Saturday, September 8, 2007

Perppu FTZ berpeluang dirombak

JAKARTA: Parlemen mungkin akan merombak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2007 tentang Pembentukan Kawasan Pelabuhan dan Perdagangan Bebas yang sudah diajukan pemerintah pekan lalu.

Dalam rapat dengar pendapat umum di Komisi VI DPR tentang Perppu tersebut di Jakarta, kemarin malam, tiga pakar hukum tata negara, yakni Ismail Sunny, Erman Rajagukguk, dan Harun Al Rasyid, mengingatkan kewenangan yang dimiliki parlemen itu.

Ketiganya menekankan kewenangan parlemen tidak sekadar pada tingkat menyetujui atau menolak perppu seperti diatur Pasal 140 Ayat (1) UU No.10/2004.
Mereka menekankan pada Ayat (2) pasal yang sama menyebut pembahasan sekaligus penyelesaian Perppu tersebut.
"Nah, di Ayat 2 itu berlaku ketentuan Pasal 136,137,138 dengan memerhatikan ketentuan khusus untuk RUU dari pemerintah. Jadi pembahasan Perppu ini, kalau kami semua setuju, bisa saja diubah," ujar anggota Komisi VI Irmady Lubis (F-PDIP) di Jakarta, kemarin.

Dia mengatakan dalam rapat itu juga makin jelas ternyata Perppu No.1/2007 hanya mengubah penetapan pembentukan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas, dari tadinya harus melalui UU seperti diatur UU No.36/ 2000 menjadi melalui PP.

Senada dengan Irmady, Refrizal (F-PKS) yang juga hadir pada rapat tersebut, mengatakan ada memang kemungkinan DPR mengubah Perppu tersebut. Perubahan itu terutama di bagian konsideran yang menunjukkan sudah terpenuhinya syarat kegentingan memaksa dan situasi darurat.

"Ketiga pakar itu setuju dengan hal ikhwal menyangkut kegentingan memaksa dan situasi darurat. Tapi kalau kita lihat lagi, situasi memaksa dan darurat itu kan karena pemerintah yang lamban, bukan karena faktor lain. Jadi masih sumir," tandasnya.
Parlemen, kata Refrizal, menginginkan agar free trade zone ini memiliki dasar hukum yang kuat yang memberi kepastian kepada investor. Karena itu, DPR tidak menginginkan Perppu ini punya celah besar untuk ditorpedo di Mahkamah Konstitusi nanti.

Irmady menambahkan, perlu dipahami bahwa FTZ berawal dari penandatanganan MoU antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan PM Lee di Singapura per 2006. Lalu diputuskan di UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal bahwa FTZ dibentuk melalui UU.
"Sampai tiba deadline, lalu bikin Perppu, syarat pembentukan FTZ di UU No.32/2000 diubah jadi PP. Kami ini bukan usil, tapi kalau Perppu mengamendemen satu dua pasal saja, rusak sistem tata negara kita. Apa saja bisa dibuat Perppu, terlalu menggampangkan," papar Irmady.

Tanpa alternatif
Di tempat terpisah, Menteri Negara PPN/ Kepala Bappenas Paskah Suzetta menyatakan pemerintah akan terus melakukan pendekatan dengan DPR agar Perppu No. 1/ 2007 mendapat persetujuan.

Dia mengakui lobi itu dilakukan karena pemerintah tidak memiliki alternatif lain selain mendapatkan persetujuan legislatif atas Perppu tersebut.
"Kami akan bicarakan dengan DPR. Pembicaraan segitiga antara pemerintah daerah, pemerintah pusat harus segera dilakukan," tuturnya di Jakarta, kemarin.

Dia membenarkan jika Perppu No. 1/2007 ini ditolak oleh DPR, maka tiga PP yang menetapkan FTZ, batal demi hukum.
Paskah menyatakan penunjukan Batam, Bintan, dan Karimun sebagai kawasan FTZ merupakan aspirasi masyarakat. "Pemerintah berupa untuk mengakomodasikan kepentingan masyarakat setempat," ujarnya.

Sebelumnya Kadin meminta agar FTZ di semua kepulauan yaitu Batam, Bintan, dan Karimun agar ada kepastian hukum usaha

Friday, September 7, 2007

Nasib FTZ-BBK terancam September 'kelabu'


Pada 14 September 2004, semestinya menjadi hari bersejarah bagi Pulau Batam, karena saat itu DPR nekat mengesahkan UU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam walaupun tanpa persetujuan Presiden Megawati.

Karena disahkan sepihak, maka sudah pasti, nasib UU itu pun terkatung-katung alias tidak diakui. Sembilan fraksi DPR punya kesimpulan yang sama dalam pengesahan RUU FTZ Batam menjadi UU saat itu.

Padahal hingga pembahasan terakhir pada 10 September, masih terjadi tarik ulur antara pemerintah dan DPR terhadap tiga pasal, yaitu pasal 2 mengenai pembagian wilayah FTZ, pasal 16 mengenai tata ruang, dan pasal 18 mengenai pengalihan asset.

Tepat tiga tahun sejak UU FTZ Batam disahkan dan di bulan yang sama, kini DPR kembali ke meja perundingan untuk membahas kelayakan Perppu No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UU.

Namun kali ini posisi berbalik. Pemerintah sebagai pihak yang mengesahkan perppu tersebut berada dalam posisi terancam karena di kalangan legislatif muncul spekulasi untuk menolak perppu menjadi UU.
DPR di atas angin, pemerintah tersudut. Kedua pihak saling ngotot dengan argumentasi masing-masing mengenai keabsahan perppu ini.

Yang menarik adalah mengapa legislatif ngotot mempertanyakan keabsahan perppu tersebut. Apakah ada prosedur yang dilanggar atau ada pihak-pihak yang merasa dilangkahi?
Padahal, bila merunut pada kejadian tiga tahun lalu saat pengesahan RUU FTZ Batam, semestinya anggota legislatif masih memiliki semangat dan visi yang sama terhadap pengembangan Pulau Batam.

Pada pembahasan kali ini, kedua pihak bisa menyatukan pandangan dan bukan lagi saling mempertanyakan. Tapi kenyataan berkata lain, beberapa fraksi masih belum bisa menerima alasan pemerintah menerbitkan perppu tersebut.

Melanggar konstitusi
Mengapa DPR terkesan garang dalam pembahasan perppu ini? Ketua Komisi VI DPR-RI Didik J. Rachbini mengakui adanya silang pendapat antar anggota terhadap pemberlakuan perppu tersebut.

Dia menegaskan pada prinsipnya ide dasar pembentukan kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) oleh pemerintah didukung penuh oleh legislatif karena ini diatur dalam UU Penanaman Modal.
"Hanya saja masalah aspek legal dan prosedural dalam penerbitan Perppu itu tidak bisa grasa-grusu, mestinya ada konsultasi sebelum disahkan" ujarnya kepada Bisnis.

Komisi VI mendapat tugas untuk membahas kelayakan Perppu No. 1/2007 ini menjadi undang-undang. Dan selanjutnya, Didik menyerahkan kepada para fraksi untuk menyatakan pendapatnya terkait pengesahan perppu tersebut pada 4 Juli 2007 lalu.

Namun demikian dia mengajak masyarakat dan pengusaha untuk terus optimistis selama pembahasan perppu ini berlangsung di DPR yang akan digelar selama satu bulan ke depan.
Proses perundingan masih berlangsung sejak 5 September lalu. Awalnya ada empat fraksi yang menyatakan penolakannya terhadap pengesahan perppu tersebut, namun informasi terakhir menyebutkan hanya Fraksi PDI-Perjuangan yang masih belum setuju.

Irmady Lubis, anggota Komisi VI DPR-RI dan anggota Fraksi PDI-P, menyesalkan penerbitan perppu dan PP ini karena itu sama saja pemerintah memberikan ketidakpastian hukum kepada para calon investor di Batam, Bintan, dan Karimun.

"Perppu ini masih berpeluang untuk dibatalkan dan belum tentu DPR menyetujui. Apabila DPR sepakat untuk batal maka status hukum FTZ BBK akan dicabut kembali," ujarnya.

Dalam Pasal 22 UUD 1945 disebutkan (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Walaupun nanti disetujui, kata Irmady, Fraksi PDI-Perjuangan akan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi atas pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2007 itu karena melanggar konstitusi.

Rancu
Irmady menilai ada banyak kerancuan dan pelanggaran system ketatanegaraan dalam penerbitan Perppu No.1 Tahun 2007 dan PP 46, 47, dan 48 sebagai turunannya.
"PP itu tidak sah menurut hukum, sebab PP harus berdasarkan UU bukan Perppu. Bagaimana bisa presiden mengesahkan PP sedangkan Perppu yang menjadi dasarnya belum menjadi UU. Ini sudah pelanggaran terhadap konstitusi," tuturnya.

Begitu juga, kata dia, dalam penerbitan Perppu itu sendiri sudah menyalahi aturan karena DPR tidak melihat adanya kegentingan atau keadaan darurat sehingga perlu diterbitkan sebuah Perppu.

Apalagi, lanjutnya, ternyata dalam perppu itu hanya mengubah Pasal 2, 3, 4, dan ketentuan peralihan di mana dalam pasal 4 menyebutkan pembentukan kawasan FTZ ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Perppu No. 1/2007 berisi tentang perubahan atas UU No. 36/2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang. Disahkan pada 4 Juni 2007.
Sedangkan PP No. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun disahkan pada 20 Agustus 2007.

Kendati perppu ini nanti akan disahkan juga oleh mayoritas fraksi, namun itu bukan berarti persoalan akan selesai dengan sendirinya. Penolakan fraksi PDI-P tidak bisa dinafikkan begitu saja.

Ancaman judicial review dari Fraksi PDI-P patut menjadi perhatian dan bukan tidak mungkin Mahkamah Konstitusi akan membatalkan peraturan itu.
Tidak mudah memang membangun sebuah kawasan khusus dalam sistem perpolitikan seperti sekarang ini. Harus ada sinkronisasi dan kesatuan visi antara legislatif dan eksekutif, bila satu pihak saja menolak maka sia-sia semua upaya.

Seharusnya kejadian tiga tahun lalu bisa menjadi pelajaran. Saat itu pemerintah ngotot menolak UU yang disahkan sepihak, dan kini DPR-lah yang mencoba membalas perlakuan pemerintah.
Semoga saja aksi tolak menolak ini bukan didasari politik balas dendam. Seperti yang sudah disampaikan Didik, semangat FTZ-nya sudah sama, tinggal bagaimana pemerintah mengkomunikasikan pembahasan perppu ini menjadi UU.

Ismeth Abdullah, Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, mengharapkan ada pemahaman yang mendalam dari seluruh tim DPR yang membahas perppu tersebut. "Dengan demikian semua pihak bisa menerima perppu itu menjadi UU."

Pembahasan masih terus berlangsung di Senayan. Kemarin, DPR sudah mendengarkan pandangan dari tiga pakar hukum tata Negara mengenai keabsahan perppu ini.
Apakah giliran DPR yang akan membatalkan perppu tersebut sehingga skor impas 1-1, atau dengan terpaksa legislatif manut lagi dengan keinginan pemerintah. Kita tunggu saja!

Thursday, September 6, 2007

Paskah: FTZ jalan terus

Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengisyaratkan pemerintah enggan mundur terkait penolakan DPR pada Perppu FTZ? karena Perppu tersebut merupakan aspirasi masyarakat setempat, sementara penolakan DPR hanya karena formalitas.

"Kalau Perppunya ditolak ya PP-nya ga bisa. Tapi nanti kita bicara lagi lah dengan DPR supaya mereka bisa paham. Ya DPR harus dengar aspirasi dari sana dong. Kita kan juga menyerap aspirasi dari sana," kata Paskah di sela-sela Rapat Kerja Dephub di Jakarta, Rabu.

Menurutnya, penetapan sistem kantung (enclave)hanya untuk Bintan dan Karimun sudah final karena tidak mungkin diterapkan di Batam. Bahkan, menurutnya, jika sistem enclave tetap dipaksakan di Batam, protes besar-besaran masyarakat Batam bakal terjadi.

Sebelumnya, DPR menolak Perppu I/2007 tentang FTZ karena mempertanyakan alasan penggunaan Perppu untuk sesuatu yang dianggap tidak mendesak. DPR juga meminta adanya revisi UU 36/2000 tentang Kawasan Ekonomi Khusus agar penetapan kawasan FTZ menggunakan UU, bukan PP.

Komisi VI Rabu pukul 19.30 dijadwalkan untuk melakukan rapat dengar pendapat dengan beberapa ahli hukum untuk meminta pertimbangan tentang Perppu FTZ ini.

Wednesday, September 5, 2007

DPR harus dengar aspirasi daerah

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dihimbau untuk lebih objektif dalam pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi undang-undang.
Penolakan sebagian fraksi terhadap keabsahan perppu itu justu membuat iklim investasi di Batam semakin merosot.
Irwansyah, Wakil Ketua Komisi III DPRD Batam, menegaskan pemberlakuan perppu itu oleh pemerintah pada 4 Juli lalu sudah sesuai dengan ketentuan dalam konstitusi.
“Soal kegentingan dan situasi darurat itu sudah sesuai kenyataan bila melihat Pulau Batam tengah menghadapi situasi genting karena PMA mulai hengkang dan pengangguran meningkat,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Justru, kata dia, dengan pemberlakuan perppu itu dan dilanjutkan dengan terbitnya peraturan pemerintah tentang kawasan perdagangan bebas Batam maka pulau ini semakin bergairah dan menarik bagi pemilik modal.
Dia mengharapkan ditetapkannya Batam sebagai kawasan FTZ maka arus modal akan kembali mengalir ke pulau ini dengan demikian pengangguran bisa teratasi dan perekonomian masyarakat semakin meningkat.
“Kami di daerah sangat berharap DPR mau mendengar aspirasi pengusaha dan masyarakat. Dalam hal ini, DPR harus objektif melihat kondisi Batam,” papar Irwansyah.
Dia mengusulkan bila legislative butuh informasi lebih banyak mengenai kondisi riil di pulau ini maka sebaiknya DPR mengundang kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kadinda, Apindo, Hipmi, dan HKI.
Sementara itu Ismeth Abdullah, Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, mengharapkan dalam pembahasan akan ada pemahaman yang lebih mendalam dari seluruh tim DPR yang membahas perppu tersebut.
“Tentunya kami berharap perppu itu bisa dibahas menjadi UU tentunya dengan pemahaman yang sama dari pemerintah dan DPR,” tuturnya.
Informasi terakhir menyebutkan hampir seluruh fraksi sudah menyatakan persetujuannya untuk mengubah Perppu No. 1 Tahun 2007 menjadi UU kecuali Fraksi PDI-Perjuangan.
Irmady Lubis, anggota Komisi VI DPR yang juga anggota Fraksi PDI-P, menegaskan pengesahan perppu telah melanggar konstitusi dan masih berpotensi untuk dibatalkan.
“Karena perppu itu bermasalah maka PP yang menjadi turunannya pun cacat hukum,” tegasnya.
Pada kesempatan terpisah Didik J. Rachbini, Ketua Komisi VI DPR, mengakui adanya perdebatan dan perbedaan pendapat dari kalangan anggota terhadap keabsahan perppu tersebut.
“Kami mendukung upaya pemerintah, hanya saja masalah aspek legal dan procedural dalam penerbitan Perppu itu tidak bisa grasa-grusu,” ujarnya.
Namun demikian dia mengajak masyarakat dan pengusaha untuk terus optimistis selama pembahasan perppu ini berlangsung di DPR yang akan digelar selama satu bulan ke depan.
“Jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa perppu ini akan dibatalkan, perdebatan bisa saja terjadi dan proses negosiasi masih terus berlangsung,” tandas Didik.

DPR bakal berdebat soal FTZ BBK

Ketua Komisi VI DPR-RI Didik J. Rachbini mengakui adanya perdebatan oleh legislative mengenai aspek legal dalam pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Dia menegaskan pada prinsipnya ide dasar pembentukan kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) oleh pemerintah didukung penuh oleh legislative karena ini diatur dalam UU Penanaman Modal.
“Hanya saja masalah aspek legal dan procedural dalam penerbitan Perppu itu tidak bisa grasa-grusu, mestinya ada konsultasi sebelum disahkan” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Komisi VI mendapat tugas untuk membahas kelayakan Perppu No. 1/2007 ini menjadi undang-undang. Dan selanjutnya, Didik menyerahkan kepada para fraksi untuk menyatakan pendapatnya terkait pengesahan perppu tersebut pada 4 Juli 2007 lalu.
Namun demikian dia mengajak masyarakat dan pengusaha untuk terus optimistis selama pembahasan perppu ini berlangsung di DPR yang akan digelar selama satu bulan ke depan.
“Jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa perppu ini akan dibatalkan, perdebatan bisa saja terjadi dan proses negosiasi masih terus berlangsung,” papar Didik.
Informasi terakhir yang diperoleh Bisnis mengungkapkan empat fraksi di DPR sudah menyatakan penolakannya terhadap perppu ini yaitu Fraksi PDI-Perjuangan, PKB, PKS, dan fraksi gabungan.
Perppu No. 1 Tahun 2007 berisi tentang perubahan atas UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang. Disahkan pada 4 Juni 2007.
Sedangkan PP No. 46, 47, dan 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan, dan Karimun disahkan pada 20 Agustus 2007.
Irmady Lubis, anggota Komisi VI DPR-RI, menyesalkan penerbitan perppu dan PP ini karena itu sama saja pemerintah memberikan ketidakpastian hukum kepada para calon investor di Pulau Batam, Bintan, dan Karimun.
“Perppu ini masih berpeluang untuk dibatalkan dan belum tentu DPR menyetujui. Apabila DPR sepakat untuk batal maka status hukum FTZ BBK akan dicabut kembali,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.
Dalam pasal 22 UUD 1945 disebutkan (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Walaupun nanti disetujui, kata Irmady, Fraksi PDI-Perjuangan akan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi atas pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2007 itu karena melanggar konstitusi.
Irmady menilai ada banyak kerancuan dan pelanggaran system ketatanegaraan dalam penerbitan Perppu No.1 Tahun 2007 dan PP 46, 47, dan 48 sebagai turunannya.
“PP itu tidak sah menurut hukum, sebab PP harus berdasarkan UU bukan Perppu. Bagaimana bisa presiden mengesahkan PP sedangkan Perppu yang menjadi dasarnya belum menjadi UU. Ini sudah pelanggaran terhadap konstitusi,” tuturnya.
Begitu juga, kata dia, dalam penerbitan Perppu itu sendiri sudah menyalahi aturan karena DPR tidak melihat adanya kegentingan atau keadaan darurat sehingga perlu diterbitkan sebuah Perppu.