaran barang impor di pelabuhan resmi FTZ apabila masih ada importir yang belum mengantongi surat izin usaha dari BP FTZ Batam.

Toleransi itu diakhiri karena jumlah perusahaan pengimpor yang mengantongi izin usaha sudah berjumlah lebih dari 500 perusahaan, atau sudah lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan yang belum mengantonginya.

Pemerintah boleh saja berkeyakinan tidak ada yang salah dengan ketentuan master list itu, tapi suara-suara keberatan dari para pengusaha terus saja masuk ke sekretariat Kadin Kepri. Akankah ada jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak?

Pada Rabu, 29 April lalu telah digelar rapat gabungan yang dihadiri oleh Ketua DK FTZ, Kepala BP Batam, dan pengusaha. Rapat pun menyepakati untuk menyusun sebuah matriks evaluasi implementasi FTZ di Batam untuk diberikan kepada pejabat berwenang.