Sunday, March 18, 2007

Perjuangan FTZ Batam

Perjuangan Batam menjadi kawasan perdagangan bebas sebenarnya berawal dari penolakan pertama pemberlakuan Bea Masuk, PPN, dan PPn-BM di Batam. Penolakan ini beralasan karena Batam sudah menjadi kawasan berikat (Bonded Island) yang kebablasan sehingga menjadi de facto FTZ.
Tahun 1999 merupakan awal pergerakan penolakan tersebut yang dimotori oleh beberapa pengusaha, politikus, dan tokoh masyarakat. Waktu itu hanya ada satu suara yaitu bagaimana menjadikan Batam yang sudah bonded zone dan terlanjur FTZ ini benar-benar disahkan melalui UU FTZ supaya ada kepastian hukum.
Jika tidak, maka setiap tahun masyarakat harus bertarung lagi melalui demonstrasi untuk perpanjangan PPN, PPn-BM dan Bea Masuk. Akhirnya perjuangan terus dilakukan secara gerilya mulai dari aksi demonstrasi, perjuangan secara politis, ekonomis sampai dengan melalui buku.
Memasuki awal 2000 ketika Batam secara definitif telah memiliki DPRD dan Pemerintahan Kota menjadi awal pecahnya tokoh-tokoh pejuang free trade zone Batam karena hampir semua pentolan pejuang masuk dalam sistem pemerintahan.
Tim perjuangan FTZ pertama kali dibentuk oleh Tim Kadin yang diserahi tugas untuk mempercepat proses pembahasan undang-undang kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam.
Namun tim ini tidak bertahan lama, karena satu dan lain hal tim Kadin beristirahat karena tidak mampu menyakinkan pemerintah pusat dan DPR tentang perlunya percepatan FTZ di pulau ini.
Setelah sempat vakum beberapa saat, tim perjuangan kembali dibentuk tapi kali ini secara swadaya artinya tidak melibatkan Kadinda dan unsur birokrasi lagi. Dasar pembentukan tim ini sebenarnya adalah pasca demonstrasi besar-besaran yang melibatkan banyak pihak seperti pengusaha, LSM, dan tokoh masyarakat.
Bila diinventarisir kembali, tiga institusi di pulau ini memiliki andil untuk melahirkan sebuah tim yang kesemuanya tidak berhasil antara lain Tim bentukan Otorita Batam yang disokong pengusaha dan BPS, Tim bentukan Pemko Batam yang beranggotakan LSM dan pers, serta Tim bentukan DPRD Batam yang beranggotakan semua anggota dewan.
Tim Pemko Batam lebih mengkonsentrasikan pada perjuangan untuk memperoleh jatah kekuasaan dalam kawasan bebas dan sama sekali mengabaikan semangat perjuangan yakni agar RUU segera disahkan.
Begitu juga dengan Tim DPRD Batam juga hanya memperjuangkan keinginan lembaga tersebut untuk duduk dalam dewan kawasan, kendati keinginan itu dikritik habis-habisan oleh masyarakat.
Pada prinsipnya pemerintah sudah memberikan lampu hijau bagi Batam untuk menjadi kawasan perdangangan bebas sejak keluarnya PP no. 040/2002 tentang penundaan pemberlakuan PPn dan PPn-BM sampai disahkannya UU FTZ paling lambat hingga 31 Maret 2003.
Janji pemerintah itu disikapi oleh Otorita Batam dan Badan Pusat Statistik untuk menyusun kajian potensi kerugian dan keuntungan bila Batam sebagai FTZ. Kajian ini dibuat untuk memberikan keyakinan kepada pemerintah agar Maret 2003 yang lalu menjadi momentum disahkannya UU keramat ini.
Tim Pengkajian Free Trade Zone Batam menemukan potensi kerugian sektor penerimaan pajak oleh pemerintah mencapai Rp411,57 miliar, namun kompensasinya adalah terjadi peningkatan PDRB Batam sebesar Rp1,6 triliun dan penambahan tenaga kerja sebanyak 35.000 orang.
Namun apa mau dikata, janji pemerintah untuk mengesahkan UU FTZ pada Maret lalu bagai janji tinggal janji, sebab pemerintah kembali menunda pemberlakuan pajak di Batam untuk kelima kalinya sampai batas yang tidak ditentukan.
Faktanya, sepuluh tim perjuangan yang sempat terbentuk sebelum penundaan kelima itu sama sekali tidak memberikan hasil signifikan terhadap kelanjutan pembahasan UU FTZ. malahan tim-tim itu dimanfaatkan oleh oknum yang memancing di air keruh.

Kontroversi draft
Masa-masa keemasan tim perjuangan telah berakhir tanpa memberikan hasil positif sebab melalui hak inisiatif yang dimiliki DPR akhirnya Komisi V berhasil menyelesaikan draft pertama UU Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (KPPB) pada Oktober tahun 2002 lalu.
Justru draft pertama ini ditanggapi dengan munculnya draft-draft tandingan hasil karya Pemko Batam dan DPRD Batam sebab draft hasil Komisi V ini diyakini sebagian kalangan sebagai pesanan Otorita Batam dengan kewenangan penuh didalamnya.
Draft karya Pemko Batam lebih menekankan pada sisi kelembagaan, pengelolaan lahan, dan kewenangan dalam perizinan. Pemko melihat dalam kelembagaan Walikota harus diberi peran penuh sebagai Ketua harian Dewan Kawasan yang dibantu tiga anggota dari Depperindag, Depkeu, dan Depdagri.
Begitupun dalam pengelolaan lahan dan perizinan, seyogyanya Badan Pengusahaan Kawasan bebas mendapatkan rekomendasi dari Walikota Batam dalam pemberian izin usaha berdasarkan UU Otonomi Daerah, jadi lebih representatif dalam pengelolaan kawasan ini.
Lain Pemko lain pula DPRD. Lembaga legislatif itu justru mengusulkan agar diberikan tempat dalam struktur Dewan Kawasan yang bertugas memantau jalannya pelaksanaan FTZ di pulau ini.
Kengototan dewan untuk duduk dalam Dewan Kawasan nyaris membuat pulau ini terkena stroke karena sempat muncul ancaman dari Ketua DPRD Batam yang akan menolak UU FTZ bila tidak mengakomodir keinginan DPRD tersebut.
Komisi V DPR pun sudah berulang kali berkunjung ke Batam untuk mensosialisasikan draft hasil rancangan mereka sekaligus menjelaskan posisi DPRD Batam untuk tetap berada di luar sistem agar proses pengawasan tetap dilakukan secara fair dan berimbang.
Hingga kini sudah lima draft yang beredar di Batam, sementara dalam draft terakhir hasil revisi Komisi V tidak satupun yang mengakomodir keinginan dua institusi publik tersebut sebab dalam kawasan bebas memang sudah menjadi wewenang sebuah badan otoritas tersendiri tanpa ada campur tangan birokrasi sekelas pemko dan DPRD.

Saturday, March 17, 2007

Menanti Keajaiban dari BBK-SEZ

Menanti Keajaiban dari BBK-SEZ

Tanggal 26 Februari 1994 menjadi hari bersejarah bagi Provinisi Jiangsu, China. Karena pada hari itu ditandatangani Agreement on the Joint Development of Suzhou Industrial Park oleh Wakil Perdana Menteri China Li Langqing dan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew.
Ide pengembangan Suzhou sebagai kawasan industrial modern itu muncul pada 1992. Setelah melalui tahap diskusi panjang dan disertai survey ke lokasi, kedua negara itu pun bergandengan tangan mengembangkan sebuah kawsan industri modern di sebelah timur Suzhou bernama China-Singapore Suzhou Industrial Park atau disingkat CS-SIP.
Pemerintah China patut bersyukur dengan kerjasama ini, karena Suzhou telah menjadi satu dari ratusan kawasan ekonomi khusus di China yang turut andil memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi negara berpenduduk 2 miliar jiwa itu.
Kurang lebih satu decade sejak penandatanganan bersejarah itu, Suzhou telah berkembang pesat dan masuk dalam jajaran Top 10 kawasan industri di dunia dengan investasi asing mencapai US$5,8 miliar pada 2003. Di sana terdapat 1.012 perusahaan asing.
Di Batam, pada tanggal 25 Juni 2006 seolah menjadi momentum pengulangan sejarah 12 tahun lalu di Beijing. Saat itu, Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Perdagangan Singapura Lim Hg Kiang, menandatangani kerja sama pengembangan kawsan ekonomi khusus Batam-Bintan-Karimun (Batam-Bintan-Karimun Special Economic Zone) yang disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
“Sejarah ini harus dirayakan. Saya berharap segera terjadi keajaiban ekonomi di Batam, Bintan, dan Karimun,” ujar Presiden. Menurut SBY, keberhasilan system pengaturan dan kebijakan di tiga pulau itubisa dicontoh sebagai model untuk mengembangkan kawasan serupa di tempat lain di Indonesia.
Pola kerjasama yang ditandatangani di Bata mini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh kedua pemerintahan pada 28 Agustus 1990, walaupun isinya sedikit berbeda.
Sekedar kilas balik, sebelum menandatangani kerjasama pengembangan Suzhou dengan Pemerintah China pada Februari 1994, Singapura lebih dulu menjalin kerjasama strategis dengan Indonesia dalam kerangka Framework Agreement on Regional Economc Cooperation.
Implementasi dari kerjasama ini adalah dibentuknya Tim Koordinasi Pengembangan Provinsi Riau (TKPPR) yang diketuai oleh Menteri Koordinasi Prduksi dan Distribusi Hartarto pada 1992 yang salah satunya merealisasikan perceapatan pembangunan melalui sejumlah proyek.
Pertama, proyek pembangunan Kawasan Industri Bintan oleh PT Bintan Inti Industrial Estate (BIIE). Kedua, proyek wisata terpadu Bintan Beach International Resort (BBIR) oleh PT Bintan Resort Corporation (BRC). Ketiga, kawasan pengambangan sumber daya air, dan keempat, pembangunan Karimun Marine and Industrial Complex (KMIC) di Pulau Karimun.
Momentum perkembangan Batam sebagai kawasan industri tidak terlepas dari kontribusi PT Batamindo Investment Corporation ketika membangun Kawasan Industri Batamindo di daerah Mukakuning, Batam pada 1993 di atas lahan 600 hektar dengan nilai investasi Rp630 miliar, sebuah nilai yang sangat besar saat itu.
Usaha patungan
Perusahaan itu merupakan usaha patungan Indonesia-Singapura pertama di Batam yang terdiri dari Grup Salim, Grup Bimantara mewakili Indonesia, sedangkan dari Singapura yang terlibat Jurong Enviironmental dan Singapore Technologies Industrial Corp.
Peran Salim dan Sembawang Corp terus berlanjut ketika membangun BIIE seluas 4.000 hektar di kawasan Lobam, Bintan dengan nilai investasi Rp300 miliar.
Hingga sekarang lahan yang tergarap baru sekitar 100 hektar dengan total investasi keseluruhan Rp2,5 triliun. Investasi yang lebih besar senilai Rp6 triliun, rencananya akan ditanamkan untuk mengembangkan kawasan wisata terpadu di Lagoi, Bintan seluas 23.000 hektar.
Hingga kini Pulau Bintan yang memiliki luas 180.000 hektar belum seluruhnya tergarap. Kawasan resot yang dikembangkan oleh PT BRC sejak 1991 itu mencakup hotel berbintang, vila peristirahatan, kondominium, wisata pantai, dan lapangan golf bertaraf internasional. Kawasan resot itu kini menjadi resot tropis terbesar di Asia dengan total 1.400 kamar.
Proyek kerjasama RI-Singapura lainnya berada di Pulau Karimun. KMIC merupakan proyek patungan yang dikelola PT Karimun Indojaya Corporation yang terdiri dari kepemilikan Salim sebesar 60%, Sembawang Corp 30%, dan Jurong Town Group International 10%.
KAwasan industri galangan kapal yang berjarak 40 km dari Singapura itu memiliki luas 4.000 hektar yang tersebar dari Pulau Karimun Besar, Karimun Kecil, dan pulau sekitarnya.
Pembangunan tahap pertama dilakukan di atas lahan seluas 1.050 hektar di pantai barat Karimun Besar. Kelak, di kawasan ini bakal hadir sebuah kawasn industri dan bisnis maritime kelas dunia.
Ada tiga proyek yang digarap oleh KMIC. Pertama, proyek terminal penimbunan minyak senilai Sin$200 juta, kedua, proyek KI senilai Sin$300 juta, ketiga proyek galangan kapal PT Karimun Sembawang Shipyard (KSS) senilai Sin$100 juta. KSS merupakan perusahaan penyewa pertama di KMIC dan sudah mulai beroperasi di bidang perbaikan dan docking kapal.
Entah mengapa, seiring berjalannya waktu, gerak pertumbuhan di tiga kawasan itu secara perlahan-lahan muali menurun seiring dengan munculnya persoalan di masing-masing proyek.
BIIE di Lobam, Kawasan Wisata Internasional Lagoi, dan KMIC belum berkembang optimal seperti diproyeksikan pada awal pembangunannya. Grup Salim yang dulu menjadi motor pengembangan kawasan itu pun mulai kehilangan pijakan karean kocar-kacir dihantam krisis ekonomi pada 1998.
Terulang lagi
Kembali ke momentum penandatanganan kerjasama RI-Singapura 25 Juni lalu di Batam, langkah ini jelas memiliki makna strategis di saat BBK SEZ membuthkan obat kuat untuk bangkit lagi.
Cetak biru pengembangan BBK yang sudah dirintis B.J Habibie, Grup Salim, dan Sembawang Corp pada era 1990-an harus ditata kembali.
Pulau Batam yang usianya 20 tahun lebih tua dibandingkan Suzhou semestinya bisa lebih maju dan benar-benar menjadi ‘Singapuranya’ Indonesia. Tapi krisis ekonomi yang melanda negeri ini pada 1998 memaksa pemerintah mencabut pembebasan pajak di pulau itu.
Pulau yang seharusnya menjadi ‘tandem’ Singapura dalam menampung industri-industri perakitan elektronik dan perkapalan ternyata tidak mampu memainkan perannya secara optimal. Bahkan Batam nyaris jadi tong sampah negeri tetangga itu.
Gonta ganti kebijakan yang berujung pada status yang tidak jelas telah menyurutkan minat pemodal asing. Padahal pulau seluas 40.000 hektar itu memiliki berbagai keunggulan mulai dari letak yagn strategis hingga jairngan infrastruktur yang jauh lebih baik dibandingkan daerah lain di Indnesia.
Masih beruntung Batam tetap dilirik oleh satu-dua investor asal Singapura walaupun akselerasinya tidak secepat yang diharapkan oleh para pendiri pulau itu. Sampai dengan pertengahan tahun ini investasi asing di Batam tercatat US$7,5 miliar dengan jumlah PMA yang beroperasi di sana lebih dari 800 perusahaan.
Begitu pun halnya dengan BIIE Lobam, jumlah perusahaan asing di kawasan itu secara perlahan mulai menurun akibat ketidakjelasan pola kebijakan di kawasan itu. Kawasan wisata Lagoi pun tidak banyak perubahan.
Sejak krisis ekonomi melanda negeri dan memengaruhi kepemilikan Grup Salim dalam BRC, pengelolaan Lagoi sedikit terganggu. Berbagai kasus seperti tragedy Bom Bali I dan II, wabah penyakit SARS, dan travel warning dari sejumlah negara telah merenggut keriangan wisman di pantai Lagoi pada periode 2002-2005.
Sama halnya dengan KMIC yang hingga hari ini hanya diisi oleh PT KSS untuk perbaikan dan galangan kapal. Perusahaan itu sempat digoyang ketika diterpa aksi unjuk rasa buruh yang dipecat secara sepihak pada 2004. KSS memang masih beroperasi tapi blue print KMIC belum sepenuhnya berjalan di Karimun.
Pertanyaannya kini, apakah kerja sama ekonomi Indonesia dan Singapura yang baru ditandatangani itu bisa mengembalikan kejayaan BBK di gugusan Singapura-Johor-Kepri ini? Jawabnya: Harus bisa!!
Tugas berat
Tapi tentunya ambisi ini menjadi tugas berat para pemimpin pemerintahan pusat dan daerah untuk konsisten merealisasikan setiap detail konsep yang dibuat. Jangan sampai konsep hanya tinggal coretan di atas kertas tanpa ada kejelasan impelementasi.
Komitemn pemerintah daerah untuk mensukseskan kerjasama ekonomi kedua negara ini hjuga harus diperkuat. Kalau tengok negeri seberang, otoritas Suzhou Industrial Park juga pernah merasakan perlakuan dan sikap acuh dari Pemerintah Koata Suzhou ketika kawasan itu baru berjalan empat tahun.
‘Pertarungan’ kepentingan antara pusat dan daerah biasanya menjadi penyebab kegagalan implementasi sebuah konsep. Setidaknya ini harus diwaspadai dan dibenahi sejak dini oleh Tim Koordinasi Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (Timnas KEK) yang diketuai oleh Menko Perekonomian Boediono.
Janganlah lagi mengulang kesalahan yang dulu pernah dilakukan. Kita tidak mau seperti keledai yang terantuk batu yang sama untuk kedua kalinya. Batam, Bintan, dan Karimun butuh kepastian dan konsistensi kebijakan, sebab tanpa itu maka kerjasama ini akan berakhir tanpa hasil.
Kalaupun nanti ada kesalahan, pasti penyebabnya bukan pada pihak Singapura, sebab komitmen mereka sudah teruji di Suzhou pada 1994 dan ketika meletakkan dasar-dasar pembangunan di tiga pulau tadi pada 1990.
Bersyukurlah Singapura masih mau mempercayai Indonesia untuk menjalin kerjasama serupa. Bagi Singapura, kerjasama ini menjadi yang keduakalinya di tiga pulau yang sama dalam kurun waktu 16 tahun terakhir.
Bila kerjasama ini masih juga tetap menemui kegagalan tanpa ada hasil akhir yang memuaskan seperti yang diharapkan, maka sebaiknya jangan berharap bakal datang lagi keajaiban dari Batam-Bintan-Karimun.

Tuesday, March 6, 2007

Industri galangan kapal Batam semakin prospektif

BATAM: PT Trikarya Alam Shipyard, satu PMDN perkapalan di Batam, berhasil menyelesaikan pesanan satu dari 10 kapal pengangkut batu bara (coal carrier) kapasitas 10.000 ton senilai lebih dari US$70 juta.

Peluncuran kapal bernama MV Grace Ocean itu membuktikan kemampuan industri galangan kapal Batam untuk membangun kapal-kapal besar bagi kepentingan sector industri lainnya.

Ismeth Abdullah, Gubernur Kepulauan Riau, menegaskan Pulau Batam sudah ditetapkan sebagai basis industri galangan kapal di Indonesia dengan lebih dari 80 perusahaan beroperasi di sini.

“Mulai dari jasa pembuatan, perbaikan, dan docking kapal sudah bisa dilakukan di Batam. Perusahaan jasa transporter dalam dan luar negeri pun sudah mulai memesan kapal dari sini,” ujarnya kepada Bisnis akhir pekan lalu.

Kapal pesanan PT Jaya Samudera Kurnia itu akan mengangkut batu bara dari lokasi pertambangan di Kalimantan Selatan menuju Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Banten.

Adapun batu bara yang diangkut tersebut merupakan pesanan PT Indonesia Power untuk memasok kebutuhan bahan bakar pembangkit mereka di beberapa lokasi.

Sementara itu David BAK, Direktur Utama PT Trikarya Alam Shipyard (TAS), mengatakan dibutuhkan waktu kurang lebih 11 bulan untuk menyelesaikan satu unit kapal angkut batu bara kapasitas 10.000 ton ini.

“Kami sudah berhasil meluncurkan satu dari 10 kapal jenis ini dan selanjutnya akan kami selesaikan dalam beberapa tahun ke depan,” paparnya.

PT TAS merupakan satu dari 80 industri galangan kapal yang beroperasi di sepanjang pesisir Sekupang hingga Tanjung Gundap, Pulau Batam. Selain menerima pesanan usaha angkutan kapal local, industri galangan di pulau ini juga mendapat pesanan dari luar negeri.

Data Asosiasi Industri Galangan Kapal Batam menyebutkan industri galangan kapal Batam tidak menerima pesanan lagi atau full booked hingga 2009. Ini disebabkan banyaknya para pemesan dan masa penyelesaian satu unit kapal yang lama.

Dennis SK Jang, Direktur Utama PT Jaya Samudera Kurnia, perusahaan jasa transporter batu bara, mengemukakan kemampuan industri galangan kapal dalam negeri untuk membuat kapal kapasitas besar sudah terbukti.

“Biasanya kami memesan kapal dari Eropa dan Korea Selatan, tapi ternyata ada shipyard di Batam yang mampu memenuhi kebutuhan kami.”

SDM

Ismeth mengatakan prospek industri galangan kapal di Batam yang semakin baik memicu kebutuhan tenaga kerja local khususnya tenaga las listrik (welder) juga makin meningkat.

“Batam masih membutuhkan 5.000 tenaga welder untuk bekerja di 80 industri galangan yang ada di pulau ini,” tuturnya.

Untuk memasok mendukung kebutuhan ini, Politeknik Batam dan Balai Latihan Kerja Provinsi Kepri akan mengirimkan 15 tenaga pelatih khusus welder selama tujuh minggu di Singapura sebagai salah satu komitmen kerjasama dua negara dalam pengembangan kawasan ekonomi khusus.